B.350SeskabVII2011 yang isinya mengenai penundaan BMAD atas impor tepung terigu dari Turki.
146
Namun, sampai saat ini PMK Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal ini belum juga terbit, walau sudah menjadi keputusan untuk
disetujui dalam rapat pleno antar kementrian di BKF Badan Kebijakan Fiskal pada bulan Juli 2010 dan Rapat Koordinasi Menko Perekonomian pada Mei 2011.
Dalam hal ini tidak ada tindakan lebih lanjut Menkeu setelah surat penundaan tersebut. Atas sikap Menkeu yang seperti itu, APTINDO menganggap bahwa
Menkeu telah melakukan tindakan pembiaran dan tidak melindungi pengusaha Indonesia dan atau kurang lebih 200 ribu usaha kecil menengah UKM terhadap
persaingan tidak sehat dengan pengusaha dari Turki.
147
B. Penerapan Hukum Antidumping di Indonesia terhadap Kasus
Dumping Tepung Terigu Turki
Salah satu permasalahan yang dialami oleh Indonesia dalam perdagangan internasional adalah praktik dumping penjualan barang impor di bawah harga
normal produk domestik yang dilakukan oleh produsen luar negeri importir yang dapat menimbulkan kerugian nyata bagi industri dalam negeri, seperti kasus
praktik dumping tepung terigu impor asal Turki yang kronologisnya telah dijelaskan sebelumnya. Dan untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan suatu
upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui penerapan ketentuan antidumping, baik secara Internasional maupun nasional.
146
Ibid.
147
Damiana Ningsih Simanjuntak, “APTINDO Gugat Menkeu ke PTUN”, http:www.beritasatu.combisnis27955-aptindo-gugat-menkeu-ke-ptun.html, diakses 27 April
2012.
Penerapan ketentuan anti dumping dalam tata hukum Indonesia sangat esensial, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat strategis
sebagai market
5. Prosedur Permohonan Penyelidikan Kasus Tepung Terigu menurut
Hukum Anti Dumping Indonesia
bagi produk impor, hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya produk impor yang beredar di Indonesia yang penjualannya dengan cara dumping.
Oleh karena itu, berikut akan diuraikan sejauhmana penerapan hukum antidumping di Indonesia terhadap kasus ini. Perlu diketahui bahwa kasus ini
terjadi pada tahun 2008 sehingga hukum yang dipakai adalah hukum yang berlaku pada masa itu yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995,
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Produsen industri dalam negeri yang merasa dirugikan akibat praktik dumping, dapat menyampaikan permohonan sendiri atau bersama-sama atau
melalui asosiasi yang menaungi kepada KADI untuk dapat melakukan penyelidikan atas barang yang diduga dumping. Sebagaimana yang diketahui
sebelumnya bahwa dalam kasus ini yang menjadi pemohon adalah industri dalam negeri yaitu
PT SRIBOGA RATU RAYA, PT EASTERN PEARL DAN PT PANGANMAS INTI PERSADA
yang memproduksi barang sejenis berupa tepung terigu gandum dengan
nomor HS 1101.00.10.00. Ketiga industri dalam
negeri tersebut merasa dirugikan akibat praktik dumping tepung terigu impor asal
Turki, Srilanka dan Australia dengan nomor HS 1101.00.10.00. Sehingga ketiga
industri dalam negeri tersebut mengajukan permohonan penyelidikan antidumping kepada KADI melalui APTINDO Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia
pada tanggal 16 Oktober 2008. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 PP No. 34 Tahun 1996, Pasal 1 angka 1a dan Pasal 2 Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216MPPKep72001 sebagai berikut:
Pasal 8 ayat 1 PP No. 34 Tahun 1996: “Industri Dalam Negeri dapat mengajukan permohonan kepada Komite
untuk melakukan penyelidikan atas barang impor yang diduga sebagai Barang Dumping danatau Barang Mengandung Subsidi yang
menyebabkan Kerugian.” Pasal 1 angka 1a Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 216MPPKep72001: “Pemohon adalah produsen barang sejenis yang merupakan bagian dari
Industri Dalam Negeri yang mengajukan permohonan untuk dilakukan penyelidikan atas barang impor yang diduga sebagai Barang Dumping
dan atau Barang Mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian.” Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
216MPPKep72001: “Pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Komite untuk
melakukan penyelidikan atas barang impor yang diduga sebagai Barang
Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian.
