Makna Simbol Status pada Upacara Saur Matua Pergeseran Tradisi Upacara Kematian di Daerah Silindung

Makna Hasangapon Informan Belman54 Orang yang sangap adalah orang yang mengikuti kegiatan adat dengan baik, berperilaku baik dalam kehidupannya sehari-hari, dan dalam semua tindakan selalu berlaku jujur Informan Marnaek 72 1. Orang yang sangap adalah orang yang bisa menjadi penengah ketika ada perselisihan. 2. Sering mengahadiri kegiatan-kegiatan adat 3. Tidak pernah berurusan dengan hukum Informan Rusmina 49 1. Berkelakuan baik didalam keluarga dan di masyarakat. 2. Bijak dalam mengambil keputusan. 3. Jujur dan adil dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Informan Ebsan 77 1. Tidak pernah melanggar adat. 2. Seorang pengayom di tengah-tengah masyarakat Informan Hulman 54 1. Sebagai panutan di dalam masyarakat. 2. Menjadi penengah ketika ada perselisihan. 3. Baik hati 4. Tidak pelit

3.3.4. Makna Simbol Status pada Upacara Saur Matua

Menurut beberapa data dari informan, terdapat simbol-simbol dalam upacara Saur Matua yang dapat menunjukkan status keluarga yang meninggal, yaitu:

1. Tambak

Tugu atau tambak adalah tempat penguburan bagi orang-orang yang dianggap berhasil mencapai pandangan hidup yang dianggap ideal dalam suku Batak Toba. Informan Parulian57 mengatakan bahwa: ...” Pada dasarnya ‘inang, harus Saur Matua dulunya orang baru dimasukkan ke tambak, berarti harus udah lengkap hidupnya kan.” Dari kutipan wawancara diatas nampak bahwa yang berhak dimasukkan kedalam Tugu hanyalah orng-orang yang pada saat kematiaanya berada pada posisi Saur Matua.

2. Kerbau

Dalam masyarakat Batak kerbau, babi, ikan mas, dan ayam lah yang dianggap sebagai hewan yang layak dipakai pada saat melakukan upacara-upacara adat. Dalam upacara Saur Matua di daerah Silindung hewan yang dipakai biasanya kerbau, karena dianggap sebagi hewan yang bermanfaat dalam kehidupan manusia. Berikut petikan wawancara dengan Saut 67: ..... “Di Silindung on tarida do ibana na Saur Matua molo sigagat duhut dibahen, menurut masyarakat manang Bius dohonon adat na gok molo sigagat duhut do dibahen.” Di Silindung , akan kelihatan bahwa seseorang itu Saur Matua apabila menyediakan kerbau sebagai tanda acara itu merupakan Adat Na Gok. Pada awalnya dalam upacara seperti ini harusnya menyembelih seekor kerbau, namun yang terjadi sekarag ini sudah ada beberapa daerah yang mengijinkan pengunaan babi. Jika pada jaman dulu yang berhak dimasukkan kedalam Tugu ataupun Tambak adalah orang yang memiliki anak laki-laki dan perempuan, sekarang dibeberapa daerah bahkan ada orang yang dimasukkan ke dalam Tambak tersebut meskipun dia tidak memiliki anak laki-laki.

4.3.5. Pergeseran Tradisi Upacara Kematian di Daerah Silindung

Upacara kematian Saur Matua pada awalnya dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, antara lain: a. Gabe dalam arti sudah memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu. b. Tidak Tilahaon c. Memiliki usia 70 tahun keatas d. Disemayamkan di rumah duka selama lima hari lima malam e. Sangap, yang berarti seseorang itu memiliki jasa ataupun kelakuan yang baik baik didalam punguan ataupun masyarakat luas. f. Mora, mampu melaksanakan adat na gok, yakni membagi jambar yang berupa seekor kerbau kepada Unsur Dalihan Na Tolu g. Disetujui oleh para Bius Apabila salah satu persyaratan yang telah disebutkan diatas belum dapat dipenuhi maka seseorang belum dapat dikatakan Saur Matua. Sekarang ini mulai terjadi pergeseran, seseorang yang yang tidak memenuhi semua syarat-syarat tersebut sudah bisa dikatakan Saur Matua karena berbagai pertimbangan yang di sepakati dalam Tonggo Raja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Agama

Budaya batak sekarang ini banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan, yang timbul akibat adanya proses interaksi antara masyarakat yang menganut agama tersebut dengan ajaran-ajarannya yang diyakini memiliki kebenaran yang berasal dari Tuhannya. Salah satu pengaruh agama yang mendasari pergeseran pelaksanaan upacara kematian Saur Matua pada masyarakat Batak Toba diungkapkan oleh informan P.Lumban Gaol57: ...”kan dulu adat batak ini seperti adanya magic- magicnya, jadi sejak masuknya keKristenan sedikit banyaknya dibumbui lah adat itu dengan ajaran Agama. Anggo najolo ikkon lengkap do gelleng dohot angka pahompu na, ndang boi tilahaon inna sa boi ni dok i Saur Matua . Ale anggo Agama mandok kan ndang boi jolma mangatur ngolu dohot hamatean ni sasahalak. Jadi saunari dang pola dibereng be na tilahaon do manang daong natua-tuai. Asalma nga sahata sude akka Bius di tingki Tonggo Raja ikkon na jadi do natua-tuan on saur Matua.” Dulu adat batak identik dengan mistis, jadi setelah Kekristenan masuk adat itu mulai dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Agama. Kalau dulu Seseorang dikatakan saur matua apabila anak dan cucunya sudah lengkap, dan tidak boleh ada diantara anaknya yang sudah meninggal. Tetapi ajaran Agama mengatakan bahwa yangmngatur kehidupan dan kematian seseorang. Jadi sekkarang apabila ada anaknya yang meninggal bukan menjadi suatu masalah agar dia dikatakan saur Matua. Dengan syarat semua Bius telah menyetujuinya. Petikan wawancara diatas mebenarkan kuatnya pengaruh agama dalam pelaksanaan upacara Saur Matua yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba. Masuknya agama Kristen ke daerah Batak yakni Silindung menyebabkan terjadinya beberapa perubahan pada tata cara pelaksanaan upacara adat. Perubahan dalam hal ini bukan berarti menghilangkan tradisi melainkan memperbaiki upacara-upacara tersebut agar tidak berbau mistis. Selain itu karena dalam agama dikatakan bahwa hidup dan matinya seseorang berada ditangan Tuhan membuat masyarakat Batak kembali mempertimbangkan seseorang yang akan ditempatkan pada posisi Saur Matua, tidak harus memenuhi semua syarat agar dapat dikatakan Saur Matua, seperti masalah tilahaon dan belum adanya cucu dari orang mati tersebut.

2. Perubahan Zaman

Seiring berkembangnya zaman, perubahan dari pelaksanaan upacara-upacara adat, khususnya dari segi waktu pelaksanaanya, seperti yang dikatakan oleh informan Manganar 71: ...” Najolo sahalak natua-tua, songon ompung hu hia ma nga tibu dipauli ruma rumahna songon solu, dibahen doi sian hau abal-abal. Jadi batang on diukir do dang papan di bahen, ndang mar pakku-pakku. Ba saunari nei akka papan nama di bahen, jalan pas parmonding na i do di pature jabu-jabuna. Baru tingki na mambagi jambar ma muse, molo najolo jambar botul-botul di dabuhon do sian tiang na timbo, ibanna di dok mandabu jambar ale leleng ma nian molo pinaente. Asa humatop saunari langsung nama di bagi jambar i sian tangan tu tangan” Dulu, orang-orang tua, seperti ompung saya langsung membuat peti matinya sendiri, yang terbuat dari sebatang pohon. Jadi peti ini di ukir langsung menyerupai perahu, tanpa menggunakan paku. Apabila kita lihat sekarang, peti mati sudah dibuat dari papan dan itu pun ditempah pada saat orang tersebut meninggal. Selanjutnya dalam hal pembagian jambar, kalau dulu cara pembagian jambar itu dilakukan dengan menjatuhkan jambar tersebut dari sebuah tiang, sehingga di namakan dengan mandabu jambar, tapi memang memakan waktu yang lama. Untuk menghemat waktu sekarang ini jambar tersebut dibagikan langsung dari tangan ke tangan. Perubahan lain ditunjukkan pula oleh P. Lumban Gal57 ...”Kalo dulu kan orang Batak itu hanya melulu maradat, kesitu aja waktunya, kalau sekarang kan orang udah banyak kerjaannya makanya jadi dipangkas lah itu sekarang waktu pelaksanaannya jadi ulaon sadari katanya, supaya kerjaan-kerjaan orang pun jadi nggak terganggu.” Pendapat selanjutnya juga dikemukakan oleh informan Rusmina 49: ...” yang ku ingat dulu yah, Tonggo Raja itu dilaksanakan pada sore hari sekitar jam lima sore dihalaman, lalu dilanjutkan dengan makan bersama.Coba lihat sekarang, Tonggo Raja dilakukan pada malam hari, semakin sempit waktunya. Tapi keadaan sekarang juga yang membuat itu, mana ada lagi waktu orang sebanyak dulu, orang-orang pulang kerja udah sore, pastinya pulang dulu lah dia banyak yang harus dikerjakan.” Mengingat bahwa dulunya masyarakat Batak hanya bekerja pada sektor pertanian, bebas menentukan dan mengatur waktunya sendiri jadi tidak ada masalah apabila untuk melaksanakan sebuah upacara adat memakan waktu berhari-hari. Pada zaman dahulu juga penggunaan harta kekayaan hanya untuk menghidupi keluarga dan kegiatan adat. Jika dibandingkan dengan sekarang banyak masyarakat yang beralih profesi dan tidak lagi bekerja pada sektor pertanian. Bahkan banyak yang menghabiskan waktu sampai seharian hanya untuk bekerja. Banyaknya tuntutan kehidupan yang harus dipenuhi, seperti biaya hidup yang semakin mahal dan biaya untuk pendidikan anak, membuat masyarakat tidak lagi memiliki waktu yang banyak untuk mengahadiri kegiatan-kegiatan adat. Maka saat ini dibuatlah istilah ulaon sadari, yaitu memadatkan acara adat tersebut menjadi satu hari.

3. Pertimbangan Nilai Hasangapon

Hasangapon ataupun kehormatan dinilai sebagai syarat utama yang harus dipenuhi seseorang ketika ingin dinaikkan menjadi Saur Matua. apabila semua syarat-syarat yang telah disebutkan di atas sudah dipenuhi, kecuali hasangapon, penaikan status tersebut tidak dapat dilakukan. Informan Saut 67 berpendapat bahwa: ...”Ai adong do jolma ndang di antusi adat alai manjalo jambar sai ibana, hape on contoh na hal ni si songon on monding ma ibana naeng Saur Matua ma inna bahenon. Di Tonggo Raja ittor adong ma sahalak na so setuju, dang jadi no ni baenon Saur Matua. Na Saur matua manadingkon hadengganon do di pudina. Jadi boi ma dohonon molo naeng Saur Matua do nang pe Sari Matua hinan dope nian ibana, ndang dope di gokhi suhat-suhat ni na Saur Matua pangalahona do sipertimbanghononta. jadi begini dek, makanya ada orang tua bilang, tulang- tulang kita telan, tulang-tulang juga yang kita muntahkan, dalam parjambaran lah itu. Tapi misalnya adalah orang yang tidak mengerti adat, tapi selalu menerima jambar. kemudian dia mati dan keluarga meminta agar dia Saur Matua. Di Tonggo Raja tiba-tiba ada seseorang yang menolak, itu tidak bisa di katakan Saur Matua. dikatakan Saur Matua, apabila dia meninggalkan kebaikan. Jadi bisa dikatakan penaikan status kematian seseorang dari Sari Matua menjadi Saur Matua, dan dia belum memenuhi syarat agar dapat dikatakan Saur Matua, perilakunya lah yang menjadi pertimbangan utama. Hal senada juga diungkapkan oleh Parulian 57 ...”Molo na botul-botul ma ibana nasangap, adong do harisma ni berengon, na gabe boi on pangalualuan ni margana. On ma na gabe pertimbangan ni angka Bius tingki Tonggo Raja. Nang pe godang sipatupaonna, alai menurut akka na ro di Tonggo Raja i ndang na sangap, ndang jadi i bahenon.” Kalau dia memang betul-betul seorang yang sangap, pasti ada kharismanya, bisa menjadi figur seorang pemimpin di marganya. Inilah yang menjadi pertimbangan para Bius pada saat Tonggo Raja. Meskipun dia memiliki banyak harta, tapi apabila orang-orang yang hadir pada saat Tonggo Raja tersebut berpendapat dia bukanlah seorang yang sangap, penaikan tersebut tidak dapat dilakukan.

4. Pelonggaran Makna Hagabeon

Hagabeon berarti bahagia dan sejahtera, dalam masyarakat Batak Toba yang di maksud dengan kebahagiaan adalah memiliki anak. Menurut Christina dan Rodiatul 2014, keturunan dalam budaya Batak Toba dianggap sebagai harta yang paling berharga. Adapun keberhargaan anak ini didasari oleh hal-hal berikut: 1. Pencapai tujuan hidup ideal 2. Pelengkap adat Dalihan Na Tolu 3. Penambah Sahala wibawa orangtua 4. Pewaris harta kekayaan. Dalam budaya Batak Toba, yang menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki, sementara anak perempuan bisa memiliki sebagian harta warisan apabila saudara laki-lakinya mau berbagi sebagian dari harta yang diwarisi. 5. Penerus garis keturunan marga. Dalam budaya Batak toba anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dalam keluarga marga. Oleh karena itu jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka garis keturunan akan punah. Adpun posisi anak perempuan dalam budaya Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan, karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari pihak marga lain. Hagabeon dalam hai ini memiliki arti, bahwa seseorang itu memiliki anak perempuan dan anak laki-laki kandung, dan juga memiliki cucu. Karena adanya pengaruh Agama dan pertimbangan nilai hasangapon yang telah disebutkan tadi, makna dari nilai hagabeon ini sedikit mengalami pelonggaran. Seperti yang dikatakan R.D. Sianturi 58 ...”Sebenarna menurut daerahna do i boru, misalna nga marpahompu ibana sian anak dohot sian boru na, ale adong dope gelleng na na so marhasohotan hape umurna nga mar opat pulu manang opat pulu lima alai ni na marsahit ma inna i . Di bahas tonggo raja ma attong, adong ma attong alasan ni na bersangkutan asa di pana- kkok status ni namate on gabe Saur Matua, alai dengan catatan ikkon na sangap do namate on. Sebenarnya itu semua tergantung daerahnya nya boru, misalnya dia sudah memiliki cucu dari anak perempuan dan anak laki-lakinya, tetapi masih ada anaknya yang belum menikah, padahal umurnya sudah empat puluh atau bahkan empat puluh lima karena sakit. Ini akan dibahas didalam Tonggo Raja. Keluarga memiliki alasan utuk meminta agar status kematiannya menjadi Saur Matua, dengan catatan orang yang meninggal tersebut adalah seseorang yang sangap. Pendapat lain dikemukakan oleh informan Hulman54 ...”adong do saunari molo dang adong gelleng manang pahompuna, boi di panangkok gabe Saur Matua. Misalna ma jo rupani songon Si Olo Panggabean nahinan, dang kawin, ndang maranakhon, alai adong ninna anak angkatna, boi doi saunari. Anggo najolo attong hagabeon on artina anak kandungna do. Adong muse na so marpahompu, boi do dipakke anak ni anggina gabe pahompuna. Ni setujuan ma on, ala mangingot si Hasangapon sinangkaningan.” sekang ini ini ada kasus dimana seseorang yang tidak memiliki anak atau cucu, bisa dinaikka menjadi Saur Matua, Misalnya seperti Olo Panggabean, dia tidak menikah, tidak ada anak, tapi katanya memiliki anak angkat, sekarang hal seperti itu sudah diterima. Kalau dulu di sebut gabe apabila memiliki anak kandung. Ada lagi kasus dimana seseorang itu tidak memiliki cucu, ini diatasi dengan memakai anak dari adiknya sebagai cucunya. Hal ini dapat disetujui dengan pertimbangan nilai hasangapon tersebut. Dari petikakan wawancara dengan beberapa informan menunjukkan bahwa untuk sekarang ini posisi kematian seseorang dapat dinaikkan menjadi Saur Matua,selama hal itu mendapatkan persetujuan dari peserta yang ada dalam Tonggo Raja. Untuk masalah Hagabeon, masyarakat mulai merubah pandangannya, ada atau tidaknya anak dan cucu cucu bukan ditentukan oleh manusia. Maka, sebagai solusinya, ada orang yang memakai anak dari adiknya untuk dijadikan sebagai cucunya. Hal ini dilakukan agar dia disebut sebgai orang yang gabe.

