Wali Menurut Hukum Islam

meskipun tidak ada izin dari orang tua atau wali. Demikian juga tidak ada alasan bagi mereka untuk kawin lari dengan alasan serupa. Secara lahir kedua peraturan perundang-undangan itu tampaknya memunculkan pertentangan, di satu pihak membolehkan melakukan perkawinan tanpa ada izin wali bagi yang sudah berumur 21 dua puluh satu tahun atau lebih dan di lain pihak menyatakan semua calon mempelai wanita harus mempunyai wali apabila ingin menikah. Namun sebenarnya bila dicermati lebih dalam, pada dasarnya kedua peraturan perundang-undangan tersebut saling mendukung dan mengisi kekosongan satu sama lain, dengan demikian kedudukan atau peran wali dalam perkawinan menurut UU Perkawinan bukan hanya memberi izin saja, namun berperan sebagai pelaksana ijab akad nikah, baik bagi yang masih gadis ataupun bagi yang berstatus janda, dewasa maupun yang belum dewasa. Wali nikah boleh saja wali nasab atau wali hakim.

2. Wali Menurut Hukum Islam

Seorang muslim mempunyai dua kategori kemampuan Ahliyat dalam tinjauan ilmu Ushul al-Fiqh, yaitu Ahliyat al-Wujud dan Ahliyat al-Adâ. 33 Ahliyat al- Wujud adalah kemampuan menerima hak dan kewajiban. 34 Yang dimaksud dengan 33 A. Hanafi, MA., Usul Fiqh, Jakarta: Penerbit Wijaya, Cet. VI, 1975, hlm. 25. 34 Kemampuan menerima hak dan kewajiban itu dibagi kepada dua kelompok, yaitu kemampuan menerima tidak penuh, seperti bayi yang belum dilahirkan mengingat tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia dapat menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan qabul, seperti kemampuan ini adalah kepatuhan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Dasar dari kemampuan ini adalah kemanusiaan, selama kemanusiaan itu ada, yaitu masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki. 35 Ahliyat al-Adâ adalah kemampuan berbuat, yaitu kepatutan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut pandang hukum, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. 36 Dasar dari kemampuan berbuat adalah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia diberi kemampuan berbuat. Tetapi karena berakal adalah sesuatu yang abstrak, maka kedewasaan bulûgh yang dijadikan ukurannya, yang dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal atau dari umurnya, kurang lebih 15 lima belas tahun. 37 Kemampuan berbuat ini dibagi kepada 2 dua, yaitu: Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi anak-anak yang sudah tamyîz 38 , yang menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau walinya membelikan sesuatu untuknya maka yang terakhir ini tidak diwajibkan membayar dari hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya. Sedangkan yang kedua adalah kelompok yang mempunyai kemampuan menerima penuh, yaitu yang dimiliki seseorang yang sudah dilahirkan. Ia dapat menerima hak-hak dan kewajiban sepenuhnya. Kemampuan ini dimiliki selkama hidupnya. Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila terus menerus. Yang dimaksud dengan kewajiban yang dikenakan terhadap harta bendanya. Karena belum sempurna akal dan badannya maka walinya yang melaksanakannya. 35 Ibid. 36 Sebagai contoh adalah apabila ia berpuasa perbuatan , puasa itu sah, Kalau ia menjual sesuatu perkataan, transaksi itu sah, dan ia terikat dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dariperbuata tersebut. Lihat: M. Hasballah Thaib, MA., Al-Ushûl fî Ilm al-Ushûl, Penerbit Dâr al- Arafah, 1999, hlm. 26-30. 37 Ibid. 38 Tamyîz masa transisi dimana kondisi anak yang sudah melewati fase kanak-kanak tetapi belum mencapai usia baligh. dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, berguna atau tidak, tetapi pengetahuan tersebut belum kuat. Kedua adalah kemampuan berbuat yang penuh, yaitu bagi orang-orang yang sudah dewasa. 