M. Noer el-Ibrahimy, Peranan Teung Muhammad Daud Beureu`eh dalam Pergolakan
1 M. Noer el-Ibrahimy, Peranan Teung Muhammad Daud Beureu`eh dalam Pergolakan
31 M. Isa Sulaiman, op. cit., hlm 237.
Aceh , (Jakarta: Gunung Agung, 1978), hlm. 198.
kegelisahan dikalangan imeum mukim. Merekapun memobilisasi diri untuk memprotes keputusan itu. Sepanjang tahun 1952 para imeum mukim dari Seulimeum, Kutaraja, Pidie, dan Lhokseumawe melakukan rapat-rapat untuk me-nyusun petisi yang akan disampaikan kepada Pemerintah Pusat.Petisi tersebut berisikan himbauan agar nasib mereka ditinjau kembali. Menanggapi petisi tersebut, baik Gubernur Hakim maupun Menteri Dalam Negeri tetap pada pendiriannya, sehingga para imeum mukim tersebut merupakan satu unsur kelompok yang tidak puas kepada Pemerintah Pusat hingga saat menjelang meletusnya pemberontakan.
Jabatan pamong praja lain yang dianggap kurang efisien oleh Gubernur Hakim adalah Residen. Pada tahun 1952 jabatan residen Sumatera Timur dan Tapanuli dihapus, sehingga hanya tinggal Residen Aceh. Begitu Residen R. Maryono Danubroto dipindahkan ke Palembang akhir juni 1953 Gubernur Hakim bermaksud juga menghapuskan jabatan Residen Aceh dan digantikan semacam koordinator saja. Oleh karena itu, Sulaiman Daud, bupati t/b yang bertindak selaku pemangku jabatan sepeninggalan R. Maryono Danubroto tidak diperlakukannya sebagai residen penuh. Situasi demikian rupanya juga telah membangkitkan keresahan politik di Aceh saat itu.
Badan Peradilan yang telah ada pada tingkat negeri sejak masa pendudukan Jepang (kuhoin), yang kemudian menjadi pengadilan rendah, juga tidak luput dari penataan. Pada tanggal 2 Desember 1952 Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Menteri Kehakiman No. 3/451/18 tentang Susunan Organisasi Pengadilan. Implementasi dari ketetapan tersebut mengakibatkan hakim rendah yang telah ada di tingkat negeri (kecamatan) harus dihapuskan. Tindakan tersebut men- dapat reaksi dari para hakim rendah yang secara kebetulan mantan pemimpin milisi. Ketua pengadilan rendah daerah Pidie misalnya, di bawah pimpinan H. Cut Sulaiman telah mengumpulkan rekan-rekan- nya tanggal 20 Juni 1953 untuk membicarakan nasib mereka. Perte- muan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan untuk mengirimkan Badan Peradilan yang telah ada pada tingkat negeri sejak masa pendudukan Jepang (kuhoin), yang kemudian menjadi pengadilan rendah, juga tidak luput dari penataan. Pada tanggal 2 Desember 1952 Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Menteri Kehakiman No. 3/451/18 tentang Susunan Organisasi Pengadilan. Implementasi dari ketetapan tersebut mengakibatkan hakim rendah yang telah ada di tingkat negeri (kecamatan) harus dihapuskan. Tindakan tersebut men- dapat reaksi dari para hakim rendah yang secara kebetulan mantan pemimpin milisi. Ketua pengadilan rendah daerah Pidie misalnya, di bawah pimpinan H. Cut Sulaiman telah mengumpulkan rekan-rekan- nya tanggal 20 Juni 1953 untuk membicarakan nasib mereka. Perte- muan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan untuk mengirimkan
Instansi lain yang juga terkena reorganisasi dan rasionalisasi 66 komunis”. *** adalah kantor Jawatan Agama. Kantor Jawatan Agama Aceh pada masa
revolusi telah memiliki birokrasi yang cukup besar melalui
pembentukan sekolah-sekolah agama (SRI, SMI, dan SMIA) dan Mahkamah Syariah, sedangkan Kementerian Agama waktu itu hanya memiliki Mahkamah Syariah di Pulau Jawa dan sekolah agama berupa Pendidikan Guru Agama (PGA) atau Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) dalam jumlah yang sangat terbatas. Birokrasi Jawatan Agama Aceh yang cukup gemuk telah menimbulkan persoalan tersendiri saat ber-gabung ke dalam Kementerian Agama terutama menyangkut status sekolah dan Mahkamah Syariah serta pembiayaannya. Walaupun Pemerintah telah berupaya menyelesaikan masalah tersebut, namun suatu hal yang jelas bahwa kedudukan sekolah agama dan Mahkamah Syariah belum juga selesai menjelang meletusnya pemberontakan. Dengan demikian, sekolah agama dan Mahkamah Syariah telah muncul sebagai basis kelompok yang tidak
puas terhadap penghapusan otonomi. 33