Gelanggang, op.cit., hlm. 113-115.
35 Gelanggang, op.cit., hlm. 113-115.
66 C. van Dijk, op.cit., hlm. 259.
36 Amin, op.cit., hlm.8.
Ancaman ini diulangi pada saat kunjungan sebuah delegasi Peme- terkena pemberontakan Darul Islam, pejabat-pejabat paling rendahlah
pengabdian kesetiaannya. 31 Seperti juga di daerah-daerah lain yang
rintah Pusat dari Jakarta yang diketuai Menteri Dalam Negeri, Assaat, yang merasakan dampak pemberontakan paling langsung.
pada akhir September. Pada kesempatan ini para pamong praja Aceh Melaksanakan pekerjaan di daerah-daerah yang pengaruh Darul Islam-
mengeluarkan pernyataan pada penutupan suatu pertemuan antara nya kuat berbahaya sekali. Jadi tidaklah meng-herankan, Pemerintah
delegasi dan mereka sendiri yang membicarakan status Aceh bahwa Republik—dalam usahanya untuk membangun pemerintahan lokalnya
bila Pemerintah Pusat terus menolak mengakui tuntutan rakyat Aceh lagi—menghadapi kesulit-an mendapatkan orang yang bersedia
untuk otonomi dalam arti yang seluas-luasnya, mereka akan mewakilinya di tingkat desa. Walaupun berhasil mengisi lowongan-
meletakkan jabatan, demikian pula sejumlah besar bawahan mereka. lowongan dan mengganti para pejabat yang kesetiaannya diragukan
Delegasi Assaat gagal bicara tentang soal itu dengan pemimpin- dalam eselon-eselon pemerintahan yang lebih tinggi, Pemerintah tidak
pemimpin daerah. Demikian juga Wakil Presiden Indonesia Moham- bisa mendapatkan cukup calon yang setia untuk jabat-an-jabatan yang
mad Hatta tidak berhasil dalam hal ini.pada kunjungannya ke Banda lebih rendah ini. Pada April 1954 Pemerintah Republik berhasil
Aceh, November 1950.
membangun pemerintahan lagi dari tingkat camat ke atas, yaitu di
daerah-daerah perkotaan yang relatif aman. Namun suatu komisi Akhirnya tercapai penyelesaian pada Januari 1951 oleh Perdana
parlemen yang mengunjungi Aceh pada awal 1954 terpaksa Menteri ketika itu, Natsir. Pada 23 Januari dia mengucapkan pidato
melaporkan bahwa para bupati, we-dana, dan camat yang baru radio di Banda Aceh dengan mengumumkan tercapainya persetujuan
diangkat di Aceh Besar dan Pidie masih tidak bisa melakukan mengenai persoalan ini. Nalsir menyatakan di sini, pembentukan pro-
perjalanan tugas di daerah-daerahnya dan hanyalahSaman di kota- vinsi Aceh tidak lagi dianggap "saudara-saudara kita di Aceh ini sebagai
kota dan tempat-tempat tugas pasukan Angkatan Darat.f Beberapa suatu palang pintu yang menutup segala kemungkinan lain". 67 Tengku
camat harus diiringi pengawalan bersenjata ke posnya pada pagi hari dan kembali ke kota dengan cara yang sama pada malam hari. 32
Daud Beureu`eh mengeluarkan pernyataan tentang persetujuan yang
dicapai pada waktu yang sama. Pernyataan ini mengemukakan Bersamaan dengan itu dua puluh persen jabatan imam mukim dan
sejumlah sebab mengapa Aceh menghentikan perlawanannya
keuchik masih lowong. 33
Tambahan lagi, di sejumlah desa, imam
terhadap penggabungan ke dalam provinsi Sumatera Utara, termasuk mukim pemerintah Republik Indonesia dan keuchik juga diam-diam
kenyataan bahwa Pemerintah Pusat tidak menolak tuntutan Aceh bekerja untuk kaum pemberontak.
untuk otonomi, dan persetujuan bahwa masalah ini akan diselesaikan Secara ekonomis daerah ini sangat menderita karena
dalam kerangka seluruh bangsa, dan Aceh tidak akan merintangi terganggunya lalu lintas. Pada banyak bagian di Aceh pada waktu itu
pelaksanaan pemerintahan Sumatera Utara. Bersamaan dengan itu seperti lazimnya daerah yang dikuasai pemberon-tak—terlihat
dinyatakan, perjuangan untuk otonomi akan dilanjutkan dan bahwa jembatan-jembatan yang hancur atau jalan-jalan yang tak dapat
"niat perletakan jabatan secara non kooperatif sebagai suatu syarat bila tuntutan mendapat otonomi buat daerah Aceh kalau tidak dipenuhi,
31 Gelanggang, op.cit.., hlm.106. 32 Ibid., hlm. 107.
33 C. van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (ter.), (Jakarta: Grafiti Pers, 1993), 67 Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Utara, (Jakarta: Kementerian Penerangan, hlm. 54.
1953), hlm. 422-430.
masih tetap dipegang penuh". 68 pemberontak” ini adalah merosotnya ekonomi daerah. Mulanya Pada 25 Januari 1951 Abdul Hakim dilantik sebagai gubernur
departemen yang paling banyak pengikut PUSA-nyalah yang paling Sumatera Utara, dengan Medan sebagai ibukota Pemerintah Provinsi;
banyak terkena karena pegawai-pegawainya membelot. Dalam ke kota inilah pegawai bekas provinsi Aceh kemudian harus pindah.
pandangan S.M. Kartosoewirjo,
Un-tuk daerah Aceh diangkat seorang residen-koordinator untuk “Karena ra’jat Atjeh jang terkenal Islam-minded” di bawah pengaruh PUSA, menga-wasi terlaksananya pemerintahan setempat.
maka “tidak mengherankan djika residen koordinator, bupati2 (Pantjasila) dan lain2), pemimpin, dan komandan di Atjeh, serentak membelok haluan,
Pembentukan jabatan yang belakangan pada mulanya menimbul- membela RIK, meninggalkan kedudukannja, dan memihak kepada N.I.I”. 26 kan sedikit kesalahpahaman. Daud Beureu`eh menyatakan tidak diberi-
Diperkirakan dalam suatu penilaian sementara akan keadaan tahu mengenai ini. Bahkan mungkin kedudukan ini dimaksudkan Pe-
sekitar tujuh puluh persen pegawai Pemerintah Daerah di Jawatan merintah baginya, dengan atau tanpa diketahuinya. Bagaimanapun,
Agama, Urusan Sosial, dan Penerangan telah meninggalkan semua surat yang dialamatkan kepada residen koordinator dikemba-
69 pekerjaannya dan mengikuti kaum pemberontak. likan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daud Beureu`eh. Jawatan Pendidikan menghadapi masalah yang berbeda walaupun sama
Penetapan resmi R.M.D. Danubroto dalam jabatan residen koordinator gawatnya, yaitu sebagian besar para guru melarikan diri ke Medan atau
mengakhiri secara definitif keadaan ini. Lalu Daud Beureu`eh dipanggil mengungsi. Pada bulan-bulan pertama pemberontakan mereka
ke Jakarta oleh Pemerintah Pusat untuk diangkat sebagai gubernur menolak kembali ke Aceh dengan mengatakan, mereka lebih suka
yang diperbantukan pada Kementerian Dalam Negeri, walaupun tak dipecat. 28 Terdapat soal-soal yang sama dalam pemerintahan
pernah ia pergi ke Jakarta untuk menerima jabatan ini. Bersamaan setempat. Seperti telah kita lihat, sejumlah bupati memihak kaum
dengan itu sejumlah perubahan lain dilakukan dalam Pemerintahan pemberontak. Keadaan pada tingkatan yang lebih rendah lebih buruk
Sipil di Aceh—umpamanya sejumlah bupati diganti— tanpa lagi. Banyak dari pejabat tingkat yang terendah, para keuchik dan
menimbulkan penentangan untuk sementara waktu. imeum mukim , 29 menyeberang ke pihak pem-berontak. 30 Yang paling
parah terkena adalah Pidie, yang bupatinya, semua wedana, dan
semua camat kecuali seorang, dan 99 dari 188 imam mukim berubah Darul Islam, sebagaimana akan dibahas dalam bab-bab buku ini,
I. Persiapan-Persiapan Intelektual untuk Pemberontakan
adalah gerakan intelektual. Intelektualitas adalah bekas terbanyak
26 S.M. Kartosoewirjo, “Statemen Pemerintah NII Tanggal 5 Oktober 1953”, dalam Al
yang mereka bawa, ketimbang senjata. Menurut M. Nur El Ibrahimy
Chaidar, Pemikiran Politik…, bagian lampiran.
dengan berlandaskan pada pernyataan Tgk. M. Daud Beureu`eh yang
27 S.M. Amin, Peristiwa…, hlm. 7.
dia peroleh dari Ayah Gani sebelum peristiwa meletus, menyatakan
28 Ibid. hlm. 8.
bahwa Peristiwa DI/TII Aceh yang meletus tanggal 21 September 1953
29 dilakukan dengan persiapan yang tidak matang. Ketidakmatangan ini Imeum Mukim (Bahasa Aceh), berati imam mukim, sebuah jabatan religius
terpenting di sebuah desa. Jabatan ini sangat kompatibel dengan struktur politik Darul
dilihat dari aspek persenjataan, pembiayaan dan pendukung yang
Islam yang memang ingin menerapkan konsep-konsep politik, sosial dan pemerintahan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
68 Ibid., hlm. 430-431. 30 Keuchik adalah kepala gampong (kampung). Sejumlah kampung merupakan 69 C. van Dijk, op.cit., hlm. 78.
sebuah mukin.
mereka cukup kuat menghalau Tentara Republik —paling tidak dari menjadi sumber bantuan biaya dan senjata selanjutnya, serta gerakan sebagian besar wilayah Aceh dan memukul setiap serangan balasan.
yang dilakukan secara tidak serempak. 70 Untuk melihat kebenaran Akan tetapi ternyata ini merupakan taksiran yang terlalu tinggi tentang
pendapat terebut selanjutnya akan dipaparkan kegiatan-kegiatan yang pasukan Darul Islam. Mereka tidak mampu menguasai terlalu lama
dilakukan kelompok DI/TII menjelang terjadinya peristiwa. kota-kota kecil dan kota-kota besar. Ternyata mudah saja pasukan
Sebenarnya, kegiatan-kegiatan untuk menggalang solidaritas dan Pemerintah Republik dalam serangan balasan menghalau pasukan
kekutan antar anggota mantan pejuang (milisi) telah dilakukan sejak Darul Islam ke luar kota-kota ini. Beberapa kota dikuasai kembali dalam
tahun 1953. Hal ini didasari pada kejadian-kejadian terakhir yang me- beberapa hari. Kota-kota dan daerah-daerah lain bertahan lebih lama
nimpa kelompok mereka. Tidak lama setelah kena razia, tanggal 1 di bawah naungan pasukan DI. Tetapi dengan jatuhnya Takengon,
Maret 1952 Tgk. M. Daud Beureu`eh yang tidak melaksanakan tugas Tangse dan Geumpang pada akhir November 1953, para pejuang DI
kepegawaian setelah masa cuti 6 bulan diberhentikan oleh Menteri telah terusir dari daerah-daerah perkotaan. Mereka mengundurkan diri
Dalam Negeri melalui siaran RRI. Walaupun 14 bulan kemudian status ke daerah pedalaman. Di sini, terutama di kabupaten-kabupaten
tersebut dipulihkan, tindakan tersebut sangat melukai perasaan sepanjang pantai utara, mereka melakukan perlawanan gigih dengan
pendukung otonomi. Hal itu ditambah lagi tindakan Gubernur Hakim cara gerilya dari satu hutan ke hutan lainnya, dari gunung ke gunung.
yang memerintahkan bawahannya Bupati Pidie T.A. Hasan untuk Para pejabat pemerintah sendiri menyatakan sangat gembira akan
mengambil mobil dinas buick merah dari Tgk. Daud Beureu`eh agar hasil yang cepat dari aksi-aksi militer pertama. Demikianlah S.M. Amin,
diwaba ke Medan. Sebaliknya, pemerintah memberi kemudahan yang segera sesudah itu diangkat menjadi gubernur Sumatera Utara,
kepada lawan politik mereka uleebalang, misalnya T. Chik M. Johan mengemukakan, dari segi pandangan militer “pemberontakan telah
Alamsyah dan T. Amat Aree 71 memperoleh tunjangan pensiun dari berakhir” dan apa yang masih perlu harus dilancarkan Pemerintah
Kementerian Dalam Negeri. Demikian juga ketujuh orang pemuka
Gerakan Said Ali yang diusir ke luar Aceh, sejak 1952 dicabut hukuman juga— mengingat keadaan di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan
adalah gerakan pengamanan. 24 Namun, tentulah jelas waktu itu
bersyarat dan boleh kembali ke Aceh. 72
Kalimantan Selatan — pengamanan bukanlah masalah yang rnudah. Kejadian-kejadian tersebut bagi pendukung otonomi dianggap Pasti ini disadari panglima Divisi Sumatera Utara Bukit Barisan Kolonel
sebagai tindakan yang diskriminatif dan tidak dihargai jasa perjuangan Maludin Simbolon, yang sejak semula mengemukakan pendapat,
yang telah mereka lakukan untuk Republik. 73 Kegiatan penggalangan keadaan sangat gawat dan terus demikian, sehingga para
solidaritas, kekuatan dan menyusun strategi perjuangan dilakukan me- pemberontak tidak mungkin ditaklukkan dengan cara militer saja. 25 lalui organisasi Pusa dan Pemuda Pusa yang merupakan wadah tradi-
“Pemberontakan” DI telah membuat pemerintahan daerah ini jadi sional perjuangan mereka. Sebulan setelah seluruh pemimpin mereka sangat sulit. Bagi Pemerintah Republik dan sangat mengganggu fungsi
diepas dari tahanan, Pusa dan Pemuda Pusa Pidie menyelenggarakan administrasi pemerintahan; kop surat dan stempel Republik menjadi tak berlaku. Yang lebih memprihatinkan dari setiap aksi “kaum
70 M. Nur El Ibrahimy, op.cit., hlm. 27.