BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari
upaya responsif menjadi mengutamakan upaya preventif. Untuk itu guna mendukung implementasi dari amanat undang-undang tersebut maka perlu pemahaman yang
komprehensif tentang hakekat dan pengetahuan penanggulangan bencana oleh semua jajaran pengambil keputusan.
Pengurangan risiko bencana menyatakan pentingnya memperkuat kapasitas- kapasitas pada tingkat komunitas untuk mengurangi resiko bencana pada tingkat
lokal, mengingat bahwa ukuran pengurangan risiko bencana yang tepat pada tingkat ini memungkinkan komunitas dan inidividual secara signifikan mengurangi
kerentanan terhadap bahaya Komunitas Siaga Tsunami, 2005. Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai suatu hal yang berada di
luar kontrol manusia, oleh karenanya, ketika suatu bencana menimpa, faktor alam selalu dijadikan alasan pertama. Padahal bencana yang menimpa tak lepas dari
kegagalan kita untuk memasukkan faktor dan potensi risiko bencana ke dalam arus utama pembangunan. Sebagian besar bencana alam tidak dapat dicegah, tetapi efek
dari bencana tersebut bisa dimitigasi Bakornas PB, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Sumber bencana dapat bersumber dari alam seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api. Namun banyaknya korban tidak lepas dari manusianya. Tata
ruang misalnya yang sebenarnya diperuntukan untuk menata dalam memanfaatkan lahanruang yang ada. Jika risiko dan dampak menjadi bagian pertimbangan, tidak
mungkin perkembangan dipusatkan pada lokasi yang rawan bencana. Sekalipun ruang-ruang rawan bencana dimanfaatkan, akan dipersiapkan berbagai upaya mitigasi
dan kesiapsiagaan, termasuk early warning systemnya Lesmana, 2008. Menurut Bakornas PB 2008. risiko bencana adalah interaksi antara tingkat
kerentanan daerah dengan ancaman bahaya hazards yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami
pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi, sehingga
kemampuan dalam menghadapi ancaman tersebut semakin meningkat. Semakin tinggi bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin
besar pula risiko bencana yang dihadapi. Berdasarkan potensi ancaman bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan risiko bencana yang akan
terjadi di wilayah Indonesia tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencanahazards yang dimiliki wilayah-
wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, diikuti dengan tingkat kerentanan yang juga sangat tinggi.
Salah satu bencana besar yang terjadi pada tanggal 26 Desember
2004 , terjadi
gempa bumi dahsyat di
Samudra Hindia , lepas pantai barat
Aceh dengan kekuatan 8,9
Universitas Sumatera Utara
skala Richter. Gempa bumi mengakibatkan tsunami gelombang pasang yang menelan sangat banyak korban jiwa. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Data Korban Bencana akibat Tsunami tahun 2004
Meninggal dunia Negara
Dipastikan Perkiraan
Luka - luka Hilang
Kehilangan tempat tinggal
Indonesia 126.915
126.915+ ~100.000
37.063 ~517.000
Sri Lanka 30.718 Tdk diketahui
15.686 23.000+
1
~573.000 India
10.012 15.636 Tdk
diketahui 5.624
1.029.692 Thailand
5.305
2
11.000 8.457
4.499 Tdk diketahui
Somalia 150+
298 Tdk diketahui Tdk
diketahui 5.000
Myanmar 90
290–600 45
200 mencapai 30.000
Malaysia 68-74 Tdk
diketahui 299 Tdk diketahui
Tdk diketahui Maladewa
82 Tdk diketahui Tdk diketahui 26
12-22.000 Seychelles
1 - 3 10 Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui
Tanzania 10
10+ Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui
Bangladesh 2 Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui
Tdk diketahui Afrika Selatan
2 Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui
Kenya 1 Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui
Tdk diketahui Madagaskar
Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui Tdk diketahui 1.000+
Total 151.976+ 162.000+
125.000+ 43.000+
3-5 juta
Sumber: Bakornas PB 2008
Di Indonesia
, gempa dan tsunami menelan lebih dari 126.000 korban jiwa. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di
Meulaboh dan
Banda Aceh di
ujung Sumatera. Di Banda Aceh, sekitar 50 dari semua bangunan rusak terkena tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang menghantam
pantai barat Aceh
. Selain bencana tsunami, beberapa jenis bencana lainnya telah melanda
