Pertimbangan Ratio Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

b. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari al-Nasai: ヲヨヤャ ザΒャ ゲョほわジゎ るヨΒわΒャやヱ ゲョぺ ょΒんャや ノョ ヴャ 61 Artinya: Wali tidak mempunyai urusan dengan perempuan janda tsayyib dan yatimah perempuan yatim dimintai pendapatnya. Perempuan janda memiliki kewenangan sempurna mengenai dirinya dan hartanya. Kalau terhadap hartanya ia mempunyai kewenangan karena kecakapannya, maka demikian pulalah kewenangannya mengenai pernikahannya. 62

3. Pertimbangan Ratio

Perkawinan bukan hanya mempunyai tujuan sekunder, dimana wali juga ikut serta merasakan akibat dari perkawinan itu, seperti terikatnya tali kekerabatan antara dua keluarga. Akan tetapi yang utama adalah tujuan primer yang hanya dimiliki perempuan yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali, seperti urusan istimta` persebadanan, belanja nafkah rumah tempat tinggal, pakaian kiswah dan hak-hak serta kewajiban lainnya yang dimiliki perempuan. Akad yang bertujuan seperti tersebut di atas adalah wajar apabila yang memegang peranan dan menentukan adalah orang yang bersangkutan yang mempunyai tujuan primer tersebut. Selain dari itu, akad nikah serupa dengan akad jual beli, kalau seorang 61 Ibid. 62 Zakaria al-Bari, loc.cit. perempuan diperbolehkan menjual hartanya yang dimilikinya, maka wajar pula lah ia dibolehkan langsung melaksanakan akad nikahnya karena ini langsung mengenai kemaslahatan dirinya. Alasan pendapat ketiga yang berpendapat dengan disyaratkannya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda adalah berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ibn Abbas sebagai berikut: ゅヰゎゅヨタ ゅヰルクまヱ ゅヰジヘル ヴプ ラクほわジゎ ゲムらャやヱ ゅヰΒャヱ リョ ゅヰジヘレよ ペェぺ ょΒんャや Artinya: Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya. Hadits ibn Abbas ini membedakan antara status janda dan gadis. Janda dapat menikah tanpa wali karena ia lebih berhak dari pada walinya. Malahan dari suatu riwayat, ibn Abbas menerangkan bahwa si wali tidak mempunyai hak sedikitpun terhadap janda. Si gadis tidak boleh langsung menikahkan dirinya karena akad nikahnya harus dilangsungkan oleh orang ketiga atas izinnya. Orang ketiga itu tidak lain adalah walinya. 63 Selanjutnya terhadap pendapat pertama, imam al-Syafi`i dan yang sepaham dengannya, yang berpendirian bahwa wali menjadi syarat sah dalam melakukan ijab 63 Ibrahim Hosen, op.cit., hlm. 102. akad nikah dalam perkawinan, dikomentari oleh pihak lain terhadap dalil-dalil mereka sebagai berikut. Adapun pengambilan dalil tentang harus ada wali dari ayat 32 QS an-Nur dan ayat 221 QS al-Baqarah, bahwa objek pada ayat tersebut kemungkinan besar ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, bukan khusus untuk para wali, dan bukan untuk memerintahkan mereka mencampuri akad nikah. Itu termasuk kategori pembuatan hukum yang umum, dan semua kaum muslimin diperintahkan untuk beramal dalam rangka memelihara para janda dalam tindakan melarang mereka untuk menikah seperti halnya pada masa jahiliyah. Hal ini didukung oleh hadits nabi SAW: キゅジプヱ チケΕや ヴプ るレわプ リムゎ ロヲヤバヘゎ Ιま ロヲィヱゴプ ヮボヤカヱ ヮレΑキ ラヲッゲゎ リョ ユミ¬ゅィ やクま ゲΒらミ Artinya: Apabila datang melamar kepadamu orang yang kamu suka mengenai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah ia. Jika kamu tidak melakukannya, akan terjadi suatu fitnah di muka bumi dan kerusakan besar. Jelas bahwa yang dimaksud dengan hadits itu, yaitu memelihara janda dengan mempermudah jalan untuk kawin dan tidak membatasi mereka dalam melaksanakan perkawinan. 64 Lagi pula shigat amar yang ada pada kata ankihû ayat 32 QS An-Nur bukan menunjukkan kepada kewajiban, tetapi lebih kepada ibahah. 64 Ismuha, op.cit., hlm. 127. Karena kalau sekiranya menunjukkan wajib, maka berarti wali boleh mengawinkan janda yang dewasa tanpa seizinnya. 65 Sedangkan ayat 232 QS al-Baqarah, adalah suatu kalimat yang tersusun dari syarat dan jazâ. Tidak ada keraguan bahwa syarat adalah khitab kepada suami, dengan demikian maka jawabnya pun harus khitab kepada suami. Kalau tidak maka rusaklah susunan kalimat yang mulia itu. 66 Adapun pengambilan dalil dari sunnah Nabi ヴャヲよ Ιま ゥゅムル Ι hadits itu adalah dha`if muttharib pada sanadnya. 67 Ada yang meriwayatkan secara mungqathi` terputus jalur periwayatannya dan diriwayatkan oleh Syu`bah secara mursal. Hadits ini masih diperselisihkan ke-shahih-annya, karenanya masih diperselisihkan tentang keharusan mengamalkannya. Oleh karena itu hadits ini tidak dapat diterima sebagai hujjah dalil. Andaikata dapat diterima, paling jauh hadits ini hanya sampai ke derajat hasan, sedangkan hadits hasan tidak dapat melawan hadits shahih yang mengatakan ゅヰジヘレよ ペェぺ ユΑΕや janda itu lebih berhak terhadap dirinya. Selanjutnya alasan yang dikemukakan berdasarkan hadits: ゅヰジヘル ァヱゴゎ ヴわャや ヴワ るΒルやゴャや ラみプ ゅヰジヘル りぺゲヨャや ァヱゴゎ Ιヱ りぺゲヨャや りぺゲヨャや ァヱゴゎ Ι 65 Ibrahim Hosen, op.cit. hlm. 81. 66 Mahmud Syaltut, op.cit., hlm. 62. 67 Kamaluddin, Fath al-Qâdir, Mesir: Dâr al-Fikr, Juz III,tt., hlm. 259. Menurut ibn Katsir hadits ini mauquf pada Abu Hurayrah. Kalaupun hadits ini marfu` maka paling jauh maksudnya menghindari kesewenang-wenangan perempuan mengenai dirinya dalam masalah perkawinan dan tidak ada disitu sesuatu yang menunjukkan fasidnya akad apabila dilaksanakan oleh perempuan. 68 Seandainya hadits ini shahih sesuai dengan Mazhab Hanafi, kata la nafiyah yang terdapat pada kata la tuzawwiju yang ditiadakannya adalah sempurnanya bukan menafikan sahnya. Jadi larangan itu bukan menunjukkan batalnya perbuatan yang dilarang, melainkan sebaliknya membuktikan sahnya perbuatan itu. Larangan dalam hadits menunjukkan kepada sahnya nikah itu, karena nikah disyari`atkan oleh agama, namun pelakunya berdosa karena ijab akad nikah yang diucapkan oleh perempuan, yang mana dilarang oleh agama menurut hadits tersebut. 69 Mengenai disamakannya nikah tanpa wali dengan zina adalah kurang tepat, sebab zina adalah akad tanpa saksi dan bersifat rahasia, sedangkan akad nikah tanpa wali yang disaksikan dua saksi tidak bersifat rahasia. 