Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2015

Arief, Muhammad. Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo, 2008

Dirdjosisworro.Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung: Sinar Grafika, 1984

Effendy, Marwan. Teori Hukum dan Prespektif Kebijakan, Perbandingan dan Harmonisasi Hukum Pidana.Jakarta: Referensi, 2014

Ekotama, Surjono. Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan, Yogyakarta: 2001.

Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan, Yogyakarta: Akademika Presindo, 2001 Hamdan, Muhammad. Alasan Penghapus Pidana (Teori dan Studi Kasus),

Bandung: Refika Aditama, 2012

Hamdani, Njowito. Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992

Hamzah, Andi.Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, 2015

_____________. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Kepada Tiada Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Prenada Media, 2006 Marlina.Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi

dan Restorative Justice), Bandung: Aditama, 2012

Moelijatno.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 2001

_________. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka, 2002 Muzdalifah.Psikologi Pendidikan. Kudus: STAIN Kudus, 2008

Nawawi, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru, Jakarta: Kencana, 2008

Purtanto, Bambang. Tips Menangani Murid yang Membutuhkan Perhatian Khusus, Jakarta: Diva Press, 2015


(2)

Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003

Sahetapy, J.E. Hukum Pidana I, Yogyakarta: Liberty, 1995

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara: Jakarta, 1983

Soemantri, Sutihaji. Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: Refika Aditama, 2006 Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia, 1994

Sudarto.Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990 ________. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Atmajaya. 1990

Tongat.Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Prespektif Pembaharuan, Malang: Umm Press, 2008

Utrecht, E. Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Emas, 2001

Zainal Abidin, Andi.Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga PERPPU No. 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


(3)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP PENDERITA GANGGUAN

MENTAL

A. Pertanggungjawabandalam Hukum Pidana 1. Pertanggungjawaban pidana

Pada bagian awal telah dijelaskan secara singkat bahwa pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana.Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana.Apakah orang melakukan perbuatan kemudian dijatuhkan pidana, tergantung kepada apakah yang melakukan perbuatan perbuatan tersebut memiliki kesalahan.66Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa ia terlebih dahulu melakukan perbuatan pidana. Adalah dirasakan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindak pidana tersebut.67

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan ajaran mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy.

Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

66

Moelijatno, Perbuatan..Op.Cit, hal. 25

67


(4)

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah terlarang/ perbuatan pidana

(actus reus), dan ada sikap batin jahat/ tersela (mens rea)68

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.69Oleh Karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan seseorang.Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.70

Sudarto mengatakan bahwa dapat dipidananya seseroang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.Untuk pemidanaanmasih perlu adanya syarat penjatuhan pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk

68

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika) 2015, cet ke-3, hal. 156

69

Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 75

70


(5)

penjatuhan pidana, yaitu orang yang meakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.71

2. Kesalahan

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straaf zonder schuld).Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.

Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara beragam, tetapi secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada dua macam, yaitu kesalahan psikologis dan kesalahan normatif, dalam tulisan ini diikuti kesalahan dalam pengertian yang normatif, sehingga pengertian kesalahan psikologis tidak digunakan karena kurang member jawaban yang memuaskan terutama dalam hubungannya dengan penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana

Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.72

71

Sudarto, Hukum….Op.Cit, hal. 85

Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatdapat dicela


(6)

karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.73

Dengan pengertian ini, maka pengertian kesalahan secara psikologis yang menitiberatkan pada keadaan batin (physics) yang tertentu dan si pembuat dan hubungan antara batin tersebut dengan perbuatannya sedemikian rupa, sehingga pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya,74 tidak diikuti karena menimbulkan persoalan dalam praktik hukum yang dipicu oleh ketiadaan unsure “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan tindak pidana. Dalam KUHPyang berlaku saat ini, tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsure “dengan sengaja” atau “karena kealpaan”. Oleh karena itu, praktik hukum sempat diliputi pertanyaan sekitar apakah tidak dirumusannya unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam pelanggaran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana, sekalipun tidak ada salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan psikologis untuk menjelaskan masalah kesalahan.75

Persoalan itulah yang menyebabkan mengapa teori kesalahan normative dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Dalam pengertian kesalahan normatif di atas, terdapat tiga komponen utama yang perlu dijelaskan, yaitu dapat dicela, dilihat dari segi masyarakat, dan dapat berbuat lain. Pertama adalah dapat dicela.Dapat dicela disini mempunyai dua pengertian, yaitu dapat dicela berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, dan dapat dicela berarti dapat dijatuhi pidana.Dalam arti yang pertama, kesalahan diberi

