Sejarah Silindung Deskripsi Lokasi

BAB IV DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA

4.1. Deskripsi Lokasi

4.1.1. Sejarah Silindung

Silindung pada awalnya adalah daerah yang dihuni oleh Guru Mangaloksa Hasibuan yang datang merantau dan akhirnya menikah dengan yang boru Pasaribu. Mereka memiliki keturunan yang kemudian memakai nama anak-anaknya tersebut menjadi marga-marga baru yang sampai saat ini menjadi marga asli dari daerah Silindung. Marga-marga tersebut antara lain adalah Hutagalung, Hutabarat, Hutatoruan, Lumbantobing, dan Panggabean. Mereka dikenal dengan sebutan “ Si Opat Pusoran”. Saat ini masyarakat yang bermukim dalam kawasan Silindung sudah lebih bervariasi karena banyaknya perantau yang datang untuk bekerja ke daerah tersebut. Masyarakat Silindung sampai saat ini masih mempertahankan adat istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Batak, terlihat dengan banyaknya kumpulan-kumpulan marga Batak. Masyarakat beranggapan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban. Pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara kematian di daerah Silindung dan daerah Batak lainnya memang memiliki perbedaan, seperti dalam buku Jambar Hata yang ditulis oleh T.M Sihombing yang meyebutkan tata cara pelaksanaan upacara tersebut yang tersebut berlaku di daerah Silindung, belum tentu di daerah lain menjalankan hal yang sama. Untuk sejarah nama “Tarutung”, berasal dari Bahasa Batak Toba yang artinya durian. Sampai pada awal abad ke-19 kota Tarutung dulunya sudah ramai dikunjungi oleh orang yang datang dari daerah Silindung, Humbang, Samosir, Toba , Dairi, termasuk dari arah selatan seperti Pahae, Sipirok, maupun sekitar Sibolga dan Barus untuk melakukan transaksi dagang. Pada awalnya transaksi perdagangan tradisional ini dilakukan disebuah lokasi perkampungan yang berpusat di bawah pohon beringin rindang yang disebut dengan Onan Sitahuru di Desa Sait Ni Huta. Konon beringin tersebut masih tumbuh dan berusia sekitar 200 tahun. Perdagangan pada masa itu masih dominan menggunakan sistem barter. Komoditi barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, ternak, ikan asin, garam, beras, tembakau, umbi-umbian, termasuk juga komoditi ekspor saat itu, seperti kemenyan yang berasal dari daerah Humbang, Pahae, dan Silindung. Semasa bergejolaknya Perang Paderi 1816 - 1833 maka kegiatan perdagangan di pasar tradisional ini terhenti karena pasukan Bonjol yang dikomandoi oleh orang-orang Batak dari selatan meluluhlantakkan kehidupan masyarakat Batak Utara yang dimulai dari kawasan Silindung dan menyebar sampai ke kawasan Batak lainnya di Toba. Perang yang membawa bencana peradaban Bangsa Batak ini meruntuhkan keangkuhan orang yang berada di kawasan pusat Tanah Batak yang merasa dirinya sebagai titisan para dewa. Perampasan harta benda, pemerkosaan, pengajaran ajaran-ajaran Islam menggantikan kepercayaan atas satu Tuhan yang disebut dengan Mula Jadi Nabolon, dan pembumihangusan perkampungan yang khas dengan rumah-rumah Bataknya, termasuk produk-produk ilmu pengetahuan seperti karya tulis. Oleh karena itu, di kawasan Silindung sangat jarang terlihat bangunan rumah khas Batak. Pasukan Paderi meninggalkan Silindung karena banyak dari mereka yang mati tanpa diketahui sebnya. Mereka beranggapan itu merupakan kutukan, sehingga mereka pergi menyelamatkan diri dari kematian misterius tersebut. Kepergian pasukan Paderi membuat daerah Silindung seperti daerah tak berpenghuni . Lambat laun penduduk turun dari gunung dan kembali membuka perkampungannya. Seiring berjalannya waktu, penduduk semakin ramai dan hal itu membuat bangkitnya semangat hidup masyarakat untuk melakukan kegiatannya. Namun, pada saat yang sama tanah Batak mulai dikuasai oleh Tentara Belanda. Mereka mendirikan markasnya dipusat Kota Tarutung yang sekarang disebut Tangsi. Setelah itu datanglah Nommensen dengan ajaran Kristen pada tahun 1864. Nommensen merasa aman melakukan tugasnya karena di Daerah Silindung hampir tidak ada yang melakukan perlawanan. Namun ada satu kejadian dimana Nommensen diikat dipohon beringin Onan Sitahuru dan nyaris dibunuh oleh orang-orang Batak yang merasa peradabannya sudah tercemar akibat keatangan bangsa berkulit putih. Perdagangan yang yang dulunya berkembang di Onan Sitahuru mulai menampakkan kesibukannya, namun tempatnya sudah berganti menjadi di bawah kawasan Tangsi yang dikuasai Belanda dan disekitar itu berdiri perkampungan yang bernama Hutatoruan. Para pedangang melakukan aktivitasnya di dekat tangsi yang tentu saja menguntungkan para militer Belanda dan keluarganya yang tinggal di kawasan tangsi tersebut. Kawasan itu resmi menjadi pusat perdagangan, dan Belanda menanam sebuah pohon durian Tarutung pada tahun 1877. Setelah sekitar 60 tahun lamanya maka dibukalah kembali kegiatan pasar tradisional dibawah pohon durian tersebut yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang disebut dengan Kota Tarutung.

4.1.2. Keadaan Geografis