BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak
positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui
satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak negatif antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang berpotensi
meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk.
1
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya tidak
terlepas dari segala bentuk peraturan yang bersumber dari hukum.Negara hukum menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dan di junjung tinggi oleh
siapapun juga tanpa ada pengecualian.Hal ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.Dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum di Indonesia, diperlukan produk hukum yang dalam hal ini adalah undang-undang yang
berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus sebagai alat paksa kepada masyarakat. Hal ini juga tentu saja dimaksudkan untuk mewujudkan
tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
1
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung: Aditama, 2012, hal 1
Universitas Sumatera Utara
dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik karena terkait dengan
kepentingan umum, yaitu mengatur hubungan antar warga negara dengan masyarakat hukum atau negara.Konsekuensi logis sebagai bagian dari hukum
publik, hukum pidana tidak saja mengatur segala urusan individu dengan masyarakat hukum atau negara, tetapi mengatur juga bagaimana seharusnya
negara melaksanakan tugasnya.
2
Enschede mendefenisikan hukum pidana secara singkat merupakan “rumusan delik yang mengandung ukuran-ukuran suatu perbuatan”.
3
Berdasarkan pendapat W.L.G Lemaire dan pemahaman dari pendapat Enschede tersebut, maka menurut Sudarto, hukum pidana pada dasarnya berpokok
pada dua hal: Rumusan ini
mengandung arti tidak hanya sekadar memuat rangkuman unsur-unsur suatu delik, tetapi juga tentang sanksi dari delik tersebut apabila dilanggar yaitu berupa
nestapa.
4
1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Adalah berupa perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana.Perbuatan semacam itu, dapat disebut
“perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” Verbrechen atau crime.Oleh karena dalam “perbuatan jahat” harus ada orang yang
2
Marwan Effendy, Teori Hukum dan Prespektif kebijakan, Perbandingan dan Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta: Referensi, 2014 hal. 23
3
Enschede dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Cet ke-2, 1990, hal. 9
4
ibid
Universitas Sumatera Utara
melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, yakni perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.
2. Pidana
Adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum
pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” tuctmaatregel, masznahme. Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar
memakai istilah adat reaksi.Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.
Dalam hukum pidana ada 3 pokok persoalan, pertama tentang perbuatan yang dilarang, kedua tentang orang yang melanggar larangan itu, dan ketiga
tentang pidana yang diancamkan kepada si pelanggar larangan itu.
5
Atas dasar itu, maka persoalan dasar dari hukum pidana adalah makna, tujuan serta ukuran dari
penderitaan pidana yang harus diterima, yang merupakan persoalan tidak terpecahkan hingga kini.
6
Tindak pidana pemerkosaan ironisnya tidak hanya berlangsung di lingkungan luar atau tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia
berlainan jenis dapat berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan sekitar yang seharusnya menjadi tempat memperoleh perlindungan.Pada
hakikatnya korban tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan.Mengenai kejahatan asusila seperti pemerkosaan tentunya dapat menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban yang dapat
5
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, cet ke-4, 1990, hal.150
6
Ibid, hal. 151
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi perkembangan psikologisnya. Tidak hanya itu, hal ini juga menyangkut kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga dan masa depan korban.
Delik kesusilaan termasuk bagian hukum pidana yang tidak netral, artinya berbeda misalnya dengan delik pembunuhan, pencurian, dan lain-lain.Delik
kesusilaan disetiap negara berbeda-beda.
7
Jika delik kesusilaan di Indonesia semakin kencang, antara lain dengan dikeluarkannya undang-undang tentang
pornografi yang sangat ketat, maka di Belanda, Perancis, dan lain-lain peraturannya semakin melunak. Delik permukahan Overspel sudah dicabut dari
Nederland Wetboek van Straafrecht sejak tahun 1971 karena dianggap kejahatan tanpa korban.
8
1. Besarnya jumlah dan sukarnya melakukan pencegahan terhadap
gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota; Namun kejahatan kesusilaan khususnya pemerkosaan tidak selamanya
terjadi karena ada faktornya dari pelaku, namun juga biasa terjadi karena disebabkan oleh korban.Pemerkosaan dalam hal ini diatur dalam Pasal 285-297
KUHP.
Menurut Lunden di negara berkembangan kejahatan timbul disebabkan oleh:
2. Terjadinya konflik antarnorma adat perdesaan tradisional dengan norma
baru yang tumbuh dalam proses dan perkembangan kehidupan sosial yang cepat di kota besar;
3. Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola
kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama
7
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu Speciale Delicten di Dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika 2015, hal 164.
8
Ibid
Universitas Sumatera Utara
remajanya mulai kehilangan pola kepribadian atau “samar pola” menentukan perilakunya.
9
Kejahatan seksual sekarang ini merebak dengan segala bentuk. Khususnya pada kasus pemerkosaan, pelaku tidak mengenal lagi status, pangkat, pendidikan,
jasmani, dan usia korban. Semua ini dilakukan apabila mereka merasa terpuaskan hawa nafsunya. Demikian juga usia pelaku yang tidak mengenal batas usia.
Selama individu maasih mempunyai daya seksual, dari anak-anak sampai kakek- kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan
pemerkosaan.Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan yang keji, karena selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat terutama keluarga yang
menjadi korban, Tuhan juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan
menyusun dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental Studi Putusan
No. 377Pid.B2011PN.BB”. B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan hukumtentang tindak pidana pemerkosaan?
2. Bagaimana bentuk
pertanggungjawaban Pidana
terhadap pelaku
pemerkosaan penderita gangguan mental berdasarkan Putusan No. 377Pid.B2011PN.BB?
9
Dirdjosisworo Sosio Krimonologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan. Bandung: Sinar Baru, 1984, hal. 70
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian