Menurut Hukum Islam Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974

Sebab tidak dijumpai dalam syari`at bahwa perempuan terlarang melaksanakan akad. Bahkan syari`at tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam bertindak melakukan akad. Namun demikian adalah mustahab lebih disukai apabila wali melaksanakan ijab akad nikah, demi menjaga celaan dan rasa malu si wanita c. Jika masalah wali ini merupakan suatu aturan yang telah dikenal, tentu hal itu sudah diriwayatkan kepada kita secara tawatur ataupun yang mendekati tawatur . Karena masalah perkawinan ini merupakan suatu hal yang banyak dibutuhkan. Pada hal ternyata baik alasan dari ayat al-Quran maupun hadist nabi SAW secara lahirnya, yang dipakai sebagai alasan yang mempersayaratkan wali hanya bersifat ihtimal untuk itu. Demikian juga ayat- ayat dan hadits-hadits yang dipakai oleh yang tidak mempersyaratkan wali juga ihtimal untuk itu. 77

C. Syarat-syarat Untuk Menjadi Wali Hakim

1. Menurut Hukum Islam

Di muka telah dijelaskan bahwa untuk dapat terjadinya tindakanperbuatan hukum atau akad yang mempunyai akibat hukum, orang yang melakukannya harus cakap dan mempunyai kekuasaan untuk melakukannya. 77 Ibn Rusyd, op.cit., hlm. 7. Akan halnya perwalian dalam perkawinan, bagi sahnya perwalian disyaratkan: a. Berkecakapan sempurna, yaitu baligh, berakal dan merdeka. Oleh karena itu tidaklah sah anak-anak belum dewasa, orang gila dan hamba sahaya memangku perwalian, karena mereka tidak mempunyai wilayah atas diri sendiri, apalagi wilayah atas wilayah orang lain, tentu lebih tidak layak. 78 b. Kesamaan agama antar wali dan yang diwalikan. Oleh karena tujuan perwalian adalah untuk kebaikan orang yang dibawah perwalian, maka kesamaan agama diantara keduanya lebih layak untuk kebaikannya. Oleh sebab itu tidak layak perwalian non muslim atas orang muslimah. 79 c. Adil. Adil menjadi syarat perwalian di kalangan mazhab Syafi`i, namun tidak demikian bagi mazhab Hanafi. Menurut mazhab Hanafi meskipun ada hadits: メギハ ヵギワゅセヱ ギセゲョ ヴャヲよ Ιま ゥゅムル Ι Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, sebab hadits ini dha`if, kalaupun hadits ini diterima sebagai dalil, kata mursyid dalam hadits tersebut bukan bermakna adil, akan tetapi cerdik, yaitu dapat membedakan baik dan buruk. 78 Muhammad Salam Madkur, Ahkam al-Usrah fi al-Islam, Beirut: an-Nahdhah al- `Arabiyah, Jld I, 1968, hlm. 178. 79 Ibid . d. Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya sendiri, apalagi orang lain. 80 Dengan demikian sahnya perwalian dalam hukum Islam masih terdapat pluralistik mazhab, meskipun ada keseragaman pendapat tentang baligh, berakal, merdeka dan Islam menjadi syarat perwalian. Mazhab Syafi`i menambahkan adil dan laki-laki menjadi syarat menjadi wali, sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan.

2. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974

Pasal 47 ayat 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan, Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2 Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Sebagaimana diketahui pelaksanaan perkawinan merupakan perbuatanperistiwa hukum. Menyimak bunyi kedua ayat tersebut, diketahui bahwa kedua orang tua mempunyai kekuasaanwewenang bertindak dalam melakukan perbuatan hukum atas nama dan untuk kepentingan anaknya. Namun kewenangan itu dimiliki oleh mereka jika anaknya belum mencapai usia 18 delapan belas tahun, 80 Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Kautsar, terj, M. Abdul Ghaffar, 2001, hlm. 59. tidak pula sudah pernah menikah, tentu termasuk janda dan tidak pula kekuasaan mereka telah dicabut. Dalam hal kekuasaan orang tua telah dicabut maka kewenangan itu menjadi kekuasaan wali. Pasal 50 ayat 1 menyatakan, Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2 Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Sejauh bunyi Pasal 50 Ayat 1 dan 2 tersebut di atas, tidak dijelaskan apakah kedua orang tua atau wali yang dimaksud laki-laki atau perempuan. Ini berarti Undang-undang Perkawinan memberi peluang bagi perempuan memangku perwalian, dengan perkataan lain perempuan juga boleh menjadi wali? Selanjutnya pasal 51 ayat 2 menyatakan, Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Undang-undang Perkawinan mensyaratkan dewasa, sehat pikiran, adil, jujur dan berkelakuan baik bagi wali, tanpa mensyaratkan laki-laki. Khusus mengenai wali nikah Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah perempuan boleh menjadi wali. Namun demikian karena Kompilasi Hukum Islam KHI juga merupakan hukum tertulis dan juga menjadi acuan bagi pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mensyaratkan laki-laki sebagai wali nikah. Pasal 20 ayat 1 KHI menyatakan Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh. Berdasarkan hal tersebut di atas, syarat perwalianwali menurut Undang- undang Perkawinan ialah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, berkelakuan baik. Secara teoritis Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi syarat wali, akan tetapi dalam praktiknya laki-laki menjadi syarat dalam perwalian dan dalam perkawinan, karena demikian menurut KHI. Itu artinya haruslah laki-laki yang menjadi wali nikah.

3. Wali Dilihat dari Beberapa Sudut Pandang