73

Moelijatno, Op.Cit, hal, 169 74

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Prespektif Pembaharuan,

(Malang: Umm Press), 2008, hal. 222

75


(7)

makna dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana.Kata ‘dapat’ disini menunjukkan bahwa celaan atau pertanggungjawaban pidana itu hilang, jika pembuat mempunyai alasan penghapus kesalahan.Dalam arti yang kedua, kesalahan diberi makna dalam hubungannya dengan fungsi represif hukum pidana.Kata ‘dapat’ dalam hal ini menunjukkan bahwa celaan atau penjatuhan pidana tidak harus dilakukan hakim.Hakim dapat saja hanya mengenakan tindakan, sekalipun tindak pidananya terbukti dan terdakwa bersalah melakukannya selain itu, dapat saja celaan atau penjatuhan pidana tidak dilakukan, jika hakim memutuskan untuk memberi pengampunan.Dalam keputusannya, hakim dapat saja menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak pidana dengan kesalahan, tetapi tidak menjatuhkan pidana terhadapnya.76

Kedua adalah dilihat dari segi masyarakat.Roeslan Saleh mengatakan bahwa komponen tersebut merupakan penegasan penilaian normative terhadap kesalahan.Pada subjek hukum manusia, ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan.77

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat

(Schuldfahigket atau Zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

Dari apa yang telah disebutkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yaitu:

76Ibid,


(8)

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Ketika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban untuk dipidana.

3. Kemampuan Bertanggungjawab(Toerekeningsvatbarheid)

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk,78 atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.Akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keisnyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.79

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan.Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.Keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya dapat membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar kesalahan.Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan,

78

Mahrus Ali, Op.Cit, hal. 171


(9)

sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri.Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus unsur kesalahan.80

Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negatif.KUHP di seluruh dunia pada umumnya tidak lagi mengatur tentang kemampuan bertanggungjawab.Yang diatur adalah kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab.81

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Demikian halnya denga ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:

2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan”

Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Apabila dalam dirinya terjadi salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut:

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana.

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang

80


(10)

buruk. Contohnya adalah orang gila atau orang epilepsi yang melakukan perbuatan pidana.

4.Kesengajaan(dolus)

Wetboek van Strafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilakukan atau diharuskan undang-undang.82 Sedangkan menurut Memorie van Toelichting (MvT) kesengajaan sama dengan “willens en wetens” yang berarti diketahui atau dikehendaki.83

Menurut Van Hattum opzet (sengaja) secara ilmu bahasa berarti

oogemark(maksud), dalam arti tujuan dan kehendak menurut istilah undang-undang, opzetelijk (dengan sengaja) diganti dengan willens en wetens.Pompe mengatakan, bahwa apabila orang mengartikan maksud (oogemark) sebagai tujuan (bedoeling)seperti rencana keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud (oogemark) dan sengaja (opzet), apabila maksud (oogemark) selalu juga berarti sengaja (opzet).

Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud “willens en wetens” adalah seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.

84

Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis, yaitu:85

82

J.E Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty), 1995, hal. 87

83

E Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Emas), 1986, hal. 300

84

Marwan Effendy, Op.Cit, hal. 210

85


(11)

1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogemark)

Berarti terjadi suatu tindakan atau akibat tertentu (yang sesuai perumusan undang-undang hukum pidana) adalah betul-betul sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku.

2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid)

Berarti yang menjadi sandaran adalah seberapa jauh pengetahuan atau tingkatan kesadaran pelaku tentang tindakan dan akibat yang merupakan salah satu unsur dari pada sesuatu delik yang telah terjadi.

3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschlijkheidbewustzijn)

Berarti yang menjadi sandaran jenis kesengajaan ini adalah sejauhmana pengetahuan atau kesadaran pelaku, tentang tindakan dan akibat terlarang (beserta tindakan atau akibat lainnya) yang mungkin akan terjadi.

Ketiga corak kesengajaan tersebut diharapkan menghilangkan kerancuan dalam menentukan kesengajaan yang bagaimana yang diharapkan oleh sipelaku tindak pidana.