wilayah Indonesia. Berdasarkan rekapitulasi Departemen Sosial Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
dari tahun 2004 sampai 2007 menyebutkan frekuensi bencana dan jumlah korban yang terjadi sebagai berikut:
Tabel 1.2. Data Frekuensi Bencana dan Korban di Indonesia tahun 2004-2007 Korban
Menderita No Tahun Frekuensi
KK Jiwa Meninggal
Kerusakan Rumah
Penduduk unit
1 2004 714
671.967 2.610.379 244.967 145.079
2 2005 281
125.537 953.097
1.462 100.732 3 2006
343 607.082 2.840.159
10.292 717.092 4 2007
14 57.150
255.534 128 42.666
Departemen Sosial Republik Indonesia 2008
Menurut Bakornas PB 2008, paling tidak ada interaksi empat faktor utama yang dapat menimbulkan bencana-bencana tersebut menimbulkan banyak korban dan
kerugian besar, yaitu: a kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya hazards, b sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas
sumberdaya alam vulnerability, c kurangnya informasiperingatan dini early warning yang menyebabkan ketidaksiapan, dan d ketidakberdayaan
ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Salah satu wilayah yang rentan bencana, khususnya tsunami adalah pesisir
pantai. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia dengan panjang mencapai lebih dari 95.181 kilometer km. Koreksi panjang garis pantai Indonesia
dari 81.000 km menjadi 95.181 km ini telah diumumkan PBB pada tahun 2008 lalu. Dengan koreksi yang dilakukan PBB tersebut, kini Indonesia justru berada di posisi
keempat setelah Rusia. Sedangkan negara pemilik garis pantai terpanjang diduduki Amerika Serikat AS dan diikuti Kanada Dewan Kelautan Indonesia, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Data BPS NAD 2008, panjang pesisir pantai wilayah Provinsi Aceh sepanjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas
wilayah perairan teritorial dan kepulauan seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif ZEE seluas 238.807 km². Dari 1.660 km panjang garis pantai, 800 km di
antaranya rusak diterjang gelombang tsunami. Berdasarkan data Departemen Kehutanan 2008, panjang garis pantai Provinsi Aceh seluas 1.660 km², tersebar di
pantai utara-timur, pantai barat-selatan dan Pulau Simeuleu. Menurut Haikal 2007, delapan kabupatenkota di pantai barat selatan adalah
Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simeulue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Subulussalam. Dibanding dengan wilayah utara dan timur Aceh,
pantai barat selatan Aceh dengan luas wilayah 228.136 kilometer persegi dikategorikan sebagai wilayah tertinggal, dengan potret buram kemiskinan dan
keterbelakangan secara fisik maupun nonfisik. Menurut Yunis 2008, nasib nelayan Aceh, semakin berat, tatkala gempa dan
gelombang tsunami yang menghantam Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Bencana yang sangat dahsyat dan tragis itu, di samping telah merenggut ratusan
ribu nyawa, menghancurkan semua sektor kehidupan dan infrastruktur, menghancurkan harapan para nelayan di daerah pesisir.
Memberdayakan masyarakat nelayan, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: a melibatkan secara aktif para nelayan dalam proses perencanaan,
b keterlibatn mereka tidak hanya sebatas mengidentifikasi masalah, tetapi mengkaji menganalisis masalah-masalah mereka sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Gunawan 2007, perlu pemberdayaan sosial keluarga dalam penanganan bencana melalui: 1 membangun persamaan persepsi tentang bencana
alam dan penanggulangannya, 2 penyadaran untuk peduli lingkungan 3 peningkatan kemampuan dalam penanggulangan bencana 4 pengorganisasian
masyarakat 5 kemitraan masyarakat dan pemerintah. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana,
dimana peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat proaktif, sebelum terjadinya suatu
bencana. Kabupaten Aceh Barat mempunyai luas wilayah 2.927,95 km
2
, dimana sekitar 58,05 wilayahnya berada pada garis pantai. Wilayah Kabupaten Aceh Barat berada
diantara dua patahan sebelah Timur–Utara dan sebelah Barat-Selatan dan berada pada pertemuan plate Eurosia dan Australia berjarak ±130 km dari garis pantai barat,
sehingga sangat rawan terhadap tsunami. Hal ini dapat dilihat dari dampak bencana tsunami pada tahun 2004 wilayah ini mengalami kerusakan cukup berat.
Korban yang meninggal akibat tsunami di Kabupaten Aceh Barat mencapai 10.874 orang, sebanyak 2.911 orang hilang, dan telah menciptakan 70.804 pengungsi.
Padahal jumlah penduduk sebelum gempa dan tsunami adalah 176,586 jiwa. Ini berarti, lebih dari sepertiga penduduk di Kabupaten Aceh Barat terkena dampak
langsung dari bencana tersebut. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Aceh Barat tahun 2005, ditemukan bahwa bangunan rumah yang hancur
Universitas Sumatera Utara
akibat gempa dan tsunami adalah 1.043, rusak berat sebanyak 2.298, dan rusak ringan sebanyak 4.692
Dari 12 kecamatan di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Johan Pahlawan merupakan wilayah yang memiliki wilayah pantai paling luas. Kecamatan Johan
Pahlawan mempunyai 21 desa dengan luas wilayah 44,41 km
2
dan jumlah penduduk 44.139 jiwa. Secara umum wilayah Kecamatan Johan Pahlawan mengalami
kerusakan paling berat dibandingkan kecamatan lainnya. Salah satu desa yang lokasinya berada pada wilayah pesisir pantai, yaitu Desa
Pasir dilaporkan paling banyak korban yang meninggal akibat bencana tsunami. Berdasarkan data kependudukan Desa Pasir tahun 2004 sebelum tsunami jumlah
penduduk Desa Pasir sebanyak 1.700 jiwa, setelah tsunami jumlah penduduk yang tersisa sebanyak 816 jiwa, dengan demikian jumlah penduduk yang meninggal dan
hilang sebanyak 884 jiwa 52. Tingginya potensi bencana di Desa Pasir, sehingga pemerintah setempat
mengambil kebijakan tentang larangan pembangunan rumah pada kawasan pantaipesisir ± 500 meter, serta melakukan relokasi penduduk dari kawasan pesisir
pantai. Data tahun 2009 menunjukkan jumlah penduduk yang telah direlokasi tahun sebanyak 482 jiwa dan masih tersisa 334 jiwa yang belum mau direlokasi. Beberapa
alasan penduduk yang tidak mau direlokasi adalah : a mata pencaharian mereka adalah nelayan, b lahan lokasi baru yang disiapkan kurang memadai,
c mengharapkan pemerintah membangun tanggul sehingga tetap bisa tinggal di
Universitas Sumatera Utara
pesisir pantai, serta d adanya anggapan bahwa kemana saja pindahtinggal, kalau sudah waktunya tetap meninggal.
Adanya hambatan dalam merelokasi penduduk dari pesisir pantai yang memiliki risiko bencana yang tinggi mengharuskan dibuat kebijakan sebagai upaya
untuk melakukan upaya penanggulangan kemungkinan bencana tersebut timbul. Beberapa kebijakan dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat pesisir,
diantaranya adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1361MenkesSKXII2001 tentang pedoman sistem peringatan dini di daerah potensi
bencana. Sistem Peringatan Dini merupakan subsistem awal dalam kegiatan
kesiapsiagaan, agar masyarakat dan jajaran kesehatan di provinsi dan kabupatenkota terutama pada daerah potensi bencana dapat lebih mempersiapkan diri menghadapi
kemungkinan terjadinya bencana. Diseminasi informasi atau penyebarluasan informasi tentang penilaian risiko selain melalui radio, media cetakelektronik dan
dapat pula dilakukan oleh petugas, pemuka masyarakat sebagai bagian dari peringatan dini dalam rangka malakukan kesiapsiagaan sebelum tanda–tanda bahaya
mulai tampak. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh risiko bencana tsunami wilayah pesisir terhadap kesiapsiagaan kepala keluarga.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Permasalahan