Makna Saur Matua Bagi Masyarakat Batak Toba

4.4.2. Makna Saur Matua Bagi Masyarakat Batak Toba

Pada dasarnya segala bentuk upacara-upacara peringatan apa pun yang digunakan masyarakat adalah simbolisme. Makna dan maksud upacara menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya. Dalam tradisi atau adat istiadat simbolisme sangat terlihat dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi ke generasi Budiono Herusatoto, 2008: 48.

1. Sebagai Tradisi

Dalam teori interaksionisme simbolik dikatakan bahwa masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan-kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. Demikian pula dengan Batak, interaksi dari masyarakat diatur oleh apa yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Berjalan atau tidaknya norma-norma tersebut terwujud dalam kegiatan ataupun upacara-upacara adat. Sepanjang hidup seseorang yang bersuku Batak Toba diikuti dengan kegiatan adat, mulai dari dalam kandungan, kelahiran, pernikahan, bahkan sampai kematian. Kegiatan adat tersebut wajib diikuti oleh seluruh anggota masyarakat baik itu dari pihak penyeleggara kegiatan adat tersebut maupun dari sanak saudara dan kerabat-kerabatnya. Sama halnya yang terjadi di Tarutung, hingga saat ini masyarakatnya masih berpedoman pada pandangan hidup ideal Batak Toba, serta tetap menjalankan kegiatan- kegiatan adat tersebut. Berikut petikan wawancara dengan informan P.Lumban Gaol 57 : ...”Biasa kita liat, kalo kita bilang sama orang, na so maradat doho, itu penghinaan yang luar biasa, tapi coba bilang na so mar agama do haroa ho, ah biasa do i.” Bisa dilihat, apabila kita berkata pada seorang Batak “kamu tidak beradat” akan dianggap sebagai penghinaan yang luar biasa, tapi apabila kita mengatakan,”mungkin kamu tidak beragama” akan dianggap biasa saja. Petikan wawancara diatas menunjukkan kedudukan adat sangatlah tinggi di mata masyarakat Batak, sehingga mengikuti kegiatan adat dianggap sebagi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap masyarakatnya. Hulman54 berpendapat bahwa: ...”Di tingki angka ulaon i do hita boi mangido tangiang tu hula-hula asa sai di pasu-pasu. Ai Debata nomor dua do Hula-Hula di halak Batak. Dilehon ma tangiang i marhite-hite ulos.Di angka ulaon do tong boi marpungu, marsipaberengan akka na markeluarga manag mardongan. Andigan be boi sahundulan iba dohot akkang niba, anggi niba, iboto niba, sude ma i tahe. Songon ho ma jo nuaeng, kan tu ulaon do ho ro manjumpangi au kan.”. Pada pelaksanaan adat lah kita dapat memminta doa kepada Hula-Hula agar tetap diberkati. Karena orang Batak meyakini bahwa Hula-hula itu adalah Tuhan nomor dua. Berkat itu disimbolkan dengan pemberian ulos.Kegiatan -kegiatan adat seperti ini juga merupakan waktu yang tepat untuk kembali berkumpul dengan keluarga maupun teman. Kapan lagi ada kesempatan untuk duduk bersama dengan saudara-saudara. Tetap melaksanakan upacara-upacara adat seperti ini bagi masyarakat merupakan sebuah kesempatan untuk meminta doa dari pihak Hula-Hula. Masyarakat Batak bahkan meyakini bahwa Hula-Hula merupakan Tuhan nomor dua, sehingga dipercaya bahwa dengan doa dari Hula-hula keluarga tersebut akan senantiasa diberkati oleh Tuhan. Adat gjuga dijadikan sebagai ajang pertemuan dengan sanak saudara maupun teman-teman.

2. Sebagai Sebuah Kewajiban

Dalam kehidupan masyarakat Batak harus memiliki rasa kebersamaan. Kebersamaan tersebut tampak pada setiap kegiatan yang dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan adat, maupun ketika adanya musibah dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam kebersamaan tersebut tidak ada bantuan yang diberikan secara cuma- cuma, karena semua yang kita terima harus dibayar. Berikut petikan wawancara dengan Hulman 54: ...”Masalah holi-holi binondut holi-hi utahon ma i, ala dung mansai sering natua-tua on manjalo jambar, manjalo soit sian akka donganna jadi wajib ikkon di bayar.” itu masalah holi-holi binondut, holi-holi di utahon, karena semasa hidupnya dia sudah sering menerima jambar dan soit dari temannya, maka itu wajib dibayar” Hal senada juga diungkapkan oleh Saut 64: .....”Jadi songonon doi anggia, ibanna adong hata ni natua-tua mandok holi-holi binondut holi-holi ni utahon, tu parjambaran mai. Ai dang mungkin sai nijaloan sian halak hape iba dang hea mangalehon tu halak i. Jadi utang na ikkon bayaron do i.” jadi dek, ada umpaya orangtua yang mengatakan holi-holi binondut, holi-holi ni utahon, itu dalam hal parjambaron. Tidak mungkin kita selalu menerima jambar dari orang lain sementara kita tidak memberikan jambar kepada orang itu. Jadi itu merupakan hutang yang harus dibayar.” Dalam Batak ada istilah “holi-holi binondut, holi-holi ni utahon” yang dalam bahasa Indonesia, apa yang dimakan maka itu pula yang dimuntahkan. Istilah ini memiliki makna bahwa ketika seseorang selalu menghadiri upacara Saur Matua dan dia selalu mendapatkan soit dan jambar, maka itu dianggap hutang. Untuk membayar hutang ini pada saat dia mati, keluarga wajib membagi soit dan jambar Adat Na Gok tersebut kepada hadirin. Upacara ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua. Hal ini yang membuat banyaknya pihak keluarga yang meminta agar status dari orang yang mati tersebut menjadi Saur Matua, agar tidak menimbulkan hutang dikemudian hari. Dalam adat Batak kedatangan para tamu yang sudah meluangkan waktunya untuk hadir pada upacara tersebut juga dianggap sebagai hutang. Maka apabila sewaktu-waktu ada salah satu dari hadirin tersebut melakukan upacara adat, adalah sebuah kewajiban untuk ikut serta dalam acara tersebut. Penaikan status ini bisanya di setujui karena berbagai pertimbangan, dan yang paling utama adalah seseorang itu harus Sangap. Selama hidupnya dia haruslah memiliki kelakuan yang baik di mata masyarakat.

3. Sebagai Tanda Kehormatan Prestise

Dalam suku Batak Toba terdapat tingkatan kematian yang dapat menunjukkan prestise ataupun kehormatan seseorang. Prestise sendiri merupakan pengakuan sosial terhadap kedudukan tertentu pada posisi- posisi yang dihormati. Prestise akan diperoleh pada saat seseorang berhasil memperoleh kedudukan dengan perjuangan dan usaha-usaha yang disengaja dilakukannya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba, seseorang akan berusaha memiliki hagabeon, hamoraon, serta hasangapon, dan hal tersebut akan terlihat pada saat dia mati. Jenis kematian yang menunjukkan prestise seseorang, yakni, Mate sari Matua, Mate Sori Matua, Mate saur Matua, dan Mauli Bulung yang identik dengan pesta besar. Seorang yang bersuku Batak setidaknya menginginkan kematian dalam Posisi Saur Matua karena dianggap sudah berada pada tingkat kehidupan yang sempurna. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sempurna yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Hal ini dibenarkan oleh para informan informan Hulman54, yang mengatakan bahwa: ...”Saur Matua na sejelsna ndang adong be na hurang di keluargana, dang adong na tilahaon, dang adong na pogos. I ma na ni dok na Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon. Boasa halak Batak sai marsitta sitta naeng ma nian ikkon Saur Matua di tingki monding.” Saur Matua berarti tidak ada lagi yang kurang di dalam keluarganya, anaknya tidak ada yang meninggal dan tidak ada yang miskin. Hal ini lah yang dinamakan dengan Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Mengapa orang Batak selalu bercita-cita dapat menduduki posisi Saur Matua. Karena pada Upaca itulah kita bisa meminta doa dan berkat kepada Hula-hula. Menurut kepercayaan orang Batak adalah Tuhan nomor dua. Doa dan berkat yang diberikan disimbolkan dengan ulos. Hal senada juga di sampaikan oleh informan Ebsan77: ...”Sahalak didokkon Saur Matua ikkon Gabe do, umurna nga ganjang, pangalahona boi sitiruon, boi marsaor, adong sinadonganna, baru ikkon Sangap..” Seseorang dapat dikatakan Saur Matua harus Gabe, umurnya sudah panjang, kelakuannua dapat ditiru, pergaulannya baik, ada harta, dan harus Sangap. Kedua pernyataan diatas juga didukung oleh jawaban yang diberikan informan bernama Manganar71: ...”Molo saur matua attong, udah marhasohotan semua anakanya, nga marpahompu, adong arta na, nga ganjjang umurnya jadi ulaon silas ni roha nama goarna. Ni dok i ala nga sikkop sude ningon ma tahe.”kalau Saur Matua, anak-anaknya sudah berumah tangga, sudah memiliki cucu, ada harta kekayaan, umurnya sudah panjang, jadi dapat dikatakan acara seperti ini adalah acara suka cita. Dikatakan demikian karena kehidupannya dianggap sudah lengkap. Ketiga peryataan diatas dapat disimpulkan bahwa Saur Matua dianggap sebagai seseorang yang mati dengan telah mencapai apa yang dikatakan dengan hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Saur Matua adalah memiliki anak perempuan dan anak laki-laki, memiliki cucu, tidak ada diantara anaknya yang mati, memiliki kekayaan, dan memiliki perangai yang baik di keluarga ataupun di masyarakat. Kekayaan diperlukan karena untuk melaksanakan upacara Saur Matua, keluarga harus melaksanakan adat na gok, menyediakan kerbau untuk disembelih, di iringi oleh gondang musik khas Batak. Upacara Saur Matua dilakukan sebagai ucapan syukur karena semasa hidupnya telah memperoleh kelengkapan hidup.

4. Sebagai Motivasi

Adanya makna kesempurnaan yang akan diperoleh ketika seseorang mati dalam posisi Saur Matua, masyarakat Batak akan senantiasa berusaha melakukan tindakan-tindakan yang dianggap akan membawanya menuju kesempurnaan tersebut. Saur Matua sebagai jenis kematian sempurna, membuat masyarakat berusaha mencapainya. Dengan melihat bagaimana penghormatan yang dilakukan pada seseorang yang Saur Matua, timbul dorongan bagi masyarakat untuk merasakan hal yang sama pada saat dia mati. Hal ini sama dengan apa yang dikatakan oleh informan Ebsan 77: ...” dalam hal ekonomi, kalaulah dia ingin mati dalam posisi Saur Matua, tapi dia melihat dia belum sanggup mengadakan adat na gok karena ketidaktersediaan biaya, pasti timbul keinginan untuk berusaha lebih keras lagi. Jadi Saur Matua ini bisamemberika motivasi kepada masyarakat untuk berusaha mencari kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Lalu dalam segi etika, seseorang tidak berhak berada pada posisi Saur Matua kalau kelakuannya sendiri tidak baik. Jadi untuk menghidari itu, mulai lah dia melakukan kebaikan-kebaikan dan berusaha menjadi contoh dihadapan orang lain. Baru jadi terdorong dia mempelajari adat Batak itu, kenapa harus ini, kenapa harus itu. Secara tidak sengaja dia jadi berusaha dia mempelajari budayanya sebagai orang Batak.” Jelas melalui kutipan wawancara diatas, adanya tingkatan kematian Saur Matua seperti ini membawa dampak positif bagi masyarakat Batak itu sendiri, yaitu sebagai motivasi., untuk mewujudkan keinginan berada pada posisi Saur matua juga membuat seseorang selalu berperilaku baik dalam keluarga, kelompok, dan masyarakatnya. Dalam hal ekonomi, adanya tutuntan untuk melaksanakan pesta orang-orang akan bekerja lebih keras agar pada saat dia mati bisa melaksanakan adat na gok. Matriks 4.2. Makna Kematian Saur Matua Makna Kematian Saur Matua bagi Masyarakat Batak Toba Informan P. Lumban Gaol 57 Melaksanakan kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap masyarakat Batak. Informan Hulman 54 1. Sebagai ajang pertemuan dengan seluruh sanak saudara. 2. Sebagai kewajiban untuk membayar jambar dan soit yang pernah di terima semasa hidup. 3. Sebagai tanda kehormatan, karena dianggap sudah mencapai ketiga pandangan hidup ideal yang ada pada masyarakat Batak. Informan Ebsan77 1. Menjadikan masyarakat Batak selalu berperilaku baik dalam kehidupannya sehari-hari 2. Sebagai motivasi agar masyarakat selalu bekerja keras mencari uang, karena untuk melaksanakan upacara Saur Matua memerlukan biasya yang besar. Informan Manganar 71 Sebagai acara sukacita, karena semasa hidupnya dia sedah memperoleh kelengkapan hidup Informan Saut 64 Kewajiban membayar adat yang sudah pernah diterima semasa hidupnya.

4.4.3. Makna Prestise Nilai Hasangapon Bagi Masyarakat Toba