Latar Belakang Masalah Demokrasi otonomi daerah dan perilaku politik jawara (studi tentang peran jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang majemuk. Pada tiap wilayah maupun daerahnya masing-masing memiliki keberagaman etnis-budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman ini biasanya menampilkan sesuatu yang unik dalam dinamika politik lokal sebagai sebuah representasi dari keberagaman tersebut. Politik lokal ini biasanya merupakan sebuah bagian dari refleksi dinamika politik nasional. Namun untuk konteks Indonesia, relasi kekuasaan pada aras lokal memiliki banyak kekhususan. Artinya, hal ini tidak cukup hanya dipahami dengan pendekatan formal, karena politik lokal melibatkan jaringan-jaringan informal, termasuk diantaranya relasi antara penguasa dan sistem sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami karakteristik politik lokal secara utuh diperlukan pendekatan dan pemahaman mengenai relasi formal dan informal. Skripsi ini berusaha menjelaskan peran jawara dalam pilkada di Kabupaten Lebak pasca pelaksanaan otonomi daerah, peran jawara merupakan yang diperhitungkan dalam politik lokal. H al ini dikarenakan jawara dianggap sebagai pemimpin informal di Banten. Selain itu, penulis ingin melihat mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit tradisional jawara sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara historis peranan jawara telah ada pada masa revolusi fisik melawan penjajahan. Jawara dikenal karena memiliki kekuatan magis dan kesaktian yang diperoleh dari kyai sebagai gurunya . Pada masa itu, masyarakat menganggap pemerintahan kolonial telah merampas hak-hak atas tanah dan lapangan pekerjaan, yang akibatnya kehidupan masyarakat menjadi sulit. Dalam konteks ini_kalaupun pada saat tertentu kehadiran jawara dinilai sering kali mengganggu ketentraman_karena besarnya peran yang dilakukan dalam melawan penjajahan, membuat masyarakat menghormati bahkan ada yang memuja jawara sebagai orang keramat. 1 Pada masa kolonial, bentuk perlawanan yang dilakukan jawara terhadap para penjajah merupakan balance of power untuk merebut hak-hak atas tanah dan pekerjaan rakyat Banten. Namun, kondisinya menjadi berbeda ketika jawara_karena kepentingan penguasa_mulai bersinergi dengan penguasa. Konsekuensinya, kalangan jawara menjadi kader organisasi politik sebagai mesin untuk memobilisasi massa. Sinergisitas antara penguasa dan jawara berlanjut pada era reformasi dalam konteks pemerintahan lokal. Mulai dari intervensi jawara dalam Pilkada sampai pada birokrasi pemerintahan. 2 Skripsi ini memusatkan kajian pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Mengapa elit tradisional seperti jawara masuk dalam struktur politik dan menjadi kekuatan yang dominan di Kabupaten Lebak? Bagaimana peran jawara dalam politik lokalPilkada? Sistem demokrasi yang diberlakukan pada era pemerintahan Orde Baru disebut demokrasi Pancasila, 3 yakni sebuah sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh MPRSXXXII1968. Model demokrasi yang ditawarkan pada era 1 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984 hal. 281 2 Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 7 3 Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 121. pemerintahan Orde Baru tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibatnya rakyat berusaha untuk melakukan reformasi dibidang politik yang diperjuangkan oleh berbagai pihak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada tahun 1998. Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tumbang, Indonesia kembali masuk kedalam pelaksanaan demokrasi seutuhnya pada era reformasi. Perubahan di berbagai bidang dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Sebagai salah satu upaya demokratisasi pada era reformasi ini, maka dirasakan perlunya dilaksanakan p emilu sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu didasarkan pada pemberlakuan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1999 tentang Pemilu dan nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia. Henry B. Mayo yang dikutip dari A. Ubaedilah memberikan pengertian bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Lebih lanjut, Philippe C. Schmitter dan Tery Linn Karl demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. 4 Dari pengertian tersebut dapat diartikan demokrasi sebagai sebuah keterlibatan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan masyarakat yang secara nyata dapat terlihat dalam sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik ini dinamakan Pemilihan Umum pemilu. Tidak hanya itu, demokratisasi ini pula diiringi dengan penataan kembali sendi-sendi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yaitu otonomi daerah. Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai „mandiri’. Sedangkan dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri. 5 Realisasi dari hal tersebut menyangkut ketentuan mengenai otonomi daerah. Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang mengenai otonomi daerah, yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara. 6 4 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education : Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2 012, hal. 67-68. 5 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education : Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2 012, hal. 179. 6 Made Suwandi, Direktur Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses pada 19 april 2011, dari situs http :raconquista.files.wordpress.com2 00904minggu-ii- suwandi-konsepsi-otda.pdf Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Mengenai hal otonomi daerah dan desentralisasi, pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut, 7 oleh karena itu perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal elected sub-national Goverment. Pada masa reformasi ini, MPR periode 1999-2004 berhasil melakukan empat kali amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dalam pasal 18 UUD 1945 mengenai otonomi daerah yang menyebutkan : Pasa 18 : 1 Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 2 Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3 Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 7 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education : Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2 012, hal. 176. 