39 Dalam masalah perwalian dalam perkawinan, ulama fiqh sependapat bahwa ijab dan qabul adalah termasuk rukun dalam pernikahan. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah ijab dalam nikah itu apakah dapat dianggap sah suatu perkawinan apabila diucapkan langsung oleh calon istri, atau perempuan lain sebagai wakilnya. Tegasnya sahkah ijab akad nikah jika diucapkan langsung oleh calon istri tanpa wali atau ijab diucapkan oleh perempuan lain sebagai wakilnya wanita lain menjadi wali nikahnya. Mengenai hal tersebut paling tidak ada tiga pendapat di kalangan ulama fikih. a. Wali haruslah seorang laki-laki, tidak sah perempuan menjadi wali. Pendapat ini diperpegangi oleh Mazhab Syafi`I, Maliki dan Hambali. 40 b. Apabila seorang perempuan dewasa melakukan akad nikah, nikahnya tanpa wali, sedangkan calon suaminya se-kufu sebanding dengannya, nikahnya itu 39 Ibid. 40 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1981, hlm. 64-66. sahboleh. Jika tidak sebanding, walinya berhak mem-fasakh-kan perkawinan itu. Demikian pendapat Imam Abu Hnifah, Zufar, Al-Sya`biy dan al-Zuhriy. 41 c. Disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda. Demikian menurut Abu Daud. 42 Menurut ibn Rusyd, perbedaan pendapat ini terjadi karena alasan landasan hukum dalil yang dipakai oleh pihak yang mensyaratkan wali untuk melaksanakan akad nikah hanya memuat kemungkinan demikian. Begitu juga alasan yang diperpegangi oleh yang tidak mensyaratkan wali juga hanya bersifat kemungkinan demikian. Ringkasnya, dalil-dalil yang dipakai oleh para pihak, boleh jadi memang menunjukkan disyaratkan adanya wali dan wali harus yang melakukan ijab akad nikah itu, namun tidak juga tertutup kemungkinannya bukan demikian. 43 Adapun dalil-dalil pendapat pertama, mazhab yang mengatakan bahwa wali itu harus laki-laki dan ia yang melakukan ijab akad nikah, mengungkapkan alasan dengan dalil al-Quran: a. Q.S. an-Nur ayat 32: ユムレ娃ョ ヴョゅ娃ΑΕや やヲ娃エムルやヱ ... artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu… 44 41 Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: terj, Maskur AB., Lentera, 2001, hlm. 345. 42 Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Mesir: Juz II,Dâr al-Kutub al-Arabiyah, tt., hlm. 7. 43 Ibd. 44 Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 549. b. Q.S. al-Baqarah ayat 221: やヲ娃レョぽΑ ヴ娃わェ リΒミゲゼ娃ヨャや やヲエムレゎ Ιヱ , artinya: Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita muminah sehingga mereka beriman. 45 c. Q. S. al-Baqarah ayat 232: リヰィやヱコぺ リエムレΑ ラぺ リワヲヤツバゎ Κプ リヰヤィぺ リピヤらプ ¬ゅジレャや ユわボヤデ やクまヱ artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya. 46 Ayat pertama ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali, bukan wewenang si calon mempelai wanita. 47 Ayat kedua juga ditujukan kepada wali agar mereka tidak menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim. Andaikata perempuan mempunyai hak untuk menikahkan dirinya, tentu tidak ada artinya ayat itu ditujukan kepada para wali, sebab ia sendiri boleh melaksanakan akad nikah itu. Lagi pula kalau sekiranya ada hak perwalian bagi perempuan, sudah pasti ayat itu ditujukan kepada perempuan. 45 Ibid., hl. 53. 46 Ibid., hlm. 56. 