Boyd R. Compton, Ibid., hlm. 153.

31 Boyd R. Compton, Ibid., hlm. 153.

6 Pikiran Rakyat, 15 Februari 1956.

32 Boyd R. Compton, Ibid., hlm. 154.

mendengarnya. September 1955, di samping merayakan hari ulang tahunnya kedua “Namun,” tulis Compton, “sungguhkah keadaan Aceh rawan pada

dari Proklamasi NII yang telah dicetuskan pada tanggal 21 September saat ini? Daud Beureu`eh menandaskan, desas-desus tentang

1954 itu.

ketidakpuasan yang pecah di Aceh itu, dihembuskan oleh kaum feodal Menurut laporan pihak DI sendiri, 3 maksud semula selain yang kehilangan kekuasaan selama revolusi. Selain itu, adalah ngawur

konferensi atau membicarakan sekitar maju mundurnya pemerintahan pikiran bahwa Daud Beureu`eh mau menerima posisi rendahan di

dan perjuangan militer juga akan mengetahkan persoalan bawah Kartosoewirjo Darul Islam. Sulit pula dibayangkan para tokoh

perundingan dengan RI yang disalurkan oleh Amin dan Pemerintah di kuat PUSA menyingkir ke pegunungan untuk melancarkan kampanye

waktu itu. Usul-usul Pemerintah Republik dibahas para pemimpin gerilya gelap melawan pemerintah. Posisi runding mereka dalam ber-

Darul Islam di Batee Kureng. Sebenarnya inilah yang menjadi penyebab hadapan langsung dengan pemerintah pusat sekarang ini cukup kuat

langsung kehendak Daud Beureuh untuk berunding dengan untuk menegaskan keinginan-keinginan secara damai. Namun, tentu

penasihat-penasihatnya yang akrab. Hasil kongkret Kongres Batee saja, tidak ada kepastian bahwa pimpinan PUSA berpikir demikian.” 33 Kureng ini adalah pembentukan Majlis Syura, Reorganisasi

Sikap Teungku Daud Beureu`eh sudah pada klimaksnya, ia sudah me-

Pemerintahan Sipil dan Reorganisasi Militer (TII).

rasa jijik dengan semua ulah dan tingkah polah Pemerintah Pusat yang Konferensi Batee Kureng merupakan salah satu tanda yang paling tidak akomodatif terhadap Aceh sejak awal, hanya ingin mengeruk

tidak mungkin diragukan lagi akan adanya perselisihan pendapat di keuntungan dari kelimpahan sumber daya yang ada di Aceh: (1)

kalangan para pejuang mujahidin Darul Islam di Aceh. Ini manusia-manusia pejuang yang menghadang dan mengusir penjajah,

membuktikan ketidakpuasan akan cara semua keputusan dibuat Daud dan (2) alam belantara yang berlimpah ruah dengan rizki mineral.

Beureu`eh dengan sekelompok kecil penasihat, dan tunduknya urusan Di awal suratnya, Compton menulis: “saya menyatakan bahwa

sipil kepada militer. Masyarakat pun mengetahui adanya perpecahan kedamaian dan ketenangan di Aceh agaknya lebih bersifat tak nyaman

di antara mereka, meskipun semuanya kelihatan sangat solid. 4 ketimbang memperlihatkan kegelisahan terbuka. Saya memperoleh

Walaupun pasti terdapat persaingan dan pertentangan di kesan umum dari kunjungan singkat ini, bahwa Daud Beureu`eh dan

kalangan pemimpin-pemimpin Negara Islam di Aceh, berbeda dengan tokoh-tokoh PUSA memegang kontrol kuat atas pengikut mereka; ke-

da-erah-daerah lain, tampaknya di sini ini tidak sampai mengakibatkan tenteraman di Aceh mungkin sekadar menunjukkan bahwa umat Islam

se-ring terjadi bentrokan antara komandan pasukan. 5 Dengan Aceh menaati perintah para pemimpin mereka dan menunggu se-

penggeseran beberapa pemimpin angkatan pertama dari pusat macam perkembangan lebih lanjut. Seandainya benar demikian, alter-

kekuasaan pada tahun-tahun pertama, konferensi Batee Kureng natif-alternatif di Aceh agaknya adalah perdamaian yang terus berlan-

mengadakan pe-rubahan tertentu. Kendatipun laporan-laporan jut, atau jihad suci menegakkan Negara Islam besar-besaran dan terko-

ordinasi di masa datang yang cukup jauh.” 34 Prediksi Compton tepat,

3 Amelz, op.cit., hlm. 31.

orang-orang Aceh di bawah “asuhan” Teungku Daud Beureu`eh me-

4 Pikiran Rakyat, 14 Februari 1956. 5 Namun, terdapat beberapa laporan tentang tindakan disiplin yang diambil terhadap

komandan-komandan Darul Islam setempat. Di Aceh Utara umpamanya, salah seorang

33 Compton, Ibid., hlm. 155. pembantu Hasan Saleh, Usman Balo, lari ke Pidie ketika mengetahui, ia akan dihukum

karena kekejamannya. Bagian Dokumentasi Deppen, Sekitar Peristiwa Berdarah Daud Compton, Ibid., hlm 155.

Beureu’eh , vol. III, (Jakarta: Kronik Kementerian Penerangan, 1953), hlm.18.

pembicaraan ini, seperti dirumuskan dalam salah satu butir program “mendistribusikan” baik sumber daya alam maupun sumber daya eko- kabinet baru adalah ketetapan bahwa harus diusahakan

nomi dalam cara-cara yang tegas, turut menyebabkan munculnya be- menyelesaikan konflik dengan “pemerintah Pancasila” tidak hanya

berapa gejolak sosial-politik yang amat merepotkan kepemimpinan

nasional. Beberapa contoh yang terkenal dari gejolak-gejolak itu ada- gerakan intelektual, senantiasa bersikap peduli dengan upaya damai

dengan kekuatan senjata melainkan juga dengan cara politik. 1 Setiap

lah "pemberontakan" Darul Islam (DI), Pemerintahan Revolusioner Re- (politik) melalui berbagai saluran yang mungkin dan tidak

publik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta). bertentangan dengan idealisme.

Salah satu di antara butir-butir agenda terpenting dari kabinet-ka- Karena itu Hasan Aly mengirim surat pada bulan November

binet Indonesia pasca kemerdekaan adalah penyelenggaraan pemilihan kepada Amin yang isinya mendesak agar Pemerintah Republik secara

umum untuk Parlemen dan Majelis Konstituante. Kabinet Sjahrir berjanji terbuka menyatakan pendiriannya dan bahwa semua perundingan

akan menyelenggarakan pemilihan umum pertama pada awal Januari selanjutnya akan dilakukan delegasi resmi dari kedua pihak, dan tidak

1946. Sayangnya, situasi revolusi fisik (1945-1949) tidak memungkinkan lagi informal. Hanyalah bila ada alasan-alasan yang mendesak yang

dilaksanakannya pemilihan umum itu. Ketika kedaulatan negara di- mencegah Pemerintah Republik berbuat demikian. Hasan Aly bersedia

serahkan Belanda ke Republik Indonesia, sebagaimana dicatat Feith, melanjutkan pembicaraan informal. Tetapi dalam hal itu Pemerintah

“Setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk menyusun Majelis Republik hendaknya memberitahukannya secepat mungkin bahwa

Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya. Meski- terdapat alasan-alasan yang mendesak demikian. 2 pun demikian, baru pada kabinet Burhanuddin Harahap sajalah pemi-

lihan umum pertama berhasil diselenggarakan (1955). Akibat dari kontak pribadi atau korespondensi politik antara 15 Teungku Muhammad Daud Beureu`eh dengan Mr. S.M. Amin,

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya Gubernur Sumatra Utara yang berlaku sejak bulan Desember 1955,

penyelenggaraan pemilihan umum itu. Yang paling penting adalah sampai kepada akhir riwayat dengan kebuntuannya, kemudian

ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang berasal ditambah lagi dengan datangnya Hasballah Daud/Abdullah Arif, baik

dari ke-lompok nasionalis sekuler, bahwa pesta-pora demokrasi itu sebagai utusan Hatta ataupun Pemerintah Pusat, yang oleh rakyat

dapat me-ngancam hubungan politik antara agama (Islam) dan negara umum dianggap sebagai delegasi Pemerintah, meyebabkan suasana

yang su-dah di-“dekonfessionalisasi” seperti yang berlangsung saat itu. politik di Aceh menjadi hangat. Bukan saja menjadi perhatian dan

Mereka percaya bahwa peristiwa-peristiwa politik seperti pemilihan tanda tanya rakyat legal malahan rakyat yang dikatakan dari Negara

umum da-pat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun Islam sendiri, yaitu pejuang Islam yang puluhan ribu banyaknya itu pun

dukungan rakyat guna merealisasikan gagasan negara Islam. memperbincangkan persoalan itu sehingga akhirnya oleh hangatnya

Mengingat potensi mereka untuk memenangkan suara mayoritas, pembicaraan umum, lalu Pemimpin Tinggi kalangan Mujahidin Islam

sukses kelompok Islam dalam pemilihan umum akan melempangkan itu mengadakan Konferensi Dinas di Batee Kureng pada tanggal 21

jalan bagi mereka untuk men-jadikan Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante yang artinya akan menjadikan Indonesia sebagai

1 Amelz, Riwajat Singkat Atjeh Bangoen dari Tidoernja jang Njenjak Beberapa Poeloeh

Negara Islam.

Tahoen Jang Laloe, (Pidie, naskah ketikan, t.t.), hlm. 31. 2 S.M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),

15 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca, New York: hlm. 301.

Cornell University Press, 1969).

siapa saja yang dianggap sebagai out-sider, sebagai musuh, —sejauh yang paling mungkin untuk Aceh menganggapnya sebagai kafir harbi

(kaum kafir yang halal diperangi). Rakyat Aceh, melalui pemimpinnya

Teungku Daud Beureu`eh, telah menarik garis dan memutuskan bahwa darah orang-orang pemerintah Pusat yang anti-Aceh, anti syariat Islam,

Bab VIII

adalah halal. Maka segalanya menjadi agama, perang pun akan dilancarkan sebagai ekspresi sikap beragama (Islam) yang konsisten.

KONFERENSI BATEE KURENG DAN

Compton mengakhiri suratnya yang melaporkan kondisi Aceh

KONSEPSI PRINSIPIL-BIDJAKSANA

secara detail dengan kalimat datar namun mendalam: “Seperti masjid Daud Beureu`eh, sikap para pemimpin PUSA tak tuntas; mereka tengah

menanti dengan agak bimbang kebijakan pemerintah yang lebih me-

muaskan. Seandainya otonomi administratif yang didambakan dan perbaikan-perbaikan ekonomi tak kunjung tiba, kesabaran Daud

erkembangan gerakan Darul Islam sudah mencapai tahap yang Beureu`eh dan kawan-kawannya mungkin habis. Sesaat sebelum saya

P menggembirakan ketika banyak rakyat yang mendukung dan hingga tahun 1955 banyak kemajuan dan kemenangan perang yang

meninggalkan rumah Daud Beureu`eh, ia mengungkapkan lagi

impiannya tentang pemerintahan Islam yang makmur di Aceh. Saya diraih, meskipun beberapa serangan TNI belum sempat dibalas. Untuk me-rasa, ia tak akan puas untuk selamanya duduk dan bicara dan ber-

memperingati 2 tahun proklamasi NBA-NII, ketika para mujahidin Darul mimpi.” 37 Singa Aceh ini akan bangkit dari tidurnya dan siap untuk

Islam yang pada waktu itu bergerilya di Baital Julud, memutuskan menerkam siapa saja yang telah mengganggu mimpi dalam tidurnya

untuk ‘merayakan’ peringatan hari proklamasi ini dengan syukur yang tenang, tentang sebuah Negara Islam yang maju, modern, manu-

berbentuk konferensi dinas. Para utusan DI Aceh Utara mengusul siawi, mengayomi, melindungi jiwa-jiwa terasing, dan memberdayakan

tempat, yaitu di Batee Kureeng, dekat Peudada, Aceh Utara, yang aman kaum yang lemah dan terkalahkan, terpinggirkan oleh proses pem-

untuk berkongres. Gerakan DI ini dimulai dengan Kongres Ulama Se- bangunan yang digerakkan oleh pemerintah sekuler yang kacau dan

Indonesia, di tengah-tengah perjalanannya juga terdapat kongres. amburadul.

Gerakan ‘pemberontakan’ ini, dari cara para pelakunya menjalaninya dengan berbagai kongres, adalah sebuah gerakan intelektual.