akad nikahnya harus dilangsungkan oleh orang ketiga atas izinnya. Orang ketiga itu tidak lain adalah walinya.
113
B. Perpindahan Hak Perwalian
Pada bab terdahulu telah dijelaskan urutan perwalian dan merupakan urutan prioritas, yaitu prioritas pertama untuk menjadi wali adalah mereka yang berada
dalam kelompok wali aqrob. Namun demikian bagaimana apabila seorang wanita dinikahkan oleh wali yang jauh wali ab`ad sedangkan wali aqrob-nya ada, para
fuqaha berbeda pendapat tentang hal ini.
Menurut Imam al-Syafi`i, wali ab`ad tidak boleh mengawinkan perempuan selma adsa wali aqrob-nya yang memenuhi syarat untuk menjadi wali.
114
Menurut mazhab Hanafi, jikawali ab`ad mengawinkan seorang anak perempuan padahal wali
aqrob -nya masih ada, maka perkawinan itu sah jika disetujui oleh wali aqrob itu.
Kalau tidak disetujui maka perkawinan itu tidak sah.
115
Mazhab Malik berpendapat tertib antara wali-wali itu bukan merupakan syarat. Oleh karena itu wali ab`ad bleh mengawinkan perempuan, walaupun wali
113
Ibrahim Hosen, op. cit., hlm. 102.
114
Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 13.
115
͡Abd al-Rahman Al-Jaziriy, Kitab al-Fiqh `Ala Mazahib al-Arba`ah, Kairo: Dâr al-
Nahdhah, Juz IV, 1986, hlm. 40.
aqrob- nya masih ada, kecuali wali mujbir, wâshi, dan tuan. Misalnya antara saudara
aqrob dengan paman ab`ad, lalu paman bertindak menjadi wali.
116
Menurut ibn Rusyd, silang pendapat ini disebabkan apakah urutan wali tersebut merupakan hukum syara`, yaitu ditetapkan oleh syara` untuk urusan
perwalian, ataukah bukan hukum syara`, lalu apakah perwalian itu merupakan hak wali dekat aqrob ataukah hak Allah. Dikalangan fuqaha yang tidak menganggap
tertib wali itu sebagai hukum syara` mereka berpendapat wali jauh ab`ad boleh mengawinkan walaupun ada wali aqrob. Sementara bagi fuqha yang berpandangan
bahwa tertib wali tersebut sebagai hukum syara`, disamping menganggapnya sebagai hak wali aqrob, mereka mengatakan apabila wali aqrob membolehkan, maka akad
nikah sah dan boleh diteruskan. Akan tetapi jika wali aqrob tidak membolehkan, maka perkawinan itu dibatalkan. Fuqaha yang berpandangan bahwa perwalian itu hak
Allah maka perkawinan itu tidak terjadi.
117
Selanjutnya, mengenai perpindahan perwalian dapat terjadi disebabkn kematian dan tidak terpenuhi syarat menjadi wali. Para ulama sependapat bahwa hak
perwalian dapat berpindah dari wali aqrob kepada wali ab`ad disebabkan wali aqrob- nya tidak ada meninggal dunia, atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali.
116
Ibid., hlm. 37.
117
Ibn Rusyd, loc. cit.
Misalnya sakit keras, gila, idiot, atau masih anak-anak pada saat dilaksanakannya pernikahan.
Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai penyebab lainnya, antara lain:
a. Ghaibnya wali wali tidak berada di tempat
Pengikut mazhab Hanafi berpendirian bahwa, jika wali aqrob ghaib, maka perwalian itu berpindah kepada wali ab`ad.
118
Menurut mereka ghaib yang jauh itu tidak diukur dengan masafah qashar shalat yang biasa disebut dalam kitab fikih dua
marhalah , yaitu sejauh perjalanan unta sehari semalam, seperti pendapat mazhab al-
Syafi`iyyah, atau dengan perjalanan empat bulan seperti pendapat mazhab Maliki, melainkan mengingat sulitnya perhubungan. Kalau sekiranya ditunggu kedatangan
wali yang ghaib itu atau diminta pertimbangannya, kemungkinan besar akan menggagalkan pernikahan tersebut, maka yang demikian itu dikategorikan ghaib
juga. Katika itu, hak perwalian tidak berpindah kepada wali hakim melainkan kepada wali ab`ad.
119
Selanjutnya menurut mazhab Maliki, jika wali mujbir ghaib jauh, perwalian berpindah kepada hakim. Hanya saja – menurut mazhab ini – ghaib jauh itu sama
118
Hasan Ayyub, op. cit., hlm. 51.
119
Al-Jaziri, op. cit., hlm. 41.
dengan empat bulan perjalanan unta. Pendapat ini juga mempertimbangkan kondisi calon mempelai itu. Jika dikhawatirkan ia tidak akan dapat menjaga diri, atau
berkenan dengan keinginan orang tersebut untuk menikah, karena biaya hidup misalnya, meskipun wali itu dekat, tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya, maka
sama dengan wlai ghaib jauh, hakim dapat mengawinkannya. Namun jika wali mujbir itu ditahan atau berpenyakit gila temporal maka tidak boleh mengawinkannya tanpa
seizinnya. Jika gilanya permanen, perwalian berpindah kepada wali ab`ad, demikian juga jika wali itu masih kecil, pikun dan atau seorang hamba.
120
Mazhab Syafi`i berpandangan bahwa jika wali aqrob ghaib maka hak perwalian itu diserahkan kepada hakim, sedang wali ab`ad tidak berhak
mengawinkannya.
121
Sedangkan ghaib yang dikatakan jauh adalah sesuai dengan masafah al-qashar
122
menurut mazhab Hambali, wali aqrob ghaib jauh, masafah qashar, atau tidak diketahui keberadaannya, maka perwalian berpindah kepada wali
ab`ad.
123
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Mazhab Syafi`i dan Maliki berpendapat tidak hadirnya wali disebabkan ghaib jauh tidak menggugurkan
120
Ibid ., hlm. 38.
121
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj: Mahyuddin Shaf, jld. VII, PT. Al-Maarif, Bandung:
1998, hlm. 25.
122
Mahmud Yunsu, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hidakarya Agung, Jakarta: 1981,
hlm. 61.
123
Ibid.
perwalian. Wali tetap berhak, namun karena sukar melaksanakan tugasnya maka kedudukannya diganti oleh hakim. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Hambali
yang memendang bahwa ghaib jauhnya wali disamakan dengan wal tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali. Tidak hadirnya wali aqrob dipandang sama sebagai wali
tidak ada. Sedang kedua hal ini menyebabkan beralihnya perwalian kepada wali ab`ad.
b. Enggannya wali untuk menikahkan `Adhal
Yang dimaksud dengan enggan disini ialah keengganan wali dalam mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Yaitu mereka yang
mempunyai wewenang yang sangat jelas menjadi wali tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.
Terdapat dua pendapat yang mencuat dalam masalah ini, yaitu kelompok pertama dari Mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa apabila wali aqrab enggan
untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya `adhal, perwalian akan jatuh kepada wali ab`ad bukan kepada hakim. Karena masih terdapatnya urutan
wali setelah wali aqrab dalam susunan keluarga, tetapi bila wali ab`ad adhal juga maka hakimlah yang akan menjadi wali.
Kelompok kedua adalah Mazhab Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa dalam kasus ini perwalian berpindah kepada SulthanHakim, berdasarkan
hadits Nabi SAW:
モエわシや ゅヨよ ゲヰヨャや ゅヰヤプ ゅヰよ モカキ ラみプ モデゅよ ゅヰェゅムレプ ゅヰΒャヱ ラクま ゲΒピよ ろエムル りぺゲョや ゅヨΑぺ ゅヰャ ヴャヱ Ι リョ ヴャヱ ラゅトヤジャゅプ やヱケゅイわセや ラみプ ∩ゅヰィゲプ リョ
ングョゲわャやヱ キヱやキ ヲよぺ ロやヱケ るゼもゅハ リハ ラゅらェ リよやヱ
124
Artinya: Perempuan mana saja jika menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal. Jika laki-laki yang menikahinya mencampurinya, maka wajib
baginya membayar mahar untuk kehormatan yang telah ia peroleh dari kehormatannya. Jika mereka para wali bertengkar, maka hakim adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali. HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn Hibban dari `Aisyah.
Pengertian pertengkaran pada penggalan hadits di atas adalah larangan untuk menikah. Jika wali aqrob sebagai wali yang utama melarang perempuan yang
berada di bawah perwaliannya untuk menikah dan ia tidak meu untuk menikahkannya maka perkawinan diserahkan kepada hakim, bukan kepada wali ab`ad.
Dari redaksi hadits tersebut di atas dapat juga diambil pengertian bahwa pertengkaran di antara wali membatalkan perwalian mereka dan menjadikan mereka
124
Al-Kahlani, op.cit., hlm. 118
tidak berfungsi. Artinya perpindahan perwalian dalam hal ini didasarkan karena masih adanya wali aqrob yang menghalangi hak perwalian bagi wali ab`ad.
Terhalangnya wali ab`ad dan menolaknya wali aqrob untuk menikahkan menyebabkan perwalian jatuh kepada wali hakim.
C. Pelaksanaan dan Tata Cara Perkawinan Berwalikan Hakim