4 Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. 5 Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. 6Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7 Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. pasal 18A : 1 Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah 2 Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. pasal 18B : 1 Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak- hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 8 8 UUD 1945 diakses pada tanggal 16 Oktober 2012 melalui situs http:www.djpp. depkumham.go.iddatabase-peraturanuud-ri-tahun-1945.html Pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah tersebut telah memberi landasan fundamental kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya. Selain itu otonomi daerah mendasari terbentuknya keanggotaan DPRD dan Kepala Daerah dipilih melalui pilkada Legislatif, BupatiWalikota dan Gubernur yang tidak lagi berdasarkan pengangkatan atau penunjukan, 9 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3 dan 4. Dengan ditetapkannya UUD 1945 pasal 18 ini telah merubah politik lokal yang mengundang semangat bagi para elit-elit lokal ikut berkompetisi dalam arena pesta demokrasi. Reformasi politik yang dihasilkan oleh otonomi daerah telah melahirkan sistem Pilkada. Sistem Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui Pilkada, rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa saja yang berhak dan mampu untuk memerintah. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah legitimate. 10 Melalui pilkada diharapkan perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. 9 B.N. Marbun S.H., Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal. 15 10 Naskah akademik UU Pilkada. hal. 1-2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs http:www.drsp-usaid.orgpublicationsindex.cfm?fuseaction=throwpubid=214 Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung perwakilan di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat pemilih. Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif masyarakat lokal daerah untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan berbangsa, maka pilkada harus memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu. 11 Ada enam criteria perwujudan penyelenggaraan pilkada bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu : 1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasiberdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, pekerjaan, dan status sosial. 3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan 11 Naskah akademik UU Pilkada. hal. 2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs http:www.drsp-usaid.orgpublicationsindex.cfm?fuseaction=throwpubid=214 haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya. 4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. 5. Jujur. Dalam penyelanggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calonpeserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Adil. Dalam penyelenggaran pilkada, setiap pemilih dan calonpeserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun. 12 Berdasarkan argumentasi tersebut, pelaksanaan pilkada merupakan sebuah demokratisasi yang mampu memperkuat otonomi daerah dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan pilkada ini akan memunculkan perubahan yang luas, perubahan ini tidak hanya dari atas tetapi juga dari bawah. Hal ini pula akan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat atas pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat daerah. Bertitik tolak dari uraian tentang demokrasi, otonomi daerah, dan Pilkada tersebut, selanjutnya akan diuraikan peran jawara dalam perpolitikan di Kabupaten Lebak. Pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah pasca 12 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education : Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2 012, hal. 191-192. pembentukan provinsi Banten telah memberi ruang yang besar bagi para elit lokal jawara masuk kedalam politik formal secara luas. Dalam pilkada di Kabupaten Lebak, posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan melainkan pada posisi pendulang suara terhadap para calon pemegang kekuasaan menjadi tim sukses. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada masyarakat lapisan bawah di Banten. 13 Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di daerah tersebut atau Banten secara umum. Meskipun hanya merupakan salah satu unsur dalam masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai, jawara bisa mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Bahkan saat ini posisi jawara bisa lebih menentukan dari pada kyai. Selain itu, jawara juga memiliki karakter tertentu yang secara umum membedakan dari anggota masyarakat lainnya seperti berani wanten, agresif, sompral tutur kata keras dan blak-blakan terbuka. Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri silat dan diyakini memiliki kadigjayaan kesaktian. 14 Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik jawara. Kekuatan Jawara dapat mempengaruhi putusan-putusan politik apabila 13 Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi 14 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010, hal. 65 putusan-putusan yang dibuat menyangkut dengan kepentingan interest mereka. 15 Maka sebagai kekuatan politik jawara mampu melakukan tawar menawar bargaining power, guna mengerahkan sumber-sumber kekuasaan secara maksimal dan memilih saluran yang tepat dan efektif sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi kepentingan mereka. Dalam pilkada Kabupaten Lebak, jawara menempati porsi sebagai tim sukses dalam upaya komunikasi dan mobilisasi untuk mendulang suara. Dalam hal ini akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang terjadi di kabupaten Lebak. Karena itu penelitian skripsi ini menekankan terhadap: sejarah dan perkembengan jawara, perilaku politik elit tradisional jawara dalam politik lokal pasca reformasi, peran jawara sebagai sarana komunikasi dan mobilisasi massa dalam Pilkada kabupaten Lebak yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2008.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah