Demokrasi otonomi daerah dan perilaku politik jawara (studi tentang peran jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008)

(1)

PADA PILKADA KABUPATEN LEBAK TAHUN 2008)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik

Oleh:

Rifqi Zabadi Asshegaf NIM: 106033201193

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Hamzah Pada Pilkada kabupaten Lebak Tahun 2008) telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Politik

Jakarta, 20 Desember 2013

Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota

Ali Munhanif, Ph.D NIP: 19651212 199203 1 004

Sekretaris Merangkap Anggota

M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19730927 200501 1 008 Anggota

Penguji I

Dr. Nawiruddin, M.A NIP: 19720105 2001121 003

Penguji II

Ahmad Bakir Ihsan, M.Si NIP: 197204122003121002 Pembimbing

Dra. Armein Daulay, M.Si NIP: 130892961


(3)

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ciputat, 20 Desember 2013


(4)

RIFQI ZABADI ASSHEGAF

Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara

(Studi Tentang Peran Jawara Dalam Pemenanangan H. Mulyadi Jayabaya Pada Pilkada Kabupaten Lebak 2008)

Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosiologis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat Banten hingga saat ini. Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya dikenal di wilayah Banten. Sosok jawara merupakan sosok yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten, bahkan jawara melampaui ranah kultur hingga merambah kedalam ranah politik yang sangat kentara sampai sekarang.

Jawara sebagai elit tradisional masyarakat menempatkannya sebagai partisipan politik daerah yang berperan besar dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Hal ini dikarenakan untuk pemilihan bupati dan wakil bupati, jawara dinilai mempunyai peran yang besar bagi kesuksesan dalam pemenangan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Dalam pilkada Kabupaten Lebak, keduduklan jawara adalah sebagai tim sukses pendukung pasangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah (MULYA) yang berperan dalam mendukung dan mensukseskan calon pasangan tersebut.

Kedigjayaan jawara sebagai orang yang berpengaruh dalam masyarakat merupakan sebuah modal jawara dalam mensukseskan pasangan calon. Hal ini diaktualisasikan oleh jawara dalam memobilisasi massa untuk meraih dukungan masyarakat terhadap dukungannya. Selain itu, sifat politik jawara yang pragmatis membuat jawara cenderung mendukung mendukung pasangan calon yang cenderung dapat memenuhi kepentingannya, dengan kata lain jawara tidak mengaktualisasikan partisaipasinya dalam perspektif kesejahteraan masyarakat melainkan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.

Pengaruh jawara yang besar dalam masyarakat merupakan sarana politik untuk meraih dukungan masyarakat. Dukungan yang diberikan jawara disebabkan oleh kedekatan hubungan antara jawara dan dukungannya karena sudah terjalin ketika dukungan jawara menjabat sebagai bupati pada periode 2003-2008. Selain itu kinerja calon incumbent dianggap sebagai salah satu alasan dukungan jawara dalam mensukseskan pasangan calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah.


(5)

Bismillahirrohmanirrohiim.

Lelah dan hampir pasrah adalah sebagian dari godaan yang sering hinggap dalam perjalanan yang penuh suka maupun duka. Air mata bukan sesekali saja menetes dengan sendirinya, debu dan angin bergantian saling memeluk, angin terhenti debu jatu, kembali dan kembali berpelukan seperti semangatku, hingga tiba di penghujung penulisan skripsi ini.

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis telah diberikan waktu untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada sang pencerah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya.

Dengan tetap mengharapkan ridho-Nya, alhamdulillah penulis dapat melengkapi salah satu syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul : “Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara: Peran Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah Pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008”.

Penulis menyadari karya ini bukan hanya karya penulis pribadi, tetapi sebagian merupakan buah pemikiran dan pemberian ide dari orang-orang yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan banyak rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang banyak membantu, berjasa dan terhormat kepada :


(6)

Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta serta para jajaranya. 2. Selanjutnya, ucapan rasa terimakasih yang dalam ingin penulis sampaikan secara khusus kepada Drs. Armein Daulay, M.Si selaku pembimbing skripsi, berkat kesabaran dalam membimbing dengan berbagai arahannya dan motivasi ditengah-tengah kesibukannya, tetapi beliau masih menyempatkan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.

3. Terima kasih pula kepada ketua prodi Dr. Ali Munhanief. M.A., serta sekertaris jurusan M. Zaki Mubarok, M.Si. yang telah banyak memberikian arahan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Segenap bapak/ibu Dosen Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, yang telah memberikan berbagai macam pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan, penulis patut mengucapkan rasa terimakasih kepada A. Baqir Ihsan, M.Si., Agus Nugraha, M.Si., Dr. Sirojuddin Ali., Dr. Nawirudin., Suryani, M.Si., Haniah Hanafie, M.Si., Dra Gefarina Djohan, MA., Dr. Syaban., Idris Thaha, M.Si., dll.

5. Ta’zim dan Tawadhu dan ribuan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Iton Abd. Musta’in dan ibunda Nurhayati, yang tiada henti-hentinya mendoakan dan membiayai penulis selama ini. Kepada teteh Corry Atul Adawiyah dan adik-adik penulis, Teo Fani Atikah, Wafda Schofach Anzelat, Barah Marela Zidha dan Zianha Amaret A.M. Ayo terus giat belajar dan jangan berhenti, teruskan


(7)

langkah kalian.

6. Kepada pimpinan dan jajaran Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengucapkan rasa terimakasih selama penulisan skripsi telah membantu dengan buku-bukunya untuk menjadikan refrensi dari penulisan skripsi ini.

7. Kepada pimpinan komisioner KPUD Kabupaten Lebak, penulis mengucapkan rasa terimakasih yang telah bayak membantu dalam pengumpulan data-data dalam skripsi ini.

8. Kepada para jawara dan cendikia, penulis mengucapkan rasa terimakasih telah banyak membantu dalam pengumpulan data-data yang menurut penulis perlu dalam skripsi ini.

9. Kekasihku tercinta Vilanda Amanda yang selalu memotivasi dan memarahi jika tidak mengerjakan skripsi.

10.Teman-teman seperjuangan, Ilmu Politik 2006, semoga arti sahabat untuk selamanya. Ahmad Haris Hariri, Bara Ilyasa, S. Sos., Ahmad Rikih, Dede Syahrudin, Ikhwanudin, dll.

11.Kawan-kawan dari perkumpulan Vespa LESGO dan Iskandar Hidayat, terimakasih atas bantuan dan motivasi kalian. Aku adalah bagian dari kalianl.

12.Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas semua perbuatan baik kalian.


(8)

berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amin.

Jakarta, 4 Januari 2014


(9)

ABSTRAK ………... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR PUSTAKA ... vi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ….………...………….. 11

1. Pembatasan Masalah ……….…..…...……….. 11

2. Perumusan Masalah ….………….……..…...……….. 11

C. Tujuan Penelitian ……….………...………... 12

D. Manfaat Penelitian ……….………...………... 12

E. Metode Penelitian ……….………...……….... 13

F. Sistematika Penulisan ………...………... 14

BAB II KERANGKA TEORETIS A. Demokrasi ………..………...……….. 17

B. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) ….……….…...……... 20

C. Otonomi Daerah ………..……....………..….. 22

D. Perilaku Politik ………...………...…… 25

E. Budaya Politik ……….……….... 31 1. Orientasi Kognitif ………...………...… 33

2. Orientasi Afektif ………...… 33


(10)

b. Budaya Politik Subyek …...…………...……... 35

c. Budaya Politik Partisipan ……..………...…... 36

F. Partisipasi Politik …...…... 37

BAB III PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA A. Profil Kabupaten Lebak ... 44

B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak ………... 46

D. Sejarah dan Perkembangan Jawara ... 49

1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara ... 49

2. Jawara Pada Masa Kolonial ... 53

3. Jawara Pada Masa Orde Lama ... 55

4. Jawara Pada Masa Orde Baru ... 56

5. Jawara Pada Masa Reformasi ... 58

BAB IV PERAN POLITIK JAWARA DALAM PILKADA LEBAK TAHUN 2008 A. Pilkada Lebak Tahun 2008 ... 61

B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan Calon H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah ... 67

C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation ... 69

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 73


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang majemuk. Pada tiap wilayah maupun daerahnya masing-masing memiliki keberagaman etnis-budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman ini biasanya menampilkan sesuatu yang unik dalam dinamika politik lokal sebagai sebuah representasi dari keberagaman tersebut. Politik lokal ini biasanya merupakan sebuah bagian dari refleksi dinamika politik nasional. Namun untuk konteks Indonesia, relasi kekuasaan pada aras lokal memiliki banyak kekhususan. Artinya, hal ini tidak cukup hanya dipahami dengan pendekatan formal, karena politik lokal melibatkan jaringan-jaringan informal, termasuk diantaranya relasi antara penguasa dan sistem sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami karakteristik politik lokal secara utuh diperlukan pendekatan dan pemahaman mengenai relasi formal dan informal.

Skripsi ini berusaha menjelaskan peran jawara dalam pilkada di Kabupaten Lebak pasca pelaksanaan otonomi daerah, peran jawara merupakan yang diperhitungkan dalam politik lokal. Hal ini dikarenakan jawara dianggap sebagai pemimpin informal di Banten. Selain itu, penulis ingin melihat mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit tradisional jawara sebagai kekuatan politik yang dominan.

Secara historis peranan jawara telah ada pada masa revolusi fisik melawan penjajahan. Jawara dikenal karena memiliki kekuatan magis dan kesaktian yang diperoleh dari kyai sebagai gurunya. Pada masa itu, masyarakat menganggap


(13)

pemerintahan kolonial telah merampas hak-hak atas tanah dan lapangan pekerjaan, yang akibatnya kehidupan masyarakat menjadi sulit. Dalam konteks ini_kalaupun pada saat tertentu kehadiran jawara dinilai sering kali mengganggu ketentraman_karena besarnya peran yang dilakukan dalam melawan penjajahan, membuat masyarakat menghormati bahkan ada yang memuja jawara sebagai orang keramat.1 Pada masa kolonial, bentuk perlawanan yang dilakukan jawara terhadap para penjajah merupakan balance of power untuk merebut hak-hak atas tanah dan pekerjaan rakyat Banten. Namun, kondisinya menjadi berbeda ketika jawara_karena kepentingan penguasa_mulai bersinergi dengan penguasa. Konsekuensinya, kalangan jawara menjadi kader organisasi politik sebagai mesin untuk memobilisasi massa. Sinergisitas antara penguasa dan jawara berlanjut pada era reformasi dalam konteks pemerintahan lokal. Mulai dari intervensi jawara dalam Pilkada sampai pada birokrasi pemerintahan.2

Skripsi ini memusatkan kajian pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Mengapa elit tradisional seperti jawara masuk dalam struktur politik dan menjadi kekuatan yang dominan di Kabupaten Lebak? Bagaimana peran jawara dalam politik lokal/Pilkada?

Sistem demokrasi yang diberlakukan pada era pemerintahan Orde Baru disebut demokrasi Pancasila,3 yakni sebuah sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh MPRS/XXXII/1968. Model demokrasi yang ditawarkan pada era

1

Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984 hal. 281

2

Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 7

3Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan,

Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 121.


(14)

pemerintahan Orde Baru tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibatnya rakyat berusaha untuk melakukan reformasi dibidang politik yang diperjuangkan oleh berbagai pihak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tumbang, Indonesia kembali masuk kedalam pelaksanaan demokrasi seutuhnya pada era reformasi. Perubahan di berbagai bidang dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Sebagai salah satu upaya demokratisasi pada era reformasi ini, maka dirasakan perlunya dilaksanakan pemilu sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu didasarkan pada pemberlakuan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1999 tentang Pemilu dan nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia.

Henry B. Mayo yang dikutip dari A. Ubaedilah memberikan pengertian bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Lebih lanjut, Philippe C. Schmitter dan Tery Linn Karl demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh


(15)

warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.4

Dari pengertian tersebut dapat diartikan demokrasi sebagai sebuah keterlibatan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan masyarakat yang secara nyata dapat terlihat dalam sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik ini dinamakan Pemilihan Umum (pemilu).

Tidak hanya itu, demokratisasi ini pula diiringi dengan penataan kembali sendi-sendi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yaitu otonomi daerah.

Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai „mandiri’. Sedangkan dalam

makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.5 Realisasi dari hal tersebut menyangkut ketentuan mengenai otonomi daerah. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang mengenai otonomi daerah, yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.6

4

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 67-68.

5

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 179.

6

Made Suwandi, Direktur Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2 009/04/minggu-ii-suwandi-konsepsi-otda.pdf


(16)

Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Mengenai hal otonomi daerah dan desentralisasi, pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut,7 oleh karena itu perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal (elected sub-national Goverment).

Pada masa reformasi ini, MPR periode 1999-2004 berhasil melakukan empat kali amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dalam pasal 18 UUD 1945 mengenai otonomi daerah yang menyebutkan :

Pasa 18 : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

7

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 176.


(17)

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

pasal 18A: (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

pasal 18B: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak- hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.8

8

UUD 1945 diakses pada tanggal 16 Oktober 2012 melalui situs http://www.djpp. depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html


(18)

Pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah tersebut telah memberi landasan fundamental kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Selain itu otonomi daerah mendasari terbentuknya keanggotaan DPRD dan Kepala Daerah dipilih melalui pilkada (Legislatif, Bupati/Walikota dan Gubernur) yang tidak lagi berdasarkan pengangkatan atau penunjukan,9 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3 dan 4. Dengan ditetapkannya UUD 1945 pasal 18 ini telah merubah politik lokal yang mengundang semangat bagi para elit-elit lokal ikut berkompetisi dalam arena pesta demokrasi.

Reformasi politik yang dihasilkan oleh otonomi daerah telah melahirkan sistem Pilkada. Sistem Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui Pilkada, rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa saja yang berhak dan mampu untuk memerintah. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah (legitimate).10 Melalui pilkada diharapkan perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan.

9

B.N. Marbun S.H., Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal. 15

10

Naskah akademik UU Pilkada. hal. 1-2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214


(19)

Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan berbangsa, maka pilkada harus memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu.11

Ada enam criteria perwujudan penyelenggaraan pilkada bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu :

1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasiberdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, pekerjaan, dan status sosial.

3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan

11

Naskah akademik UU Pilkada. hal. 2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214


(20)

haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. 5. Jujur. Dalam penyelanggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada,

aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Adil. Dalam penyelenggaran pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.12

Berdasarkan argumentasi tersebut, pelaksanaan pilkada merupakan sebuah demokratisasi yang mampu memperkuat otonomi daerah dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan pilkada ini akan memunculkan perubahan yang luas, perubahan ini tidak hanya dari atas tetapi juga dari bawah. Hal ini pula akan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat atas pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat daerah.

Bertitik tolak dari uraian tentang demokrasi, otonomi daerah, dan Pilkada tersebut, selanjutnya akan diuraikan peran jawara dalam perpolitikan di Kabupaten Lebak. Pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah pasca

12

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 191-192.


(21)

pembentukan provinsi Banten telah memberi ruang yang besar bagi para elit lokal jawara masuk kedalam politik formal secara luas. Dalam pilkada di Kabupaten Lebak, posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan melainkan pada posisi pendulang suara terhadap para calon pemegang kekuasaan menjadi tim sukses. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada masyarakat lapisan bawah di Banten.13

Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di daerah tersebut (atau Banten secara umum). Meskipun hanya merupakan salah satu unsur dalam masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai, jawara bisa mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Bahkan saat ini posisi jawara bisa lebih menentukan dari pada kyai. Selain itu, jawara juga memiliki karakter tertentu yang secara umum membedakan dari anggota masyarakat lainnya seperti berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan (terbuka). Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan diyakini memiliki kadigjayaan (kesaktian).14

Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik jawara. Kekuatan Jawara dapat mempengaruhi putusan-putusan politik apabila

13

Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi 14

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010, hal. 65


(22)

putusan-putusan yang dibuat menyangkut dengan kepentingan (interest) mereka.15 Maka sebagai kekuatan politik jawara mampu melakukan tawar menawar (bargaining power), guna mengerahkan sumber-sumber kekuasaan secara maksimal dan memilih saluran yang tepat dan efektif sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi kepentingan mereka.

Dalam pilkada Kabupaten Lebak, jawara menempati porsi sebagai tim sukses dalam upaya komunikasi dan mobilisasi untuk mendulang suara. Dalam hal ini akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di kabupaten Lebak. Karena itu penelitian skripsi ini menekankan terhadap: sejarah dan perkembengan jawara, perilaku politik elit tradisional jawara dalam politik lokal pasca reformasi, peran jawara sebagai sarana komunikasi dan mobilisasi massa dalam Pilkada kabupaten Lebak yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2008.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Skripsi ini hanya membatasi masalah peran politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah dalam pilkada di Kabupaten Lebak yang memiliki kekuatan dan peranan sangat penting. Oleh karena itu, agar pembahasan bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan tidak melebar, penulis berusaha mengarahkan pembahasannya pada kajian upaya

15

Syarif Hidayat. Shadow State…? Bisnis dan Politik di Banten. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal. 268


(23)

politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan penelitiannya dan berusaha berkonsentrasi pada masalah perilaku politik jawara dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Latar belakang dukungan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya

– H. Amir Hamzah dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008? 2. Bagaimana peran jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?

3. Bagaimana upaya pemenangan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya – H. Amir Hamzah

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini mengandung dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan tujuan umum. Tujuan penulisan ini adalah untuk meraih gelar sarjana sosial (S.sos).

Sedangkan tujuan penelitian adalah:

1. Ingin mengetahui, mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit tradisional.

2. Pengaruh jawara dalam masyarakat. 3. Peran politik jawara dalam politik lokal.


(24)

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat akademis dan juga manfaat praktis. Manfaat akademisnya adalah sebagai salah satu penelitian yang dipakai guna menjadi sumber pelengkap referensi dan pembanding untuk studi-studi mengenai perilaku politik jawara dan keterkaitannya dalam politik.

Sedangkan manfaat praktisnya diharapkan menjadi bahan dalam mengenal jawara sebagai kekuatan politik informal yang mempunyai pengaruh dalam politik lokal.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai objek penelitian yang berupa lisan, tulisan maupun tingksah laku.16 Berdasarkan penelitian kualitatif, maka penulis berupaya menggambarkan jawara dalam politik, sejarah dan perkembangan jawara, dan peran jawara dalam pilkada.

Sementara untuk pengumpulan data dilakukan dengan sumber data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang akan diteliti (responden), pustaka atau dokumen yang berhubungan dengan fokus

16

Emy Susanti Hendrarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 166


(25)

penelitian, sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari lembaga atau institusi yang terkait dengan objek penelitian.17

Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada pendekatan deskriptif analitik dengan maksud menggambarkan secara tepat perilaku politik jawara dalam pilkada Kabupaten lebak. Adapun cara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pertama, penelitian kepustakan

(Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya penulis mendatangi pelaku politik dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Observasi : yaitu untuk mengamati tingkah laku terhadap objek penelitaian.18 dengan teknik ini penulis akan mengamati bagaimana perilaku politik jawara dalam memobilisasi dan komunikasi sebagai upaya mensukseskan H. Mulyadi Jaya Baya sebagai Bupati Kabupaten Lebak. 2. Wawancara : yaitu suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan

mendapatkan informasi. Selain itu wawancara juga akan mendapatkan gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi penting yang kita inginkan.19 Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara

17

Sudarso, Prosedur Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 55

18

James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.

Bandung, PT Refika Aditama, hal. 287 19

James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.


(26)

langsung dengan para jawara sebagai objek penelitian dalam penelitian skripsi ini.

Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta" yang diterbikan CeQDA (Center For Qualty Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427 H./2007 M.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa hal tentang sistematika penulisan dan disusun menurut bab per bab. Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan. dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, membahas tinjauan teoretis terhadap demokrasi, otonomi daerah, budaya politik yang dikaitkan dengan perilaku politik dan partisipasi politik. Bab III, membahas tentang sejarah Kabupaten Lebak, profil Kabupaten Lebak dan masyarakatnya dan sejarah dan perkembangan jawara yang meliputi sub bab : pengertian dan sejarah kemunculan jawara, jawara pada masa kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.

Sedangkan Bab IV, dalam bab ini penulis berusaha menganalisa peran jawara dalam pilkada Lebak. Dengan sub bab pilkada Lebak, keterlibatan jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak, dan peran jawara dalam mobilisasi massa.


(27)

Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V. Mengenai sumber-sumber dan rujukan yang dipakai dan dikumpulkan dalam daftar pustaka.


(28)

BAB II

KERANGKA TEORETIS A. Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem politik yang sangat penting pada abad ke 20 pasca perang dunia II hingga sekarang.20 Walaupun demokrasi bukan sistem yang terbaik, tetapi hingga saat ini belum ada sistem lain yang menggantikannya. Hal ini dikarenakan konsep selain demokrasi mengalami stagnasi. Selain itu, konsep demokrasi pula mempunyai hubungan yang erat dengan isu-isu HAM, keadilan, kebebasan, persamaan dan lain sebagainya yang menjadi perbincangan dan sandaran sistem mayoritas negara dibelahan dunia. Demokrasi merupakan bentuk dan mekanisme dalam sistem pemerintahan suatu negara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Konsep demokrasi saat ini merupakan hal penting yang dianggap sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi dalam pengertian yang sederhana dimaknai sebagai sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme itu dalam konteks tersebut dimaknai sebagai Pemilihan Umum (pemilu). Dari sisi ini Henry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana

20

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 103.


(29)

terjaminnya kebebasan politik.21 Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, demokrasi merupakan pelibatan masyarakat secara substansial terhadap penyelenggaraan kekuasaan secara menyeluruh.

