Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam Menjalankan Fungsi Legislasi untuk Memperperjuangkan Kepentingan Perempuan Tahun 2009-2011

(1)

Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan

Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan

tahun 2009-2011

SKRIPSI

Ridawaty Parhusip

080906073

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

RIDAWATY PARHUSIP

Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan

Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011

Rincian isi skripsi ix, 98 halaman, 8 tabel, 5 gambar, 29 buku, 1 artikel dari 1 majalah, 10 situs internet, 4 undang-undang, serta 12 wawancara.(kisaran buku dari tahun 1995-2011)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa kinerja Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Medan.

Anggota Legislatif baik laki-laki maupun perempuan dipilih untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Begitu juga dengan Anggota Dewan Perempuan yang seyogianya dapat memperjuangkan kepentingan perempuan. Masih sedikit perempuan dapat duduk di kursi legislatif. Keterwakilan politik perempuan di DPRD Medan tahun 2004 hanya lima orang dan pada pemilu legislatif 2009 meningkat menjadi enam orang. Sedikitnya jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota dewan dapat mempengaruhi kebijakan yang dapat dibuat untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Namun, kuantitas tidak selamanya menpengaruhi kinerja yang dihasilkan. Kuantitas juga harus diseimbangkan dengan kualitas dari individu itu sendiri.

Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif dan pengumpulan data dengan metode wawancara. Kunci informan adalah Anggota DPRD Perempuan di DPRD Medan. Penelitian ini berfokus pada dua bidang utama. Pertama, Anggota DPRD Perempuan Kota Medan dalam melaksanakan kinerja di fungsi legislasi untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Anggota DPRD Perempuan dipilih masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya, termasuk kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan ini dikhususkan untuk kepentingan yang mendapat ketidakadilan gender, misalnya dalam sosial dan politik. Kedua, hambatan-hambatan yang menjadi kendala perempuan dalam melaksanakan kinerja mereka dengan baik..

Hasil penelitian menunjukkan secara fisik tidak ada perbedaan antara anggota DPRD Laki-laki dengan Perempuan dalam melaksanakan tugas mereka sebagai individu yang mewakili masyarakat. Namun ditemukan tradisi budaya patriarkhi,dan posisi strategis cenderung masih dipercayakan untuk ditempati laki-laki. Jumlah yang masih sedikit diyakini menjadi kendala Anggota Dewan Perempuan dalam membuat kebijakan untuk memperjuangkan kepentingan Perempuan. Mengingat kualitas kinerja legislasi anggota dewan tidak hanya ditentukan dari jumlah kaum perempuan yang berhasil menjadi anggota dewan, melainkan juga ditentukan oleh kualitas atau mutu mereka, maka perlu kiranya diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan jumlah dengan kualitas. Hambatan yang lain adalah faktor intern Anggota Dewan itu untuk tidak meningkatkan kualitas kinerja mereka.


(3)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

SCIENCE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

RIDAWATY Parhusip

Performance Council Member Women in Medan in the running

Functions Legislation for Women in 2009-2011 memperperjuangkan interests

Details of thesis contents ix, 98 pages, 8 tables, 5 images, 29 books, 1 of 1 magazine article, 10 sites, 4 of the law, as well as 12 interviews. (Range of books from the year 1995 to 2011)

ABSTRACT

This thesis entitled Women Performance Council Member in the city of Medan in running Functions Legislation for Women interests memperperjuangkan years 2009-2011. The purpose of this study was to analyze the performance of Members of Parliament Legislative Women in Medan.

Legislative members, both men and women selected to voice the aspirations and interests of the community. So also with the Women's Council members who should be fighting for the interests of women. Still few women can sit in the seat legislature. Political representation of women in parliament Medan in 2004 only five people and the legislative elections of 2009 increased to six. The small number of women who sit as members of the board can influence policies that can be made to fight for the interests of women. However, quantity does not always menpengaruhi resulting performance. Quantity must also be balanced with the quality of the individuals themselves.

This study use traditional methods of qualitative data collection by interview. The key informant was Member of Parliament Women in Parliament Medan. This study focuses on two main areas. First, Member of Women's Council of Medan in carrying performance in the legislative function for the interests of women. Local legislators are women chosen by the community to fight for their interests, including the interests of women. Interest is devoted to the interests of women who received gender inequality, such as the social and political. Second, barriers to women's constraints in carrying out their performance well ..

The results showed no difference physically between legislators Men with Women in carrying out their duties as individuals who represent the public. But patriarchal cultural traditions are found, and the strategic position occupied tend to still entrusted to men. The amount is believed to be still a little obstacle Board Member of Women in making policies for the interests of women. Given the quality of the performance of legislative council members are not only determined by the number of women who succeeded in becoming a board member, but is also determined by the quality or the quality of them, is essential to the effort to strike a balance between compliance with a number of qualities. Another obstacle is the internal factors that Councillor for not improving the quality of their performance.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan hormat kepada Tuhan YME, atas segala kash karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Kinerja Anggota DPRD Perempuan Kota Medan dalam Melaksanakan Fungsi Legislasi untuk Memperjuangkan Kepentingan Perempuan”. Partisipasi peran Anggota DPRD Perempuan dalam melaksanakan fungsi legislasi dengan baik menjadi kunci dalam meningkatkan kinerja. Ukuran meningkatkan kinerja Anggota DPRD Perempuan adalah akuntabilitas, responsivitas, dan efektifitas.

Penulis menyadari akan keterbatasan yang dimiliki selama penulisan dan pelaksanaan sampai dengan selesainya penyusunan skripsi ini, oleh karena itulah penulis memperoleh bantuan dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang begitu besar kepada Bapak Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan banyak bantuan dan bimbingan berupa masukan dan kritik yang sangat membimbing untuk penulis. Terima kasih juga kepada Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.SP selaku Dosen Pembaca karena memberikan masukan-masukan yang mendukung penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Jurusan yang sangat membantu penulis dalam memberikan saran-saran dan semangat yang membuat penulis selalu optimis dalam menyusun skripsi.

Secara khusus terima kasih kepada Orang tua tercinta R.Parhusip, S.Pd dan dan Dra. R.Br Lumban Tobing yang telah merawat dan memperjuangkan serta selalu optimis memberi semangat disaat penulis sedang lelah dan tidak fokus lagi dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk saudara tersayang Abang Rudolf Christian Parhusip, S.S yang selalu dijadikan penulis tempat berbagi cerita dan bertengkar. Terima kasih juga untuk informan-informan yang bersedia meluangkan waktu begitu berharga sehingga penulis mendapat informasi yang dibutuhkan dalam menyusun skripsi. Salam khusus kepada kak Rani selaku staf kaukus perempuan yang memberikan semangat kepada penulis ketika penulis menjumpai informan-informan di DPRD Kota Medan.

Untuk sahabat seperjuangan yang selalu menemani penulis selama kuliah, Reni Andriani. Penulis selalu bersyukur karena mendapat sahabat yang begitu langka untuk dijadikan tempat berbagi di kala senang maupun sedih. Penulis juga mendoakan agar dia secepatnya menyusul penulis dalam penyusunan skripsi. Kepada teman-teman seperjuangan dalam satu organisasi GmnI, wadah penulis dalam berproses dan berinteraksi yang tidak dapat penulis dapat di perkuliahan, Samuel, Gio, Moses, Arman, Polin, Boni, Teger, Vida dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Untuk Bung Prabu yang membantu penulis dalam mencari judul skripsi. Untuk P.K Komisariat GmnI FISIP USU,


(5)

B’James , B’Hendra , B’Gaby, B’Andreas, B’Ribel , dan B’Waren. “Lanjutkan terus perjuangan marhaenisme kita, jangan segan memberikan loyalitas yang sebesar-besarnya untuk organisasi dan jangan sampai GmnI mati di tangan kalian”. Untuk teman-teman politik yang memberikan semangat kepada penulis, Rayu, Astri, Wina, Kak Tina, Melisa, Nova, Hasudungan, dan lain-lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran begitu juga waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis menerima saran dan kritikan yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk pembaca.

Medan, 19 Desember 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel dan Gambar ... vii

BaB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... ... 1

2. Perumusan Masalah... 7

3. Pertanyaan Penelitian ... 8

4. Fokus Penelitian ... 8

5. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

5.1.Tujuan Penelitian ... 9

5.2. Manfaat Penelitian... 9

6. Kerangka Teori ... 10

6.1. Politik Gender... 10

5.1.1. Pengertian Gender ... 10

5.1.2. Budaya Patriarkhi ... 14

6.2. Lembaga Legislatif ... 16

5.2.1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah... 16

5.2.2. Fungsi Legislatif ... 17

6.3. Kinerja DPRD ... 18

5.3.1. Kinerja ... 18

5.3.2. Pengukuran Kinerja ... 19

7. Metode Penelitian ... 23

7.1. Jenis Penelitian ... 23

7.2. Lokasi Penelitian ... 23

7.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 23

7.4. Teknik Analisa Data ... 25

7.5. Defenisi Konsep dan Operasional ... 26

7.6. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II Profil dan Susunan Keanggotaan DPRD Kota Medan Tahun 2009-2014 1. Profil DPRD Kota Medan ... 28

1.1. Sejarah tentang pembentukan Badan Legislatif Daerah ... 28


(7)

1.2.1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 32

1.2.2. Wewenang dan tugas DPRD ... 33

1.2.3. Hak-hak yang dimiliki DPRD dalam menjalankan kegiatannya ... ... 34

1.2.4. Hak Anggota DPRD ... 34

1.2.5. Kewajiban Anggota DPRD dalam mengemban 1.2.6. tugas dan wewenangnya ... 35

1.2.7. Alat kelengkapan DPRD Kota Medan ... 35

2. Susunan Keanggotaan DPRD Kota Medan ... 42

2.1. Partai di DPRD Kota Medan ... 42

2.2. Fraksi-fraksi ... 43

3. Keterwakilan Perempuan di bidang politik ... 44

4. Nama-nama anggota DPRD Perempuan Kota Medan ... 53

5. Profil calon legislatif Perempuan Terpilih pada DPRD Kota Medan... 53

BAB III Kinerja DPRD Perempuan Kota Medan Tahun 2009-2011 1. Kinerja Lembaga Legislatif Kota Medan ... 58