47 Mahmud Syaltût dan Ali al-Sâyis, Muqâranah al-Mazâhib fî al-Fiqh, Al-Azhar: Mathba`ah Muhammad Ali Shabih, 1953, hlm. 58. Ayat ketiga menyatakan bahwa larangan dalam ayat tersebut ditujukan kepada wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak ada artinya dan tidak ada gunanya melarang para wali berlaku `adhal. Untuk menguatkan pendapat ini, ayat ini diturunkan berkenaan dengan `adhal-nya Ma`qil ibn Yasar, untuk menikahkan saudaranya yang telah diceraikan suaminya. Lalu keduanya ingin bersama kembali, akan tetapi Ma`qil ibn Yasar tidak mau menikahkan saudara perempuannya tersebut. 48 Jadi andai kata saudara perempuan Ma`qil ibn Yasar berhak menikahkan dirinya, tentu tidak turun ayat yang mencela tindakan Ma`qil, bahkan mestinya turun ayat agar langsung menikahkan dirinya tanpa wali. Dari sisi lain, andaikata tidak ada wewenang wali, tentunya Rasul tidak menyuruh Ma`qil untuk menikahkan saudaranya itu. Adapun dalil-dalil dari sunnahhadis Rasul diantaranya: a. Hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, Dâr Quthniy dan ibn Mâjah: ゅヰジヘル ァヱゴゎ ヴわャや ヴワ るΒルやゴャや ラみプ ゅヰジヘル りぺゲヨャや ァヱゴゎ Ιヱ りぺゲヨャや りぺゲヨャや ァヱゴゎ Ι 49 48 Al-Qurthubiy, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qurân, Kairo: Juz III, Dâr al-Kutub al-Arabiyah, 1987, hlm. 158. 49 Al-Syawkâniy, Nail al-Awthâr, Mesir: Maktabah al-Bâbiy al-`Arabiy Juz VI, tt., hlm. 134. Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah perempuan itu meikahkan dirinya sendiri, bahwasanya ciri perempuan zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri. Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab akad nikah, baik untuk orang lain ataupun untuk dirinya sendiri. Larangan menunjukkan batalnya pekerjaan yang dilarang. 50 Selain itu, bahwa pernikahan yang langsung dilakukan oleh perempuan calon mempelai sama dengan perzinahan atau pelacuran. 51 b. Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh ibn Mâjah: ゲヰヨャや ゅヰヤプ ゅヰよ モカキ ラみプ モデゅよ ゅヰェゅムレプ ゅヰΒャヱ ラクま ゲΒピよ ろエムル りぺゲョや ゅヨΑぺ 52 Artinya: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya maka nikahnya batal. Dan jika laki-laki yang menikahinya menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar. Para sahabat Nabi mengamalkan hadis ini, yakni tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. 53 c. Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal dari Abu Burdah ibn Abi Musa, bahwa nabi pernah bersabda: ヴャヲよ Ιま ゥゅムル Ι tidak sah nikah tanpa adanya wali. 50 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971, hlm. 107. 51 Al-Syawkâniy, loc. cit. 52 Al-Kahlâniy, Subul al-Salam, Bandung: Maktabah Dahlan,Juz III, tt., hlm. 117. 53 Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Terj, M. Abdul Ghaffar E.M., Pustaka al- Kautsar, 2001, hlm. 50. Hadis ini menunjukkan tidak sah nikah tanpa adanya wali, sebab pada dasarnya pe-nafi-an mentidakkan adalah pernyataan tidak sah bukan pernyataan tidak sempurna. Dengan kata lain akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali. 54 Disamping kedua dasar hukum tersebut di atas, masih ada pertimbangan ratio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami dengan keluarga pihak istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih karena perempuan itu cepat merasa dan sering terpengaruh dengan perasaan emosional, tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kamaslahatan. Dan supaya jangan terjadi demikian, maka dilaranglah perempuan mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya. 55 Demikianlah pendapat mazhab al-Syafi`i dan yang sependapat dengannya mengenai masalah ijab akad nikah tanpa wali, atau ijab yang dilakukan oleh perempuan. 54 Al-Kahlâniy, loc. cit. 55 Ismuha, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1978, hlm. 12. Alasan pendapat kedua, yang berpandangan bahwa perkawinan boleh dilakukan tanpa wali, atau perempuan boleh melakukan ijab akad nikah dengan alasan:

1. Al-Quran: