sama dengan
luasnya seluruh
permukaan bumi.
18
Terorisme gaya
baru dapat
menyerang apa saja, menyerang gereja atau masjid, menghantam pasar atau
supermarket,
melumat kantor
pemerintah atau lembaga pendidikan, nightclub
, hotel-hotel, bisa menyerang perkampungan desa maupun kota, bisa
melakukan serangan di jalan raya, kereta api, bus, pesawat terbang, kapal,
dan lain sebagainya.
3. Sanksi Terorisme
Sebelum membahas
sanksi terorisme,
di sini
penulis akan
menguraikan terlebih dahulu tujuan hukum menurut beberapa orang pakar
ilmu hukum, sehingga akan diketahui tujuan dan kegunaan dari sanksi atau
18
www.detik.com 20102002
hukuman terhadap
pelaku pelaku
terorisme ini. Secara
umum hukum
pidana memiliki tujuan social difence dan
social welfare, di mana manusia harus
memiliki rasa
aman dalam
kehidupannya. Di antara tujuan hukum tersebut
telah dikemukakan
oleh beberapa sarjana ilmu hukum di
antaranya sebagai berikut :
19
a. Menurut Prof. Subekti S.H, hukum
bertujuan untuk melayani tujuan
negara yaitu
mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada
19
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1989, h.41
rakyatnya, dengan menyelenggarakan
keadilan dan ketertiban.
b. Prof. Van
Apeldoorn dalam
bukunya “Inleiding tot de studie van
het Nederlandse recht” mengatakan
bahwa tujuan hukum ialah mengatur
pergaulan hidup manusia secara
damai. Hukum
menghendaki
perdamaian
c. Geny dalam bukunya “Science et
technique en droit prive positif”
mengajarkan bahwa hukum bertujuan
semata-mata untuk
mencapai
keadilan.
d. Dalam buku “Inleiding tot de
Rechtswetenschap” Prof. Van Kan
mengatakan bahwa hukum bertujuan
menjaga kepentingan
tiap-tiap
manusia supaya
kepentingan-
kepentingan itu tidak dapat diganggu.
Dalam Rancangan Undang-Undang
RI Tahun 2000 tentang KUHP dalam
bab III Pasal 50 disebutkan bahwa
pemidanaan dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut :
a. Mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan penegakan norma
hukum dari pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana
mengadakan pembinaan
sehingga
menjadi orang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik
yang
ditimbulkan oleh
terpidana,
memulihkan keseimbangan
dan
mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
d. Membebaskan rasa bersalah para
terpidana, pemidanaan
yang di
maksud untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
Dalam rangka mencegah dan memerangi terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk
terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal criminal policy
disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme.
Untuk itu, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang
ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas tindak
pidana terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan
menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang
dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena :
20
a. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai tindak pidana, karena perubahan pandangan dan norma di
masyarakat, menjadi termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan hukum pidana.
b. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan
untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
c. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
d. Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan
mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat
20
Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara di Indonesia
, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990, h.17
pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHPKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHAP [lex specialis derogat lex generalis]. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis
, harus memenuhi kriteria
21
:
a. Bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-
Undang. b. Bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Dalam hukum pidana Indonesia dijelaskan jenis-jenis hukuman pidana
di dalam KUHP pasal 10, yaitu :
22
a. Pidana Pokok 1 Pidana Mati;
2 Pidana Penjara;
21
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:Liberty, 1996.
22
Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta:Rineka cipta, 2004, h.6
3 Pidana Kurungan; 4 Pidana Denda;
5 Pidana Tutupan.
b. Pidana Tambahan 1 Pencabutan hak-hak tertentu;
2 Perampasan
barang-barang tertentu;
3 Pengumuman putusan hakim. Sanksi
pidana bagi
pelaku terorisme
dalam Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 diatur dalam Bab II dengan hukuman terberat adalah
hukuman mati dan dua puluh tahun penjara, hukuman yang paling singkat
adalah tiga tahun penjara.
23
Adapun macam
–macam hukumansanksi
tindak pidana
terorisme dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan
23
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme
perbandingannya dengan
KUHP sebagai berikut :
a. Pidana Mati
Hukuman ini merupakan hukuman terberat yang dijatuhkan kepada para
pelaku terorisme. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003
yang
menyatakan bahwa
dijatuhkannya hukuman mati ini, apabila para pelaku terorisme dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan, yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau
menimbulkan korban
yang bersifat
massal, dengan
cara merampas
kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain, atau
mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Dalam
Pasal 104 KUHP pelaku makar kekerasan pun dijatuhi hukuman
mati
sebagai hukuman
terberat, apabila
dengan maksud
menghilangkan nyawa,
atau merampas
kemerdekaan, atau
meniadakan kemampuan
presiden atau wakil presiden pemerintah.
b. Pidana Penjara 1 Penjara seumur hidup
Hukuman ini menempati urutan kedua
setelah hukuman
mati. Kriteria untuk penjara seumur hidup
ini sama dengan kriteria pada hukuman mati Ps. 6 UU No. 15
Tahun 2003, hanya saja intensitas kejahatannya yang berbeda. Para
pelaku terorisme dijatuhi hukuman
ini apabila
tingkat intensitas
kejahatannya tidak separah yang dilakukan oleh pelaku yang dijatuhi
hukuman mati. Para pelaku makar pun Ps. 104 KUHP dapat dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup apabila perbuatan makar
yang dilakukan tidak sampai membuat
pelakunya dijatuhi hukuman mati.
2 Penjara 4 Tahun s.d 20 Tahun
Hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku
terorisme sebagaimana
kriteria yang disebutkan dalam pasal 6 UU No. 15 Tahun 2003, hanya
saja intensitasnya masih di bawah para pelaku yang dijatuhi hukuman
mati atau penjara seumur hidup. Para pelaku makar pun Ps. 104
KUHP dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama dua puluh
tahun, apabila perbuatan makar yang
dilakukan tidak
sampai membuat
pelakunya dijatuhi
hukuman mati atau penjara seumur hidup.
3 Penjara 3 Tahun s.d 15 Tahun
Hukuman ini dijatuhkan kepada setiap orang yang dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan yang akan
digunakan atau patut diketahuinya akan
digunakan sebagian
atau seluruhnya untuk melakukan tindak
pidana terorisme Ps. 11 UU No. 15 Tahun 2003. Senada dengan pasal
ini, di dalam Pasal 110 KUHP pun mengatur
tentang permufakatan
jahat dan
pidana yang
sama diterapkan terhadap orang-orang
yang dengan maksud berdasarkan
pasal 104, 106, 107, 108 yaitu mempersiapkan dan memperlancar
kejahatan. Hukuman penjara minimal 3
tahun dan maksimal 15 tahun juga dapat dijatuhkan kepada orang yang
dengan
sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan atau
dengan mengintimidasi
penyidik, penyelidik,
penuntut umum, penasehat hukum, dan atau
hakim yang menangani perkara tindak pidana terorisme, sehingga
proses peradilan menjadi terganggu Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2003.
Kemudian, hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15
tahun juga dapat dijatuhkan kepada orang yang memberikan kesaksian
palsu, meyampaikan alat bukti palsu atau
barang bukti
palsu dan
mempengaruhi saksi
secara melawan
hukum di
sidang pengadilan,
atau melakukan
penyerangan terhadap
saksi termasuk petugas pengadilan dalam
perkara tindak pidana terorisme Pasal 21 UU No. 15 Tahun 2003.
Sedangkan di dalam KUHP, setiap orang
yang dengan
sengaja memberikan keterangan palsu di
atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh
kuasanya diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
Pasal 242 ayat 1 KUHP, bila keterangan palsu di atas sumpah
diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tesangka,
maka
diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun
Pasal 242 ayat 2 KUHP.
4 Penjara 2 Tahun s.d 7 Tahun
Hukuman ini dijatuhkan kepada setiap orang yang dengan sengaja
mencegah,
merintangi atau
menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana terorisme Pasal 22 UU No. 15 Tahun 2003.
Selanjutnya, selain diancam dengan hukuman pokok seperti yang
telah dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut di atas, pelaku terorisme
atau hal-hal yang terkait dengan tindakan terorisme dapat dikenai
hukum tambahan, yaitu : Pasal 39 ayat 1 KUHP : “Barang-barang
kepunyaan terpidana yang diperoleh dari
kejahatan atau
sengaja
dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dapat dirampas”.
4. Bentuk Aksi Terorisme