1.1. Fungsi Legislasi ... 58

1.1.1. Peran alat kelengkapan Dewan dalam fungsi legislasi ... 58

1.1.2. Mekanisme Legislasi ... 59

1.2. Fungsi Pengawasan ... 62

1.2.1. Pengawasan DPRD terhadap Peraturan Daerah ... 62

1.2.2. Pengawasan terhadap pelaksanaan APBD ... 63

1.2.3. Pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam program pembangunan daerah ... 63

1.3. Fungsi Anggaran ... 64

1.3.1. Mekanisme anggaran ... 66

1.3.2. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ... 66

2. Kinerja Perempuan DPRD dalam fungsi legislasi ... 67

3. Peran Kaukus Perempuan DPRD Kota Medan ... 77

4. Indikator Kinerja Lembaga Legislatif Perempuan DPRD Kota Medan... 84

4.1. Akuntabilitas ... 84

4.2. Responsivitas ... 85

4.3.Efektifitas ... 87

5. Hambatan-hambatan yang menyebabkan Kinerja Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Rendah ... 89

BAB IV Penutup 1. Kesimpulan ... 95

2. Implikasi Teoritis ... 97


(8)

Daftar Tabel dan Gambar

Daftar Tabel

Tabel.1 Partai yang mendapat kursi di DPRD Kota Medan ... 42

Tabel.2 Fraksi DPRD Kota Medan ... 43

Tabel.3 Persentase Keterwakilan Laki-laki dan Perempuan di DPR RI.... 45

Tabel.4 Keterwakilan perempuan di DPRD tingkat Provinsi ... 46

Tabel.5 Keterwakilan perempuan di DPRD Kota Medan ... 47

Tabel.6 Posisi dan Kondisi perempuan di Pemerintah Kota Medan ... 51

Tabel.7 Nama-nama anggota DPRD Perempuan Kota Medan... 53

Tabel. 8 Anggaran Kaukus Perempuan Parlemen Kota Medan ... 83

Daftar Gambar Gambar 1 Bagan pembahasan Ranperda menjadi Perda ... 60

Gambar 2 Pelayanan KB Gratis di Belawan ... 79

Gambar 3 Kegiatan buka bersama dengan Petugas Kebersihan ... 80

Gambar 4 Pengobatan Gratis yang diselenggarakan bersama GISI... 81


(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

RIDAWATY PARHUSIP

Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan

Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011

Rincian isi skripsi ix, 98 halaman, 8 tabel, 5 gambar, 29 buku, 1 artikel dari 1 majalah, 10 situs internet, 4 undang-undang, serta 12 wawancara.(kisaran buku dari tahun 1995-2011)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa kinerja Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Medan.

Anggota Legislatif baik laki-laki maupun perempuan dipilih untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Begitu juga dengan Anggota Dewan Perempuan yang seyogianya dapat memperjuangkan kepentingan perempuan. Masih sedikit perempuan dapat duduk di kursi legislatif. Keterwakilan politik perempuan di DPRD Medan tahun 2004 hanya lima orang dan pada pemilu legislatif 2009 meningkat menjadi enam orang. Sedikitnya jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota dewan dapat mempengaruhi kebijakan yang dapat dibuat untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Namun, kuantitas tidak selamanya menpengaruhi kinerja yang dihasilkan. Kuantitas juga harus diseimbangkan dengan kualitas dari individu itu sendiri.

Penelitian ini mengggunakan metode kualitatif dan pengumpulan data dengan metode wawancara. Kunci informan adalah Anggota DPRD Perempuan di DPRD Medan. Penelitian ini berfokus pada dua bidang utama. Pertama, Anggota DPRD Perempuan Kota Medan dalam melaksanakan kinerja di fungsi legislasi untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Anggota DPRD Perempuan dipilih masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya, termasuk kepentingan perempuan. Kepentingan perempuan ini dikhususkan untuk kepentingan yang mendapat ketidakadilan gender, misalnya dalam sosial dan politik. Kedua, hambatan-hambatan yang menjadi kendala perempuan dalam melaksanakan kinerja mereka dengan baik..

Hasil penelitian menunjukkan secara fisik tidak ada perbedaan antara anggota DPRD Laki-laki dengan Perempuan dalam melaksanakan tugas mereka sebagai individu yang mewakili masyarakat. Namun ditemukan tradisi budaya patriarkhi,dan posisi strategis cenderung masih dipercayakan untuk ditempati laki-laki. Jumlah yang masih sedikit diyakini menjadi kendala Anggota Dewan Perempuan dalam membuat kebijakan untuk memperjuangkan kepentingan Perempuan. Mengingat kualitas kinerja legislasi anggota dewan tidak hanya ditentukan dari jumlah kaum perempuan yang berhasil menjadi anggota dewan, melainkan juga ditentukan oleh kualitas atau mutu mereka, maka perlu kiranya diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan jumlah dengan kualitas. Hambatan yang lain adalah faktor intern Anggota Dewan itu untuk tidak meningkatkan kualitas kinerja mereka.


(10)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

SCIENCE FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

RIDAWATY Parhusip

Performance Council Member Women in Medan in the running

Functions Legislation for Women in 2009-2011 memperperjuangkan interests

Details of thesis contents ix, 98 pages, 8 tables, 5 images, 29 books, 1 of 1 magazine article, 10 sites, 4 of the law, as well as 12 interviews. (Range of books from the year 1995 to 2011)

ABSTRACT

This thesis entitled Women Performance Council Member in the city of Medan in running Functions Legislation for Women interests memperperjuangkan years 2009-2011. The purpose of this study was to analyze the performance of Members of Parliament Legislative Women in Medan.

Legislative members, both men and women selected to voice the aspirations and interests of the community. So also with the Women's Council members who should be fighting for the interests of women. Still few women can sit in the seat legislature. Political representation of women in parliament Medan in 2004 only five people and the legislative elections of 2009 increased to six. The small number of women who sit as members of the board can influence policies that can be made to fight for the interests of women. However, quantity does not always menpengaruhi resulting performance. Quantity must also be balanced with the quality of the individuals themselves.

This study use traditional methods of qualitative data collection by interview. The key informant was Member of Parliament Women in Parliament Medan. This study focuses on two main areas. First, Member of Women's Council of Medan in carrying performance in the legislative function for the interests of women. Local legislators are women chosen by the community to fight for their interests, including the interests of women. Interest is devoted to the interests of women who received gender inequality, such as the social and political. Second, barriers to women's constraints in carrying out their performance well ..

The results showed no difference physically between legislators Men with Women in carrying out their duties as individuals who represent the public. But patriarchal cultural traditions are found, and the strategic position occupied tend to still entrusted to men. The amount is believed to be still a little obstacle Board Member of Women in making policies for the interests of women. Given the quality of the performance of legislative council members are not only determined by the number of women who succeeded in becoming a board member, but is also determined by the quality or the quality of them, is essential to the effort to strike a balance between compliance with a number of qualities. Another obstacle is the internal factors that Councillor for not improving the quality of their performance.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Demokrasi telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demokrasi mengisyaratkan bahwa semua manusia berhak dan bebas dalam menjalankan hak-hak demokrasi seperti hak hidup, hak berpendapat, bahkan hak memilih dan dipilih, begitu juga dengan perempuan. Di dalam Pasal 27 UUD Tahun 1945 menyatakan:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.Pernyataan itu menegaskan bahwa tidak ada perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan politik seperti memberikan suara secara bebas di pemilihan umum, ikut dalam partai politik, menjadi elit politik dan turut terlibat dalam mempengaruhi keputusan-keputusan politik.

Persoalan-persoalan perempuan masih banyak yang belum diselesaikan di Indonesia, khususnya di kota Medan sendiri. Fakta ini diperkuat oleh data PBB yang memperkirakan angka perdagangan (trafficking) dan eksploitasi sosial perempuan dan anak di Asia mencapai 30 juta korban selama kurun waktu 30 tahun terakhir. Berdasarkann data teranyar dari Bagian Pemberdayaan Perempuan Pemko Medan, kasus trafficking cukup mengkhawatirkan. Korban trafficking anak di Sumut terus bertambah. Dan menurut perkiraan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan korban trafficking di Sumut sekitar 300 hingga 400 anak setiap tahun. Korban trafficking di Sumut umumnya berusia di bawah 18 tahun. Catatan PKPA menyebutkan sebanyak 15 orang anak berumur 12-15 tahun menjadi korban perdagangan anak pada 2003 dan 2004. Para korban tersebut rata-rata tidak tamat sekolah dasar (SD) dan berasal dari perkebunan, nelayan dan masyarakat miskin di pinggiran Kota Medan. Women Crisis Centre ( WCC) Cahaya Perempuan di Medan, mengungkap, terjadi tindak perdagangan orang (trafficking) sepanjang tahun 2011 sebesar 53,65 persen dialami anak di bawah 18 tahun Jumlah pekerja wanita di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Pada tahun 2007 mencapai 2,12 juta orang (35,37%). Di Kota


(12)

Medan jumlah korban trafiking menduduki peringkat pertama dengan perkiraan mencapai 27 kasus. 1