5.Alasan penghapus Pidana

Dalam keadaan tertentu, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat lain yang berujung pada terjadinya tindak pidana, sekalipun sebenarnya tidak diinginkannya. Sehingga tidak pada tempatnya apabila masyarakat masih mengharapkan kepada yang bersangkutan untuk berada pada jalur yang ditetapkan


(12)

hukum.Terjadinya tindak pidana adakalanya tidak dapat dihindari oleh pelaku tindak pidana, karena sesuatu yang berasal dari luar dirinya.86

Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain yang mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat tindak pidana terdapat alas an penghapus kesalahan. Dalam hubungan ini pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan lain yang menghapuskan kesalahan pelaku tindak pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu.87

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan sebutan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf ini karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada ‘pembenaran’ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada ‘pemaafan’ pembuatnya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.88

Yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf antara lain, daya paksa (overmacht)(Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses)Pasal 49 ayat (2) KUHP, sedangkan yang termasuk ke dalam alasan

86

Chairul Huda, Dari Tiada….., Op.Cit, hal. 118

87Ibid


(13)

pembenar adalah pelaksanaan ketentuan undang-undang (pasal 50 KUHP),menjalankan perintah jabatan atau perintah penguasa tanpa wewenang yang didasari oleh itikad baik. (Pasal 51 ayat (1) dan (2) KUHP)

Pembagian alasan penghapus pidana dengan cara memisahkan antara alasan pemaaf dan pembenar ini juga dapat dilihat dari pandangan atau aliran dualistis dalam hukum pidana yang berbeda dengan aliran atau pandangan monoistis. Menurut pandangan dualistis untuk adanya syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pelaku diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (sebagai unsur objektif), lalu sesudahnya itu dibuktikan kesalahanpelaku (sebagai unsure subjektif). Kedua hal ini, sama pentingnya untuk dijadikan hakim sebagai dasar dalam menjatuhkan pidana.89

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental Berdasarkan Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB

1. Posisi Kasus dalam Putusan No. 377/ Pid.B/ 2011/ PN.BB

Bahwa terdakwa yang bernama DEDE BIN TANU padan bulan Pebruari 2010 sampai dengan bulan Juni 2010 atau setidak-tidaknya masih dalam tahun 2010 bertempat di Kp. Babakan Bolang RT. 01/10 Desa Tanjung Sari kec. Cangkuang Kab. Bandung, atau setidak-tidaknya masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bale Bandung, Telah bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya

89


(14)

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlanjut,dengan cara sebagai berikut:

Pada waktu dan tempat yang telah disebutkan diatas, terdakwa membujuk saksi korban yang bernama Lisa Marsiah masuk kedalam rumah terdakwa pada saat terdakwa sedang sendiri driumah dengan mengiming-imingi makanan dan minuman, setelah saksi korban masuk kerumah terdakwa lalu mengajak saksi korban kedalam kamar terdakwa lalu terdakwa menyuruh saksi korban untuk tidur di tempat tidur terdakwa dengan posisi telentang kemudian terdakwa membuka celana saksi korban dan celana terdakwa dan mengeluarkan alat kelamin setelah itu terdakwa menempelkannya ke alat kelamin saksi korban dan memasukannya ke dalam alat kelamin saksi korban dan memaju mundurkan alat kelaminnya selama lima menit, sehingga mengeluarkan sperrma di lubang alat kelamin saksi korban. Antara terdakwa dan saksi korban tidak ada ikatan perkawinan.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Pada dakwaan primer, Jaksa Penuntut Umum menyatakan pelaku telah bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, maka pelaku didakwa telah melanggar pasal 286 Jo Pasal 64 KUHP.

Pada dakwaan alternatif, Jaksa penuntut Umum menyatakan pelaku telah melakukan perbuatan cabul dengan seorang wanita padahal diketahuinya bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, jika antara beberapa


(15)

perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, maka pelaku didakwa telah melanggar pasal 290 ayat (1) Jo Pasal 64 KUHP.

3. Tuntutan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung telah mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang pada pokonya:

a. Menyatakan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdaya yang dilakukan secara berlanjut dan terbukti melanggar pasal 286 Jo pasal 64 ayat (1) KUHP b. Menjatuhkan terdakwa DEDE BIN TANU dengan pidana penjara

selama 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;

c. Menetapkan barang bukti berupa: -

d. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah)

4. Fakta Hukum dan Pertimbangan Hakim

a. Bahwa benar terdakwa DEDE BIN TANU pada bulan Pebruari 2010 sampai dengan Juni 2010 bertempat di Kp. Babakan Bolang RT. 01/10 Desa Tanjung Sari Kec. Cangkuang Kab. Bandung telah melakukan tindak pidana melakukan persetubuhan dengan perempuan yang diketahui perempuan tersebut tidak berdaya yang dilakukan secara berlanjut;


