Perbandingan Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang-Undang

sidangnya yang ke 799 dan ke 800 pada tanggal 27 Juli 2007 di New York, Amerika Serikat e Beijing Platform for Action BPfA dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tetnang Perempuan Ke-IV di Beijing Tahun 1995 f Millenium Development Goals – MDGs Tahun 2000

B. Perbandingan Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang-Undang

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewanperwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada Undang Undang Nomor 22 Tahun2003 ini, tidak disebutkan tentang kedudukan perempuan di Parlemen. Pada undang undang ini, kedudukan perempuan untuk menjabat menjadi pimpinan alat kelengkapan tidak di khususkan secara tertulis. 2. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Berkaitan dengan alat kelengkapan di MPR, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupatenkota, perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sebagai pimpinan alat kelengkapan. Karena itu pada pasal- pasal dibawah ini mengatur untuk memperhatikan keterwakilan perempuan menjadi pimpinan alat kelengkapan DPR. Pimpinan komisi. Pasal 95 ayat 2 : Pimpinan komisi terdiri atas 1 satu orang ketua dan paling banyak 3 tiga orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota komisi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi . Pimpinan Badan Legislasi Pasal 101 ayat 2 : Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 satu orang ketua dan paling banyak 3 tiga orang wakil ketua yang dipilihdari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan badan anggaran Pasal 106 ayat 2 : Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 satu orang ketua dan paling banyak 3 tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi. Pimpinan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Pasal 119 ayat 2: Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 satu orang ketua dan paling banyak 3 tiga orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Kehormatan Pasal 125 ayat 2: Pimpinan Badan Kehormatan terdiri atas 1 satu orang ketua dan 2 dua orang wakil ketua, yang dipilih dari danoleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsipmusyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga Pasal 132 ayat 2: Pimpinan BURT terdiri atas 1 satu orang ketua yang dijabat oleh Ketua DPR dan paling banyak 3 tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiaptiap fraksi. Pimpinan Panitia Khusus Pasal 138 ayat 2: Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 satu orang ketua dan paling banyak 3 tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi . 3. Kedudukan Legislator Perempuan Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada undang u ndang ini, dihapus klausula „memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi‟ dan menggantinya dengan „berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah mufakat‟. Presiden menyampaikan keterangan lisan yang disampaikan dalam persidangan perkara Nomor. 82PUU-XII2014 tanggal 23 September 2014, … tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan tersebut menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih menentukan pada lembaga-lembaga negara tersebut 64 . 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24PUU-VI2008 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pada gugatan tentang diberikannya kebijakan khusus sementara affirmative action, Mahkamah berpendapat bahwa: Setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative action tindakan sementara bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara 64 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24PUU-VI2008,.hlm. 37 www.mahkamahkonstitusi.go.id dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman CEDAW 65 . Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination, yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama level playing-field antara perempuan dan laki-laki sekalipun dalam dinamika perkembangan sejarah terdapat perbedaan, karena alasan kultural, keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan nasional, baik di bidang hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial politik, peran perempuan relatif masih kecil. Kini, disadari melalui sensus kependudukan ternyata jumlah penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan, maka seharusnyalah aspek kepentingan gender dipertimbangkan dengan adil dalam keputusan-keputusan di bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, dan cultural. 66 Di dalam Pasal 28H ayat 2 UUD 1945, perlakuan khusus tersebut diperbolehkan. Pasal 28H ayat 2 UUD 1945 berbunyi, 65 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24PUU-VI2008, hlm 97 www.mahkamahkonstitusi.go.id 66 Ibid. hlm.98 “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. ” Dewasa ini, komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia HAM yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah. Dari pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut, diambil kesimpulan bahwa: 1 Pada Undang Undang Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang Undang ini tidak memberikan kebijakan khusus kepada Perempuan untuk diberi kesempatan menduduki posisi penting pada Lembaga Perwakilan Rakyat. Hal ini tidak sesuai dengan pasal 28H ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan .” Dari isi pasal ini, Perempuan yang memiliki jumlah minoritas dalam Lembaga Perwakilan Rakyat dapat diberikan ke khususan untuk memperoleh kedudukan yang penting untuk memberikan manfaat bagi Negara. 2 Pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal ini memberikan kebijakan khusus pada Legislator Perempuan di Lembaga Perwakilan Rakyat untuk memudahkan Perempuan memperoleh posisi yang penting. Hal ini terwujud dengan klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi ”. Klausul tersebut memberikan jaminan kemudahan pada Legislator Perempuan untuk dapat menjadi pemimpin pada alat kelengkapan pada Lembaga Perwakilan Rakyat. 3 Pada Undang Undang Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang Undang ini menghapus klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi ”. Klausul ini dihapus dengan alasan bahwa kebijakan ini tergolong dalam pendiskriminasian kaum perempuan. Sedangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24PUU-VI2008, Mahkamah berpendapat bahwa Affirmative action juga disebut sebagai reverse discrimination, yang memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama level playing-field antara perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, kebijakan khusus ini merupakan diskriminasi positif untuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki. 5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82PUU-XII2014 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Terhadap Undang Undang Dasar 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82PUU-XII2014 mengenai penghapusan klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan” pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana Mahkamah berpendapat bahwa penghapusan klausul tersebut akan menimbulkan ketidak pastian hukum yang adil bagi perempuan karena perubahan yang dilakukan tersebut dapat membuyarkan seluruh kebijakan affirmative yang telah dilakukan pada kelembagaan politik lainnya. Mahkamah juga berpendapat bahwa klausul “memperhatikan keterwakilan perempuan” yang tertuang pada Undang Undang No 27 Tahun 2009 telah menjadi norma hukum karena itu dihapusnya kebijakan ini pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengakibatkan ketidak pastian hukum yang adil sesuai pada pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Selanjutnya, amar putusan yang diputuskan oleh hakim adalah memasukkan klausul “dengan mengutamakan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap tiap fraksi” pada pasal-pasal yang menghapus kebijakan affirmative pada Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014. Frasa “mengutamakan” menurut Mahkamah memiliki makna yang lebih kuat, sehingga lebih sungguh-sungguh memperhatikan keterwakilan perempuan.

BAB III PERAN LEGISLATOR PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN