penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu untuk mencari jawaban mengenai bagaimana seoang perempuan bisa menikah dengan
berwalikan hakim.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan yang diperoleh dari
berbagai literatur yang terdiri dari dokumen-dokumen resmi, buku, hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat dengan objek permasalahan yang diteliti.
3. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif, ilmiah dan dapat dibuktikan kebenaranya serta dapat pula dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam
penelitian ini diperoleh melalui metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan: Studi dokumen dengan melakukan Library Research penelitian
Kepustakaan, yang dilakukan untuk menghimpun data sekunder beupa bahan buku, baik primer, sekunder maupun tertier yang berhubungan dengan materi penelitian.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dikelompokkan, diolah dan diteliti serta dievaliasi keabsahannya. Setelah selesai diseleksi dan diolah lalu dianalisis dengan
menggunakan metode deduktif dan induktif, hal ini dimaksudkan untuk menentukan data yang benar-benar diperlukan dan mudah untuk dianalisis, lalu ditarik kesimpulan
sebagai jawaban dari permasalahan yang diteliti. Pada tahap penarikan kesimpulan data sekunder dianalisis secara kualitatif
dengan menelaah semua data yang diperoleh dari responden sehingga hal ini dapat memberikan gambaran mengenai penerapannya di lapangan.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
BAB II PENGANGKATAN WALI HAKIM
DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM A.
Pengangkatan dan Fungsi Wali Hakim
Para wali adalah mereka yang terdiri dari kerabat dekat calon mempelai perempuan yang disebut dengan wali nasab mempunyai wewenang untuk
mengawinkan calon mempelai perempuan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut hukum.
Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah
`ammah penguasa umum, sebagaimana kekuasaaanya yang berkaitan dengan
pengurusan harta kekayaan orang yang tidak mempunyai wali, demikian pula kekuasaannya yang berhubungan dengan pernikahan.
Alasan yang menyatakan bahwa penguasa sulthan boleh memangku jabatan perwalian dalam pernikahan wilayah al-tazwij adalah hadits nabi SAW dari
Aisyah:
モデゅよ ゅヰェゅムレプ ゅヰΒャヱ ラクま ゲΒピよ ろエムル りぺゲョや ゅヨΑぺ .
リョ モエわシ ゅヨよ ゲヰヨャや ゅヰヤプ ゅヰよ モカキ ラみプ ゅヰィゲプ
. ゅヰャ ヴャヱΙ リョ ヴャヱ ラゅトヤジャゅプ やヱケゅイわシや ラみプ
リよやヱ ングョゲわャやヱ キヱやキ ヲよぺ ロやヱケ ヮィゅョ
Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika laki-laki yang menikahinya menggaulinya, maka
wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka para wali bertengkar, maka sulthan itu
adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.
27
Yang dimaksud dengan sulthan disini ialah Imam pemimpin, kepala Negara atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu.
28
Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai
alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurutnya, yang dimaksud dengan pertengkaran di sini adalah
yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di
bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib tidak ada di tempat atau sedang
ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya.
29
Menyangkut wali hakim ialah: Kepala Negara yang beragama Islam yang mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk
menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim.
30
27
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, Bandung: 1976, hlm. 117.
28
Ibn Qudamah, 1367 H. Al-Mughni, Juz VI, Mesir: Dâr al-Manar, hlm. 461.
29
Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57.
30
Hasballah Thaib, 1983, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, Medan: Universitas
Dharmawangsa, hlm. 53.
Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim
sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf b Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan
kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim,
menyatakan: Pasal 1 huruf b, wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Pasal 2 ayat 1, bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeriwilayah ekstra – teritoria Indonesia ternyata
tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya
dapat dilangsungkan dengan wali hakim.
Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan
berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata pejabat pada bunyi pasal 1 huruf b di atas.
Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama KUA Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah P3N yang oleh Kepala
Seksi Urusan Agama Islam Kasie URAIS kabupatenkota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila
ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Pada pasal 4 dan 5 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan demikian:
Ayat 1 Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan
mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat 1 peraturan ini.
Ayat 2 apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas
nama Kepala Kantor Departemen Agama KabupatenKota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakilpembantu Pegawai
Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
Pasal 5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang
memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat 1 peraturan ini.
Dalam hukum Islam wali itu terbagi 3 tiga macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang
terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya sebagai berikut:
ゅヰョゅェケぺ ンヱク ラヱキ ゅヰわヨダハ リョ りぺゲヨャや ヴャま ゆゲホΕや ヲワ ヴャヲャや
Maksudnya: Wali yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang ashabah
nya bukan zawil arhâm atau orang yang berhak menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa
ada walinya.
31
Sedangkan fungsi yang dimiliki wali hakim berdasarkan hukum Islam dan Undang-undang pada akhirnya adalah sama, yaitu sama-sama sebagai pengganti wali
nasab atau wali aqrab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya disebabkan oleh halangan-halangan yang bersifat pribadi dari wali-wali tersebut, seperti `adhal
enggan untuk menikahkan calon mempelai perempuan, ataupun disebabkan oleh kondisi eksternal yang melekat pada wali-wali itu seperti mafqud tidak diketahui
keberadaannya, sakit, wafat, jauh dari lokasi pernikahan, belum memenuhi syarat yang ditetapkan hukum seperti belum baligh, atau gila sebagaimana yang terdapat
dalam UU perkawinan atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.
Demikian juga dalam pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan dijelaskan, Untuk melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh
satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
31
Al-Kahlani, op.cit., hlm. 117.
Pasal yang sama ayat 4 menyebutkan: Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya
maka izin diperoleh dari wali….