5. Tidak adanya batasan umur

Pada awalnya, seseorang dikatakan Saur Matua apabila telah mencapai usia 70 tahun. Untuk sekarang hal ini sudah tidak berlaku lagi, seperti yang dilatakan oleh informan Hulman 54: ...”dang adong bei batasan-batasan umur i saunari, contohna ma adong sahalak 50 taon dope, alai umbahen na hatop do iba kawin, hatop muse ma margelleng dohot marpahompu, tau sitiruon do nian pangalahona,adong sinadonganna. Monding ma on, da tung alanai umur nai ndang jadi bahehon i Saur Matua kan. Ba nga di gokhi ibana nakkin suhat-suhat ni na Saur Matua Hagabeon adong, Hamoraon adong, Hasangapon tong adong.” sekarang tidak ada lagi batasan usia, contohnya ada seseorang yang masih berumur 50 tahun, tapi karena dia menaikah pada usia muda, maka dia cepat memiliki anak dan cucu,dia memiliki kelakuan yang patut ditiru dan memiliki harta kekayaan. Dia meninggal, dan tidak mungkin hanya karena alasan umur tadi dia batal berada pada posisi Saur Matua. semua syarat telah dipenuhi, yaitu Hagabeon,Hamoraon, dan Hasangapon. Mengenai batasan umur, masyarakat sekarang ini juga tidak begitu mempermasalahkannya. Seperti dalam hal keturunan tadi kematian seseorang juga bukan manusia yang mengatur. Atau bisa saja seseorang menikah pada usia muda, dan misalnya diusianya yang ke 50 tahun sudah berhasil memnuhi syarat-syarat adat dapat dikatakan Saur Matua. Seseorang yang tilahaon pada awalnya tidak akan bisa berada pada posisi Saur Matua, dia akan disebut sebagai Sori Matua. sekarang, Sori Matua sudah jarang ditemui dalam masyarakat. Banyak kasus dimana anak sudah lebih dulu meninggal dibandingkan orangtuanya.