Namun, ketika pemohon menyampaikan permohonan tersebut, KADI tidak langsung menyatakan permohonannya ditolak ataupun diterima. Pada tahap
ini, KADI pertama-tama memeriksa kelengkapan data dan informasi yang tercantum pada formulir permohonan yang telah diisi pemohon berdasarkan Pasal
3, 4 dan 5 ayat 1 dan 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 216MPPKep72001 sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya
. Informasi–informasi tersebut harus didukung oleh data yang berasal dari sumber yang dipercaya yang menunjukkan adanya dumping, kerugian dan
hubungan kausal. Selanjutnya, Pasal 5 ayat 3 Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor 216MPPKep72001 menyatakan bahwa dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap
dan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 dan berdasarkan bukti yang diajukan, Komite memberi keputusan:
a. Menolak, dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan; atau
b. Menerima dan memulai penyelidikan, dalam hal permohonan memenuhi
persyaratan. Berdasarkan PP No.34 tahun 1996 pasal 1 ayat 8 sesuai Article 5.4
Antidumping Code 1994, permohonan penyelidikan anti dumping yang diajukan oleh produsen industri dalam negeri harus memenuhi syarat sebagai permohonan
yang diajukan oleh Industri Dalam Negeri atau mewakili Industri Dalam Negeri dan
memenuhi syarat untuk dilakukan penyelidikan dalam hal-hal
sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216MPPKep72001 sebagai berikut:
a. Total produksi Barang Sejenis dari pemohon tidak kurang dari 25 total
produksi yang dihasilkan oleh seluruh produsen Barang Sejenis dalam negeri;
b. Pemohon menunjukkan adanya Kerugian yang disebabkan Barang
Dumping dimaksud; dan c.
Total produksi yang mendukung permohonan penyelidikan lebih besar dari total produksi yang menentang permohonan.
Sesuai ketentuan tersebut, dalam kasus ini KADI menemukan bahwa total produksi barang sejenis tepung terigu dari pemohon industri dalam negeri
sebesar 27,03 dari total produksi nasional dan pemohon menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan barang yang diduga dumping tersebut.
148
148
“Kronologi Petisi BMAD Terigu Turki”,
Total produksi pemohon sebesar 27,03 telah memenuhi syarat untuk dapat
diterimanya suatu permohonan penyelidikan karena permohonan pengajuan petisi dugaan dumping atas produk impor dapat dilakukan oleh satu perusahaan yang
merasa dirugikan meski tidak mewakili hingga 50 persen industri domestik. Selanjutnya, setelah permohonan memenuhi persyaratan dan data-data pemohon
telah dinyatakan lengkap dan benar oleh KADI, maka pada tanggal 17 November 2008 tepatnya 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar,
KADI memberi keputusan menerima permohonan dan mengumumkan untuk
http:www.aptindo.or.idpdfsKRONOLOGY20PETISI20BMAD20TERIGU20TURKI20 revisi.pdf, hlm. 6, diakses 21 Februari 2012.
dimulainya penyelidikan kasus tersebut di harian Koran Tempo.
149
“Dalam hal permohonan diterima, Komite mengumumkan melalui Pengumuman Pemerintah c.q Berita Resmi Komite Antidumping
Indonesia dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan mengenai dimulainya penyelidikan terhadap barang impor yang diduga
sebagai barang dumping....” Tindakan yang
dilakukan KADI ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 10 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa keputusan Komite untuk memulai penyelidikan
terlebih dahulu diumumkan dan diberitahukan kepada Pihak yang Berkepentingan, ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261MPPKep91996:
Tanggal inisiasi pengumuman tersebut menjadi titik awal dihitungnya lamanya penyelidikan yaitu 12 bulan atau bisa diperpanjang menjadi 18 bulan
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 11 PP No. 34 Tahun 1996.
150
6. Penyelidikan oleh KADI
Setelah KADI memberikan pengumuman untuk dimulainya penyelidikan maka tahap selanjutnya adalah melakukan penyelidikan selama 12 bulan dan
dapat diperpanjang menjadi 18 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 PP No.
34 Tahun 1996 . Kemudian, dalam Pasal 12 ayat 1 dan 2 PP No. 34 Tahun
1996 dinyatakan bahwa: “Selambat-lambatnya dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Komite menyampaikan hasil akhir penyelidikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan mengumumkan serta
memberitahukan kepada Pihak yang Berkepentingan bahwa terbukti atau tidak terbukti adanya Barang Dumping danatau Barang Mengandung
149
Ibid., Hlm. 2, lihat juga “Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki”,
http:www.aptindo.or.idpdfsPETISI20BMAD20TERIGU20TURKI20RANGKUMAN.pdf, hlm. 2, diakses 27 April 2012.
150
Irwan, “Mekanisme Penetapan BMAD,” Warta Bea Cukai, Edisi 418, September 2009, hlm. 9-10.
Subsidi yang menyebabkan Kerugian. Dan dalam hal dari hasil akhir penyelidikan terbukti adanya Barang Dumping danatau Barang
Mengandung Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komite menyampaikan besarnya Marjin Dumping danatau Subsidi Neto dan
mengusulkan pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.”
Dalam penyelidikan KADI, untuk membuktikan ada atau tidak adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian maka dapat mengacu pada Pasal 18
Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 jo. Pasal 2 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor
dalam hal harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. Jadi BMAD hanya dikenakan apabila kriteria dalam pasal tersebut berhasil dibuktikan dalam
penyelidikan. Kriteria tersebut adalah: a.
Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara; Menurut Pasal 1 angka 9 PP No. 34 Tahun 1996, dua buah barang
dikatakan sebagai Barang Sejenis apabila barang tersebut identik atau sama dalam segala hal dengan barang impor dimaksud atau barang
tersebut memiliki karakteristik fisik, teknik, atau kimiawi menyerupai barang impor dimaksud.
151
b. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang di bawah harga normal atau
adanya dumping; Dalam Pasal 1 angka 2 PP No. 34 Tahun 1996, yang dimaksud Harga
Ekspor adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk
151
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996, Pasal 1 angka 9.
barang yang diekspor ke dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dan
pengertian Nilai Normal dalam Pasal 1 angka 3 PP No. 34 Tahun 1996 adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk Barang
Sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.
152
c. Adanya kerugian terhadap industri dalam negeri;
Jadi, dikatakan adanya dumping apabila harga ekspor lebih rendah dari nilai normalnya.
Menurut Pasal 1 angka 11 PP No. 34 Tahun 1996, Kerugian adalah : a. kerugian Industri Dalam Negeri yang memproduksi Barang Sejenis; b.
ancaman terjadinya Kerugian Industri Dalam Negeri yang memproduksi Barang Sejenis; atau c. terhalangnya pengembangan industri Barang
Sejenis di dalam negeri.
153
d. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor yang
di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri.
Suatu penyelidikan anti dumping belum memenuhi syarat apabila hanya terdapat atau terbukti adanya barang dumping serta kerugian injury saja
yang dialami oleh produsen dalam negeri. Suatu hubungan sebab akibat a causal link antara barang dumping dengan kerugian injury harus
ditunjukan dengan suatu bukti-bukti yang relevan, kuat dan valid. Hubungan sebab-akibat a causal link merupakan kata kunci dalam
152
Ibid., Pasal 1 angka 2 dan 3.
153
Ibid., Pasal 1 angka 11.
penyelidikan anti dumping. Adapun analisis hubungan kausalitas meliputi:
154
1 Dampak Volume Volume Effect
Mengenai volume barang dumping yang masuk ke negara pengimpor, harus dapat dibuktikan bahwa telah terjadi suatu peningkatan yang
signifikan dari volume barang import yang diduga dumpig, baik secara absolut maupun relatif terhadap produksi dalam negeri dan
konsumsi nasional negara pengimpor. Penilaian terhadap volume import didasarkan pada perkembangan import tiga tahun terakhir.
Perkembangan import tiga tahun terakhir ini meliputi satu tahun yang disebut sebagai periode investigasi dan dua tahun sebelumya.
2 Dampak Harga Price Effect
Apabila industri dalam negeri berhadapan dengan barang import yang didumping dengan sendirinya harga barang sejenis industri dalam
negeri akan mengalami depresi atau tertekan, yaitu harga barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk menghindari
kehilangan market share di pasar dalam negeri, sehingga indusri dalam negeri terpaksa melakukan price undercutting, yaitu harga
barang sejenis industri dalam negeri terpaksa diturunkan untuk mengimbangi harga barang dumping. Dalam rangka mempertahankan
market share. Dalam menghadapi hal tersebut industri dalam negeri juga bisa megalami price suppresion, yaitu harga barang sejenis
154
Dewa Gede Pradnya Yustiawan, “Perlindungan Industri dalam Negeri dari Praktik Dumping”, Tesis Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar 2011, hlm. 58.
industri dalam negeri seharusnya dinaikan misalnya ada kenaikan harga raw material atau biaya-biaya lain yang meningkat tetapi tidak
mencapai tingkat biaya produksi karena adanya persaingan barang import yang dijual dengan harga dumping.
Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan di atas, KADI dalam hal ini melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak yang tertuduh yakni Australia,
Srilanka, dan Turki. Dalam penyelidikannya, KADI berhasil membuktikan bahwa pihak Petisioner mengalami kerugian pada periode investigasi yang terindikasi
dari hal-hal sebagai berikut:
155
a. Total Produksi turun 8,7
b. Penjualan domestic turun 2,22
c. Kapasitas Terpasang Turun 1,4
d. Stock naik 26,9
e. Gaji rata-rata Turun 2,
f. Produktifitas pemohon menurun 2,6
g. Jumlah tenaga kerja Turun 2,96
h. Keuntungan dalam unit : Turun Thn 2005 : 100, Thn 2006 :
195, Thn 2007 205. Sehingga Return Of Investment minus. i.
Cash Flow pemohon menurun 39,1 j.
Investasi Pemohon meningkat menjadi 34,8 , hal ini menunjukan adanya penurunan penjualan sehingga produksi yang dihasilkan
tidak terjual seluruhnya.
155
“Kronologi Petisi BMAD Terigu Turki”, http:www.aptindo.or.idpdfsKRONOLOGY20PETISI20BMAD20TERIGU20TURKI20
revisi.pdf, hlm. 7, diakses 21 Februari 2012.
Pengujian kerugian tersebut didasarkan pada Pasal 3.4 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang telah disebutkan pada BAB II
Sub C.2. karena PP No. 34 Tahun 1996 tidak mengatur mengenai indikator pengujian kerugian tersebut tetapi hanya memberikan defenisi kerugian dalam
Pasal 1 angka 11. Selain membuktikan adanya kerugian, KADI juga membuktikan adanya hubungan kausalitas causal link yang menunjukkan bahwa kerugian
yang dialami Petisioner tersebut di atas disebabkan oleh dumping dari Turki, yang dibuktikan dengan terjadinya volume effect dan price effect. Dari dampak volume
impor volume effect, yang harus dihitung dalam periode tiga tahun Oktober 2005 hingga Oktober 2008, terbukti hanya terigu Turki yang mengalami lonjakan
signifikan, bahkan pada tahun 2008, pangsa pasarnya mencapai 35 persen. Sebaliknya, angka impor dari Australia dan Srilanka mengalami penurunan,
156
Tabel 4.1
sebagaimana yang ditunjukkan dalam tabel berikut.
Negara Asal Impor dan Persentase Volume Impor Tepung Terigu Tahun 2001 – 2010
Negara Asal
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
Turki 3.0
2.4 6.1
7.8 9.3
10.7 29.7
43.0 59.1
58.6
Sri Lanka
0.0 0.0
0.0 4.7
14.9 28.9
19.8 11.5
20.5 21.5
Belgia 4.7
9.7 15.8
5.7 13.0
9.9 7.9
13.3 11.8
7.6
156
Heri Susanto, “Ada Intervensi Atas Kasus Dumping Terigu?”, http:bisnis.vivanews.comnewsread128568-ada_intervensi_atas_kasus_dumping_terigu_,
diakses 21 Februari 2012.
Austra -lia
24.4 19.2
19.3 46.6
39.2 32.8
26.3 27.5
6.5 7.4
Ukrai- na
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.2
0.1 2.8
Jepang 3.7
1.5 1.8
1.2 1.3
1.2 1.3
1.0 0.9
0.7
Lain- nya
64.2 67.2
57.0 34.1
22.4 16.5
15.0 3.6
1.1 1.4
Catatan: Diurutkan berdasarkan nilai tertinggi tahun 2010. Sumber: www.aptindo.or.id
. Tabel diatas menunjukkan adanya peralihan supplier tepung terigu bagi
Indonesia. Pada tahun 2001 hingga tahun 2008, Australia merupakan negara penyuplai tepung terigu impor yang paling besar. Indonesia mengimpor 24,4
tepung terigu dari Australia di tahun 2001 dan 27,5 pada tahun 2008. Setelah tahun 2008, proporsi impor tepung terigu Indonesia dari Australia menurun
hingga kurang dari 10. Sebaliknya, proporsi impor tepung terigu Indonesia dari Turki dan Sri Lanka mengalami kenaikan secara signifikan. Jumlah impor dari
Turki meningkat hingga di atas 10 sejak tahun 2006 sedangkan dari Sri Lanka sejak tahun 2005. Namun, jika ditinjau dalam tiga periode yaitu tahun 2006
sampai tahun 2008, dapat disimpulkan bahwa jumlah impor dari Australia dan Srilanka mengalami penurunan tiap tahunnya dalam tiga periode tersebut,
sementara Turki sejak tahun 2006 hingga 2008 mengalami kenaikan secara signifikan tiap tahunnya. Dengan demikian, dari aspek volume impor, hanya
Tepung Terigu asal Turki yang memenuhi syarat untuk dinyatakan dumping. Selain itu, berikut ini diperbandingkan antara Efek Volume Terigu Impor
Turki dengan Terigu Dalam Negeri untuk membuktikan adanya hubungan
kausalitas antara barang dumping dengan kerugian yang dialami oleh produsen dalam negeri.
Tabel 4.2 Perbandingan Dampak Volume Terigu Impor Turki dan Terigu Dalam Negeri
Tahun 2005 – 2009
Produsen 2005MT
2006MT 2007MT
2008MT 2009MT
PT Eastern Pearl 422.061
476.943 519.035
444.810 392.486
PT Sriboga Ratu Raya 242.550
156.681 175.253
167.042 219.147
PT Pangan Mas 134.172
124.087 100.803
73.179 127.836
Importir asal Turki 44.235
57.553 172.827
227.472 382.145
Sumber: www.mediaprofesi.com
Tabel di atas menunjukkan bahwa volume terigu dari ketiga produsen dalam negeri yaitu PT Eastern Pearl, PT Sriboga Ratu Raya, dan PT Pangan Mas
mengalami penurunan volume secara signifikan di tahun 2008. Sebaliknya, volume terigu impor Turki mengalami lonjakan secara signifikan di tahun 2008.
Dengan demikian dapat ditarik suatu hubungan kausalitas bahwa dengan menurunnya volume tepung terigu dalam negeri, pihak Petisioner mengalami
kerugian injury sebagai akibat dari membanjirnya tepung terigu impor asal Turki di pasar dalam negeri.
Dan jika ditinjau dari segi harga terigu impor yang dihitung pada periode September 2007 hingga Oktober 2008, ketiga negara tersebut yaitu Australia,
Srilanka dan Turki memenuhi syarat dinyatakan dumping. Pada periode tersebut, harga terigu di pasar internasional sekitar 650 dolar AS per metrik Ton MT,
namun eksportir terigu dari ketiga negara menjualnya dengan harga yang jauh
lebih murah. Ekspor terigu Turki harganya harga eks pabrik 421 dolar AS per MT, harga ekspor terigu Australia sebesar 513,6 dolar AS per MT dan terigu Sri
Lanka sebesar 463 dolar AS per MT. Jika dihitung dari biaya produksi manufaktur, biaya penjualan, biaya produksi dan profit 10 persen maka
diperkirakan harga normalnya selama periode tersebut sekitar 650 dolar AS per MT.
157
Sementara itu, sesuai data BPS, pada tahun 2008 harga terigu asal Turki sekitar Rp 5.783 per kilogram dan pada tahun 2009 harga terigu asal Turki hanya
Rp 4.605 per kilogram. Hal tersebut menunjukkan bahwa harga terigu dari ketiga negara tersebut
lebih murah daripada harga terigu di pasar internasional dan harga normalnya.
158
Dan menurut Pantauan Harga dan Distribusi Kebutuhan Pokok Departemen Perdagangan, harga rata-rata tepung terigu nasional selama
tahun 2007 hingga awal 2008 mencapai Rp 6.485 per kilogram dan harga tetap stabil hingga tahun 2009.
159
Selain itu, dalam Tempo Online disebutkan bahwa di negeri asalnya, harga terigu Turki setara Rp 119.000 - Rp 182.850 per sak satu sak = 25 kilogram.
Harga ekspornya ke Indonesia lebih murah yakni sekitar Rp 92.000 - Rp 93.000 per sak. Harga itu jauh lebih murah dibandingkan dengan terigu produksi
Hal ini menunjukkan bahwa harga Tepung Terigu Turki jauh lebih murah jika dibandingkan Tepung Terigu produksi perusahaan
nasional per kilogramnya untuk tahun 2008 dan 2009.
157
“Indonesia Mulai Selidiki Dumping Terigu Tiga Negara”, http:www.republika.co.idberitabreaking-newsekonomi08112015057-indonesia-mulai-
selidiki-dumping-terigu-tiga-negara, diakses 18 Juni 2012.
158
Syamhudi, “Impor Terigu Turki Lampaui Produksi Nasional”, http:www.mediaprofesi.comekonomi99-impor-terigu-turki-lampaui-produksi-nasional-.html,
diakses 21 Juni 2012.
159
“Pemerintah Setuju Tanggung Pajak Terigu”,
http:www.infopajak.comberita110108kt.htm, diakses 15 Juni 2012.
perusahaan di Indonesia, yang sekitar Rp 107.000 - Rp 142.000 per sak.
160
Dari hal-hal tersebut di atas, akhirnya KADI menyatakan dalam hasil penyelidikannya bahwa dari ketiga negara yang dituduh melakukan praktik
dumping, hanya tepung terigu dengan Nomor HS 1101.00.10.00 yang berasal dari negara Turki yang terbukti melakukan praktik dumping yang menyebabkan
kerugian secara nyata bagi industri dalam negeri barang sejenis di Indonesia khususnya bagi pihak Petisioner. Beberapa eksportir produsen terigu Turki yang
terbukti melakukan dumping atau tindakan unfair trade yaitu Bafra Eris Un Yem Gida San Ve. Tic. A.S, Erister Gida Sanayi Ve Ticaret AS, Marmara Un Sanayi
AS, Ulas Gida Un Textil Nakliye Ticaret, Ulusoy Un Sanayi Ve Ticaret dan Eksportir Produsen lainnya.
Harga tepung terigu impor yang jauh lebih murah dari harga tepung terigu dalam negeri
dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak Petisioner karena konsumen akan beralih membeli produk yang jauh lebih murah.
161
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka dalam kasus ini KADI telah menerapkan ketentuan antidumping dalam PP No. 34 Tahun 1996 untuk
melakukan proses penyelidikan dan membuktikan bahwa tepung terigu impor yang berasal dari beberapa eksportir terigu di atas terbukti sebagai barang
dumping yang merugikan Petisioner sebagai industri dalam negeri.
160
Nieke Indrietta dan Roffiudin, “Lenggang Kangkung Terigu Turki”, http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20101220EBmbm.20101220.EB135433.id.html,
diakses 5 Juli 2012.
161
Suhendra, “Cerita ‘Ping-Pong’ Kebijakan BM Anti Dumping Terigu Turki”, http:finance.detik.comread2011072610494016894261036cerita-ping-pong-kebijakan-bm-
anti-dumping-terigu-turki, diakses 06 Maret 2012, lihat juga “Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki”,
http:www.aptindo.or.idpdfsPETISI20BMAD20TERIGU20TURKI20RANGKUMAN.pdf, hlm. 2, diakses 27 April 2012.
7. Rekomendasi Penerapan BMAD oleh KADI dan Menteri
Perdagangan
Perihal rekomendasi pengenaan BMAD oleh KADI kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan diatur dalam Pasal 12 ayat 1 dan 2 PP No. 34
Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa:
“1 Selambat-lambatnya dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Komite menyampaikan hasil akhir penyelidikan kepada
Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan mengumumkan serta memberitahukan kepada Pihak yang Berkepentingan bahwa terbukti
atau tidak terbukti adanya Barang Dumping danatau Barang Mengandung Subsidi yang menyebabkan Kerugian.
2 Dalam hal dari hasil akhir penyelidikan terbukti adanya Barang
Dumping danatau Barang Mengandung Subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komite menyampaikan besarnya Marjin
Dumping danatau Subsidi Neto dan mengusulkan pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan kepada Menteri
Perindustrian dan Perdagangan.”
Dalam kasus ini, atas dasar hasil penyelidikannya KADI menemukan adanya margin dumping sekitar 19,67 hingga 21,98 pada terigu-terigu yang
diimpor dari Turki. Dan untuk menerapkan ketentuan pada Pasal 12 ayat 1 dan 2 PP No. 34 Tahun 1996 pada tanggal 28 Desember 2009 akhirnya KADI
menyampaikan hasil akhir penyelidikan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahwa Tepung Terigu Impor asal Turki terbukti sebagai barang
dumping yang menyebabkan kerugian dan dari hasil akhir penyelidikan tersebut KADI juga menyampaikan besarnya Marjin Dumping tersebut serta mengusulkan
memberikan rekomendasi pengenaan Bea Masuk Antidumping BMAD kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
162
Setelah mendapatkan hasil akhir penyelidikan dan rekomendasi dari KADI, Menteri Perindustrian dan Perdagangan memutuskan besarnya nilai
tertentu untuk pengenaan BMAD yang besarnya bisa sama dengan atau lebih kecil dari marjin dumping. Sehingga pada tanggal 30 Desember 2009, Menteri
Perindustrian dan Perdagangan, Mari Elka Pangestu, mengirimkan surat dengan No. 2017M.DAG122009 kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang isinya
merekomendasikan agar mengenakan Bea Masuk Anti Dumping dengan HS 1101.00.10.00 terhadap Impor Tepung Terigu Gandum asal Turki kepada
Perusahaan sebagai berikut:
163
1. Bafra Eris Un Yem Gida San Ve. Tic. A.S sebesar 21.99 2. Erister Gida Sanayi Ve Ticaret AS sebesar 19,67
3. Marmara Un Sanayi AS sebesar 18,69 4. Ulas Gida Un Textil Nakliye Ticaret sebesar 20,86
5. Ulusoy Un Sanayi Ve Ticaret sebesar 20,28 6. Eksportir Produsen lainnya sebesar 21,99
Hal tersebut di atas merupakan penerapan terhadap Pasal 26 ayat 1 PP No. 34 Tahun 1996 yang berbunyi:
“Atas dasar hasil akhir penyelidikan Komite yang membuktikan adanya Barang Dumping danatau Barang Mengandung Subsidi yang
162
Buyung, “Pemerintah Diminta Terapkan BMAD Kepada Terigu Turki”, http:agroindonesia.co.id20100128pemerintah-diminta-terapkan-bmad-kepada-terigu-turki,
diakses 27 April 2012.
163
“Petisi Bea Masuk Antidumping Terigu Turki”, http:www.aptindo.or.idpdfsPETISI20BMAD20TERIGU20TURKI20RANGKUMAN.pdf,
hlm. 2, diakses 27 April 2012.
menyebabkan Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 2, Menteri Perindustrian dan Perdagangan memutuskan besarnya nilai
tertentu untuk pengenaan Bea Masuk Antidumping atau Bea Masuk Imbalan yang besarnya sama dengan atau lebih kecil dari Marjin Dumping
danatau Subsidi Neto.”
8. Tindakan Menteri Keuangan atas Rekomendasi Menteri
Perdagangan
Dalam proses penerbitan ketetapan BMAD, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, berdasarkan hasil akhir penyelidikan KADI, akan memutuskan
besarnya BMAD dan akan direkomendasikan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan besarnya Bea Masuk Antidumping BMAD atas impor barang
tertentu tersebut dalam suatu Peraturan Menteri Keuangan PMK sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 ayat 1 PP No. 34 Tahun 1996 yang disebutkan di
atas dan Pasal 27 PP No. 34 Tahun 1996 yang menyebutkan bahwa atas dasar keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Keuangan
menetapkan besarnya Bea Masuk Antidumping. Meskipun dalam PP No. 34 Tahun 1996 khususnya Pasal 27 tidak ada
suatu aturan yang menyebutkan bahwa Menteri Keuangan diharuskan mengkaji kembali keputusan BMAD dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan, namun
pada praktiknya di Indonesia, sebelum Menteri Keuangan menerbitkan PMK, Menteri Keuangan akan mengkaji lagi keputusan BMAD yang direkomendasikan
oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk diputuskan apakah dapat dikenakan BMAD atau tidak. Oleh karena itu, dalam kasus ini pihak Menteri
Keuangan telah melakukan sejumlah pertemuan untuk pembahasan hal tersebut di Badan Kebijakan Fiskal BKF dan KADI turut dilibatkan, kemudian pada rapat
pleno tgl 7 Juli 2010 telah disepakati untuk pengenaan BMAD Terigu Turki sesuai rekomendasi Menteri Perdagangan dan akan merekomendasikannya kepada
Menteri Keuangan RI untuk dapat diterbitkan PMK Peraturan Menteri Keuangan pengenaan BMAD Terigu impor asal Turki.
Namun ternyata, proses penerbitan PMK terhadap terigu impor asal Turki yang jelas-jelas telah terbukti dumping tersebut tidak selesai sampai disitu saja.
Berdasarkan kronologis yang telah dipaparkan dalam Bab IV Sub A di atas, setelah pembahasan di BKF yang berujung pada kesepakatan pengenaan BMAD
terigu Turki, pada tanggal 11 Mei 2011 diadakan Rapat Koordinasi Kemenko Perekonomian yang dihadiri oleh Menkeu dan Mendag yang hasilnya Menko
Perekonomian akan mengkonsultasikan usulan pengenaan BMAD tersebut kepada Presiden.
164
Berselang satu bulan lebih setelah Rapat Koordinasi tersebut, tanggal 23 Juni 2011 Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengirim surat bernomor S-
351MK.0112011 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyetujui penerbitan peraturan pengenaan BMAD terigu Turki. Namun, pada tanggal 11 Juli
2011 Sekretaris Kabinet Dipo Alam membalas surat itu melalui surat Perlu diketahui, Rapat Koordinasi tersebut diadakan berdasarkan
arahan Presiden dalam sidang kabinet bahwa usulan pengenaan BMAD produk terigu Turki agar dibahas baik-baik dengan pemerintah Turki untuk mendapatkan
solusi terbaik kedua negara.
164
Suhendra, “Cerita ‘Ping-Pong’ Kebijakan BM Anti Dumping Terigu Turki”, http:finance.detik.comread2011072610494016894261036cerita-ping-pong-kebijakan-bm-
anti-dumping-terigu-turki, diakses 06 Maret 2012.
B.350SeskabVII2011 yang isinya mengenai penundaan BMAD atas impor tepung terigu dari Turki.
165
Jauh sebelumnya, pada tanggal 12 April 2010 Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, sempat menyampaikan surat B-119SekabVI2010 kepada Menko
Perekonomian, Hatta Rajasa, yang isinya bahwa pengenaan BMAD kurang sejalan dengan upaya untuk mencari peluang meningkatkan perdagangan dan
upaya komitmen untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan perdagangan dan ekonomi antara Indonesia dan Turki. Juga disampaikan bahwa jika BMAD
produk terigu dikenakan kepada Turki maka akan menimbulkan saling ada pembalasan retaliasi sehingga menurunkan perdagangan kedua negara.
166
Berdasarkan kronologis tersebut, andil Presiden dalam menyelesaikan kasus ini sangat kuat, hal ini tampak pada kebijakan Presiden yang akhirnya
memutuskan untuk melakukan penundaan pengenaan bea masuk anti dumping BMAD produk terigu dari Turki. Meskipun dalam PP No. 34 Tahun 1996 tidak
ada diatur mengenai mekanisme penerbitan ketetapan pengenaan BMAD pasca rekomendasi Mendag, namun kenyataannya dalam kasus ini, proses penerbitan
PMK pasca rekomendasi tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama dan proses yang berliku. Bahkan sampai saat ini, tepatnya sudah 2,5 tahun, PMK
Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah khawatir pengenaan BMAD ini dapat
mengganggu hubungan perdagangan antara Indonesia dan Turki. Sehingga jika hubungan perdagangan terganggu dimungkinkan akan berimbas pada kepentingan
nasional national interest.
165
Ibid.
166
Ibid.
tersebut belum juga dikeluarkan walau sudah menjadi keputusan untuk disetujui dalam rapat pleno antar kementrian di BKF Badan Kebijakan Fiskal pada bulan
Juli 2010 dan Rapat Koordinasi Menko Perekonomian pada Mei 2011. Berlarutnya-larutnya penetapan BMAD tepung terigu Turki oleh
pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah belum maksimal dalam menerapkan undang-undang maupun peraturan pemerintah mengenai antidumping khususnya
dalam Pasal 27 PP No. 34 Tahun 1996. Karena, rekomendasi antidumping yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan sebenarnya sudah
melalui mekanisme panjang yang dibenarkan WTO. Secara teknis, proses penyelidikan KADI terhadap kasus tersebut juga sudah benar dan KADI dalam
penyelidikannya dapat membuktikan bahwa terigu impor Turki terbukti dumping. Sekarang tinggal bagaimana Menteri Keuangan Menkeu dapat menerapkan
pengenaan BMAD terigu Turki sebagai wujud dari penerapan Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana yang diubah dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun
1996 khususnya Pasal 27. Pada dasarnya, masalah dumping ini adalah masalah yang sangat urgent dan harus segera diselesaikan Pemerintah karena jika hal ini
dibiarkan berlarut-larut, industri terigu dalam negeri akan semakin mengalami kerugian, yang pada akhirnya bisa mematikan industri terigu dalam negeri.
Menurut penulis, penerapan hukum antidumping tersebut belum secara maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena sebenarnya masih terdapat
kelemahan dalam pengaturan antidumping di Indonesia yaitu PP No. 34 Tahun
1996. Dua hal yang menjadi penyebab berlarut-larutnya kasus ini yang tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah mengenai jangka waktu dan
penerimaan atau penolakan rekomendasi. Dalam hal jangka waktu, seharusnya PP tersebut mengatur tentang lamanya jangka waktu yang dapat diberikan kepada
Menteri Keuangan untuk dapat menerbitkan PMK sesuai dengan rekomendasi Menteri Perindustrian dan Perdagangan terhitung sejak tanggal diterimanya
rekomendasi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar penyelesaian terhadap suatu kasus dumping tidak dilakukan berlarut-larut karena ada batasan waktunya
sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan dan kerugian yang diderita dapat segera teratasi.