B. Kedudukan Wali Hakim Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam
1. Wali Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Kedudukan sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak
dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban merupakan peranan.
Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazim disebut pemegang peranan. Hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban adalah beban atau tugas.
32
Jadi yang dimaksud dengan kedudukan wali disini adalah hak dan atau peranan yang dimiliki oleh wali dalam suatu perkawinan.
Lebih khusus lagi adalah hak dan peran wali dalam pelaksanaan perkawinan. Wali dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang sangat penting,
keberadaannya menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam UU Perkawinan, mengadopsi mazhab Syafi`i, menyatakan bahwa
wali nikah merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Perkawinan tanpa wali akan menyebabkan tidak sahnya perkawinan. Ketentuan ini dimuat secara implisit
32
Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, Mesir: Dâr al-Fikr, Jus III, 1978, hlm. 153.
dalam pasal 2 ayat 1, yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
Dengan demikian tidak ada perkawinan dalam Islam apabila tidak dianggap sah menurut hukum Islam. Dalam hukum Islam wali merupakan rukun nikah, dimana
keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pernikahan itu sendiri, sehingga ketiadaan wali, baik wali nasab atau wali hakim, menyebabkan
pernikahan atau perkawinan tidak dianggap sah secara hukum Islam. Mengenai kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah tidak begitu
jelas dalam UU Perkawinan. Ia hanya sebatas memberikan izin dan izinnya itu merupakan syarat sahnya untuk melakukan perkawinan bagi orang yang dibawah
kewaliannya, itupun bagi orang belum dewasa. Namun demikian untuk pengaturan kehidupan keluarga, dalam hal ini perkawinan, diatur menurut perundang-undangan,
yaitu UU Nomor 1 tahun 1974. Undang-undang tersebut melegalisasi pemakaian hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, khususnya hukum perkawinan. Oleh karena
itu tentang kedudukan wali dalam pelaksanaan perkawinan merujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah Kompilasi
Hukum Islam KHI. Wali dalam perkawinan menurut KHI menjadi salah satu rukun dan sebagai
pelaksana ijab akad nikah sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 19. Wali nikah
dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Jadi, oleh karena hukum Islam KHI mensyaratkan adanya wali dan ia juga sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan, maka demikian pulalah UU
Perkawinan di Indonesia, karena UU Perkawinan menganggap sah perkawinan apabila telah dianggap sah hukum agama yang bersangkutan.
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam KHI tidak menjelaskan, apakah calon mempelai wanita dimaksud belum dewasa atau sudah, ataukah masih gadis atau
sudah janda. Dengan demikian, UU perkawinan berlaku umum dan menganggap sah perkawinan jika ada wali dan ia yang melaksanakan ijab akad nikah itu. Sedang wali
yang dimaksud dalam ayat tersebut meliputi wali nasab dan wali hakim. Dengan demikian, maka setiap perkawinan harus ada wali, keberadaan wali menentukan akan
sah atau tidaknya perkawinan itu. Jadi, UU perkawinan lebih cenderung kepada mazhab Syafi`i atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.
Sementara dalam Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan dijelaskan, Untuk melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh
satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 6 ayat 4 menyebutkan: Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin
diperoleh dari wali…. Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan menentukan, bagi Perkawinan yang belum
dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau wali. Lalu bagaimana kalau si calon mempelai sudah mencapai umur 21 dua puluh satu tahun atau lebih. Tidak ada
penjelasan untuk itu. Oleh karena itu, berarti UU Perkawinan menganggap boleh dilangsungkan perkawinan tanpa wali?
Manakala dihadapkan pada bunyi Pasal 14 dan 19 KHI, yang menghendaki adanya wali nikah, baik perkawinan gadis, janda, dewasa ataupun belum dewasa, dan
ia wali yang melaksanakan ijab akad nikah, dengan bunyi Pasal 6 ayat 2 dan ayat 4 UU Perkawinan, yang menyatakan izin kedua orang tua atau wali, diperlukan jika
umur calon mempelai wanita belum mencapai 21 dua puluh satu tahun. Ini berarti bahwa perkawinan bagi yang belum dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau
walinya. Sedangkan Perkawinan yang dilakukan oleh wanita yang berumur 21 dua puluh satu tahun atau lebih atau yang sudah janda tidak memerlukan adanya izin dari
orang tua atau wali? Kalau demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi yang sudah mencapai
umur 21 dua puluh satu tahun atau lebih tidak dapat melangsungkan perkawinan
meskipun tidak ada izin dari orang tua atau wali. Demikian juga tidak ada alasan bagi mereka untuk kawin lari dengan alasan serupa.
Secara lahir kedua peraturan perundang-undangan itu tampaknya memunculkan pertentangan, di satu pihak membolehkan melakukan perkawinan
tanpa ada izin wali bagi yang sudah berumur 21 dua puluh satu tahun atau lebih dan di lain pihak menyatakan semua calon mempelai wanita harus mempunyai wali
apabila ingin menikah. Namun sebenarnya bila dicermati lebih dalam, pada dasarnya kedua peraturan perundang-undangan tersebut saling mendukung dan mengisi
kekosongan satu sama lain, dengan demikian kedudukan atau peran wali dalam perkawinan menurut UU Perkawinan bukan hanya memberi izin saja, namun
berperan sebagai pelaksana ijab akad nikah, baik bagi yang masih gadis ataupun bagi yang berstatus janda, dewasa maupun yang belum dewasa. Wali nikah boleh saja wali
nasab atau wali hakim.
2. Wali Menurut Hukum Islam