6. Perbedan Tempat Pelaksanaan Upacara Adat

Setiap daerah tentunya memiliki peraturan ataupun nilai-nilai yang berda-beda. Nilai-nilai tersebut dibuat karena dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebuah tindakan yang dianggap benar dalam sebuah daerah belum tentu berlaku dan belum tentu juga dapat diterima di daerah lain. Pelaksanaan upacara kematian Saur Matua sendiri dilaksanakan berdasarkan peraturan Bius ataupun daerahnya masing- masing, meskipun masyarakat tersebut masih berada pada satu rumpun yang sama yaitu Batak Toba. Pelaksaan adat yang berbeda tersebut tetap dilakukan berdasarkan sisten bermasyarakat Batak yakni Dalihan Na Tolu. Berikut kutipan wwancara mengenai perbedaan peraturan Bius pada satu daerah dengan daerah lain yang dikemukakan oleh P. Lumban Gaol 57: ...”kalau pelaksanaan adat sekarang ini sudah memamai sistem kelompok, Bius namanya. Tidak serupa secara langsung proses berjalannya ulaon itu, tapi pondasinya tetap Dalihan Na Tolu. Bisa saja di Medan dengan disini beda, tergantung kondisi masyarakatnya nya itu.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Marnaek 72 ...”Asing-asing do saunari songon syarat na ni dok mi sinangkaning. Mamereng tempat na do i. Haru di Silindung dohot di Sipoholon an, nga olo asing. Di Sipoholon nga adong dipamasuk tu Tambak hape so Na Saur Matua hian ibana, jala adong do nuaeng na mambahen simarmiak-miak di ulaon i. Alai molo di Silindung on dang boi dope diterima si songon i.” Sekarang syarat-syarat Saur Matua sedah berbeda-beda. Itu tergantung daerahnya. Sedangkan di Silinding dan Sipoholon sudah berbeda. Di Sipoholon ada kasus dimana seseorang dimasukkan ke Tambak padalah dia bukan seseorang yang Saur Matua, lalu ada yang melaksanakan adat tersebut dengan menggunakan babi. Tapi untuk derah Silindung sendiri hal seperti itu belum bisa diterima. Hal senada juga diperlihatkan oleh informan Saut 67 ...”Ndang boi ta sarupahon adat di luat on dohot di Toba manang di Humbang misalna. Di Humbang udah ada yang buat simarmiak miak di ulaon itu dan itu katanya sah. Kalo disini belum bisa itu. Di son na Saur Matua ingkon Si gagat duhut do baru pe di dok adat na gok. Ba molo so sanggup dope mambahen si gagat duhut, ndang dipaksahon ingkon di tingki i baenon, boi do annon manang andigan.” Kita tidak bisa menyamakan adat di daerah ini dengan, adat yang berlaku di daerah Toba mauoun di daerah Humbang. Di Humbang sudah ada yang menggunakan babi zdan itu dianggap sah. Kalau disini hal itu belum dibenarkan. Disini Ssaur Matua haruslah menyembelih kerbau barulah dapat dikatan Adat Na Gok. Kalau dirasa belum mampu menyediakan kerbau, tidak dipaksakan. Upacara tersebut bisa dilaksanakan di lain waktu. Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan upacara Saur Matua ini setiap daerah memiliki cara sendiri. Selama para Raja-raja Bius menyetujui status kematian seseorang makan hal tersebut dianggap sah di daerah tersebut. Matriks 4.4.Pergeseran Tradisi Upacara Kematian di daerah Silindung Penyebab terjadinya Pergeseran Tradisi Upacara kematian Informan P. Lumban Gaol 57 1. Masuknya agama ke tanah Batak, yang meyebabkan seluruh kegiatan adat selalu di iringi dengan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh masyarakat. 2. Semakin banyaknya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat membuat waktu untuk melaksanakan ataupun mengikuti seluruh rangkaian adat enjadi berkurang. Informan Manganar 71 Dulu hanya untuk membuat sebuah peti mati memerlukan waktu yang lama, karena di buat dari sebuah batang pohon utuh dan dipentuk seperti perahu dan tidak menggunakan paku. Peti mati yang digunakan sekarang sudah lebih simpel karena sudah gampang di pesa dan hanya kerbuat dari papan biasa. Informan Rusmina 49 Pekerjaan masyarakat yang sekarang ini memakan waktu hiingga sore hari, membuat pelaksanaan tonggo raja yang dulu bisanya dilakukan pada sore hari sekarang menjadi malam hari. Informan Saut 67 Penaikan status bisa saja dilakukan meskipun belum semua syarat dipenuhi. Halseperti pini terjadi apabila orang yang bersangkutan adalah seorang yang dianggap berkelakuan baik semasa hidupnya. Informan Parulian 57 Seseorang akan dipertimbakan unuk menjadi Saur Matua oleh para Bius, karena dianggap sebagai seorang figur pemimpin di dalam marganya. Informan R.D. Sianturi 58 Orang yang belum menikahkan semua anaknya bisa saja menduduki posisi Saur Matua, karena yang bersangkutan dianggap sebagai orang yang sangap. Informan Hulman 54 1. Ketika seseorang yang meninggal tanpa memiliki cucu, sekarang bisa mengatasnamakan cucu dari abang atau adiknya sebagai cucunya agar dia dikatakan Saur Matua. 2. Pada awalnya seseorang dapat dikatakn Saur Matua apabila dia sudah berumur 70 tahun, namun untuk sekarang umur sudah bukan menjadi faktor utama. Hal seperti ini bisa saja terjadi karena yang bersngkutan menikah pada usia muda atau yang bersangkutan menikah dengan seseorang yang sudah memiliki anak dan cucu. Informan P. Lumban Gaol 57 Pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat sekarang ini sudah menggunakan sistem kelompok, dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang ada dalam kelompok tersebut.

4.3.6. Adat Saur Matua dalam Agama Islam dan Kharismatik