Profil Masyarakat Kabupaten Lebak

6 Cibeber 22 Desa 54.228 jiwa 7 Cijaku 10 Desa 76.2876 jiwa 8 Banjarsari 20 Desa 57.384 jiwa 9 Cileles 12 Desa 46.684 jiwa 10 Gunungkencana 12 Desa 32.661 jiwa 11 Bojongmanik 9 Desa 21.206 jiwa 12 Leuwidamar 12 Desa 50.430 jiwa 13 Muncang 12 Desa 31.615 jiwa 14 Sobang 10 Desa 78.361 jiwa 15 Cipanas 14 Desa 45.388 jiwa 16 Sajira 15 Desa 46.366 jiwa 17 Cimarga 17 Desa 60.968 jiwa 18 Cikulur 13 Desa 46.627 jiwa 19 Warunggunung 12 Desa 52.302 jiwa 20 Cibadak 15 Desa 58.057 jiwa 21 Rangkasbitung 11 Desa dan 5 Kelurahan 116.659 jiwa 22 Maja 14 Desa 50.526 jiwa 23 Curugbitung 10 Desa 30.036 jiwa 24 Cihara 9 Desa 29.530 jiwa 25 Cigemblong 9 Desa 19.527 jiwa 26 Cirinten 10 Desa 24.765 jiwa 27 Lebak Gedong 6 Desa 71.537 jiwa 28 Kalanganyar 7 Desa 31.982 jiwa jumlah total penduduk sekitar 1.204.209

B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak

Masyarakat Banten khususnya Kabupaten Lebak yang secara umum biasa difahami secara umum merupakan masyarakat yang kasar dalam ucapan dan berani dalam tindakan. Berdasarkan karakternya, masyarakat Banten dapat dibedakan berdasarkan wilayahnya Banten Selatan dan Banten Utara. Banten Selatan merupakan wilayah yang memiliki karakter dan perilaku yang keras. Sedangkan wilayah Banten Utara memiliki karakter yang lebih lembut. Perilaku keras masyarakat banten Selatan tidak terlepas dari sejarah masa lalu masyarakat Banten Selatan Kabupaten Lebak yang kental dengan sikap kesantriannya secara gigih melawan penindasan pemerintah kolonial. Orang Banten pada masa itu mempunyai tekad memerangi orang kafir yang kebetulan pada masa itu dikonotasikan terhadap para kolonial. Tidak heran jika kemudian literatur yang mencitrakan watak keras orang Banten. 67 Citra inilah yang kemudian terus bertahan hingga sekarang yang menjadi salah satu ciri masyarakat Banten secara umum. Masyarakat Lebak Banten Selatan yang memiliki karakter lebih keras ketimbang masyarakat di wilayah sekitar Banten lainnya, hal ini diakibatkan pembawaan masyarakat dari perlakuan represif masyarakat Lebak terhadap kolonial. Di Kabupaten Lebak secara garis besar ada dua tipe penindasan kolonial yang dilakukan kolonial Belanda maupun kolonial Jepang di Banten, khususnya Kabupaten Lebak. Penindasan-penindasan kolonial Belanda ini dikarenakan hutang 236 juta Gulden atas tindakan kolonialnya berupa peperangan-peperangan yang mereka lakukan terhadap rakyat Nusantara. Untuk menanggulangi hutangnya ini, Jenderal Van den Bosch yang dikenal sebagai anak emas Raja 67 Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten? : Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32. Belanda Willem I, melakukan rencana peraturan rodi atau herendienst kerja- paksa, dan tanam paksa Cultuurestelsel. 68 Culturstelsel ini sendiri mendapat perlawanan dari masyarakat dan Eduard Douiwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”. Eduard Douwes Dekker sendiri adalah seorang pegawai pemerintah kolonial yang sering berpindah-pindah dari kantor satu ke kantor lainnya. Terahir ia menjadi Asisten Residen Lebak pada tanggal 4 Januari 1856. Namun jabatan Eduard Douwes Dekker ini tidak berlangsung lama, ia mengundurkan diri atas jabatannya dalam pemerintahan kolonial Belanda Pada tanggal 29 Maret 1856. Pengundurannya sendiri disebabkan karena ketidak setujuannya terhadap kezaliman pemerintah kolonial Belanda. Setelah ia berhenti sebagai pegawai pemerintahan, hari-harinya diisi dengan menulis sebuah karya tentang penindasan kolonial belanda yang berjudul Max Havelar. 69 Tulisan inilah yang kemudian telah mengilhami dan menginspirasi masyarakat. Kedua, perpindahan kekuasaan penjajah dari tangan kolonial Belanda terhadap Jepang ternyata tidak serta merta berhentinya penindasan di Kabupaten Lebak. Pada masa Jepang berkuasa di daerah Banten terdapat proyek pembangunan Lapangan Terbang Gempor di Serang, jalan kereta api Saketi- Labuan, dan jalan raya Saketi-Bayah sepanjang 150 km. Juga pertambangan batu bara Romusa di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Banten Selatan. Pertambangan dengan cara romusa ini menimbulkan kesengsaraan dan kematian 68 Moechtar, Multatuli : Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 18. 69 Moechtar, Multatuli : Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 1-4. yang luar biasa. Jepang membuka pertambangan batu bara di Bayah dengan alasan menurunnya kemampuan pelayaran dan pengangkutan Jepang serta faktor ekonomi. 70 Berdasarkan perlakuan kekerasan yang terjadi dan sikap perlawanan yang kuat, telah membentuk karakter masyarakat yang lebih keras ketimbang masyarakat Banten lainnya yang terus melekat sampai sekarang. Hal ini menjadikan masyarakatnya lekat dengan budaya kekerasan sebagaimana dilakukan oleh jawara.

C. Sejarah dan Perkembangan Jawara 1.