Perwalian Dalam Perkawinan FUNGSI WALI HAKIM DALAM PERKAWINAN

BAB III FUNGSI WALI HAKIM DALAM PERKAWINAN

A. Perwalian Dalam Perkawinan

Paling tidak ada tiga pendapat di kalangan ulama fikih Islam tentang wali dalam perkawinan ini, yaitu: 1. Wali haruslah seorang laki-laki, tidak sah perempuan menjadi wali. Pendapat ini diperpegangi oleh Mazhab Syafi`i, Maliki dan Hambali. 90 2. Apabila seorang perempuan dewasa melakukan akad nikah, nikahnya tanpa wali, sedangkan calon suaminya se-kufu sebanding dengannya, nikahnya itu sahboleh. Jika tidak sebanding, walinya berhak mem-fasakh-kan perkawinan itu. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya`biy dan al- Zuhriy. 91 3. Disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda. Demikian menurut Abu Daud. 92 Menurut ibn Rusyd, perbedaan pendapat ini terjadi karena alasan landasan hukum dalil yang dipakai oleh pihak yang mensyaratkan wali untuk melaksanakan akad nikah hanya memuat kemungkinan demikian. Begitu juga alasan yang diperpegangi oleh yang tidak mensyaratkan wali juga hanya bersifat kemungkinan 90 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1981, hlm. 64-66. 91 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: terj, Maskur AB., Lentera, 2001, hlm. 345. 92 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Mesir: Juz II, Dâr al-Kutub al-Arabiyah,tt., hlm. 7. demikian. Ringkasnya, dalil-dalil yang dipakai oleh para pihak, boleh jadi memang menunjukkan disyaratkan adanya wali dan wali harus yang melakukan ijab akad nikah itu, namun tidak juga tertutup kemungkinannya bukan demikian. 93 Adapun dalil-dalil pendapat pertama, mazhab yang mengatakan bahwa wali itu harus laki-laki dan ia yang melakukan ijab akad nikah, mengungkapkan alasan dengan dalil al-Quran: a. Q.S. an-Nur ayat 32: ユムレョ ヴョゅΑΕや やヲエムルやヱ .. . artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu… 94 b. Q.S. al-Baqarah ayat 221: やヲレョぽΑ ヴわェ リΒミゲゼヨャや やヲエムレゎ Ιヱ , artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita muminah sehingga mereka beriman. 95 c. Q. S. al-Baqarah ayat 232: リヰィやヱコぺ リエムレΑ ラぺ リワヲヤツバゎ Κプ リヰヤィぺ リピヤらプ ¬ゅジレャや ユわボヤデ やクまヱ Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya. 96 93 Ibid. 94 Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 549. 95 Ibid., hl. 53. 96 Ibid., hlm. 56. Ayat pertama ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali, bukan wewenang si calon mempelai wanita. 97 Ayat kedua juga ditujukan kepada wali agar mereka tidak menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim. Andaikata perempuan mempunyai hak untuk menikahkan dirinya, tentu tidak ada artinya ayat itu ditujukan kepada para wali, sebab ia sendiri boleh melaksanakan akad nikah itu. Lagi pula kalau sekiranya ada hak perwalian bagi perempuan, sudah pasti ayat itu ditujukan kepada perempuan. Ayat ketiga menyatakan bahwa larangan dalam ayat tersebut ditujukan kepada wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak ada artinya dan tidak ada gunanya melarang para wali berlaku `adhal. 98 Adapun dalil-dalil dari sunnahhadis Rasul diantaranya: d. Hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, Dâr Quthniy dan ibn Mâjah: 97 Mahmud Syaltût dan Ali al-Sâyis, Muqâranah al-Mazâhib fî al-Fiqh, Mathba`ah Muhammad Ali Shabih, Al-Azhar: 1953, hlm. 58. 98 Untuk menguatkan pendapat ini, ayat ini diturunkan berkenaan dengan `adhal-nya Ma`qil ibn Yasar, untuk menikahkan saudaranya yang telah diceraikan suaminya. Lalu keduanya ingin bersama kembali, akan tetapi Ma`qil ibn Yasar tidak mau menikahkan saudara perempuannya tersebut. Jadi andaikata saudara perempuan Ma`qil ibn Yasar berhak menikahkan dirinya, tentu tidak turun ayat yang mencela tindakan Ma`qil, bahkan mestinya turun ayat agar langsung menikahkan dirinya tanpa wali. Dari sisi lain, andaikata tidak ada wewenang wali, tentunya Rasul tidak menyuruh Ma`qil untuk menikahkan saudaranya itu. Al-Qurthubiy, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qurân, Juz III, Dâr al-Kutub al- Arabiyah, Kairo: 1987, hlm. 158. ゅヰジヘル ァヱゴゎ ヴわャや ヴワ るΒルやゴャや ラみプ ゅヰジヘル りぺゲヨャや ァヱゴゎ Ιヱ りぺゲヨャや りぺゲヨャや ァヱゴゎ Ι 99 Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah perempuan itu meikahkan dirinya sendiri, bahwasanya ciri perempuan zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri. Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab akad nikah, baik untuk orang lain ataupun untuk dirinya sendiri. Larangan menunjukkan batalnya pekerjaan yang dilarang. 100 Selain itu, bahwa pernikahan yang langsung dilakukan oleh perempuan calon mempelai sama dengan perzinahan atau pelacuran. 101 e. Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh ibn Mâjah: ゲヰヨャや ゅヰヤプ ゅヰよ モカキ ラみプ モデゅよ ゅヰェゅムレプ ゅヰΒャヱ ラクま ゲΒピよ ろエムル りぺゲョや ゅヨΑぺ 102 Artinya: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya maka nikahnya batal. Dan jika laki-laki yang menikahinya menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar. Para sahabat Nabi mengamalkan hadis ini, yakni tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. 103 99 Al-Syawkâniy, Nail al-Awthâr, Juz VI, Mesir: Maktabah al-Bâbiy al-`Arabiy, Mesir: tt., hlm. 134. 100 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971, hlm. 107. 101 Al-Syawkâniy, loc. cit. 102 Al-Kahlâniy, Subul al-Salam, Juz III, Bandung: Maktabah Dahlan, tt., hlm. 117. 103 Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terj: M. Abdul Ghaffar E.M., Jakarta: Pustaka al- Kautsar, 2001, hlm. 50. f. Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal dari Abu Burdah ibn Abi Musa, bahwa nabi pernah bersabda: ヴャヲよ Ιま ゥゅムル Ι tidak sah nikah tanpa adanya wali. Hadis ini menunjukkan tidak sah nikah tanpa adanya wali, sebab pada dasarnya pe-nafi-an mentidakkan adalah pernyataan tidak sah bukan pernyataan tidak sempurna. Dengan kata lain akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. 104 Disamping kedua dasar hukum tersebut di atas, masih ada pertimbangan ratio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami dengan keluarga pihak istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih karena perempuan itu cepat merasa dan sering terpengaruh dengan perasaan emosional, tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kamaslahatan. Dan supaya jangan terjadi demikian, maka dilaranglah perempuan mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya. 105 104 Al-Kahlâniy, loc. cit. 105 Ismuha, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1978, hlm. 12. Demikianlah pendapat mazhab al-Syafi`i dan yang sependapat dengannya mengenai masalah ijab akad nikah tanpa wali, atau ijab yang dilakukan oleh perempuan. Alasan pendapat kedua, yang berpandangan bahwa perkawinan boleh dilakukan tanpa wali, atau perempuan boleh melakukan ijab akad nikah dengan alasan: g. Al-Quran: 2. Q.S. Al-Baqarah: ayat 230: ロゲΒビ ゅィヱコ ウムレゎ ヴわェ ギバよ リョ ヮャ モエゎ Κプ ゅヰボヤデ ラみプ Artinya: Kemudian jika suami mentalaknya sesudah talak yang kedua perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain …. Perkataan tankiha dia kawin pada ayat ini merupakan kata kerja yang artinya menikahi, pelaku subyek adalah bekas istri yang ditalak. Hakikatnya pekerjaan itu dilaksanakan langsung oleh subyek aslinya, tidak dilakukan orang lain. Berdasarkan ini jelaslah wali tidak menjadi syarat dalam perkawinan. 106 106 Al-Alusi, Rûh al-Ma`ani, Juz I, Beirut: Idarah Matba`ah Munirah, tt., hlm. 141. Selain itu mereka mengkiaskan analog akad nikah pada akad jual beli, hal mana akad jual beli boleh saja dilakukan oleh orang dewasa termasuk perempuan, demikian juga dengan akad nikah. 107 3. Q. S. Al-Baqarah: ayat 232: リヰイャヱコぺ ウムレΑ ラや リワヲヤツバゎ Κプ リヰヤィぺ リピヤらプ ¬ゅジレャや ユわボヤデ やクまヱ ... Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya …. 108 Zakaria al-Bariy memandang bahwa ayat 230 dan 232 surah al-Baqarah tersebut disandarkan diisnadkan nikah itu kepada perempuan. Artinya kata tankiha dan yankiha merupakan kata kerja, subyeknya adalah perempuan bekas istri. 109 Dengan demikian maka perempuan boleh mengawinkan menjadi wali nikah. h. Hadits-hadits: a. Hadits riwayat Muslim dari ibn Abbas yang berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: ゲョほわジゎ ゲムらャやヱ ゅヰΒャヱ リョ ゅヰジヘレよ ペェぺ ょΒんャや 110 107 Hasan Ayyub, op. cit., hlm. 48. 108 Departemen Agama RI., loc. cit. 109 Zakaria al-Bari, Al-Ahkam al-Asâsiyahli al-Usrah al-Islâmiyah, Mesir: Ma`had al- Dirasah al-Islamiyah, tt., hlm. 78. 110 Al-Kahlani, op. cit., hlm. 119. Artinya: Janda adalah berhak atas dirinya dari pada walinya dan perempuan gadis diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah memadai dengan diamnya …. b. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari al-Nasai: ャヲヨヤャ ザΒャ ゲョほわジゎ るヨΒわΒャやヱ ゲョぺ ょΒんャや ノョ ヴ 111 Artinya: Wali tidak mempunyai urusan dengan perempuan janda tsayyib dan yatimah perempuan yatim dimintai pendapatnya. Mereka mengatakan bahwa perempuan dewasa dan berakal memiliki kecakapan sempurna, sebab itu ia memiliki kewenangan sempurna mengenai dirinya dan hartanya. Kalau terhadap hartanya ia mempunyai kewenangan karena kecakapannya, maka demikian pulalah kewenangannya mengenai pernikahannya. 112 i. Pertimbangan Ratio Perkawinan bukan hanya mempunyai tujuan sekunder, dimana wali juga ikut serta merasakan akibat dari perkawinan itu, seperti terikatnya tali kekerabatan antara dua keluarga. Akan tetapi yang utama adalah tujuan primer yang hanya dimiliki perempuan yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali, seperti urusan istimta` persebadanan, belanja nafkah rumah tempat tinggal, pakaian 111 Ibid. 112 Zakaria al-Bari, loc. cit. kiswah dan hak-hak serta kewajiban lainnya yang dimiliki perempuan. Akad yang bertujuan seperti tersebut di atas adalah wajar apabila yang memegang peranan dan menentukan adalah orang yang bersangkutan yang mempunyai tujuan primer tersebut. Selain dari itu, akad nikah serupa dengan akad jual beli, kalau seorang perempuan diperbolehkan menjual hartanya yang dimilikinya, maka wajar pulalah ia dibolehkan langsung melaksanakan akad nikahnya karena ini langsung mengenai kemaslahatan dirinya. Alasan pendapat ketiga yang berpendapat dengan disyaratkannya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda adalah berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ibn Abbas sebagai berikut: ゅヰゎゅヨタ ゅヰルクまヱ ゅヰジヘル ヴプ ラクほわジゎ ゲムらャやヱ ゅヰΒャヱ リョ ゅヰジヘレよ ペェぺ ょΒんャや Artinya: Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya. Hadits ibn Abbas ini membedakan antara status janda dan gadis. Janda dapat menikah tanpa wali karena ia lebih berhak dari pada walinya. Malahan dari suatu riwayat, ibn Abbas menerangkan bahwa si wali tidak mempunyai hak sedikitpun terhadap janda. Si gadis tidak boleh langsung menikahkan dirinya karena akad nikahnya harus dilangsungkan oleh orang ketiga atas izinnya. Orang ketiga itu tidak lain adalah walinya. 113

B. Perpindahan Hak Perwalian