2.8.1. Parameter Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami
Menurut LIPI – UNESCOISDR 2006 terdapat 5 faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, terutama tsunami, yaitu: a pengetahuan dan
sikap terhadap resiko bencana, b Kebijakan dan Panduan, c Rencana untuk Keadaan Darurat Bencana, d Sistim Peringatan Bencana dan e Kemampuan untuk
Memobilisasi Sumber Daya. Ke lima faktor kritis ini kemudian disepakati menjadi parameter dalam assessment framework.
a. Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana.
Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami di Aceh dan Nias, Jogyakarta serta berbagai
bencana yang terjadi di berbagai daerah lainnya memberikan pelajaran yang sangat berarti akan pentingnya pengetahuan tentang bencana alam. Ketika air
laut surut ke tengah laut, banyak penduduk pesisir di Aceh yang berlari ke pantai untuk mengambil ikan-ikan yang terdampar di pantai. Mereka tidak
mengetahui kalau surutnya air laut tersebut merupakan suatu pertanda akan terjadinya tsunami. Akibatnya ketika gelombang tsunami yang maha dahsyat
menghantam pantai, sebagian besar tidak sempat menyelamatkan diri dan menjadi korban tsunami. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat
memengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di
daerah pesisir yang rentan terhadap bencana alam.
Universitas Sumatera Utara
b. Parameter ke dua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan
kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam. Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk
melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan meliputi: pendidikan publik, emergency planning,
sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola, SDM dan fasilitas-fasilitas penting untuk kondisi
darurat bencana. Kebijakan-kebijakan dituangkan dalam berbagai bentuk, tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam
peraturan-peraturan, seperti: SK atau Perda yang disertai dengan job description yang jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan
optimal, maka dibutuhkan panduanpanduan operasionalnya. c.
Parameter ke tiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam. Rencana ini menjadi bagian yang penting dalam kesiapsiagaan, terutama
berkaitan dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan. Upaya ini sangat krusial, terutama ada saat
terjadi bencana dan hari-hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah dan dari pihak luar datang. Dari pengalaman bencana di Aceh dan
berbagai pengalaman bencana lainnya di Indonesia, menggambarkan bahwa bantuan dari luar tidak dapat segera datang, karena rusaknya sarana
infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan.
Universitas Sumatera Utara
d. Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana, terutama
tsunami. Sistim ini meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan bencana ini, masyarakat dapat
melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan latihan dan simulasi, apa
yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai dengan lokasi dimana
masyarakat sedang berada saat terjadinya peringatan. e.
Parameter ke lima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang tersedia, baik sumber daya manusia SDM, maupun pendanaan dan sarana – prasarana
penting untuk keadaan darurat merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam. Karena itu,
mobilisasi sumber daya menjadi faktor yang krusial.
2.8.2. Variabel Kesiapsiagaan Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami