Informan P. Lumban Gaol 57
Pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat sekarang ini sudah menggunakan sistem kelompok, dan
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang ada dalam kelompok
tersebut.
4.3.6. Adat Saur Matua dalam Agama Islam dan Kharismatik
Suku Batak identik dengan agama Kristen, pada kenyataannya masyarakat juga banyak yang beragama lain, seperti Islam. Berikut ini
penuturan dari informan Hulman 54 : ...” Ai hami attar godang do Silom, jadi na pina ihut-ihut
saleleng on dang pola adong perbedaan tu hita Kristen. Beda na rupani molo Silom pintor hatop do boan on na i
tu tano, ala nga i ruhut ni nasida. Dung tu tano pinaette ma boa-bola sian keluarga andigan do pinatupa adat na
gok. Ba sarupa do ningon ma tahe.” kami banyak yang beragama Islam, jadi yang selama ini saya lihat tidak
begitu ada perbedaan yang mencolok dengan yang Kristen. Perbedaannya hanya pada Islam harus sekara di
kubur, karena itu merupakan aturan agama. Setelah dikubur hanya tinggal menunggu kapan keluarga
melaksanakan Adat Na Gok. Bisa dikatakan sama.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh informan Saut 67 .....”Gapapa kalo kalo Muslim, ba namboru ku dohot
amang boru ku Silom do, monding halaki ba maradat do dibahen. Dilaksanakan do adat Saur Matua. Alai dipajolo
ma attong acara penguburanna menurut tata cara ni Silom. Menyusul ma adatna dung 40 ari manang
ditentuhon keluarga ma andingan ma hira-hira ari na denggan laho mambahen Adat Na Gok ni natua-tua i.
Anggo paedalanan ni ulaon i ndang adong imbar na dohot hita Kristen.” Tidak apa-apa kalau Muslim,
namboru dan amang boru saya beragama Muslim, ketika mereka meninggal upacara adat Saur Matuanya tetap
berjalan. Tetapi didahulukan acara pemakaman menurut
tata cara Muslim. Upacara adatnya menyusul 40 hari atau mengikuti hari yang ditentukan oleh keluarga.
Pelaksanaan upacara Saur Matua pada masyarakat yang beragama Islam tidak ada bedanya dengan adat Saur Matua yang biasa. Hanya saja
prosesi keagamaan akan didahulukan. Setelah 40 hari atau 100 hari kemudian upacara Saur Matua dilakukan tanpa mengubah sedikitpun
tatanan acaranya. Selanjutnya Manganar 71 mengemukakan bahwa:
...” tong do mardalan adat SaurMatua di Gareja nami songon na somal. Molo masalah parjambaron i na baru
pe i taon 1973. Adong peristiwa di Samosir, na markeluarga dope nian, ala dang sesuai ra tu na di roha
nai pardalan ni jambar on marsitallikan ma, mate ma. Sahat ma barita on tu Ephorus, di putushon ma di Sinode
molo mardalan do parjambaran ale unang be bahen goar- goarna. Himpal ma bahen sibukna i, asa unang sega be
parsaoran. Manang ise na mangalanggar, kaluar.” Didalam Gereja kami adat Saur Matua berjalan seperti
biasa. Kalau masalah parjambaron itu, kejadian baru-baru ini pada tahun 1973 lah itu terjadi. Ada sebuah keluarga di
Samosir, ada perselisihan yang timbul karena menurut mereka ada ketidak adilan dalam pembagian jambar
tersebut. Mereka saling tikam, bahkan sampai mati. Berita ini kemudian disampaikan ke Ephorus. Dalam sinode
dibuatlah peratuaran dalam pembagian jambar yang dibagikan harus berupa daging, agar tidak menimbulkan
perselisihan lagi. Bagi siapa yang melanggar akan dikeluarkan dari keanggotaan Gereja.
Pada masyarakat Kristen yang beraliran Kharismatik upacara Saur Matua dilakukan seperti biasa, hanya saja dalam pembagian jambar tidak
ada pembagian seperti pada umumnya, yakni bagian kepala untuk Hula- hula, leher untuk Boru, dan bagian belakang untuk Suhut. Perubahan ini
terjadi karena ada rasa ketidakpuasan diantara pihak yang menerima jambar, mereka menganggap pembagian ini tidak adil. Untuk menghindari
pertentangan didalam masyarakat tersebut, maka pihak Gereja mengeluarkan peraturan bahwa di setiap pembagian jambar, bagian yang
diterima oleh masing yang hadir dalam acara tersebut haruslah sama.
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan dengan hasil analisis wawancara dan keterangan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Saur Matua dianggap sebagai jenis
kematian yang sempurna karena telah mencapai nilai kehidupan ideal yang ada pada masyarakat Batak yakni, Hagabeon keturunan, Hamoraon Kekayaan, dan
Hasangapon KehormatanPrestise. Hasangapon kehormatan sendiri dalam
masyarakat Batak berkaitan dengan perilaku baik yang ditunjukkan semasa hidup. Masyarakat Batak cenderung mengejar posisi Saur Matua dikarenakan
adanya anggapan bahwa upacara tersebut adalah wajib sebagai tanda dilunasinya hutang-hutang adat selama dia hidup. Selain itu kegiatan-kegiatan seperti ini
dianggap sebagai kesempatan untuk bertemu dengan sanak saudara. Saat ini syarat-syarat agar seseorang dikatakan Saur Matua pada kenyataanya sudah
banyak yang tidak dipenuhi. Perubahan itu antara lain meliputi, waktu pelaksanaan adat, pembagian jambar, waktu pelaksanaan Tonggo Raja,
memudarnya posisi Sori Matua, dan Pelonggaran makna Hagabeon. Munculnya pergeseran pada pelaksanaan upacara Saur Matua yakni
seseorang yang secara adat masih berada pada posisi Sari Matua sudah dapat dinaikkan menjadi Saur Matua. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain,
karena pengaruh ajaran-ajaran agama, perubahan jaman, dan seseorang itu dianggap memiliki status “terhormat” di dalam masyarakat. Penaikan ststus ini