Menurut Alfan mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik yang memiliki sistem keseimbangan dalam memelihara konflik dan konsensus. Sehingga dengan kenyataannya sistem politik ini tidak bisa bergerak dinamis tanpa adanya konflik dan kompetisi politik.22 Penjelasan ini membuka ruang untuk munculnya suatu kompetisi, perbedaan, dan konflik antar individu dan antar kelompok yang bersifat horizontal maupun vertikal namun tidak menghancurkan sistem yang sudah terlembagakan itu sendiri.

Dengan demikian demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyat memiliki peranan penuh dalam pemerintah untuk menentukan nasibnya. Sehingga negara dengan sistem demokrasi adalah negara yang terselenggara berdasarkan kehendak dan kemauan rakyatnya karena kedaulatan berada ditangan rakyat atau government by the people. Dari uraian pengertian demokrasi tersebut, kekuasaan dan pemerintahan berada ditangan rakyat, dalam artian dari rakyat (government of the people), oleh rakyat (government by the people), dan untuk rakyat (government for the people).23

21

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 67.

22

Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. Jakarta, Republika, 2004. hal. 19.

23

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 105.


(30)

Ketiga hal tentang demokrasi tersebut memiliki pengertian yang luas. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian ialah pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyatnya. Pengakuan dan dukungan rakyat ini menjadi legitimasi suatu pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai wujud tanggung jawab atas pemerintahan yang diamanatkan/dipilih rakyat. Kemudian pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people) ialah suatu pemerintahan yang menjalankan pemerintahan atas nama rakyat bukan oleh dorongan atau kepentingan dirinya sendiri. Selain itu pemerintah dalam menjalankan fungsinya mendapat pengawasan dari rakyat. Pengawasan ini bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat ataupun oleh wakil rakyat (DPR) yang memiliki fungsi mengawasi pemerintah. Selanjutnya ialah pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) yang mengandung pengertian jalannya pemerintahan harus mendengarkan dan mengakomodasi kepentingan yang didasarkan atas keinginan rakyat.24 Ketiga hal dalam demokrasi ini merupakan wujud keutamaan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Pasang surut demokrasi di Indoneia pada awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1999 telah membawa Indonesia pada demokrasi yang seutuhnya yang disebut dengan demokrasi era reformasi. Demokratisasi di era reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan pemilu (eksekutif dan legisatif) dan otonomi-desentralisasi. Pelaksanaan pemilu yang didasarkan pada pemberlakuan UU nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemilu pada tanggal 1 Februari dan nomor 2

24

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 68.


(31)

tahun 1999 tentang Partai Politik.25 Kedua UU tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia.

Selanjutnya, seiring dengan era reformasi yang menyentuh sendi-sendi ketatanegaraan menyangkut pembagian kekuasaan yang membedakan era reformasi dengan era orde lama, ialah suatu penggantian pemimpin nasional maupun pemimpin daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilakukan dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh DPR. Hal ini sesuai dengan disahkan melalui Undang Undang nomor 32 tahun 2004 pasal 56 dan 57.

B. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan sebuah terobosan politik yang signifikan dalam perkembangan politik daerah dan otonomi daerah. Gagasan Presiden Republik Indonesia ke-3 (tiga) B.J. Habibie,26 sebagai orang yang pertama mengeluarkan pemikirannya agar bangsa Indonesia perlu melakukan pemilihan Presiden secara langsung dan kemudian disusul pemilihan Gubernur. Berangkat dari gagasan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada tanggal 29 September 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pemilih kepala daerah dan wakil daerah harus memilih pasangan calon yang diusung oleh partai

25

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri Abadi, 2008, hal. 134

26

Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 3.


(32)

politik atau gabungan partai politik. Dengan adanya keputusan MK tersebut, membuat daerah-daerah lebih mandiri lagi dalam mengatur berbagai bidang antara lainnya dibidang ekonomi, politik dan sosial dan budaya.

Undang Undang nomor 32 tersebut telah memberikan dampak terhadap kualitas demokrasi Indonesia, masyarakat dapat langsung merasakan demokrasi yang utuh didaerahnya masing-masing. Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung, masyarakat di daerah dapat ikut terlibat langsung dalam menentukan arah perkembangan dan perubahan di daerahnya.

Pilkada merupakan instrumen politik yang strategis untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah. Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimesi hukum, moral, dan sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses kampanye dan pemilihan yang demokratis dan mendapat dukungan terbanyak dari suara masyarakat.27

Sistem pemilu yang diciptakan pada era reformasi telah melahirkan persamaan, keadilan, dan kualitas demokratisasi di Indonesia, perubahan dan penggantian tata cara (replacement), dan mentransformasi sebuah sistem tidak hanya melahirkan perubahan dari atas, tetapi juga terdapat perubahan dari bawah. Meskipun demikian, konsekuensi perubahan dalam pelaksanaan pilkada telah

27

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila,Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 191.


(33)

memunculkan sikap primordialisme dan dominasi elit tradisional.28 Hal ini nampak jelas dalam pelaksanaannya di wilayah Banten, khususnya Kabupaten Lebak.

C. Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan desentralisasi secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Namun, dapat dibedakan. Karena itu tidak mungkin membahas masalah otonomi daerah tanpa mempersandingkannya dengan konsep desentralisasi. Berdasarkan yang dikutip B.N. Marbun, Bagir Manan menyatakan, „Desentralisasi adalah otonomi, dan desentralisasi tidak sama dengan otonomi. Otonomi adalah salah satu bentuk desentralisasi. Desentralisasi

bukan asas melainkan proses, dan yang asas adalah otonomi’.29

Pada periode sebelumnya, konsep demokrasi, otonomi, dan desentralisasi ini pernah disampaikan oleh Mohamad Hatta sejak tahun 1932. Dalam pandangan

politiknya yang berjudul “Ke Arah Indonesia Merdeka”, bahwa desentralisasi bukan sentralisasi, yang menjadi cita-cita tolong-menolong dalam asas kolektivisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan kecil dan besar, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri.30

28

Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 3

29

B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal. 184-185.

30

Syamsuddin Haris, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI. 2006, hal. 6.


(34)

Pengertian mendasar mengenai otonomi daerah itu sendiri adalah,

“kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri”, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang beragam dan bernilai strategis. Disini diutamakan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.31 Dalam pengertian tersebut daerah otonom adalah daerah yang memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan memiliki tanggung jawab menjaga nasionalisme.

Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai “mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.32 Terdapat dua nilai dasar mengenai otonomi daerah yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial.

Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia

31

Syaukani HR., Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani. 2002, hal.13. 32

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 179.


(35)

tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.33 Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah kekuasaan yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Mengenai hal tersebut, desentralisasi sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah:

“desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah.”

desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal.

Bertitik tolak dari uraian di atas, tujuan dari otonomi daerah merupakan sebuah simbol kepercayaan dari Pemerintah Pusat terhadap masyarakat di daerah yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya.34 Dalam bidang politik, otonomi merupakan rangkaian dari desentralisasi dan demokrasi untuk menciptakan kepala pemerintahan di daerah secara

33

Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2 009/04/minggu-ii-suwandi-konsepsi-otda.pdf

34

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005, hal. 156-157.


(36)

demokratis. Hal ini diharapkan agar pemerintahan yang tercipta sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing.

Pada bidang ekonomi, otonomi daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dengan demikian otonomi di bidang ekonomi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Selanjutnya adalah dibidang sosial, otonomi ini diharuskan adanya pengelolaan harmonisasi sosial dan budaya agar nilai-nilai kedaerahan tetap kondusif dalam merespon perkembangan modernisasi.

Otonomi Daerah ini juga memberikan peluang terbentuknya provinsi Banten pada tahun 2000 yang di tetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten.

D. Perilaku Politik

Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan.35 Sedangkan arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam melakukan hubungan dengan pihak luar.36

Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak

35Kamus Ilmiah Populer

, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378.

36Kamus Ilmiah Populer

, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 61.


(37)

badan dan ucapan,37 sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain.38 Jadi secara epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu.

Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.39

Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan perilakun-perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik

37Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 38Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39


(38)

dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik yang berlagsung.40

Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang

reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif, namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan lembaga-lembaga yang ada dalam system politik tersebut.41 Sementara itu, Trubus Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai signifikansi tingkatan perilaku.

Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis.

40

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES, 1987, cet. II, hal. 209.

41

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.


(39)

Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional.42 Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye.43

Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya, jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian suara (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,

42

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.

43

Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, Jakarta, CV Rajawali, cet. I, hal. 161


(40)

pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan latar belakang sosialnya.44

Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut, tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang berbeda-beda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri.

Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya, karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial politik, yaitu:

Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan turunannya.

44

Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. I, hal. 74-75


(41)

Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya.

Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya.

Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45

Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula.

45


(42)

Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula perubahan pada perilaku politik seseorang.

E. Budaya Politik

Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir didalam ilmu politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.46 Budaya politik memiliki kecenderungan perilaku individu terhadap sistem politik yang berlaku didalam lingkungannya. Dalam pendekatan budaya politik, individu merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan, atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.47

Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi erat kaitannya dengan dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi

46

Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam buku mereka Budaya Politik, yang merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat.

47

Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasi-politik_03.html


(43)

dan sejenisnya yang menopang terwujudnya budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dan demokrasi da tidak dapat dipisahkan.

Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan

adalah“sub-budaya etnik dan daerah” yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi,

pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah “„sub-budaya politik” yang lebih kuat dalam arti primordial.48

Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak terhadap sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap

48

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html


(44)

atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik. Orientasi/kecenderungan individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu : 49

1. Orientasi Kognitif

Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.

Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.

2. Orientasi Afektif

Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab

49

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html


(45)

itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari.

3. Orientasi Evaluatif

Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu.

Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar

unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah „diserang’ oleh lawan politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif.

Selanjutnya Saddam Rafsanjani yang mengutip Almond dan Verba membagi 3 tipe budaya politik,50 yaitu:

50

Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasi-politik_03.html


(46)

a. Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial, merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.

Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.

b. Budaya Politik Subyek

Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara


(47)

emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat

(strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya.

c. Budaya Politik Partisipan

Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak.

Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak


(48)

bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.

Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi Liberal.

F. Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.

Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka itu akan


(49)

tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka mempunyai efek, dan ini dinamakan political efficacy.51

Adapun fungsi partisipasi politik itu sendiri menurut Lane yang dikutip Rush dan Althoff, terdapat empat fungsi. Yaitu:52

1. Sebagai sarana mengejar kebutuhan ekonomis.

2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial. 3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus.

4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan psikologis tertentu.

Secara umum definisi partisipasi meiliki perbedaan dalam mengartikannya. Yakni sebagai berikut :

1. Herbert Mc. Closky yang dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998), mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.53

2. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan seorang warganegara atau kelompok yang

51

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3.

52

Michael Rush dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 2000, hal. 181

53

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2.


(50)

bertujuan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Tindakan-tindakan partisipasi politik yang negatif juga pada dasarnya dapat dikatakan sebagai tindakan partisipasi politik 54

3. Pendapat lain diajukan oleh Norman H. Nie dan Sidney Verba dimana Nie dan Verba yang juga dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998), menjelaskan partisipasi politik sebagai kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil mereka.55

Uraian diatas mengenai partisipasi politik dilihat dengan perilaku seseorang yang melakukan patisipasi politik atau tidak dan dari motivasi atau keberadaan daya pendorong dan faktor-faktor pengaruh bagi seseorang tersebut. Artinya partisipasi politik masyarakat dapat terpengaruh oleh kondisi dan lingkungan masyarakat itu sendiri.

Masing-masing masyarakat memiliki perbedaan partisipasi politik, yang disertai dengan kadar politik yang juga bervariasi. Dalam hal ini, Milbrath yang mengemukakan 4 (empat) faktor yang mendorong orang berpartisipasi politik, yang dikutip oleh Toto Pribadi sebagai berikut:56 (1). Adanya perangsang, (2). Faktor karakteristik pribadi seseorang yang berwatak sosial dan punya kepedulian besar terhadap problem masyarakat biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik, (3). Faktor karakter sosial seseorang yang menyangkut status sosial ekonomi yang

54

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3.

55

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2.

56

Toto Pribadi, dkk. Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka. 2006, hal. 34.


(51)

akan ikut mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku seseorang dalam politik, (4). Faktor situsai dan lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam proses politik menurut Myron Weiner yang dikutip Arifin Rahman mengungkapkan ada lima faktor penyebab timbulnya partisipasi yaang luas:57

1. Modernisasi; komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi, intelektualitas, pendidikan, dan pengembangan media komunikasi.

2. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial.

3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern.

4. Konflik antara kelompok-kelompok pemimpin politik; kompetisi perebutan kekuasaan dalam mempresentasikan partisipasi masyarakat. 5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan

kebudayaan.

Apabila dilihat dari bentuknya, Partisipasi politik memiliki dua ketegori bentuk. Pertama, ada yang sifatnya mandiri/otonom. Yaitu individu dalam melakukan kegiatannya atas dasar inisiatif dan keinginan sendiri-sendiri, atau individu yang sudah cerdas dalam politik yang merasa memiliki tanggung jawab politik sebagai warga Negara. Yang Kedua, disebut dengan Mobilized Political

57


(52)

Participation. Yaitu, partisipasi yang dilakukan karena diminta atau digerakan oleh orang lain dan bahkan dipaksa oleh kelompoknya.58

Menurut Samuel P. Huntington, partisipasi politik dapat dikategorikan kedalam bentuk-bentuk sebagai berikut :59

1. Electoral actifity, adalah kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemilu termasuk dalam kegiatan ini adalah ikut serta memberikan dana sebuah kampanye partai politik, memberikan suara, dan mengawasi perhitungan pemilihan suara.

2. Lobbying, tindakan seseorang atau kelompok menemui seseorang dengan masksud mempengaruhi seseorang untuk turut serta dalam masalah tertentu.

3. Organizational Actifity, keterlibatan warga masyarakat kedalam berbagai organsasi sosial dan politik baik sebagai anggota.

4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga Negara dengan langsung mendatangi maupun menghubungi lewat media.

5. Violence, adalah cara yang ditempuh melalui jalan kekerasan untuk mempengaruhi kebijaakan.

Bentuk-bentuk partisipasi seseorang tampak dalam aktivitas-aktivitas politiknya dan memiliki perbedaan bentuk dan intensitasnya. Orang yang melakukan partisipasi secara tidak intensif yaitu kegiatan kegiatan yang tidak

58

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.

59

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 17.


(53)

banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, aeperti memberikan suara dalam pemilu. Sebaliknya, orang yang secara aktif dan melibatkan diri secara penuh dalam politik jumlahnya sangat sedikit dan terbatas. Seperti meencalonkan diri sebagai Presiden, anggota legislatif, dan sebagainya.60 Pernyataan tersebut dideskripsikan Miriam Budiarjo dan Rafael Raga Maran secara klasifikasi piramida pada lampiran ke-3. Dimana pada puncak kelas teratas terdapat orang-orang menduduki jabatan politik maupun jabatan birokratis, karena mereka dianggap mempunyai kepentingan langsung dengan pelaksana kekuasaan politik formal.61

Partisipasi dalam bentuk partai politik dan kelompok kepentingan dapat bersifat aktif maupun pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan seseorang dalam aktivitas politik dengan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu organisasi politik, memberikan dukungan keuangan, atau membayar iuran anggota dan aktif menjaga melaksanakan Anggaran Dasar Partai.62

Mochtar Mas’oed mengutip Collin Andrews membagi partisipasi menjadi

dua bentuk yang Konvensional dan Non-Konvensional.63 kegiatan konvensional adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern, yang dapat berupa : pemberian suara (Voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan partisipasi

60

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003, hal. 8

61

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 62

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 63

Mochtar Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Suara Bebas, 2006 hal. 46.


(54)

konvensional adalah kegiatan yang dilakukan secara legal maupun illegal dan revolusioner yang bisa berbentuk : pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, aksi mogok, kekerasan politik dan anarkhisme politik.


(55)

BAB III

PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA A. Profil Kabupaten Lebak

Dalam sejarahnya, secara umum Kabupaten Lebak merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, sehingga kulturnya tidak dapat dipisahkan dari kultur Banten secara umum. Seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan ditangan Belanda, hal ini juga berdampak pada pergantian nama Kabupaten dan ibu kota Kabupaten. Kabupaten Lebak ditangan Belanda telah mengalami 2 kali pergantian nama. Pertama, Pada tanggal 19 Maret 1813 Kabupaten Lebak disebut dengan nama Banten Kidul dengan ibu kota Cilangkahan yang kini menjadi salah satu nama desa di Kecamatan Malingping. Kedua, berdasarkan keputusan Komisaris Jenderal Staadsblad nomor 81 tahun 1828 nomor 1 berganti menjadi Kabupaten Lebak yang beribu kota di Warunggunung tapi kemudian ibu kota Kabupaten Lebak-pun dipindahkan ke Rangkasbitung berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 15 tanggal 17 Januari tahun 1849 yang pelaksanaan secara resminya pada tanggal 31 Maret 1851. Berdasarkan pertimbangan sejarah ini, tanggal 2 Desember 1828 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lebak berdasarkan keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986.64 Demikian catatan sejarah mengenai sejarah kabupaten Lebak yang diunduh berdasarkan situs resmi Pemda Kabupaten Lebak.

64

Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 6 Oktober 2012. http://www. lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6


(56)

Bertitik tolak dari uraian tentang sejarah Kabupaten Lebak diatas, secara geografis Kabupaten Lebak memiliki wilayah seluas 3.044,72 ha, yang merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Banten. Secara administratif kabupaten Lebak berbatasan dengan Kabuapten Serang dan Tangerang di sebelah Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Sebelah Barat dengan Kabupaten Pandeglang, dan sebelah Selatan dengan samudera Indonesia. Secara geografis Kabupaten Lebak berada pada 105°25-106-°30 Bujur Timur dan 6°18-7°00 Lintang Selatan. Sedangkan keadaan topografi bervariasi pada ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut. Wilayah yang berada pada ketinggian 0-200 meter diatas permukaan laut terdapat di sepanjang Pantai Selatan. Wilayah dengan ketinggian 201-500 meter dpl berada di Lebak Tengah, sedangkan wilayah yang berada pada ketinggian 501-1000 meter diatas permukaan laut berada di Lebak Timur.65 Kabupaten Lebak terbagi menjadi 28 (dua puluh delapan) Kecamatan dan dengan kependudukan sekitar 1.204.095 jiwa.66

No Kecamatan Desa Penduduk

1 Malingping 14 Desa 61.500 jiwa

2 Wanasalam 13 Desa 51.233 jiwa

3 Panggarangan 11 Desa 35.242 jiwa

4 Bayah 11 Desa 40.716 jiwa

5 Cilograng 10 Desa 31.689 jiwa

65

Agus Sutisna dan Amir Hamzah, 177 Tahun Kabupaten Lebak, Negeri Yang Sedang Bersolek, Pemerintah Kabupaten Lebak Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak, 2005 hal. 3-4.

66

Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 30 September 2012. http://lebakkab.bps.go.id/penduduk.php,


(1)

Transkrip Wawancara dengan cendikiawan Kabupaten Lebak : Bpk. K.H. Baijuri, S.Ag, M.Pdi. pada 01 November 2012.

P: bagaimana menurut bapak pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak?

J: pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak berjalan normal-baik sebagaimana mestinya. Walapun ada isu pengunduran diri dua pasangan calon terkait isu Ijazah palsu H. Mulyadi Jayabaya tapi pilkada tetap saja berjalan sebagaimana mestinya.

P: bagaimana menurut bapak bisa dilaksanakan pilkada tersebut sedangkan dua pasangan lain mengundurkan diri?

J: jadi memang agak rancu melanjutkan pilkada yang diiringi dengan pengunduran diri dua pasangan calon lain tersebut, tapi memang KPUD tidak punya kewenangan dalam mengeksekusi isu tersebut. Jadi menurut saya KPUD sudah tepat terus melaksanakan pilkada tersebut. Kalaupun mau dikasuskan seharusnya kedua pasangan calon tersebut jauh-jauh hari dan tuntutannya bukan kepada KPUD Lebak.

P: bagaimana peranan kiayi dan jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak?

J: sebenarnya kiayi tidak memiliki andil besar dalam proses demokrasi terkait pilkada tahun 2008. Hal ini dikarenakan kiayi berbenturan dengan persoalan etika, karena kalau kiayi berperan aktif sedangkan pasangan yang didukungnya tidak berpihak pada rakyat maka citra kiayi akan buruk. Berbeda dengan jawara kalau jawara sangat berperan aktif dalam pilkada tahun 2008, karena mereka tidak punya beban moral.

P: bagaimana sejarahnya sehingga jawara lebih dekat kaitannya dengan politik? J: jawara pada masa setelah kemerdekaan menjadi dua, pertama, jawara kembali

pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam proses penyiaran agama Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus pusaran politik lokal maupun nasional yang bahkan lebih kental pada masa sekarang. Hal ini dikarenakan jawara pada masa sekarang sangat pragmatis.


(2)

Lampiran.

Peta Provensi Banten.

Peta Kabupaten Lebak.


(3)

Logo BPPKB.

Logo TTKDH.

Logo KPUD Kabupaten Lebak.


(4)

Poto wawancara dengan KPUD Kabupaten Lebak.


(5)

Poto wawancara dengan BPPKB


(6)

Nama Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Periode 2008-2013.

Partai Politik Pendudukung Calon Bupati dan Wakil Bupati. H. Mulyadi Jayabaya

H. Amir Hamza

H. Mardini Wijaya Ganda

Sungkawa

M. Yas’a Mulyadi M. Sudirman 1. Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDI-P).

2. Partai Golongan Karya (GOLKAR).

3. Partai Demokrat. 4. Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB). 5. Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 6. Partai Amanat Nasional

(PAN).

7. Partai Bulan Bintang (PBB).

8. Partai Bintang Reformasi (PBR).

1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 2. Partai Nasionalis

Indonesia-Marhaen (PNI-Marhaen). 3. Partai Pelopor