Sesuai dengan paradigma penanggulangan bencana yang lebih mengedepankan komunitas masyarakat, maka kesiapsiagaan dikembangkan melalui
pembentukan lembaga kemasyarakatan dalam penanggulangan bencana. Salah satu komunitas masyarakat dalam membangun budaya keselamatan dan
ketangguhan masyarakat di Aceh adalah Community Managed Disaster Risk Reduction CMDRR atau Pengurangan Risiko Bencana Oleh Masyarakat
PRBOM. Demikian juga di Desa Pasir telah dibentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana KMPB. Tugas utama dari KMPB adalah untuk
mengurangi penderitaan masyarakat yang terkena bencana. Pada saat terjadi bencana KMPB akan bekerjasama dengan organisasi penanggulangan bencana lainnya
Menurut Yayasan Pusaka Indonesia YPI, parameter yang dipakai dalam membangun budaya keselamatan dan ketangguhan dalam menghadapi bencana alam
bisa dilihat dari 4 empat ciri khusus, yakni :
a. Ciri Pertama
, memastikan agar masyarakat mampu mengenali, mengidentifikasi dan menilai risiko bencana, yang secara potential bisa
terjadi di desa dimana mereka tinggal.
Dalam hal seperti ini, YPI bersama dengan masyarakat – mengajarkan prinsip-prinsip dan ilmu pengetahuan mengenai cara-cara teknis dalam
melakukan Analisa Risiko Bencana ARB, yang meliputi: 1 Penilaian Bahaya; 2 Penilaian Kerentanan; dan 3 Penilaian Kapasitas. Dalam
literatur asing bidang ini dikenal dengan: Disaster Risk Analysis: Hazard
Universitas Sumatera Utara
Assessment, Vulnerability Assessment and Capacity Assessment HVC- Assessment.
Ciri pertama ini, dibagi menjadi 2 dua tahap, yakni: Tahap Teknis dan Tahap Praktik. Pada tahap tehnis, unsur-unsur yang diajarkan masih di
seputar hal-hal tehnis, misalnya: memahami kebencanaan dari sisi produk undang-undang dan peraturan yang menjadi payung hukum pelaksanaan PRB
itu sendiri, seperti: Permendagri No. 332006 tentang Mitigasi Bencana; UU No. 242007 tentang Penanggulangan Bencana; Permendagri No. 272007
tentang Sarana dan Prasarana Penanggulangan Bencana; PP No. 212008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; PP 222008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; PP 232008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan NGO Dalam Penanggulangan Bencana.
Hal lain yang diajarkan adalah berupa penggunaan alat-alat analisis tools of analysis dalam kaitan menilai bahaya hazards, memahami karakterisktik
bahaya hazard characteristic, menilai kerentanan vulnerability assessment dan menilai kapasitas capacity assessment – serta alat-alat analisis lain
terkait dengan ke tiga aspek tersebut. Ujung akhir tahap tehnis ini adalah memahamkan masyarakat biasanya dalam kelompok-kelompok kecil
tentang seluk-beluk dan tatacara menganalisis elemen terkait dengan penilaian terhadap: HVC Hazard, Vulnerability dan Capacity.
Selanjutnya, Tahap Praktik yang merupakan tahap latihan langsung. Melalui pengetahuan yang diperoleh dari tahap tehnis, warga masyarakat atau
Universitas Sumatera Utara
kelompok masyarakat, dibawa untuk langsung meninjau atau mengamati fenomena, ciri-ciri, sifat dan keadaan bentang alam di desa dimana mereka
berdiam. Pada tahap ini, masyarakat diajarkan melakukan identifikasi langsung terhadap jenis bahaya yang ada di desa mereka, plus secara langsung
diajak untuk melakukan identifikasi terhadap bentuk-bentuk kerentanan dan kapasitas yang ada pada mereka terkait dengan jenis bahaya yang paling
potensial dihadapai dan sering terjadi di desa di mana mereka tinggal. Praktik langsung dan pelibatan masyarakat seperti ini lah yang sering disebut
dengan proses PRA Participatory Rural Appraisal atau Penaksiran Wilayah Desa secara Partisipatoris. Dikatakan sebagai proses penaksiran, karena
seluruh wilayah pedesaan ditaksir keadaannya, di gambar transek-nya dan dinilai potensinya. Bila proses PRA tersebut dikaitkan dengan persoalan
risiko bencana, maka proses tersebut bisa disebut sebagai proses PDRA participatory Disaster risk analysis atau Analisa Risiko Bencana secara
partisipatoris.
b. Ciri KE DUA, memastikan agar masyarakat mampu mengembangkan