Kemampuan Bertanggungjawab Pertanggungjawabandalam Hukum Pidana

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Ketika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban untuk dipidana.

3. Kemampuan Bertanggungjawab

Toerekeningsvatbarheid Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk, 78 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keisnyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. 79 Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan.Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.Keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya dapat membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar kesalahan.Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, 78 Mahrus Ali, Op.Cit, hal. 171 79 Ibid Universitas Sumatera Utara sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri.Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus unsur kesalahan. 80 Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negatif.KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak lagi mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab.Yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab. 81 1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya gebrekkige ontwikkeling atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Demikian halnya denga ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi: 2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan” Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Apabila dalam dirinya terjadi salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut: 1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana. 2. Jiwa pelaku mengalami gangguan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang 80 Chairul Huda, Op.Cit, hal. 89 81 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet ke-2, hal. 260 Universitas Sumatera Utara buruk. Contohnya adalah orang gila atau orang epilepsi yang melakukan perbuatan pidana. 4.Kesengajaandolus Wetboek van Strafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilakukan atau diharuskan undang-undang. 82 Sedangkan menurut Memorie van Toelichting MvT kesengajaan sama dengan “willens en wetens” yang berarti diketahui atau dikehendaki. 83 Menurut Van Hattum opzet sengaja secara ilmu bahasa berarti oogemarkmaksud, dalam arti tujuan dan kehendak menurut istilah undang- undang, opzetelijk dengan sengaja diganti dengan willens en wetens.Pompe mengatakan, bahwa apabila orang mengartikan maksud oogemark sebagai tujuan bedoelingseperti rencana keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud oogemark dan sengaja opzet, apabila maksud oogemark selalu juga berarti sengaja opzet. Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud “willens en wetens” adalah seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus menghendaki willen perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti weten akan akibat dari perbuatan itu. 84 Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis, yaitu: 85 82 J.E Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995, hal. 87 83 E Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Emas, 1986, hal. 300 84 Marwan Effendy, Op.Cit, hal. 210 85 Sudarto, Op.Cit,hal. 103 Universitas Sumatera Utara 1 Sengaja sebagai maksud opzet als oogemark Berarti terjadi suatu tindakan atau akibat tertentu yang sesuai perumusan undang-undang hukum pidana adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku. 2 Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid Berarti yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau tingkatan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada sesuatu delik yang telah terjadi. 3 Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi opzet met waarschlijkheidbewustzijn Berarti yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini adalah sejauhmana pengetahuan atau kesadaran pelaku, tentang tindakan dan akibat terlarang beserta tindakan atau akibat lainnya yang mungkin akan terjadi. Ketiga corak kesengajaan tersebut diharapkan menghilangkan kerancuan dalam menentukan kesengajaan yang bagaimana yang diharapkan oleh sipelaku tindak pidana. 5.Alasan penghapus Pidana Dalam keadaan tertentu, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya tidak diinginkannya. Sehingga tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk berada pada jalur yang ditetapkan Universitas Sumatera Utara hukum.Terjadinya tindak pidana adakalanya tidak dapat dihindari oleh pelaku tindak pidana, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya. 86 Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain yang mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat tindak pidana terdapat alas an penghapus kesalahan. Dalam hubungan ini pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan lain yang menghapuskan kesalahan pelaku tindak pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu. 87 Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan sebutan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf ini karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada ‘pembenaran’ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada ‘pemaafan’ pembuatnya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. 88 Yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa overmachtPasal 48 KUHP, pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer eksesPasal 49 ayat 2 KUHP, sedangkan yang termasuk ke dalam alasan 86 Chairul Huda, Dari Tiada….., Op.Cit, hal. 118 87 Ibid 88 Ibid, hal. 121 Universitas Sumatera Utara pembenar adalah pelaksanaan ketentuan undang-undang pasal 50 KUHP,menjalankan perintah jabatan atau perintah penguasa tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. Pasal 51 ayat 1 dan 2 KUHP Pembagian alasan penghapus pidana dengan cara memisahkan antara alasan pemaaf dan pembenar ini juga dapat dilihat dari pandangan atau aliran dualistis dalam hukum pidana yang berbeda dengan aliran atau pandangan monoistis. Menurut pandangan dualistis untuk adanya syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pelaku diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana sebagai unsur objektif, lalu sesudahnya itu dibuktikan kesalahanpelaku sebagai unsure subjektif. Kedua hal ini, sama pentingnya untuk dijadikan hakim sebagai dasar dalam menjatuhkan pidana. 89

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan