Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Nilai Prestise di dalam Masyarakat

bisa saja terjadi, misalnya ketika orang tersebut mati dengan memiiki umur yang sangat panjang, terhormat di dalam masyarakat, serta memiliki status ekonomi tinggi, namun dia masih memiliki anak yang belum menikah. Keluarga dapat meminta kepada Raja-raja setempat Hula-hula, Boru, dan Bius agar status orang mati tersebut dinaikkan menjadi Mate Saur Matua. Permintaan ini dapat dikabulkan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya ataupun jabatan yang membuat dia disegani oleh masyarakat, serta faktor ekonomi ataupun kekayaannya. Sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang memilih untuk mempertahankan posisinya sesuai ketentuan adat yang ada, meskipun sudah ada persetujuan dari Raja-raja setempat dan masyarakat untuk menaikkan statusnya menjadi Saur matua, sebagai bentuk balas jasa atau penghormatan atas jasa-jasa yang pernah dilakukannya. Adanya peluang bagi orang yang mati untuk dinaikkan statusnya kedalam tingakatan kematian ideal menjadi indikasi munculnya pergeseran adat istiadat yang yang sebelumnya di anggap baku dan harus ditaati mengalami perubahan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian yang terjadi pada masyarakat Etnis Batak Toba karena adanya nilai prestise? 2. Bagaimana masyarakat di Kecamatan Tarutung memaknai pergeseran tradisi pada upacara kematian?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada Etnis Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat memaknai pergeseran tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain. Khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Untuk dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial dan masyarakat yang membutuhkannya. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah dapat menambah referensi dari pada hasil penelitian dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti berikutnya. BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya

Budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena meliputi seluruh aspek hidup yang ada dalam diri individu berupa kemaampuan berpikir, bertindakdan berperilaku, serta dilaksanakan guna kelangsungan hidup bermasyarakat. Widiastuti, 2013. Kebudayaan merupakan hasil dari suatu masyarakat, kebudayaan hanya akan bisa lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat

Kehidupan adat masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem hubungan sosial Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Norma-norma tersebut wajib dilaksanakan orang orang Batak meskipun di berda di tanah rantau Tano Parserahan.Sianipar, 1991. Ada lima bentuk kehidupan sosial pada masyarakat Batak, yakni: a. Kehidupan dalam adat Dalam setiap kegiatan adat Batak, semua orang yang hadir dalam acara tersebut pasti memiliki kedudukan masing-masing. Keberadaan seseorang dalam adat, harus menunjukkan tanggung jawab karena dalam setiap kedudukan tersebut memiliki tugas dan kewajiban masing-masing. 1. Hasuhuton Suhut orang yang menyelenggarakan acara. 2. Hula-hula Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing- masing saudara perempuan. 3. Boru Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan suhut. b. Kehidupan dalam marga Seorang Batak dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat berdasarkan marga. c. Kehidupan dalam huta Punguan Parsahutaon atau sekarang yang lebih dikenal dengan STM Serikat Tolong Menolong berkewajiban meringankan dan membantu beban anggota STM tersebut dalam masalah adat atau bukan adat. STM menunjukkan bahwa seluruh masyarakat yang menjadi anggota dari kelompok tersebut merupakan sebuah keluarga besar yang harus saling tolong menolong. d. Kehidupan dalam kebersamaan Setiap keluarga yang melaksanakan kegiatan adat, maka dia harus berusaha agar setiap orang yang dikenalnya turut serta didalam adat tersebut, meskipun tidak ikut berperan tetapi ikut merasakan baiknya dan nikmatnya adat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Batak harus memiliki rasa kebersamaan. Kebersamaan tersebut tampak pada setiap kegiatan yang dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan adat, maupun ketika adanya musibah dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam kebersamaan tersebut tidak ada bantuan yang diberikan secaracuma-cuma, karena semua yang kita terima harus dibayar. Masyarakat Batak juga memiliki tiga nilai nilai budaya yang dijadikan sebagai tujuan hidup masyarakatnya. Setiap masyarakat Batak akan berusaha untuk mencapai ketiga nilai tersebut demi tercapainya kesempurnaan hidup. a. Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Bagi masyarakat Batak kebagaiaan utama akan didapatkan pada saat memiliki anak laki-laki dan perempuan. Anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga. Sistem patrilinear yang berlaku pada masyarakat Batak membuat keberadaan anak laki-laki menjadi sangat penting dan dianggap sebagai anggota keluarga penuh. Sebaliknya anak perempuan akan menikah dan menjadi anggota keluarga dari pihak marga suaminya. Seseorang yang meninggal tanpa memiliki anak laki-laki dianggap kurang bermakna ataupun sempurna. b. Hamoraon, berarti kekayaan yaitu kepemilikan harta yang berwujud materi maupun non materi yang di peroleh melalui usaha sendiri ataupun dari warisan yang diterimanya. Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan hidup seorang Batak mensejahterakan kehidupan keluarganya. c. Hasangapon, yang berarti kehormatan, dalam hal ini masyarakat akan berusaha meraih status sosial yang dianggap berpengaruh, misalnya menduduki posisi ataupun jabatan di pekerjaan, di lingkungan masyarakat, maupun di punguan-punguan yang diikuti.

2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba

Pelaksanaan upacara kematian pada masyarakat Batak toba sangatlah penting, oleh sebab itu dibuatlah penggolongan ataupun pembagian posisi- posisi kematian. Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang yang diatur dalam adat Batak: a. Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat. b. Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi. c. Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak. d. Mate Bulung adalah meninggal saat remaja. e. Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum menikah. f. Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu: 1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. 2. Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. 3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki cucu. 4. Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak perempuan. 5. Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak laki-laki dan perempuan. T.M. Sihombing, 1989 Selanjutnya ada pula jenis kematian yang pada masyarakat Batak menunjukkan prestise ataupun memiliki status yang dianggap terhormat di tengah-tengah masyarakat. Upacara kematian tersebut menurut Sianipar 1991 dibagi kedalam tiga kategori bentuk menurut adat, yaitu: a. Sari Matua Seorangtua meningal dunia disebut Sari Matua, apabila sudah mempunyai cucu dari anak laki-kali dan anak perempuannya. Tidak jadi masalah walaupun masih ada yang belum berumah tangga. b. Saur Matua Seorangtua meninggal disebut Saur Matua apabila sudah semua anaknya berumah tangga dan telah mempunyai cucu, tidak masalah apakah masih ada keluarga anakmya yang belum mempunyai anak. b. Mauli Bulung Seorangtua disebut Mauli Bulung, apabila orangtua itu sudah mempunyai nini dan nono, punya cucu, dan semua anak-anaknya sudah berumah tangga.

2.2. Nilai Prestise di dalam Masyarakat

Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimiliki. Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sadar maupun tidak sadar manusia akan berada dalam stratifikasi sosial. Menurut Max Weber stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan prestise. Ada banyak sistem yang digunakan untuk menganalisis stratifikasi sosial salah satunya adalah menganalisis sistem penghormatan prestise dan reward yang diciptakan oleh suatu kelompok sosial komunitas. Analisis ini diarahkan pada respon yang diberikan kepada suatu kelompok tertentu, dengan mengutamakan pada interaksi sosial yang terbentuk. Simbol yang dianggap memiliki nilai yang dihargai dalam suatu kelompok sosial tertentu akan digunakan sebagai dasar untuk membentuk stratifikasi sosial yang bersifat kumulatif Doddy Sumbodo,2011. Masalah kehormatan sifatnya relatif. Dalam arti bahwa kehormatan harus kita kaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial tertentu. Weber dalam Kamanto, 2000 mengatakan bahwa gaya hidup berarti persamaan status kehormatan yang di tandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup yang sama. Sebuah kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.

2.3. Interaksionisme Simbolik