Selanjutnya, dalam hal penerimaan ataupun penolakan rekomendasi, seharusnya PP tersebut mengatur secara tegas tentang apakah Menkeu dapat
menolak suatu rekomendasi dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan atau tidak. Hal ini perlu di atur secara tegas dalam ketentuan antidumping di Indonesia
hanya untuk memperjelas mengenai tindakan apa yang harus dilakukan Menkeu setelah mendapatkan rekomendasi dari Mendag sehingga tidak akan menimbulkan
salah penafsiran kewenangan oleh Menkeu, karena dalam kasus ini, tindakan Menteri Keuangan yang belum menerapkan pengenaan BMAD sampai saat ini
dapat diartikan sebagai sikap penolakan untuk menetapkan BMAD terhadap importir terigu Turki, padahal secara tersirat Pasal 27 dapat diartikan bahwa
Menkeu tidak dapat menolak atau menentukan lain daripada keputusan rekomendasi Mendag tersebut, karena menkeu hanya menetapkan keputusan
menkeu sebagai otoritas fiskal di Indonesia apalagi rekomendasi pengenaan BMAD telah dikeluarkan oleh KADI dan Mendag.
Perihal surat B-119SekabVI2010 yang disampaikan Sekretaris Kabinet kepada Menko Perekonomian, bisa saja Menkeu setelah menimbang banyak hal
mengambil pilihan untuk belum mau mengenakan BMAD dengan alasan national interest karena ada kepentingan yang jauh lebih besar yang harus dilindungi.
Namun, pada masa itu tidak ada dasar hukum yang kuat yang mengatur tentang alasan national interest tersebut dan seharusnya perlu di atur dalam hukum
antidumping di Indonesia mengenai alasan-alasan, kriteria-kriteria yang jelas dari national interest, lembaga independen yang mengkaji lebih jauh tentang adanya
national interset itu. Harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional khususnya
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 dalam mengantisipasi masalah dumping pada masa itu memang masih lemah. Akibatnya, menimbulkan kesulitan
bagi Pemerintah terhadap upaya perlindungan hukum bagi produk domestik dari praktik dumping di dalam negeri sebagai bentuk dari penerapan hukum
antidumping di Indonesia terutama dalam kasus praktik dumping terigu Turki ini. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 mempunyai
kelemahan dalam mengimplementasikan peraturan, akhirnya Pemerintah menggantikan PP No. 34 Tahun 1996 tersebut dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 Tahun 2011. Di dalam PP No. 34 tahun 2011 ini sudah di atur mengenai pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional dan lembaga yang
mengkajinya dalam Pasal 25 ayat 1. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 4 dan 5,
menyatakan bahwa dalam jangka waktu 45 hari sejak rekomendasi KADI diterima, Menteri berhak memutuskan untuk menolak atau menerima
rekomendasi KADI atas dasar pertimbangan kepentingan nasional. Selanjutnya, apabila rekomendasi diterima, maka dalam jangka waktu tersebut Menteri akan
menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan perihal pengenaan BMAD. Dengan adanya pengaturan national interest ini, diharapkan Menteri dapat
mempertimbangkan kepentingan nasional di setiap pengambilan keputusannya tanpa mengesampingkan kepentingan industri dalam negeri yang dirugikan.
Kemudian dalam pasal 27 ayat 1, Menteri Keuangan selanjutnya menetapkan besarnya tarif dan jangka waktu pengenaan BMAD sesuai dengan keputusan
Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak diterimanya surat Menteri.
167
Dalam PP yang baru tersebut sebenarnya masih ada sedikit kelemahan, yaitu perihal sanksi, bisa saja Menkeu dalam praktiknya terhadap penyelesaian
kasus yang lain mengulangi hal yang sama dengan tidak mau mengeluarkan PMK seperti kasus Terigu Turki ini, apakah tindakan Menkeu akan dibiarkan begitu
saja sementara industri dalam negeri sudah menderita kerugian. Namun, terlepas dari hal tersebut, lahirnya Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2011 ini setidaknya
diharapkan mampu memperbaiki kekurangan yang ada pada pelaksanaan peraturan sebelumnya.
Untuk lebih mengantisipasi praktik dumping dan lebih memaksimalkan kinerja Pemerintah dalam menerapkan hukum antidumping di Indonesia serta
167
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011, Pasal 25 dan 27 ayat 1.
demi melindungi industri dalam negeri, maka sudah seharusnya ketentuan antidumping di Indonesia juga diatur oleh undang-undang tersendiri secara khusus
dan substansinya harus diatur secara detail seperti dalam Antidumping Code 1994 namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi dan kepentingan bangsa Indonesia
tanpa melanggar prinsip-prinsip yang harus berlaku secara universal. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan Pemerintah yang terkesan menggantungkan kasus
dumping terigu Turki ini tidak akan terulang kembali dalam menyelesaikan kasus- kasus praktik dumping produk impor lainnya yang merugikan industri dalam
negeri barang sejenis di Indonesia.
C. Dampak Apabila Kebijakan BMAD Terigu Turki Diterapkan atau