Perilaku Politik Demokrasi otonomi daerah dan perilaku politik jawara (studi tentang peran jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008)

demokratis. Hal ini diharapkan agar pemerintahan yang tercipta sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Pada bidang ekonomi, otonomi daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dengan demikian otonomi di bidang ekonomi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Selanjutnya adalah dibidang sosial, otonomi ini diharuskan adanya pengelolaan harmonisasi sosial dan budaya agar nilai-nilai kedaerahan tetap kondusif dalam merespon perkembangan modernisasi. Otonomi Daerah ini juga memberikan peluang terbentuknya provinsi Banten pada tahun 2000 yang di tetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten.

D. Perilaku Politik

Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan. 35 Sedangkan arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam melakukan hubungan dengan pihak luar. 36 Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak 35 Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378. 36 Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 61. badan dan ucapan, 37 sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain. 38 Jadi secara epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu. Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga- lembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. 39 Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan perilakun- perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik 37 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 38 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15 dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik yang berlagsung. 40 Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif, namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan lembaga- lembaga yang ada dalam system politik tersebut. 41 Sementara itu, Trubus Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai signifikansi tingkatan perilaku. Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis. 40 David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES, 1987, cet. II, hal. 209. 41 Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik : Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40. Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional. 42 Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye. 43 Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan lembaga- lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya, jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian suara voting behavior terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu, 42 Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik : Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40. 43 Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, Jakarta, CV Rajawali, cet. I, hal. 161 pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan latar belakang sosialnya. 44 Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut, tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang berbeda- beda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri. Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya, karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial politik, yaitu : Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan turunannya. 44 Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. I, hal. 74-75 Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya. Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45 Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula. 45 Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15 Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula perubahan pada perilaku politik seseorang.

E. Budaya Politik