Menurut Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional Perempuan Indonesia,untuk kekerasan terhadap perempuan terjadi lebih dari 110.000 kekerasan terhadap perempuan dan 95 persennya adalah KDRT. Komnas Perempuan mencatat, kekerasan moralitas hingga Maret 2012 terjadi 207 PP (Peraturan Pemerintah) yang diskriminatif. Kebanyakan kebijakannya menyasar dan menarget perempuan, membuat perempuan sebagai korban dan mengontrol mobilitas perempuan. Misalnya seperti Perda Prostitusi yang awal dibentuknya melindungi perempuan tetapi perempuan-perempuan yang pulang larut malam mudah sekali diduga sebagai PSK.2

Menurut data Kementerian Kesehatan, jumlah pekerja perempuan di Indonesia tahun 2011, berjumlah 39,95 juta jiwa, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah itu, sekitar 25 juta di antaranya tergolong usia reproduksi (15-45 tahun). Sudah pasti, bagi buruh perempuan yang memiliki anak bayi akan kesulitan memenuhi kebutuhan ASI banyak anaknya itu. Sementara faktanya, rata-rata perusahaan hanya memberikan cuti pasca melahirkan maksimal 2 bulan. Ironisnya, pemberlakuan jam malam masih juga diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk kepada si ibu yang baru saja melahirkan. Hak dan perlindungan terhadap kaum buruh perempuan di negeri ini memang masih sangat rendah. Banyak perusahaan yang masih memperlakukan buruh perempuan sebagai "sapi perahan."3

Membicarakan hubungan perempuan dengan politik masih menjadi wacana yang menarik. Sebelum era reformasi, kondisi politik perempuan sangatlah rendah. Perempuan belum mendapat tempat strategis dalam membuat keputusan politik karena laki-laki masih lebih mendominasi dan menentukan kebijakan publik. Perempuan biasanya hanya menjadi peserta yang sekedar absen dan penikmat kebijakan saja. Kaum perempuan direduksi sedemikian rupa pada tataran simbolis dan struktural dan hanya merupakan mendamping suami. Pencitraan yang dimunculkan melalui pejabat-pejabat publik, dimana sang istri diperankan sebagai orang kedua dibelakang suami.

2

Majalah Forum Keadilan No.14. Jakarta. PT. Forum Adil Mandiri. 29 Juli 2012. Hal 67 3

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/05/30/53180/nasib_buruh_perempuan_kita/ yang diakses pada tanggal 15 Juli 2012.


(13)

Di era reformasi, sedikit demi sedikit ada secercah harapan pada perempuan untuk memasuki ruang publik dan politik sekaligus. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari pemerintahannya selama 32 tahun, arus reformasi mulai menunjukkan perubahan-perubahan termasuk untuk perempuan baik dari kebebasan perempuan untuk berekspresi sampai partisipasi politik perempuan mulai diperhatikan. Perempuan dalam tatanan politik juga mulai berkembang dimana perempuan yang hanya bisa memilih kini dapat memilih dan dipilih. Perempuan juga mulai menunjukkan kemampuan dirinya baik di keluarga bahkan di pemerintah. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi keterwakilan perempuan di politik dan membuat kesadaran perempuan akan pengetahuan politik.

Gerakan perempuan dan feminis juga mewarnai perubahan sosial politik di Indonesia. Mereka tidak henti-hentinya menyuarakan kepentingan dan keterwakilan politik perempuan di Indonesia. Untuk mengantisipasi suara dari perempuan Indonesia, pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai keterwakilan politik perempuan di Indonesia yaitu Undang-Undang No.12 Pasal 65 Ayat (1) tentang Pemilu mengenai kuota perempuan disahkan, yang menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.4

Namun UU No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat (1) tentang pemilu belum menyentuh substansi ideal sebagai pranata hukum sebagaimana yang diharapkan, karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, dimana pernyataan tersebut “tidak” atau “belum” memberlakukan sanksi pada partai politik atas gagalnya affirmative action530%. Untuk itu dikeluarkanlah UU Pemilu No.10 tahun 2008 yaitu pada pada pasal 8 ayat 1 butir (d) yang menyatakan “Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”.6

Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya suatu keharusan bagi partai politik untuk dapat menyertakan sedikitnya 30% kaum perempuan dalam kepengurusan partai. Keterlibatan perempuan dalam pemilu dengan kuota 30% merupakan suatu peluang bagi

4

UU Pemilu No.12 tahun 2008 pasal 65 ayat (1) 5

Affirmation action adalah semacam program khusus untuk lebih memungkinkan kaum perempuan memainkan perannya dalam masyarakat sesuai kemampuan dan talentabyang dimilikinya sehingga perempuan lebih termotivasi untuk meraih posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.

6


(14)

perempuan dengan keterwakilannya untuk dapat kiranya menyuarakan kepentingannya serta kepentingan umum dengan membawa aspirasi dalam berbagai bidang.

Adapun wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30%, masih menjadi wacana kontroversi. Banyak kalangan perempuan sendiri menolak dengan alasan membatasi langkah perempuan yang ditinjau dengan hitungan statistik yang berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Tetapi sebagian kalangan perempuan yang lain menyambut wacana tersebut dengan langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan dalam dunia politiknya. Dengan adanya ketentuan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik, maka dapat memberikan suatu kemajuan bagi kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Dengan begitu sekarang perempuan bebas mencalonkan dirinya untuk dapat menduduki jabatan politiknya.

Kemudian disahkan pula Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur ketentuan kuota minimal 30% bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik maupun anggota legislatif, dimana setiap tiga nama dalam caleg harus dimasukkan nama perempuan, hal ini tertulis jelas dalam UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2) yang meyatakan “Didalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam ayat satu , setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya terdapat satu orang perempuan bakal calon”7

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan suatu lembaga atau badan perwakilan rakyat di daerah yang mencerminkan struktur dan sistem demokratis di daerah, sebagaimana terkandung di dalam pasal 18 UUD 1945

Undang-undang pemilu tersebut telah menunjukkan bahwa pentingnya perhatian khusus ke perempuan. Hal itu tampak dengan adanya ketentuan affirmative action untuk calon anggota legislatif perempuan yang berupa pemberian kuota ke perempuan. Adapun penetapan kuota tersebut dipandang merupakan mekanisme paling efektif untuk menjamin akses perempuan di bidang politik. Kuota tersebut bisa menjadi titik pijak dimulainya pembaruan semua kebijakan dan perundang-undangan yang lebih berspektif gender dan lebih sensitif atas kepentingan perempuan.

8

7

UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2) 8

Hari Sabarno, memandu otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta. Sinar Grafika. 2008. Hal: 20

dan selanjutnya dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kepentingan dan aspirasi dari masyarakat harus dapat ditangkap oleh pemerintah daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


(15)

sebagai representasi perwakilan rakyat dalam struktur kelembagaan daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan. Pemerintah daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan.

Keseluruhan dari fungsi DPRD telah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Melalui fungsi tersebut DPRD sebagai representasi rakyat dalam struktur kelembagaan daerah menjalankan fungsi perundang-undangan dan juga fungsi anggaran/ keuangan yang telah diatur dalam hak anggaran sampai pada fungsi pengawasan. Fungsi DPRD berakar pada subtansi demokrasi yang terus mengingatkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota parlemen adalah wakil rakyat dan bukan wakil partai politik. Dalam pembahasan ini yang menjadi masalah adalah bagaimana partisispasi perempuan yang duduk di lembaga legislatif dapat melaksanakan fungsi legislasi dengan baik.

Setelah reformasi keterwakilan politik perempuan di Kota Medan masih sulit meningkat. Pada masa orde baru, perempuan belum banyak yang mau berpartisipasi dalam politik. Mereka lebih suka mendukung karir politik suami masing-masing. Untuk mensukseskan karir suaminya, kebanyakan sang istri ikut dalam kegiatan perempuan di PKK dan keagamaan. Karena itu, pada masa Orde Baru masih sedikit bahkan jarang perempuan ikut dalam kegiatan politik yang dinilai sebagai wilayah laki-laki. Pada tahun 1992-1997keterwakilan politik perempuan hanya 3 orang dari 44 anggota terpilih dan untuk tahun1997-1999, jumlah anggota DPRD perempuan Kota Medan hanya 4 orang.

Kemudian pada saat ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan, dan hasilnya pada saat itu adalah 5 orang perempuan yang terpilih dari 45 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih. Sementara itu pada pemilu 2009, anggota DPRD Kota Medan hanya 6 orang perempuan yang terpilih dari 50 orang anggota DPRD Kota Medan yang terpilih.9

Kinerja Anggota Dewan perempuan yang dibahas disini adalah kinerja tentang Anggota Dewan perempuan dalam mengambil kebijakan. Kinerja yang dilaksanakanmengacu aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan perempuan dalam

Namun salah satu dari enam anggota DPRD Kota Medan perempuan yaitu, Hj Halimatusakdiyah dari partai Demokrat itu meninggal dunia akibat menderita penyakit kanker, jumlah anggota legislatif perempuan di kota Medan menjadi lima orang saja. Kondisi ini memprihatinkan karena persentase keterwakilan politik perempuan yang duduk di DPRD Kota Medan hanya berkisar 12 % saja.

9


(16)

dunia politik.Pembahasan mereka dalam membuat kebijakan yang mewakili kepentingan perempuan dapat membuktikan pemberian kuota 30% memang layak diberikan atau tidak kepada perempuan. Untuk dapat bertahan di dunia politik, perempuan yang telah duduk di parlemen haruslah memperlihatkan kapasitasnya dengan selalu aktif berpartisipasi dalam melaksanakan fungsi kerja mereka yaitu di bidang legislasi dimana mereka membuat kebijakan-kebijakan sesuai dan efektif bagi kebutuhan masyarakat. Jika mereka dapat melaksanakan fungsi ini, kinerja mereka di parlemen akan meningkat. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik dan ingin melihat dan meneliti tentang Kinerja Anggota Dewan Perempuan di Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi untuk memperperjuangkan kepentingan Perempuan tahun 2009-2011

2. Perumusan Masalah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tiga fungsi parlemen yang harus dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Ketiga fungsi itu adalah membuat kebijakan-kebijakan melalui Undang-undang (legislasi), anggaran, dan melakukan pengawasan. Baik buruknya suatu organisasi ditinjau seberapa besar partisipasi mereka melakukan fungsi kerja untuk meningkatkan kinerja mereka. Untuk menunjukkan kemampuan mereka, anggota legislatif perempuan harus menunjukkan seberapa besar prestasinya dalam menjalankan fungsi parlemen.