70 Sedangkan dalil secara ratio yang dikemukakan oleh Mazhab Syafi`i yang mengatakan untuk menghasilkan tujuan-tujuan perkawinan, tujuan itu tidak tergantung kepada keharusan si wali melaksanakan ijab akad nikah, tetapi cukuplah 68 Al-Syawkani, op.cit., hlm. 135. 69 Ibrahim Hosen, op.cit., hlm. 113. 70 Hasbullah Bakry, op.cit., hlm. 165. bagi wali mengizinkan atau merestuinyarela, kemudian nikah itu dilaksanakan oleh siapa saja. Sebab kehilangan kemaslahatan bukan terletak kepada kewanitaannya, melainkan kerena belum dewasanya shaghir. Ole sebab itu tidak cukup alasan untuk membuktikan bahwa ijab akad nikah tidak sah kalau dilaksanakan oleh perempuan. Terhadap pendapat kedua yang menyatakan bahwa perempuan sah melaksanakan ijab akad nikah, terhadap dalil mereka dikatakan sebagai berikut: Khitab Q.S. Al-Baqarah ayat 230 dan 232 ditujukan kepada para wali. Mereka dilarang berlaku adhal terhadap perempuan yang dibawah kewaliannya untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Adanya larangan adhal bagi wali menunjukkan bahwa perwalian ada di tangan wali. Andaikata tidak ada perwalian bagi wali, tentunya tidak turun ayat yang melarang adhalnya wali. 71 Sebagai bahan tambahan disini dapat dikemukakan bahwa andaikata hak mengawinkan itu ada pada perempuan maka kata wa ankihû pada ayat 32 QS al-Nur dibaca wankihû tanpa hamzah muqattha`ah atau menjadi huruf alif washal, demikian menurut mayoritas ulama. 72 71 Sebab turunnya ayat 232 surah al-Baqarah di atas berkenaan dengan peristiwa Ma`qil ibn Yasar yang enggan untuk menikahkan adik perempuannya dengan mantan suaminya. Lihat: Zakaria al- Bariy, op.cit., hlm. 79. 72 Al-Qurthubiy, op.cit., hl. 239. Mengenai hadits Nabi SAW: Βんャや ゅヰゎゅヨタ ゅヰルクまヱ ゅヰジヘル ヴプ ラクほわジゎ ゲムらャやヱ ゅヰΒャヱ リョ ゅヰジヘレよ ペェぺ ょ Dan hadits Nabi SAW: ゲョほわジゎ るヨΒわΒャやヱ ゲョぺ ょΒんャや ノョ ヴャヲヤャ ザΒャ Kedua hadits ini memang menunjuk tsayyib janda lebih berhak tentang dirinya dari pada walinya. Maksudnya disini adalah kekuasaan atau kewenangan tentang kerelaannya dalam memilih jodoh, yakni menentukan setuju atau tidaknya perkawinan itu adalah hak si janda, bukan hak tentang pelaksanaan yang menyangkut dengan ijab akad nikah. 73 Mengenai analog akad nikah disamakan dengan akad jual beli, hal ini merupakan analog qiyas fasid. Sebab mengqiyaskan yang sudah terang ada hukumnya. 74 Selanjutnya mengenai pendapat ketiga yang berpendirian bahwa perempuan boleh menajdi wali jika perkawinan janda, dan disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis, maka terhadap pendapat ini diajukan keberatan sebagai berikut: Sifat perawan bikarah tidak mempunyai pengaruh dalam kehilangan hak yang adanya karena berakal dan baligh. Sifat perawan tidak lebih hanya kebiasaan 73 Al-Syawkani, op.cit., hlm. 136. 74 Kamaluddin, op.cit., hlm. 257. mengakibatkan adanya rasa malu mengenai kerelaannya untuk menyatakan persetuuannya, sebagaimana diugkapkan dalam beberapa hadits, bahwa diamnya gadis menunjukkan kerelaannya. Andaikata si gadis tidak menurut kebiasaannya yang dipengaruhai oleh rasa malu, tentulah tidak dapat menggambarkan adanya perbedaan antara janda dengan gadis dalam masalah pernyataan persetujuan nikah. Oleh sebab itu tentunya tidak menggambarkan boleh diberi hukum batal mengenai ijab akad nikah yang dilaksanakannya. Demikianlah pendapat para pakar hukum Islam tentang boleh atau tidaknya perempuan menjadi wali dalam pernikahan. Mazhab Hanafi membolehkan secara mutlak dan tidak membedakan antara seoarang gadis atau janda yang sudah dewasa; sedangkan Mazhab Syafi`I tidak membolehkannya secar mutlak, sementara Abu daud membolehkannya pada perkawinan janda dan tidak pada perkawinan gadis. Dalil-dali yang tidak sependapat dengan Mazhab Hanafi tidak dapat membuktikan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk boleh melaksanakan ijab akad nikah kalau mendapat izin dari wali, sesuai dengan hadits Nabi dari Aisyah ra., berkata Nabi SAW: モデゅよ ゅヰェゅムレプ ゅヰΒャヱ ラクま ゲΒピよ ろエムル りぺゲョや ゅヨΑぺ リよやヱ ングョゲわャやヱ キヱやキ ヲよぺ ロやヱケ ヮィゅョ 75 75 Al-Kahlani, op.cit., hlm. 117. Artinya: Perempuan manapun manikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal…HR. Arba`ah kecuali Nasai. Hadits tersebut memberi pengertian bahwa tidak ada nikah tanpa ada izin wali. Artinya kalau ada izin wali pernikahan tersebut tidak batal. Sejalan dengan hadits di atas ialah sabda Nabi SAW: Lâ nikâha illâ bi waliyyin yang pada riwayat Baihaqi berbunyi: Lâ nikâha illâ bi izni waliyyin 76 izin bukan berarti harus wali yang melaksanakan akad. Dengan demikian maka pendapat yang menjadi pilihan penulis adalah dengan menggabungkan antara dua pendirian di atas. Adapun alasan pemilihan pendapat ini didasarkan kepada: a. Meskipun Mazhab Hanafi memandang perempuan boleh menjadi wali dalam perkawinan, namun mereka berpendirian bahwa lebih baik perempuan mewakilkan kepada walinya dalam urusan perkawinan. Hal mana lebih menjaga adat dan adab yang diakui agama. b. Demi kemaslahatan, bahwa dalam akad perkawinan semestinya lah ada persetujuan calon istri dan izin wali, dan tidak dilakukan oleh sepihak, yakni oleh calon istri tanpa izin wali; atau oleh wali tanpa izin calon istri. Jika hal seperti ini dilakukan tidak satu mazhabpun membantah perkawinan itu sah. 76 Zakiyuddin, op.cit., hlm. 218. Sebab tidak dijumpai dalam syari`at bahwa perempuan terlarang melaksanakan akad. Bahkan syari`at tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam bertindak melakukan akad. Namun demikian adalah mustahab lebih disukai apabila wali melaksanakan ijab akad nikah, demi menjaga celaan dan rasa malu si wanita c. Jika masalah wali ini merupakan suatu aturan yang telah dikenal, tentu hal itu sudah diriwayatkan kepada kita secara tawatur ataupun yang mendekati tawatur . Karena masalah perkawinan ini merupakan suatu hal yang banyak dibutuhkan. Pada hal ternyata baik alasan dari ayat al-Quran maupun hadist nabi SAW secara lahirnya, yang dipakai sebagai alasan yang mempersayaratkan wali hanya bersifat ihtimal untuk itu. Demikian juga ayat- ayat dan hadits-hadits yang dipakai oleh yang tidak mempersyaratkan wali juga ihtimal untuk itu. 77

C. Syarat-syarat Untuk Menjadi Wali Hakim

1. Menurut Hukum Islam