2. Syarat-syarat PerwalianWali a. Menurut Hukum Islam
Terjadinya tindakanperbuatan hukum atau akad yang mempunyai akibat hukum, sehingga orang yang melakukannya harus cakap dan mempunyai kekuasaan
untuk melakukannya. Menyangkut masalah perwalian dalam perkawinan, untuk sahnya perwalian
disyaratkan : 1. Berkecakapan sempurna, yaitu baligh, berakal dan merdeka. Oleh
karena itu tidaklah sah anak-anak belum dewasa, orang gila dan hamba sahaya memangku perwalian, karena mereka tidak
mempunyai wilayah atas diri sendiri, apalagi wilayah atas wilayah orang lain, tentu lebih tidak layak.
15
2. Kesamaan agama antar wali dan yang diwalikan. Oleh karena tujuan perwalian adalah untuk kebaikan orang yang dibawah
perwalian, maka kesamaan agama diantara keduanya lebih layak
15
Muhammad Salam Madkur, Ahkam al-Usrah fi al-Islam, Beirut: an-Nahdhah al-
`Arabiyah, jld I 1968, hlm. 178.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
untuk kebaikannya. Oleh sebab itu tidak layak perwalian non muslim atas oarng muslimah.
16
3. Adil. Adil menjadi syarat perwalian dikalangan mazhab Syafi`i, namun tidak demikian bagi mazhab Hanafi. Menurut mazhab
Hanafi meskipun ada hadits:
ヵギワゅセヱ ギセゲョ ヴャヲよ Ιま ゥゅムル Ι
メギハ Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, sebab hadits ini dha`if,
kalaupun hadits ini diterima sebagai dalil, kata mursyid dalam hadits tersebut bukan bermakna adil, akan tetapi cerdik, yaitu
dapat membedakan baik dan buruk. 4. Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia
dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya sendiri, apalagi orang lain.
17
Dengan demikian bagi sahnya perwalian dalam hukum Islam masih terdapat pluralistik mazhab, meskipun ada keseragaman pendapat tentang baligh, berakal,
merdeka dan Islam menjadi syarat perwalian. Mazhab Syafi`i menambahkan adil dan laki-laki menjadi syarat menjadi wali, sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan.
16
Ibid .
17
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: terj M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2001, hlm. 59.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
b. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974
Pasal 47 ayat 1 Undang-undang ini menyatakan, Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2 Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Memperhatikan bunyi kedua ayat tersebut, diketahui bahwa kedua orang tua mempunyai kekuasaanwewenang bertindak dalam melakukan perbuatan hukum atas
nama dan untuk kepentingan anaknya. Namun kewenangan itu dimiliki oleh mereka jika anaknya belum mencapai usia 18 delapan belas tahun, tidak pula sudah pernah
menikah, tentu termasuk janda dan tidak pula kekuasaan mereka telah dicabut. Dalam hal kekuasaan orang tua telah dicabut, kewenangan untuk
pelaksanaan perkawinan menjadi kekuasaan wali. Pasal 50 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam KHI menyatakan, Anak yang belum mencapai umur 18 delapan
belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2 Perwalian itu mengenai
pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Berdasarkan bunyi kedua pasal tersebut di atas, tidak jelas apakah yang
dimaksud kedua orang tua atau wali lak-laki atau perempuan. Ini berarti Undang-
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
undang Perkawinan memberi peluang bagi perempuan memangku perwalian, dengan perkataan lain perempuan juga boleh menjadi wali?
Selanjutnya pasal 51 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam KHI menyatakan, Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Undang-undang Perkawinan dalam hal wali mensyaratkan dewasa, sehat
pikiran, adil, jujur dan berkelakuan baik bagi wali, tanpa mensyaratkan laki-laki. Khusus mengenai wali nikah Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah
perempuan boleh menjadi wali. Namun demikian karena Kompilasi Hukum Islam KHI juga merupakan hukum tertulis dan juga menjadi acuan bagi pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan mensyaratkan laki-laki sebagai wali nikah. Pasal 20 ayat 1 KHI menyatakan Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh. Syarat perwalianwali menurut Undang-undang Perkawinan ialah dewasa,
berpikiran sehat, adil, jujur, berkelakuan baik. Secara teoritis Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi syarat wali, akan tetapi dalam
prakteknya laki-laki menjadi syarat dalam perwalian dan dalam perkawinan, karena demikian menurut KHI. Itu artinya haruslah laki-laki yang menjadi wali nikah.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
3. Macam-macam Wali