Anggota DPRD perempuan berkewajiban memperhatikan kepentingan perempuan dalam partisipasi politik dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya dengan membuat kebijakan-kebijakan agar dapat efektif dan efisien. Anggota DPRD Perempuan di Kota Medan hanya berjumlah lima orang saja. Mereka belum maksimal dalam melakukan fungsi kerja untuk membuat kebijakan yang memperjuangkan kepentingan perempuan di Kota Medan. Dari produk-produk legislasi yang telah dihasilkan belum adaperaturan daerah yang membawa isu-isu perempuan dan kepentingan perempuan. Masih banyak hak-hak perempuan yang selama ini kurang mendapat perhatian anggota legislatif perempuan yang berhasil duduk di DPRD. Diskriminasi terhadap perempuan, trafficking, persoalan kesehatan, pendidikan, kemiskinan, partisipasi politik perempuan dan pemberdayaan perempuan adalah persoalan perempuan yang perlu mendapat perhatian khusus.

3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana kinerja anggota DPRD Perempuan Kota Medan dalam melaksanakan fungsi legislasi untuk memperjuangkan kepentingan perempuan tahun 2009-2011?


(17)

2. Faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat anggota DPRD Perempuan dalam melaksanakan kinerja?

4. Fokus Penelitian

Penelitian tentang kinerja DPRD dengan perspektif gender ini difokuskan pada pelaksanaan salah satu fungsinya yakni : Fungsi Legislasi. Fungsi ini yang memberikan nama lembaga DPRD sebagai lembaga legislatif atau badan pembuat undang-undang. Adapun rincian masalah yang akan diamati adalah:

1. Kehadiran Anggota Perempuan DPRD di Kota Medan

Kehadiran merupakan faktor utama anggota DPRD Perempuan dalam melaksanakan kinerjanya. Mereka pasti tidak bisa melaksanakan tugas mereka dengan baik jika mereka tidak hadir di DPRD Kota Medan.

2. Penguasaan Materi tentang Fungsi yang dilaksanakan

Penguasaan materi yang dimaksud adalah seberapa besar mereka faham melaksanakan fungsi legislasi mengenai kepentingan perempuan.

3. Hal inisiatif dan penyampaian gagasan

Seberapa sering Anggota DPRD Perempuan menyampaikan pendapatnya untuk membuat kebijakan-kebijakan khususnya untuk Pemberdayaan Perempuan.

4. Kemampuan kerjasama

Bagaimana Anggota DPRD Laki-laki dan Perempuan dapat bekerjasama dalam melaksanakan kinerja mereka di bidang legislasi. 10

5. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5.1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini ialah:

1) Untuk mengetahui karakteristik Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi tahun 2009-2011.

2) Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dapat menghambat Kinerja Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Medan dalam menjalankan Fungsi Legislasi tahun 2009-2011.

10

Amik Amikawati. Skripsi: Analisis Gender Pada Kinerja DPRD Provinsi Jawa Tengah Periode 2004–2009. Universitas Diponegoro Semarang. 2008. Hal: 67


(18)

5.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam pembuatan penelitian ini ialah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan ilmiah mengenai kemampuan dan kinerja perempuan di parlemen dalam melakukan fungsi kerjanya di bidang legislasi. Ini dapat menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang berada di pemerintahan untuk lebih membuka kesempatan kepada perempuan di kancah perpolitikan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat terutama kaum perempuan agar dapat membuktikan analisis peneliti mengenai kepentingan perempuan berdasarkan fakta-fakta dilapangan dan menambah wawasan bagi peneliti itu sendiri.

6. Kerangka teori 6.1. Politik Gender 6.1.1. Pengertian Gender

Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori gender. Teori gender dipakai sebagai pisau analisis sosial konflik yang mengacu kepada ketidakadilan peran,fungsi,kedudukan,dan struktural karena kondisi sosial, tradisi masyarakat,keyakinan beragama individu,dan kebijakan pemerintah. Istilah gender sering dipakai kalangan Feminis ataupun masyarakat yang tertarik dengan Pergerakan Perempuan. Gender mebicarakan tentang kedudukan perempuan dan laki-laki. Lebih lengkapnya gender adalah suatu kontruksi antara laki-laki dan perempuan yang mana dilihat bukan dari perbedaan biologisnya namun dari kedudukan, status, tugas dan peranan di antara keduanya ditinjau dari persfektif sosial, ekonomi, hukum, budaya, HAM bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Disini fokusnya tidak hanya untuk perempuan, laki-laki juga mengalaminya. Meskipun, terkadang yang sering mendapat perbedaan dan perlakuan yang tidak adil adalah perempuan.

Secara etimologi gender berasal dari kata Latin genus, Inggris abad pertengahan

gendre, Yunani gen, dan Prancis modern genre. Awalnya secara umum berarti “jenis” (kata benda) atau “menghasilkan” (kata benda), namun belakangan secara gramatikal lebih sering digunakan untuk menunjuk jenis kelamin atau seks secara sosial daripada biologis. 11

Di


(19)

dalam buku Pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa, karangan Aida Vitalaya S.Hubeis, Gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial budaya, politik dan ekonomi. Gender mengacu pada perbedaan peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan lelaki pada perilaku dan karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki pada pandangan bagaimana kegiatan yang mereka lakukan seharusnya dihargai.12

Namun karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah kaum perempuan maka analisis gender dianggap menjadi alat perjuangan kaum perempuan. Analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan struktur yang tidak adil, baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender, sementara kaum laki-laki menjadi dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender.

Permasalahan-permasalahan ketidakadilan gender diatas adalah kondisi yang terjadi di tengah masyarakat yang saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu “tersosialisasi” antara laki dan perempuan dengan baik,yang lambat laun membuat laki-laki dan percaya bahwa ketidakadilan gender itu adalah kodrat manusia. Lambat laun terbentuklah suatu sistem ketidakadilan gender yang “diterima” dan tidak lagi dirasakan sebagai kondisi yang salah. Jika ada yang mempertentangkannya malah dianggap sebagai pihak yang salah dan tidak tahu aturan. Analisis gender di atas memberi perangkat teoritik untuk memahami sistem ketidakadilan gender di tengah masyarakat. Laki-laki dan perempuan, sama-sama menjadi korban dari ketidakadilan gender itu.

13

6.1.2. Budaya Patriarkhi

Alat analisis yang melihat penelitian ini selanjutnya adalah budaya patriarki. Kata Patriarkhi secara harfiah berarti aturan (rule) bapak atau “patriarkh”, dan pada mulanya digunakan untuk menunjukkan jenis tertentu rumah tangga besar (large household). Patriarkhi yang meliputi perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak dan pembantu berada di bawah aturan laki-laki yang dominan ini.14

12

Hubeis, Aida vitalaya S. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. PT. Penerbit IPB Press.2010 13

Nur Heffina.050906040. skripsi: Perempuan dan politik. Medan. 2009. Hal:16

Patriarkhi adalah istilah yang dipakai


(20)

untuk menggambarkan sistem sosial dimana kaum laki-laki sebagai kaum kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan.15

Teori budaya Patriarki sama seperti teori budaya gender dipakai untuk menekankan permasalahan kondisi sosial dan politik perempuan di masyarakat. Namun, budaya patriarki Institusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, di mana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Sebagai unit terkecil dari patriarki, keluarga memberikan kontribusi besar dalam penguatan ideologi ini. Keluarga mendorong setiap anggotanya untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat yang menganut patriarki.

Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan.

Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Dia tidak perlu mendapatkan uang dari hasil kerjanya dan berakibat dia selalu tergantung kepada suaminya. Ideologi patriarki tidak dapat diruntuhkan karena secara ekonomi perempuan tergantung pada laki-laki. Ketergantungan itu terjadi dalam seluruh kehidupannya. Secara konvensional laki-laki merupakan sumber utama pendapatan dalam keluarga sedangkan perempuan merupakan pengurus rumah tangga. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah sedangkan perempuan bekerja di dalam rumah untuk melakukan semua pekerjaan rumah.

Selain itu, keluarga yang menganut sistem patriarki memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-laki daripada perempuan. Biasanya orang tua lebih mementingkan anak laki-lakinya untuk sekolah yang tinggi sedangkan anak perempuannya diminta di rumah. Sehingga anak perempuan kesulitan untuk mendapatkan akses pengetahuan. Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki.

15


(21)

lebih ditunjukkan kepada sisi dominan laki-laki terutama di keluarga. Untuk menghilangkan keterwakilan politik dan partisipasi perempuan yang masih rendah maka ditunjukkan lebih awal di tahap ini lalu dilanjutkan ke tahap yang lebih luas. Sisi dominan laki-laki dan ketidakpercayaan diri perempuan diharapkan sudah dapat dihilangkan di tahap ini.

Dalam konsep ketidakadilan gender, secara terstruktur perempuan selalu menjadi korban. Di dalam budaya Patriarkhi yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, juga telah mempengaruhi pandangan negara dan masyarakat bahwa arena politik tidak sesuai dengan streotip perempuan yang halus, lemah lembut, penyabar dan jauh dari kompetesi pertarungan politik. Ini membuat perempuan sulit untuk bersaing dan mau masuk dalam dunia politik. Dunia politik dikatakan kejam, keras, dan mau melakukan hal-hal kotor.

6.2.Lembaga legislatif

Lembaga legislatif yang sering dikatakan parlemen atau DPR adalah suatu badan birokrasi dimana wakil-wakil rakyat yang mempunyai tugas untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah berada di sana.

6.2.1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPRD merupakan lembaga yang berfungsi untuk menyalurka aspirasi masyarakat di daerah kepada pemerintah setempat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap provinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislatif. Namun, fungsi legislatif di daerah tidak lah berada sepenuhnya di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI seperti yang tertuang dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) menyatakan Presiden berhak untuk mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik dari daerah provinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan legislatif harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemeririntah di daerah.

6.2.2. Fungsi Legislatif

Fungsi DPRD ada tiga yaitu: 1. Legislasi


(22)

Sebagai badan legislasi, DPRD berfungsi sebagai badan pembuat peraturan perundang-undangan. Melalui fungsi ini DPRD mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat. DPRD bersama-sama dengan kepala daerah menyusun dan menetapkan peraturan daerah untuk kepentingan daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepala daerah. Rancangan peraturan daerah dapat diajukan oleh kepala daerah atau DPRD.

2. Keuangan

Hak anggaran ini memberi kewenangan kepada DPRD untuk ikut menetapkan dan merumuskan kebijaksanaan daerah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pelaksanaannya, mulai dari perumusan rancangan naskah APBD, perubahan APBD, atau perhitungan APBD. Pembahasan anggaran pada tahap pertama dilakukan oleh Panitia Anggaran untuk dipelajari. Pandangan-pandangan Panitia Anggaran diserahkan kepada komisi-komisi untuk dibahas. Selain Rapat Komisi, diadakan Rapat Fraksi untuk rencana anggaran dari aspek politiknya. Pada pembahasan ini, anggota-anggota DPRD mengambil sikap menerima atau mengamander bagian-bagian tertentu dalam APBD.

3. Pengawasan

Penilaian terhadap pelaksanaaan peraturan-peraturan daerah oleh eksekutif adalah bentuk dari pengawasan. Di dalam hak-hak DPRD ada hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan dan hak penyelidikan. Rangkaian hak ini sebenarnya telah memberi kewenangan bagi DPRD untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Menurut UUD 1945 yang lama, DPR berhak mengajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, berdasarkan ketentuan UU No. 22/1999 berhak mengajukan rancangan peraturan daerah kepada gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnyatidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan yang utama tetap berada di tangan pemerintah yang dalam hal ini adalah gubernur atau bupati/walikota.

Fungsi utama DPRD adalah mengontrol jalannya pemerintahan daerah, sedangkan dalam fungsi legislatif DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif tetap berada di tangan gubernur atau bupati/ walikota. Dalam UU No. 22/1999, gubernur dan bupati/walikota diwajibkan untuk mengajukan rancangan peraturan daerah dan menetapkannya menjadi peraturan daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-kali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan


(23)

rancangan peraturan daerah. Fungsi DPRD lebih tercermin dalam mengawasi pererintahan daerah. Di bidang legislasi, lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan dukungan-dukungan yang teknis pula.

6.3.Kinerja DPRD 6.3.1.Kinerja

Menurut Mangkunegara, Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dipengaruhi oleh sikap dan karakternya dalam menyelesaikan pekerjaanya yang didasari oleh sebuah orientasi16. Sedangkan menurut Prof. Dr. Moeheriono, kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. 17

6.3.2.Pengukuran Kinerja

Kinerja dapat diukur jika sekelompok individu mempunyai kriteria yang ditetapkan oleh organisasi.

Dalam melakukan penilaian terhadap pelaksanaan pekerjaan atau kinerja seorang pegawai harus memiliki pedoman dan dasar-dasar penilaian. Pedoman dan dasar-dasar penilaian tersebut dapat dibuat dalam aspek-aspek penilaian.Untuk dapat mengetahui kinerja suatu organisasi, harus diketahui ukuran keberhasilan untuk dapat menilai kinerja tersebut.Ada indikator atau ukuran yang jelas untuk dapat merefleksikan tujuan dan misi dari organisasi yang bersangkutan . Levinne (Dwiyanto) dalam mengukur kinerja organisasi publik ada tiga konsep yaitu responsivitas, responsibility, dan akuntability. 18

Sementara menurut Yeremias T. Keban untuk mengukur kinerja DPRD dapat dilihat dari pendekatan kebijakan, yaitu seberapa jauh kebijakan yang ditetapkan telah secara efektif memecahkan masalah publik. Artinya apakah kebijakan yang dihasilkan DPRD dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan memecahkan masalah publik dengan tepat. Pendapat itu menggambarkan ukuran kinerja DPRD dilihat dari produk kebijakan yang dihasilkan sebab keterlibatan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan lebih pada “policy making”.19

16

A.A Anwar Prabu Mangkunegara, evaluasi Kinerja SDM, cetakan ketiga,. Bangung. PT. Refika Aditama.2010 17

Prof. Dr. Moeheriono, Msi. Pengukuran kinerja berbasis kompetensi. Surabaya. Ghalia Indonesia. 2009 18

Agus Dwiyanto. Penilaian Kinerja Organisasi Publik, Makalah dalam Seminar Sehari : Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya, Hal : 7

19

Yeremias T Keban. Indikator Kinerja Pemerintah Daerah: pendekatan manajemen dan kebijakan, seminar sehari kerja.


(24)

Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas, baik mengenai konsep-konsep atau pengertian tentang kinerja, pengukuran kinerja dan bagaimana mengukur kinerja, maka penulis akan menggunakan pengukuran kinerja yang disesuaikan dengan tujuan dan misi organisasi yaitu: Akuntabilitas, Responsivitas dan Efektivitas sebagai indikator-indikator dalam penelitian ini.

1. Akuntabilitas

Agus Dwiyanto berpendapat bahwa konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik itu sendiri dapat konsisten dengan kehendak masyarakat yang ada. Kinerja organisasi publik tidak bisa hanya dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaliknya harus dinilai dari ukuran eksternal seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kebijakan yang dibuat oleh organisasi itu benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Menurut Affan Gafar bahwa akuntabilitas adalah setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidah hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan yang akan dijalaninya.20

2. Responsivitas

Tujuan pengukuran kinerja akuntabilitas untuk penelitian ini adalah untuk melihat DPRD khususnya di DPRD Kota Medan sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat ikut bertanggung jawab atas kelancaran jalannya roda pemerintahan di daerah demi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mengatur dan mengurus pemerintahan di daerahnya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, anggota DPRD perempuan Kota Medan harus memperhatikan apakah pelaksanaan fungsinya telah sesuai dengan harapan, keinginan dan kebutuhan masyarakat. Konsep akuntabilitas ini mengandung makna bahwa pertanggungjawaban pelaksanaan fungsi DPRD kepada masyarakat.

Suatu organisasi yang mempunyai peran pelayanan publik dituntut harus peka terhadap apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas menurut S.P Siagian adalah kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aturan baru,

20


(25)

perkembangan baru, tuntutan baru dan pengetahuan baru, birokrasi harus segera merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.21

3. Efektivitas

Organisasi harus mampu dan mau mendengarkan apa yang menjadi tuntutan dan aspirasi masyarakat. Tingkat responsivitas yang akan diteliti adalah kemampuan anggota DPRD perempuan di Kota Medan dalam mengenali kebutuhan masyarakat, merespon persoalan yang muncul di tengah masyarakat, memahami kemauan masyarakat dan kemudian dikembangkan dan dituangkan dalam kebijakan-kebijakan sesuai dengan aspirasi masyarakat itu. Organisasi yang mempunyai responsivitas yang rendah akan menunjukkan kinerja yang jelek dan menunjukkan organisasi itu telah gagal. Di dalam DPRD untuk menunjukkan reponsivitas yang baik haruslah dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat, memberikan pelayanan yang dapat memuaskan keinginan masyarakat dan memecahkan masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat.

Menurut Kumorotomo, efektivitas adalah menyangkut apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai. Hal ini ada kaitannya dengan teknis, nilai, misi dan tujuan organisasi serta fungsi agen pembangunan.22

7. Metode Penelitian

Dari uraian di atas, pengukuran efektivitas dari DPRD dapat dilihat dari seberapa besar peran angggota legislatif perempuan ini dalam merespon kepentingan masyarakat khususnya perempuan itu sendiri yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan di legislasi, anggaran, dan pengawasan. Di legislasi, yaitu merumuskan dan menetapkan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Di anggaran, menetapkan anggaran yang tinggi dan sesuai untuk kepentingan perempuan. Di pengawasan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah, pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan menampung aspirasi dari masyarakat untuk menyalurkannya kepada pejabat dan pihak yang berwenang.

Penelitian ini adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan melakukan metode-metode ilmiah.23

7.1. Jenis Penelitian

21 P

. Sondang Siagian. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta. PT Gunung Agung. 2000. Hal: 165 22

Wahyudi kumorotomo, Dkk. Sistem informasi management dalam organisasi publik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Perss. Hal: 25.2009

23


(26)

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan analisis yaitu suatu metode dalam meneliti suatu objek, kondisi, suatu sistem pemikiran atau sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa yang terjadi pada masa sekarang. Menurut Whitney, Metode Deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan dan proses yang sedang berlangsung juga pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.24

7.2. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan DPRD Kota Medan Sumatera Utara. Sebelumnya kantor DPRD Kota Medan berada di Jl. Namun karena dirasakan tidak memenuhi kapasitas lagi dalam menampung keseluruhan anggota DPRD yang sekarang berjumlah 50 orang anggota maka lokasi DPRD Kota Medan dipindahkan sementara selama setahun dari tahun 2012-2013 ke Jl. Krakatau No. 17 Medan yang mana merupakan bekas kantor PELNI.

7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu data primer dan data sekunder.25

Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yaitu suatu cara pengumpulan data dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan serta melakukan proses tanya jawab secara langsung dengan para informan yang terkait dalam penelitin ini. Data-data yang dimaksud adalah data tentang DPRD Kota Medan dan penulis akan melakukan wawancara dengan anggota perempuan DPRD periode 2009-2011. Pada awalnya anggota DPRD perempuan Kota Medan berjumlah enam orang. Namun karena salah satu anggota dewan perempuan di lembaga itu yaitu Hj. Halimatuksahdiah dari partai Demokrat meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya sehingga yang dapat saya wawancarai hanya tinggal lima anggota dewan perempuan saja.

Untuk memperoleh data dan fakta yang berupa informasi yang jelas, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Data Primer

24

M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1998. Hal: 64

25

Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formal – Formal Kualitatif dan Kualitas, Surabaya: Airlangga University Press, 2001, hal.51


(27)

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: 1. Dra. Lily, MBA. MH (Partai Perjuangan Indonesia Baru) 2. Hj. Srijati Pohan ( Partai Demokrat)

3. Damai Yona Nainggolan ( Partai Demokrat) 4. Ainal Mardiah ( Partai Golkar)

5. JanLie, SE Ak (Partai Perjuangan Indonesia Baru)

6. Pihak-pihak terkait yang dapat membantu penelitian berjalan dengan baik.

Dengan demikian, data yang nantinya diperoleh dari hasil wawancara tersebut merupakan data pendukung bagi terlaksananya penelitian ini.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder ini dilakukan dengan tinjauan kepustakaan dan dokumentasi. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dan informasi melalui referensi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, undang-undang, peraturan-peraturan, artikel-artikel dalam majalah, koran, jurnal ilmiah, laporan-laporan penelitian serta bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, yang nantinya teori-teori yang didapat tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan suatu penelitian.

7.4 Teknik Analisa Data

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Untuk analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun dalam bentuk angka-angka. Dalam penelitian kualitatif ini juga penulis tidak mencari kebenaran dan moralitas tetapi lebih kepada upaya pemahaman. 26

Dalam kerangka penelitian kualitatif, data yang nantinya didapat dari hasil wawancara dan dokumentasi akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis kemudian dijelaskan secara mendalam selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat menjelaskan masalah yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu suatu metode dengan tujuan memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti, dimana jenis penelitian ini biasanya diiringi dengan jenis analisis data secara kualitatif. Sehingga

26


(28)

nantinya yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan informasi terkumpul dan kemudian dianalisis.27

Defenisi konsep adalah hal penting dalam penelitian yang dipakai untuk menggambarkan secara abstrak keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.

7.5 Defenisi Konsep dan Operasional

1. Defenisi konsep

28

• Gender adalah konstruksi masyarakat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan peran, fungsi, dan kedudukan mereka yang berubah dari waktu ke waktu.

Defenisi pada peneltian ini adalah:

• Budaya Patriarki adalah budaya yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang dominan daripada perempuan.

• Kinerja DPRD adalah hasil kerja yang dicapau oleh lembaga DPRD sesuai dengan fungsi dan tugasnya dengan memakai pengukuran kinerja yaitu Akuntabilitas, Responsivitas, dan Efektifitas yang dapat digunakan dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

2. Defenisi Operasional

Defenisi operasional dijelaskan sebagai spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur variabel. Defenisi operasional merupakan rincian dari indikator-indikator pengukuran variabel.

Defenisi operasional ini adalah:

 Gender

Pengukuran teori gender di sini adalahPemahaman Anggota DPRD Perempuan tentang isu-isu perempuan dan kebebasan Anggota DPRD Perempuan dalam membuat kebijakan-kebijakan di DPRD Medan.

 Budaya Patriarki

Pengukuran teori budaya patriarki adalah dominasi anggota DPRD laki-laki dengan anggota DPRD perempuan di DPRD Kota Medan. Sisi dominan anggota DPRD laki-laki ini dapat membuat partisipasi kinerja anggota DPRD perempuan tidak berkembang.

27

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal.4 28

Burhan bungin, metode penelitian sosial “format-format kualitatif dan kualitas”. Surabaya. Airlangga Unversity Press. 2001. Hal: 48


(29)

Sedikitnya penempatan jabatan-jabatan strategis yang dapat diikuti oleh anggota DPRD Perempuan.

 Kinerja

1. Akuntabilitas

Anggota DPRD perempuan melaksanakan fungsi legislasi untuk kepentingan perempuan dengan baik dengan mempergunakan sarana dan prasarana yang ada. 2. Responsivitas

Respon Anggota DPRD perempuan dalam menanggapi aspirasi masyarakat, khususnya untuk kepentingan perempuan.

3. Efektifitas

Kebijakan-kebijakan dan program-program yang dibuat Anggota DPRD perempuan benar-benar efektif untuk kepentingan masyarakat khususnya untuk perempuan.

7.6.Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini akan dijabarkan dalam tiga bab penyajian data dan satu bab sebagai penutup.

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Susunan Keanggotaan DPRD Kota Medan tahun 2009-2014

Pada bab ini akan memaparkan penjelasan tentang Profil Kota Medan, struktur pimpinanya, keterwakilan politik perempuan serta profil anggota DPRD Perempuan Kota Medan.

BAB III : Kinerja Dewan Perempuan Kota Medan tahun 2009-2011

Bab ini memuat tentang analisis dari penyajian data-data berdasarkan fakta yang terjadi. Pada bab ini akan dianalisis tentang kinerja anggota legislatif perempuan Kota Medan dalam melaksanakan fungsi legislasi.


(30)

BAB IV : Penutup

Bab ini akan berisi beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan penelitian yang dilakukan.


(31)

BAB II

PROFIL DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

DPRD KOTAMEDAN

1. Profil DPRD Kota Medan

1.1 Sejarah tentang Pembentukan Badan Legislatif Daerah

Negara Indonesia adalah negara kesatuan, gagasan ini diterangkan secara jelas dan konkret dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam setiap ketentuan perundang-undangan yang mengatur hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia, Republik Indonesia dibagi dalam beberapa daerah. Pembagian tersebut adalah konsekuensi logis dari sistem pemerintah daerah yang desentralis dan demi memudahkan manajemen pemerintahan mengingat luas daerah penduduk yang banyak.

Dalam Pasal 18 UUD 1945 merumuskan:” Pembagian daearh Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dalam undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah bersifat istimewa”. Pasal 18 UUD 1945 ini menjadi landasan pembentukan pemerintah daerah yang akan diatur dengan undang-undang bahwa daerah-daearah yang dimaksud bersifat otonom dan memiliki badan perwakilan daerah yang dalam perkembangannya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta pemerintahan di daerah yang berdasarkan permusyawaratan.29

Namun sistem seperti ini memberikan konsekuensi logis terjadi salam pengaruh dan tumpang tindih antara kekuasaan satu lembaga dengan lembaga lainnya. Sistem ini kemudian menjadi latar belakang terbentuknya UU No. 22 tahun 1999 dimana kewenangan menetapkan Peraturan Daerah berada di tangan Kepala Daerah, sedangkan DPRD memiliki hak untuk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah.30

Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Badan Eksekutif Daerah (BED) meliputi Kepala Daerah dibantu seorang wakil dan perangkat daerah. Sedangkan yang dumaksud dengan Badan Legislatif daerah adalah Dewan

29

B.N Marbun, DPR-RI, Pertumbuhan dan cara kerjanya. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 1992. Hal 9-10 30

Dr. Sadu Wasistiono,M.S, Etika hubungan legislatif-eksekutif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, bndung. Alqaprint.2001. hal: 18


(32)

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan alat-alat kelengkapannya yang terdiri dari pimpinan, komisi, dan panitia-panitia. 31

a. Dalam UU No. 1 Tahun 1945, tentang pembentukan Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya.

Apabila dilihat dari segi hukum maupun praktek , badan legislatif daerah mengalami tujuh kali perubahan kedudukan hukum sesuai dengan pergeseran politik dan perubahan konstitusi, yang selalu dikaitkan dengan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan di Daerah. Adapun pertumbuhan dan perkembangan dimaksud disini adalah :

b. UU No. 22 Tahun 1948, tentang Pemerintahan Daerah . dalam Undang-undang ini, susunan Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Keadaan DPRD semakin kuat, DPRD berwenang membuat pedoman untuk DPD guna mengatur menjalankan kekuasaan, kebijaksanaan, dan kewajibannya. Dengan kata lain, ruang gerak DPD ditentukan oleh DPRD, sementara itu Kepala Daerah hanya merupakan organ Pemerintah Pusat yang bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD.

c. UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah. Menurut Undang-undang ini,pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD, sedangkan Kepala Daerah bukan hanya merupakan organ tersendiri dari Pemerintah Daerah, akan tetapi hanya menjadi Ketua dan anggota DPD karena jabatannya. Hak-hak dan kewajiban DPRD semakin luas, dimana DPRD mengatur dan mengurus segala rumah tangganya, kecuali urusan yang oleh Undang-undang ini diserahkan kepada pengusaha lain.

d. Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959, tentang Pemerintah Daerah. Dalam penetapan Presiden ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Sedangkan DPD diganti dengan Badan Pemerintah yang bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Selanjutnya disusul dengan penetapan presiden Republik Indonesla Nomor 5 Tahun 1960, yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) dan Sekretariat Daerah.

e. Undang-undang No. 18 Tahun 1965, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Menurut Undang-undang ini, DPRD merupakan unsur Pemerintah Daerah, yang

31


(33)

tanggung jawabnya adalah membuat dan menetapkan Peraturan Daerah, mencalonkan wakil kepala daerah serta mengajukan kepala daerah.

f. Undang-undang No. 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokokPemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini, yang menempatkan DPRD sebagai unsur Pemerintah Daerah, guna menjamin kerja sama dan keserasian antara kepala daerah dan DPRD untuk mencapai teritb pemerintahan di daerah.

g. Undang-undang No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah. Dalam undang-undang ini, DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan peningkatan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada masyarakat.

1.2. Gambaran Umum tentang DPRD Kota Medan 1.2.1. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Dalam hal penguatan Lembaga Legislatif Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Lembaga legislatif daerah telah mengalami perubahan dan peningkatan fungsi serta peran yang sangat berarti dalam hal:

a) DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.

b) Membentuk peraturan daerah kabupaten bersama Kepala Daerah.

c) Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten yang diajukan oleh Kepala Daerah.

d) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten.

e) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau wakil Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.

f) Memilih wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil Kepala Daerah.

g) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.


(34)

h) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten.

i) Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten.

j) Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

k) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

l) Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.32

1.2.2. Wewenang dan Tugas DPRD

DPRD adalah unsur pemerintah kota yang susunanya mencerminkan perwakilan seluruh rakyat daerah, bersama-sama kepala daerah menjalankan tugas wewenang pemerintah daerah di bidang legislatif. Dalam menjalankan wewenang dan tugas DPRD secara rinci diatur dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 09/ KEP DPRD/ Tahun 2004 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan sebagaimana tertera dalam Bab V, Pasal 30 yang menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

1. Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.

2. Menetapkan APBD bersama dengan kepala daerah.

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah, peraturan kepala daerah, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.

4. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau wakil Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian.

5. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.

32


(35)

6. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan tugas desentralisasi.

7. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang.

1.2.3. Hak-hak yang dimiliki DPRD dalam menjalankan kegiatannya

1. Hak Interpelasi; ialah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara.

2. Hak Angket; ialah pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Hak menyatakan pendapat; ialah hak DPRD untuk menyetakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

4. Pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

1.2.4. Hak Anggota DPRD

o Mengajukan rancangan Perda. o Mengajukan pertanyaan.

o Menyampaikan usul dan pendapat. o Memilih dan dipilih.

o Membela diri. o Imunitas. o Protokoler.

o Keuangan dan administratif.33

1.2.5. Kewajiban Anggota DPRD dalam mengemban tugas dan wewenangnya

a. Memegang dan mengabdi serta mengamalkan Pancasila.

33


(36)

b. Menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati peraturan perundang-undangan.

c. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

d. Mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. e. Menjalankan Kode etik yang telah disetujui bersama.

f. Menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat,seperti melalui kunjungan kerja secara berkala.

1.2.6. Alat kelengkapan DPRD Kota Medan 1. Pimpinan DPRD

Kedudukan Pimpinan dalam Dewan bisa dikatakan sebagai Juru Bicara Parlemen. Fungsi pokoknya secara umum adalah mewakili DPRD secara simbolis dalam berhubungan dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional, serta memimpin jalannya administratif kelembagaan secara umum, termasuk memimpin rapat-rapat paripurna dan menetapkan sanksi atau rehabilitasi. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, Pimpinan memiliki tugas-tugas yang bisa dibagi ke dalam tiga kategori.

Tugas di lingkungan internal pimpinan, tugas di lingkungan internal DPRD, dan tugas di lingkungan eksternal DPRD.

• Tugas di lingkungan internal Pimpinan adalah:

a. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua, serta mengumumkannya kepada Rapat Paripurna;dan

b. Mengadakan Rapat Pimpinan DPRD sekurang-kurangnya sekali sebulan dalam rangka melaksanakan tugasnya;

• Tugas di lingkungan Internal DPRD:

a. Menentukan kebijaksanaan Alat Kelengkapan DPRD;

b. Memimpin rapat DPRD sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib serta menyimpulkan persoalan yang dibicarakan dalam rapat;

c. Mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi apabila dipandang perlu, dalam mengawasi pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh Badan Urusan Rumah Tangga; dan

d. Menetapkan sanksi atau rehabilitasi kepada Anggota Dewan yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik.


(37)

• Tugas di lingkungan eksternal DPRD:

a. Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya setiap waktu diperlukan;

b. Memberi pertimbangan atas nama DPRD terhadap sesuatu masalah atau pencalonan orang untuk jabatan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertimbangan itu diberikan setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi dan pimpinan Komisi yang bersangkutan;

c. Mewakili DPRD dan/atau alat kelengkapan DPRD di pengadilan.

Pimpinan DPRD bersifat kolektif, terdiri dari satu orang ketua dan sebanyak-banyaknya empat orang wakil ketua yang yang mencerminkan fraksi-fraksi terbesar. Pimpinan DPRD dipilih dari dan oleh Anggota. Lima fraksi terbesar secara tertulis mengusulkan calon Ketua dan Wakil Ketua kepada Pimpinan Sementara untuk dipilih dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna. Apabila terjadi kekosongan jabatan Ketua, DPRD secepatnya mengadakan pemilihan berdasarkan pertimbangan dari Badan Musyawarah. Pengisian kekosongan untuk jabatan Ketua dilakukan dengan pemilihan ulang terhadap para calon. Sedangkan kekosongan jabatan Wakil Ketua diisi oleh calon dari fraksi yang sama, untuk selanjutnya ditetapkan dalam Rapat Paripurna.

Pimpinan DPRD Kota Medan sekarang ini terdiri dari: Ketua DPRD : Satu Orang

Wakil Ketua : Tiga Orang

2. Komisi

Komisi di DPRD Kota Medan sebanyak empat komisi, yaitu:

• Komisi A : Meliputi bidang pemerintahan umum, Bawasko, Dinas Infokom, Kantor Arsip Daerah, Satpol PP, Balitbang, Badan Kesbang Linmas, Dinas Kependudukan, Badan pertahanan nasional, Kepolisian, Hankam, Kejaksaan, Kehakiman, Imigrasi, Maritim, dan Organisasi kemasyarakatan.

• Komisi B : Meliputi Sekretariat daerah unit kerja, Badan pemberdayaan masyarakat, Dinas tenaga kerja, Dinas kesehatan, Badan pelayanan kesehatan RSU Pirngadi, Dinas pendidikan, Kantor sosial, Dinas pencegah/pemadam kebakaran, Dinas pengatur lingkungan hidup energi dan SDM, BKKBN, Dinas pemuda dan olahraga, dan bagian pemberdayaan wanita.


(38)

• Komisi C : Meliputi Dinas pendapatan daerah, Dinas perindustrian dan perdagangan, Dinas koperasi dan HAM, Kantor penanaman modal, Dinas kebudayaan dan pariwisata, Badan pengelola perparkiran, Perusahaan daerah, Perbankan, Perusahaan patungan, PMA, PMD, Dunia usaha, PLN, Pertamina dan Tirtanadi.

• Komisi D : Meliputi Badan perencanaan daerah, Dinas pertanian, Dinas perikanan dan kelautan, Dinas tata kota dan tata ruang, Dinas pemukiman dan perumahan, Dinas pekerjaan umum, Dinas kebersihan dan Dinas pertamanan.

3. Badan Musyawarah

Badan Musyawarah merupakan Alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan dibentuk oleh DPRD pada permulaan masa keanggotaan DPRD. Panitia Musyawarah ini terdiri dari wakil setiap fraksi berdasarkan perimbangan jumlah Anggota. Ketua dan Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Pimpinan Badan Musyawarah merangkap anggota. Sekretaris DPRD karena jabatannya

Badan Musyawarah menurut ketentuan Pasal 47 PP 25/2004, mempunyai tugas:

• Memberikan pertimbangan tentang penetapan program kerja DPRD baik diminta atau tidak.

• Menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD.

• Memutuskan pilihan mengenai isi risalah rapat apabila timbul perbedaan pendapat. • Memberi saran pendapat untuk memperlancar kegiatan.

• Merekomendasikan pembentukan Badan Khusus.

• Wajib mengadakan konsultasi dengan Fraksi-Fraksi sebelum mengikuti rapat Badan Musyawarah.

• Wajib menyampaikan pokok-pokok hasil rapat Badan Musyawarah kepada Fraksi. • Merencanakan, menjadwalkan seluruh kegiatan DPRD.

Berkaitan dengan tugas menetapkan kegiatan dan jadwal acara rapat DPRD, Badan Musyawarah menetapkan acara DPRD untuk satu masa sidang atau sebagian dari suatu masa sidang dan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian suatu Rancangan dan penentuan besarnya quota rancangan yang dibahas oleh masing-masing alat kelengkapan Dewan dengan tidak mengurangi hak rapat paripurna untuk mengubahnya. Ada tugas-tugas lain yang masih relevan dan terkait dengan kewenangan Badan Musyawarah, yaitu:


(39)

a. Memberikan pendapat kepada pimpinan DPRD dalam menetukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD.

b. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut.

c. Mengatur lebih lanjut penanganan dalam hal peraturan perundang-undangan , menetapkan bahwa Pemerintah Daerah atau pihsk lainnya diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPRD mengenai masalah yang terjadi.

d. Menentukan penanganan suatu rancangan atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD. Namun Badan Musyawarah tidak boleh mengubah keputusan atas suatu rancangan atau pelaksanaan tugas DPRD lainnya oleh alat kelengkapan DPRD.

e. Melaksanakan hal-hal yang oleh rapat paripurna diserahkan kepada Badan Musyawarah.

4. Badan Anggaran

Memeriksa APBD maupun RAPBD pemerintah daerah.

Menurut pasal 55 PP Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD adalah:

• Memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD.

• Melakukan konsultasi yang dapat diwakili oleh anggotanya kepada komisi terkait untuk memperoleh masukan dalam rangka pembahasan rancangan KUA serta PPAS. • Memberikan saran dan pendapat kepada kepala daerah dalam mempersiapkan

rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

• Melakukan penyempurnaan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berdasarkan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan gubernur bagi DPRD kabupaten/kota bersama tim anggaran pemerintah daerah.

• Melakukan pembahasan bersama TAPD terhadap rancangan KUA serta rancangan PPAS yang disampaikan oleh kepala daerah.


(40)

• Memberikan saran kepada pimpinan DPRD dalam penyusunan anggaran belanja DPRD.

5. Badan Legislasi

Badan legislasi terlibat dalam membahas kebijakan yang dibentuk yang akan menjadi sebuah UU. Badan legislasi bersama eksekutif bersama membahas tentang apa saja yang akan menjadi kebijakan daerah yang berguna untuk kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Tugas-tugas yang dapat dilaksanakan oleh Badan Legislasi adalah :

a. Menyusun program legislasi daerah yang memuat daftar urutan rancangan peraturan daerah untuk satu masa keanggotaan dan prioritas setiap tahun anggaran, yang selanjutnya dilaporkan dalam Rapat Paripurna untuk ditetapkan dengan Keputusan Ketua DPRD;

b. Menyiapkan rancangan peraturan daerah usul inisiatif DPRD berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;

c. Melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan daerah yang diajukan anggota, komisi, dan gabungan komisi sebelum rancangan peraturan daerah tersebut disampaikan kepada pimpinan dewan;

d. Memberikan pertimbangan terhadap pengajuan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh anggota, komisi, dan gabungan komisi diluar rancangan peraturan daerah yang terdaftar dalam program legislasi daerah atau prioritas rancangan peraturan daerah tahun berjalan; e. Melakukan pembahasan dan perubahan/penyempurnaan rancangan peraturan daerah yang secara khusus ditugaskan Panitia Musyawarah;

f. Melakukan penyebarluasan dan mencari masukan untuk rancangan peraturan daerah yang sedang dan/atau yang akan dibahas dan sosialisasi rancangan peraturan daerah yang telah disahkan;

g. Mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap materi peraturan daerah melalui koordinasi dengan komisi;

h. Menerima masukan dari masyarakat baik tertulis maupun lisan mengenai rancangan peraturan daerah;

i. Memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas oleh Bupati/Walikota dan DPRD; dan

j. Menginventarisasi masalah hukum dan peraturan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPRD untuk dipergunakan sebagai bahan oleh Panitia Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.


(1)

kaukus. Mereka terlalu sibuk melakukan kunjungan kerja namun evaluasi kunjungan kerja mereka tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan, ketidakmaksimalan itu disebabkan oleh mayoritas dewan perempuan hanya bertindak sebagai anggota saja dan tidak mendapat tempat-tempat strategis di parlemen. Namun, peneliti juga menyimpulkan bahwa anggota DPRD Perempuan kurang memiliki kesadaran dalam memberikan hak inisiatif mereka. Mereka terkesan hanya menerima rancangan peraturan dari pemerintah Kota Medan. Mereka juga masih belum faham akan kerja yang mereka laksanakan. Mereka masih tidak tahu kepentingan perempuan mana yang harus mereka buat. Kegiatan kaukus perempuan pun hanya bersifat umum dan asal adasaja. Kaukus tidak mengambil peran semaksimal mungkin sebagai badan yang seyogianya berperan untuk kepentingan perempuan. Kegiatan kaukus ini hanya untuk menampilkan citra anggota perempuan dan fraksi agar nampak baik di mata masyarakat. Partisipasi anggota perempuan dinilai juga masih kurang terutama dalam memberikan gagasan mengenai perempuan. Hubungan antara anggota DPRD perempuan dan laki-laki di DPRD Kota Medan dilihat cukup baik. Namun, anggota DPRD Laki-laki terkesan masih meragukan kemampuan anggota perempuan terutama dalam menduduki jabatan-jabatan yang strategis. Senioritas dan ego yang tidak mau kalah dari perempuan masih dimiliki oleh anggota laki-laki. Ini juga menyulitkan perempuan dalam menyampaikan gagasan mereka karena akan takut ditolak.

Ada beberapa faktor yang menghambat anggota DPRD Perempuan dalam meningkatkan kinerja mereka. Pertama, budaya patriarki yang membuat posisi perempuan menjadi sulit. Ketika perempuan membuat suatu kebijakan atau keputusan dinilai masih lemah dan belum bisa diandalkan. Kedua, pendidikan dan pengalaman organisasi atau partai politik yang belum memadai. Ini akan menyulitkan pemahaman perempuan dalam melakukan kinerja mereka dengan baik. Dan ketiga, faktor intern perempuan itu sendiri. Perempuan masih belum mampu untuk menunjukkan gagasan mereka tentang perempuan.

2. Implikasi Teoritis:

Implikasi utama penelitian ini secara teoritis sebagai dukungan empiris bagaimana teori-teori yang ada berkaitan dan mendukung penelitian ini, yaitu:

Penelitian ini didukung oleh teori kinerja yang disampaikan oleh Mangkunegara dan Prof. Dr. Moeheriono (2009), dimana kinerja adalah tingkat kepuasan dan hasil yang dicapai saat


(2)

melakukan tugas dan fungsi. Pengukuran kinerja sesuai yang dikatakan oleh Agus Dwiyanto (1995), Yeremias T. Keban (1995), Affan Gafar (2000), S.P Siagian (2000) dan W. Kuromoto yaitu untuk mengukur kinerja suatu organisasi atau DPRD diperlukan suatu indeks prestasi. Indeks prestasi diukur dengan akuntabilitas, responsivitas dan efektifitas. Akuntabilitas responsivitas dan efektifitas adalah tiga pengukuran yang sesuai untuk mengukur kinerja Anggota DPRD Perempuan Kota Medan dalam melaksanakan fungsi legislasi untuk memperjuangkan kepentingan perempuan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

A.A Anwar Prabu Mangkunegara, evaluasi Kinerja SDM, cetakan ketiga,. Bandung. PT. Refika Aditama.2010

Afan Gaffar. Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2000

Agus Dwiyanto. Penilaian Kinerja Organisasi Publik, Makalah dalam Seminar Sehari : Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya. Fisipol UGM, Yogyakarta. 1995

Amik Amikawati. Skripsi: Analisis Gender Pada Kinerja DPRD Provinsi Jawa Tengah Periode 2004–2009. Universitas Diponegoro. Semarang. 2008.

Ani Soerjipto. Politik Harapan, perjalanan politik perempuan Indonesia pasca reformasi. Tangerang. PT Wahana Aksi Kritika. 2011

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Basilica Dyah Putranti. SDM, Tantangan masa depan : reposisi gender dalam pembangunan. Yogyakarta. Gadjahmada. 2007

Beilharz peter. Teori-teori sosial. Yogyakarta. Pustaka pelajar. 2002

Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formal – Formal Kualitatif dan Kualitas, Surabaya: Airlangga University Press, 2001


(4)

Hari Sabarno. Memandu otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta. Sinar Grafika. 2008

Prof. Drs. HAW,Widjaja, Otonomi Daerah dan daerah otonom, Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. 2004.

Hubeis, Aida vitalaya S. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor. PT. Penerbit IPB Press.2010

Lily Romly. Pemilu 2009 dan konsolidasi demokrasi. Pusat pengkajian pengolahan data dan informasi sekretariat jendral DPR RI.2008

Lovenduski,Joni dan Azza Karam. Perempuan di parlemen : Membuat suatu perubahan dalam Karam, azza,et.all. perempuan di parlemen bukan sekadar jumlah bukan sekadar hiasan. Jakarta. Yayasan jurnal. 1999

Lexi J. Moeleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Karya. 1990

Lenny I.F.W.Simatupang, skripsi: kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pada kantor pemerintahan provinsi Sumatera Utara. 2009

Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Prof. Dr. Moeheriono, Msi. Pengukuran kinerja berbasis kompetensi. Surabaya. Ghalia Indonesia. 2009

M. Nazir. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1998

Murniati, A.Nunuk P. Getar gender buku pertama, perempuan Indonesia dalam persfektif sosial, politik, ekonomi, hukum dan HAM. . Magelang : Indonesiatera, 2004

Napitupulu, Paimin. Menuju pemerintahan perwakilan. Bandung. PT Alumni. 2007 Nur Heffina. 050906040. skripsi: Perempuan dan politik. Medan . 2009


(5)

P. Sondang Siagian. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta. PT Gunung Agung. 2000

Romany sihite. Perempuan, kesetaraan, keadilan, suatu tinjauan berwawasan gender. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. 2007

Sarwono. Politik dan perempuan. Depok. Koekoesan. 2007

Dr. Sadu Wasistiono,M.S, Etika hubungan legislatif-eksekutif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Bandung . Alqaprint.2001

Wahyudi kumorotomo, Dkk. Sistem informasi management dalam organisasi publik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Perss.2009

Yeremias T Keban. Indikator Kinerja Pemerintah Daerah: pendekatan manajemen dan kebijakan, seminar sehari kerja. 1995.

Yuni Lestari. Skripsi: Persepsi dan Partisipasi Anggota DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap Kesetaraan Gender. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 2008

Internet:


(6)

www. Suaranasionalnews.com

http: //www.seputar-Indonesia.com/edisi cetak/content/view/466531/ 2012

http://www.waspada.co.id/index.php/index.php?option=com_content&view=article&id=2043 17:kinerja-dewan-tak-membangun-medan&catid=14:medan&Itemid=27

Majalah dan Jurnal:

Majalah Forum Keadilan No.14. Jakarta. PT. Forum Adil Mandiri. 29 Juli 2012. Hal 67

Undang-undang:

UU No.32 Tahun 2004 pasal 184 UU Pemilu No.12 tahun 2008

UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 8 ayat 1 butir (d) UU Pemilu No.10 tahun 2008 pasal 55 ayat (2)