Kritik terhadap Berbagai Anjuran Pendidikan yang Didasarkan pada Teori Kohlberg

F. Kritik terhadap Berbagai Anjuran Pendidikan yang Didasarkan pada Teori Kohlberg

Tidak ada pertanyaan bahwa teori Kohlberg berpengaruh sekali. Rest (1974:241) menyebutkan.” Program-program pendidikan seperti itu merupakan rangkaian tokoh yang patut dipuji (John Dewey, Piaget, Kohlberg, dan seterusnya) yang dibuat menarik, sebab dengan kecerdasan yang tinggi di belakang mereka dan memberikan harapan permulaan sesuatu yang lebih dari dangkal, sedikit demi sedikit, mode yang hidup pendek. Meskipun, bentuk ide-ide dasar yang terdapat dalam teori yang diberikan dalam proposal-proposal-proposal untuk mengajar menum- buhkan sejumlah persoalan-persoalan dan pertanyaan-pertanyaan sejauh ini berjalan tanpa diawasi oleh pembela-pembela penalaran moral. Marilah kita pertimbangan sedikit dari mereka.

Penalaran Moral

Pertama adalah apa yang disebut oleh Rest (1974: 241) “menyesuaikan kurikulum secara optimal”. Seperti disebutkan lebih awal, tujuan utama dari pendidikan, sesuai dengan Kohlberg dan pakar perkembangan lainnya, adalah untuk mendorong perkembangan melalui tahapan-tahapan penalaran moral. Jika dapat dilakukan, para pendidik akan memiliki beberapa informasi amat berguna. Rest (1974: 243-244) menulis:

Pemeranan watak dari tahap perkembangan yang lebih tinggi memberikan analisis secara psikologi terhadap beberapa kompetensi, misalnya tahapan operasional-operasi formal Piaget memberikan kita analisis terhadap apakah yang dimaksud dengan logis; “Tahap 6” Kohlberg memberikan penjelasan terhadap apakah kematangan pertimbangan moral berisi … Memperhatikan bahwa banyak lagi yang khusus di sini dalam pemeranan watak dari struktur kognitif dari pada label kehormatan yang sering digunakan untuk mendefinisikan tujuan-tujuan pendidikan (seperti “kreatif ”, “aktualisasi diri”, “warganegara yang baik” dan “penyesuaian yang baik” dan sebagainya).

Selanjutnya, jika para pendidik menjelaskan langkah demi langkah perkembangan berbagai kompetensi, kemudian ia berarti kemajuan yang berurutan (dikenal perubahan-perubahan adalah kemajuan), menempatkan orang sepanjang jalan dari perkembangan, dan oleh karena itu untuk mengantisipasi pengalaman-pengalaman para siswa kemungkinan besar akan merespon terhadap dan dari mana yang akan menguntungkannya. Pepatah bahwa guru akan bertemu siswa pada tingkatan siswa yang dalam arti yang tepat dan operasional, jika jalan dari perkembangan diartikan dan tingkatan siswa dapat diukur. Mengetahui jalan dari perkembangan adalah satu memungkinkan untuk optimis memadukan antara anak-anak dan kurikulum dan juga melayani sebagai pemandu bagi urutan kurikulum. Sesuai dengan itu, pada waktu menguntungkan, problem-problem yang dapat diatur masih dapat menantang dapat dikenalkan untuk menciptakan pengalaman belajar yang menarik di dalam dirinya sendiri, dan pada waktu yang sama, untuk memenuhi serangkaian komponen prasyarat bagi problem-problem pada tingkatan berikutnya.

Strategi utama yang dianjurkan oleh para pendidik secara khusus berkepentingan dalam perkembangan moral selanjutnya dalam kelas-kelas studi sosial adalah dilema-dilema moral. Dilema-dilema itu membangkitkan kontroversi, dan bentuk-bentuk dari pertanyaan-pertanyaan termasuk dalam

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

strategi yang mendorong para siswa untuk menganalisa alternatif-alternatif, meskipun pertimbangan-pertimbangan yang tegas dan berkelanjutan dari konsekuensi-konsekuensi yang minimal kelihatan. Bagaimanapun, para pendidik tidak banyak memberikan perhatian terhadap maksud-maksud dari paduan kurikulum optimal atau urutan kurikulum yang dikemukakan oleh Rest. Mereka tidak mempertimbangkan bahwa perbedaan bentuk-bentuk dari dilema-dilema mungkin lebih menguntungkan (dalam mendorong minat dan diskusi) pada tingkat-tingkat kelas yang berbeda. Atau dilema-dilema yang berhadapan dengan bentuk-bentuk tahapan yang khusus dari perhatian- perhatian yang mungkin dibutuhkan untuk menarik penalaran para siswa pada tahapan-tahapan yang berbeda. Mereka tidak mendiskusikan dugaan dari rangkaian dilema-dilema; mereka tidak mempertimbangkan bahwa satu dilema mungkin digunakan untuk membangun pertumbuhan kognitif yang lain atau untuk berikutnya. (Ide untuk menggunakan dilema-dilema alternatif, dengan situasi orisinal dirubah dalam beberapa tingkatan, seperti tindakan selanjutnya untuk diskusi sesesungguhnya adalah suatu langkah secara langsung).

Pada satu saat berada dalam perasaan gelisah, para pendukung diskusi-diskusi moral telah melepaskannya dengan antusias mereka sendiri. Sebagai contoh, Beyer (1976) membuat sejumlah pernyataan bahwa keterangan-keterangan yang tidak mendukung (“Banyak diskusi yang produktif melibatkan diskusi kelompok kecil yang diikuti diskusi yang melibatkan seluruh kelas”); pertimbangan-pertimbangan nilai (“Jumlah yang signifikan dari para siswa akan mendukung satu tindakan rangkaian pembelajaran, sementara siswa lain akan mendukung siswa lainnya”); atau tidak realities dari apa yang mereka tawarkan (“Setelah para siswa mendengar atau melihat dilema, guru akan mengajukan pertanyaan agar membantu para siswa untuk mengklarifikasi keadaan yang terlibat dalam dilema, definisi istilah-istilah, mengidentifikasi karakteristik-karakteristik dari karakter inti, dan menyatakan dengan tegas bentuk dari dilema dan terbuka pilihan tindakan dari tokoh inti, Kurang lebih dari lima menit yang dibutuhkan untuk mencurahkan bagian ini dalam strategi.

Tentu, pernyataan tegas Beyer (1976) bahwa program dari diskusi- diskusi moral akan meningkatkan keterampilan-keterampilan belajar, harga diri, dan sikap-sikap terhadap sekolah nampak agak kuat untuk bahkan merubah kepada menerima secara keseluruhan. Tidak ada bukti

Penalaran Moral

yang diberikan untuk mendukung pernyataan yang dikemukakan itu. Mengapa sebaiknya partisipasi dalam diskusi moral (atau dalam berbagai diskusi, untuk hal tertentu) secara nyata membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan mendengar atau untuk meningkatkan harga diri mereka? Diskusi-diskusi dapat menjadikan tingkah laku kurang baik atau baik; tuntutan belaka dari nilai tidak dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan pribadi atau merubah sikap- sikapnya. Itu kemungkinan besar akan nampak bahwa cara dalam berdikusi, perilaku akan menjadi faktor yang penting.

Perkataan pun dalam urutan mengenai bentuk dilema mereka sendiri. Beberapa darinya saya telah lihat dan disebutkan oleh Kohlberg, Fenton, Beyer, Galbraith, dan yang lain, baik yang mempersempit lingkup (sebagai contoh, “Akankah Jill memberikan nama Sharon kepada Petugas Keamanan”), maupun hanya pengaruh kepada satu aau beberapa individu (yakni, “Akankah gadis yang beragama Kristen dari Nazi Jerman melanggar hukum dan membahayakan keluarganya dengan menyem- bunyikan teman gadis Yahudinya dari Gestapo?”). Ini jelas kelihatan disengaja. Beyer (1976) mengemukakan bahwa dilema moral “akan menjadi sederhana mungkin”. Dilema akan melibatkan hanya beberapa karakter dalam situasi yang relatif tidak rumit di mana para siswa dapat cepat memahami. Dilema-dilema yang rumit membingungkan para siswa yang kemudian dipaksa untuk menggunakan waktu mengklarifikasi fakta- fakta dan kondisi-kondisi dari pada mendiskusikan alasan-alasan untuk tindakan-tindakan yang ditawarkan.

Jenis dari pernyataan itu dapat disanggah berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, dilema-dilema dalam kehidupan nyata adalah jarang sederhana. Kedua, para siswa butuh variasi yang luas untuk membuka isu-isu dan dilema-dilema seperti mereka bergerak melalui kelas-kelas, terutama terhadap beberapa yang dapat mempengaruhi kehidupan banyak orang. Jadi mereka dapat menjadi sadar terhadap jenis-jenis prob- lem yang ada dalam dunia nyata. (Sebagai contoh, “Akankah Presiden Amerika Serikat mengirim angkatan laut terhadap negara penghasil minyak, jika mereka tidak akan memenuhi permintaan kita terhadap minyak?”). Ketiga, bagaimana para siswa akan belajar terhadap jenis fakta dan menganalisa fakta-fakta yang dilibatkan dalam isu-isu yang rumit, yang mereka hadapi dalam dunia nyata, jika mereka mendapatkan sedikit latihan melakukannya di sekolah? Isu-isu itu termasuk aborsi, perpajakan,

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

kontrol lokal terhadap sekolah-sekolah, tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat (euthanasia), keramaian, penggunaan obat terlarang, pencemaran lingkungan, hak pekerja publik untuk mogok, dan seterusnya. Keempat, para siswa butuh praktik (dan sebagian dari itu) dalam “mengklarifikasi fakta-fakta dan keadaan-keadaan” jika mereka ingin menemukan sifat-dasar mengenai dunia mereka.

Gagasan terhadap rangkaian dilema-dilema dalam berbagai cara nampak dalam urutan di sini. Satu kemungkinan akan membuat dilema- dilema makin bertambah lebih rumit, abstrak dan sulit seperti kemajuan para siswa melalui kelas-kelas. Pola seperti itu mungkin memerlukan penyampaian kepada para siswa dalam kelas-kelas tingkat dasar dengan agak sederhana, konflik-konflik inter dan antar pribadi berpusar sekitar konsep-konsep seperti keadilan, ganjaran, hukuman, tanggung jawab, otoritas, dan suara hati. Seperti para siswa berpindah di SMP dan SMA, mereka dapat mencapai level kelas tertentu yang disampaikan dengan dilema-dilema yang melibatkan kelompok-kelompok yang lebih besar, termasuk pemerintahan-pemerintahan dan perwakilan-perwakilan interanasional. Dilema-dilema seperti, tidak hanya interpribadi, tetapi juga interpemerintahan dan global (melibatkan lebih dari dua pemerintahan), dapat juga difokuskan pada konsep-konsep tambahan seperti kehormatan, tugas, kontrak, hak milik, kebebasan sipil, dan kewajiban. Ini mungkin menjadi satu cara untuk memberikan lebih luas untuk tipe-tipe dilema-dilema yang disampaikan kepada para siswa, sementara meningkatkan perubahan kepada yang lebih fundamental, jangka panjang dan kumulatif yang penting bagi kaum penganut perkembangan.

Hal itu juga menjadi perhatian bahwa strategi untuk memandu diskusi moral yang dianjurkan oleh para pendukung Kohlberg adalah hanya satu dari banyak kemungkinan. Langkah-langkah yang penulis sampaikan merupakan upaya beragam ide-ide kongkrit untuk memulai diskusi moral dalam kelas, tetapi itu bukan “satu dan hanya” cara menuju pada persoalan. Model-model yang lain juga ada, dan para guru dapat didorong untuk meningkatkan strategi-strategi dan model-model mereka sendiri, kapan dan dimana yang tepat.

Selanjutnya, kita bahkan tidak yakin bahwa diskusi terhadap dilema mereka sendiri adalah menyadarkan tentang tahap perkembangan. Itu pasti yang dapat dipikirkan bahwa guru yang peka dan peduli – seseorang

Penalaran Moral

yang secara berkelanjutan mengikutsertakan para siswa dalam pembicaraan dan mengajukan mereka pertanyaan dan mengajak mereka mengetahui melalui komentar-komentar dan tindakan-tindakan yang diminatinya dalam apa yang mereka miliki untuk mengatakan – mungkin menjadi variabel bebas dalam hal itu. Diskusi dilema-dilema moral mungkin tidak relevan. Barangkali diskusi non-moral, isu-isu kontroversial yang akan dilakukan benar-benar baik. Dari pandangan itu, kita masih tidak mengetahui.

Lebih dari sesuatu yang lain, diskusi dilema moral kelihatan sebagai jenis yang amat terbatas dari strategi yang direkomendasikan. Dalam bagian pertama, diskusi tidak dapat bekerja dengan amat baik atau terlalu lama bagi siswa di bawah usia 10 tahun atau yang demikian. Kamu benar- benar tidak dapat berbuat banyak dalam diskusi intelektual dengan kelas tiga dan empat, Cara-cara yang lain dari menyampaikan informasi tentang hubungan-hubungan dan dilema-dilema moral seperti menggunakan model-model dan contoh-contoh nyata harus digunakan. Kedua, menggunakan studi-studi kasus, yaitu dilema moral apa, fokuskan terhadap contoh-contoh khusus dari pada prinsip-prinsip umum. Sering disampaikan problem hanya untuk beberapa anak dalam kelas yang memikirkan kasus tertentu yang menarik atau dapat diterapkan oleh mereka. Bagaimanapun, menekankan pada banyak prinsip-prinsip umum (sebagai contoh, satu yang sering harus dibuat perkecualian yaitu peraturan-peraturan) membolehkan rekomendasi kepada sejumlah besar contoh-contoh baik oleh guru maupun para siswa. Hal ini meningkatkan minat dan keterlibatan dari seluruh kelas. Akhirnya, mungkin sekali dari beberapa perbedaan tipe-tipe alternatif yang disarankan dapat diusulkan kepada kelas penalaran para siswa yang berada pada Tahapan 2 atau 3 (di mana banyak para pendidik mengatakan sebagian besar para siswa SMA adalah mungkin untuk itu) tidak nampak terlalu tinggi. Strategi yang lebih tepat akan mendorong para guru (dan para pengembang kurikulum dan penerbit) tidak hanya menyampaikan dilema-dilema dengan cara-cara menarik dan menggairahkan dan dalam beragam for- mat (dicetak, lisan dan visual), tetapi juga penyajian dengan rentang ragam solusi-solusi alternatif (pada beragam level tahapan) untuk memecahkan berbagai dilema. Dalam mendiskusikan dilema, guru kemudian dapat memasukkan pertimbangan yang sistematis terhadap berbagai alternatif. Itu akan tidak dalam berbagai cara menghindari para

Bagaimana Mengajar tentang Nilai-nilai: Sebuah Pendekatan Analitik

siswa dari alternatif-alternatif yang dianjurkan mereka sendiri dalam menambahkan terhadap hal yang disampaikan. Ditemukan melalui ide Beck (dalam Phillips, 1972:45) bahwa barangkali satu alasan dari sekumpulan orang yang tidak berkembang secara moral adalah disebabkan alternatif-alternatif yang lebih baik, tidak pernah muncul di hadapan mereka. Mereka sering secara terus menerus melakukan reaksi dengan cara-cara konvensional, sebab mereka merasa tidak ada cara lain untuk mereaksi, Anjuran di atas akan, dalam kata-kata Beck, “memperluas imajinasi mereka” (Beck, dalam Phillips, 1972: 44).

1. Pikirkan sekali lagi kritik terhadap pendekatan penalaran moral, saya telah mengusulkannya. Apakah kamu menemukan mereka membenarkannya? Meyakinkan? Mengapa ya dan mengapa tidak?

2. Seperti klarifikasi nilai, pendekatan penalaran moral telah mempunyai pengaruh yang kuat sekali terbanyak banyak pengembang kurikulum dan para guru, khususnya yang bekerja dalam studi sosial. Bagaimana kamu akan menghargai popularitasnya? Apakah popularitas itu sudah dibenarkan? Mengapa ya dan mengapa tidak?

3. Berdasarkan keseimbangan kamu akan mengatakan kekuatan-kekuatan dari pendekatan ini dan membelakangi kelemahan-kelemahan, atau sebaliknya?

Mengapa? 4. Apa kelemahan-kelemahan lain dan/atau kekuatan-kekuatan dari pendekatan

ini yang kamu rasakan? 5. Pilihlah (jika salah satu) apa yang kamu pikir tawaran-tawaran janji yang paling

baik untuk menggunakan dengan para siswa SD – klarifikasi nilai-nilai atau diskusi dilema moral? Mengapa? Mana yang kamu pikir tawaran-tawaran janji yang paling baik untuk digunakan dengan para siswa SMP? Mengapa?

6. Apa saran-saran yang akan kamu buat untuk memadukan dua pendekatan itu?