Sanksi Terorisme Tinjauan hukum Islam terhadap aksi terorisme di Indonesia : Analisis fatwa MUI. No3. tahun 2004 tentang terorisme

sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi. 18 Terorisme gaya baru dapat menyerang apa saja, menyerang gereja atau masjid, menghantam pasar atau supermarket, melumat kantor pemerintah atau lembaga pendidikan, nightclub , hotel-hotel, bisa menyerang perkampungan desa maupun kota, bisa melakukan serangan di jalan raya, kereta api, bus, pesawat terbang, kapal, dan lain sebagainya.

3. Sanksi Terorisme

Sebelum membahas sanksi terorisme, di sini penulis akan menguraikan terlebih dahulu tujuan hukum menurut beberapa orang pakar ilmu hukum, sehingga akan diketahui tujuan dan kegunaan dari sanksi atau 18 www.detik.com 20102002 hukuman terhadap pelaku pelaku terorisme ini. Secara umum hukum pidana memiliki tujuan social difence dan social welfare, di mana manusia harus memiliki rasa aman dalam kehidupannya. Di antara tujuan hukum tersebut telah dikemukakan oleh beberapa sarjana ilmu hukum di antaranya sebagai berikut : 19 a. Menurut Prof. Subekti S.H, hukum bertujuan untuk melayani tujuan negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada 19 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1989, h.41 rakyatnya, dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. b. Prof. Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht” mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian c. Geny dalam bukunya “Science et technique en droit prive positif” mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. d. Dalam buku “Inleiding tot de Rechtswetenschap” Prof. Van Kan mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan- kepentingan itu tidak dapat diganggu. Dalam Rancangan Undang-Undang RI Tahun 2000 tentang KUHP dalam bab III Pasal 50 disebutkan bahwa pemidanaan dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan penegakan norma hukum dari pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh terpidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah para terpidana, pemidanaan yang di maksud untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dalam rangka mencegah dan memerangi terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal criminal policy disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme. Untuk itu, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena : 20 a. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai tindak pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan hukum pidana. b. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu. c. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya. d. Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian. Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat 20 Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia , Jakarta: Universitas Indonesia, 1990, h.17 pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHPKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP [lex specialis derogat lex generalis]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis , harus memenuhi kriteria 21 : a. Bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang- Undang. b. Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut. Dalam hukum pidana Indonesia dijelaskan jenis-jenis hukuman pidana di dalam KUHP pasal 10, yaitu : 22 a. Pidana Pokok 1 Pidana Mati; 2 Pidana Penjara; 21 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:Liberty, 1996. 22 Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta:Rineka cipta, 2004, h.6 3 Pidana Kurungan; 4 Pidana Denda; 5 Pidana Tutupan. b. Pidana Tambahan 1 Pencabutan hak-hak tertentu; 2 Perampasan barang-barang tertentu; 3 Pengumuman putusan hakim. Sanksi pidana bagi pelaku terorisme dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 diatur dalam Bab II dengan hukuman terberat adalah hukuman mati dan dua puluh tahun penjara, hukuman yang paling singkat adalah tiga tahun penjara. 23 Adapun macam –macam hukumansanksi tindak pidana terorisme dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan 23 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme perbandingannya dengan KUHP sebagai berikut : a. Pidana Mati Hukuman ini merupakan hukuman terberat yang dijatuhkan kepada para pelaku terorisme. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa dijatuhkannya hukuman mati ini, apabila para pelaku terorisme dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Dalam Pasal 104 KUHP pelaku makar kekerasan pun dijatuhi hukuman mati sebagai hukuman terberat, apabila dengan maksud menghilangkan nyawa, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden pemerintah. b. Pidana Penjara 1 Penjara seumur hidup Hukuman ini menempati urutan kedua setelah hukuman mati. Kriteria untuk penjara seumur hidup ini sama dengan kriteria pada hukuman mati Ps. 6 UU No. 15 Tahun 2003, hanya saja intensitas kejahatannya yang berbeda. Para pelaku terorisme dijatuhi hukuman ini apabila tingkat intensitas kejahatannya tidak separah yang dilakukan oleh pelaku yang dijatuhi hukuman mati. Para pelaku makar pun Ps. 104 KUHP dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup apabila perbuatan makar yang dilakukan tidak sampai membuat pelakunya dijatuhi hukuman mati. 2 Penjara 4 Tahun s.d 20 Tahun Hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku terorisme sebagaimana kriteria yang disebutkan dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003, hanya saja intensitasnya masih di bawah para pelaku yang dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Para pelaku makar pun Ps. 104 KUHP dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama dua puluh tahun, apabila perbuatan makar yang dilakukan tidak sampai membuat pelakunya dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. 3 Penjara 3 Tahun s.d 15 Tahun Hukuman ini dijatuhkan kepada setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan yang akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme Ps. 11 UU No. 15 Tahun 2003. Senada dengan pasal ini, di dalam Pasal 110 KUHP pun mengatur tentang permufakatan jahat dan pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108 yaitu mempersiapkan dan memperlancar kejahatan. Hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun juga dapat dijatuhkan kepada orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyidik, penyelidik, penuntut umum, penasehat hukum, dan atau hakim yang menangani perkara tindak pidana terorisme, sehingga proses peradilan menjadi terganggu Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2003. Kemudian, hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun juga dapat dijatuhkan kepada orang yang memberikan kesaksian palsu, meyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme Pasal 21 UU No. 15 Tahun 2003. Sedangkan di dalam KUHP, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun Pasal 242 ayat 1 KUHP, bila keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tesangka, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun Pasal 242 ayat 2 KUHP. 4 Penjara 2 Tahun s.d 7 Tahun Hukuman ini dijatuhkan kepada setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme Pasal 22 UU No. 15 Tahun 2003. Selanjutnya, selain diancam dengan hukuman pokok seperti yang telah dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, pelaku terorisme atau hal-hal yang terkait dengan tindakan terorisme dapat dikenai hukum tambahan, yaitu : Pasal 39 ayat 1 KUHP : “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas”.

4. Bentuk Aksi Terorisme