BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah Sunatullâh, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan manusia, hewan dan bahkan tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman:
Ιゅヨョヱ ユヰジヘルぺ リョヱ チケΕや ろらレゎ ゅヨョ ゅヰヤミ ァやヱコΕや ペヤカ ングャや ラゅエらシ ラヲヨヤバΑ
ザΑ :
36
Artinya: Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari
apa yang tidak mereka ketahui. Yasin: 36. Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh
dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau
seperti tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
ウホやヲャ ゥゅΑゲャや ゅレヤシケぺヱ
Artinya: … dan Kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Al-Hijr: 22
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
Allah telah memberi batas dengan peraturan-peraturan-Nya, yaitu dengan syari`at yang terdapat dalam kitab-Nya dan Hadits Rasul-Nya dalam bentuk hukum-
hukum perkawinan, misalnya mengenai meminang sebagai pendahuluan perkawinan, tentang mahar atau mas kawin, yaitu pemberian seorang suami kepada istrinya
sewaktu akad nikah atau sesudahnya. Demikian juga dengan perkawinan itu sendiri yang mempunyai syarat-syarat dan rukun-rukun.
Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini
ialah syarat perkawinan
1
, yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram
dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar`i,
2
jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki-
laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya adil, dapat mendengar dan melihat,
tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul. Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut:
a. Lafadz Ijab dan Qabul
b. Calon Suami
c. Calon Istri
d. Dua Saksi
1
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terj Drs. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989,
hlm. 30-31.
2
Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan mahram,
dan tidak sedang dalam masa iddah. Lihat: Ibid.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
e. Wali
3
Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan kepada calon mempelai pria. Lafadz yang mengikat antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang
menerima akad. Berkaitan dengan wali, Rasulullah SAW bersabda:
ヴャヲよ Ιま ゥゅムル Ι
Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali. Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 tiga macam:
1. Wali Nasab
2. Wali Hakim
3. Wali Tahkim
Seorang perempuan dalam keadaan tertentu, tidak memiliki wali nasab karena ia dilahirkan sebagai anak zina atau anak yang dilahirkan denga proses bayi
tabung dengan sistem ibu penganti atau mungkin dengan cloning, atau perempuan yang mau menikah memiliki wali nasab tetapi wali nasab tersebut tidak mau
menikahkannya karena laki-laki calon suami tidak se-kufu dengan putrinya tersebut, maka wanita tersebut dapat menikah tanpa berwali nasab.
3
Syahbuddin, Qaliubi wa Umairah, Singapore: Maktabah wa Matba`ah, Sulaiman
Zamra`I, tt, hal. 216.
Marahalim : Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, 2007
USU Repository © 2008
Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI dinyatakan sebagai berikut: Pasal 20: Kompilasi Hukum Islam KHI
Ayat 1 Yang bertindak sebagai wali nikah ialah sorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh.
Ayat 2 Wali nikah terdiri dari a wali nasab,b wali hakim. Pasal 22: Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi
syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa secara hukum fiqih Islam maupun Kompilasi Hukum Islam KHI menyatakan secara jelas ada kemungkinan seorang
perempuan untuk memilih dengan berwali hakim. Namun apakah pemilihan wali hakim menjadi wali nikah dapat dilaksanakan oleh calon mempelai wanita dengan
serta-merta tanpa ada faktor lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, apabila seorang wali nasab yang enggan untuk menjadi wali dalam pernikahan tersebut,
disebabkan oleh ketidaksukaan wali kepada calon mempelai laki-laki misalnya, apakah calon mempelai wanita langsung dapat meminta seorang petugas resmi yang
ditunjuk pemerintah untuk menjadi wali nikahnya.
B. Perumusan Masalah