(16)

b. Bahwa benar terdakwa membujuk saksi korban Lisna Mardiah masuk kedalam rumah terdakwa pada saat terdakwa sendiri dirumah dengan mengiming-imingi makanan dan minuman setelah saksi korban masuk kedalam rumah terdakwa lalu mengajak saksi korban kedalam kamar terdakwa lalu menyuruh saksi korban tidur dengan posisi terlentang; c. Bahwa benar kemudian terdakwa membuka celana saksi korban dan

celana terdakwa dan mengeluarkan alat kelamin terdakwa setelah itu terdakwa memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin saksi korban, lalu terdakwa memaju mundurkan alat kelaminnya selama sekitar lima menit, sehingga mengeluarkan sperma di lubang alat kelamin saksi korban. Antara saksi korban dan terdakwa tidak ada ikatan perkawinan. d. Bahwa benar menurut Visum et Repertum No. 445.92/18/11/2011/TU

tanggal 27 Pebruari 2011 yang dikeluarkan Rumah Sakit Umum Daerah Soreang, pemeriksaan terhadap saksi korban Lisna Mardiah:

Telah diperiksa seorang perempuan bernama LISNA MARDIAH umur 24 tahun dengan hasil saat ini dalam keadaan hamil dengan usia kehamilan 29-30 minggu.

Menurut hasil pemeriksaan psikologis Nomor: R/03/11/2011/ PS IPOL tanggal 8 Pebruari 2011 terhadap saksi korban LISNA MARDIAH yang dikeluarkan BIRO SDM KEPOLISIAN DAERAH JAWA BARAT menetapkan bahwa SUBJEK TERGOLONG INDIVIDU YANG MENGALAMI CACAT MENTAL DENGAN IQ ADALAH 40, dan saat ini mengalami ketakutan akibat peristiwa yang dialaminya.


(17)

Hal tersebut akan berpengaruh besar terhadap kondisi psikologis subjek disamping juga akan berdampak pada janin yang dikandung subjek. e. Bahwa benar perbuatan terdakwa tersebut melanggar Pasal 286 Jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP;

f. Menimbang bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan tersebut majelis hakim akan meneliti apakah terdakwa tersebut telah secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum;

g. Menimbang bahwa terdakwa oleh penuntut umum telah didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pasal 286 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP;

h. Meimbang bahwa pasal 286 Jo pasal 64 ayat (1) KUHP mengandung unsur-unsur sebagai berikut

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;

jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut;

i. Menimbang bahwa sesuai denga pengakuan terdakwa dengan dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi dan juga dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, maka semua unsur-unsur yang terkandung dalam pasal 286 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP tersebut telah terpenuhi, sehingga oleh karenanya majelis hakim berkesimpulan bahwa


(18)

terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum tersebut, oleh karenanya terdakwa harus dinyatakan bersalah tentang perbuatannya yang telah terbukti itu dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana.

j. Menimbang bahwa dengan memperhatikan terdakwa dipersidangan ternyata terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut, disamping itu pula berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan tidak ditemukan adanya alas an-alasan pemaaf dan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum atas perbuatan terdakwa tersebut maka terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan dan berdasarkan pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap diri terdakwa haruslah dijatuhi pidana.

k. Menimbang bahwa sebelum Pengadilan Negeri menjatuhkan Pidana atas diri terdakwa tersebut terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa.

l. hal-hal yang memberatkan:

perbuatan terdakwa telah merugikan orang lain m. Hal-hal yang meringankan:

Terdakwa bersikap sopan dan berterus terang akan perbuatannya; Terdakwa belum pernah dihukum;

n. Menimbang bahwa dalam perkara ini terhadap diri terdakwa telah dikenakan penagkapan dan penahanan yang sah, maka berdasarkan pasal


(19)

22 ayat (4) KUHAP, maka penangkapan dan atau penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

o. Menimbang bahwa oleh karena para terdakwa dijatuhi pidana dan para terdakwa sebelumnya tidak ada mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara, maka berdasarkan pasal 222 KUHAP kepada para terdakwa dibebankan untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan disebutkan dalam amar putusan ini;

p. Mengingat pasal 286 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP serta pasal-pasal lain dari Undang-undang yang bersangkutan.

5. Putusan Hakim

1. Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung menyatakan terdakwa DEDE BIN TANU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MELAKUKAN PERSETUBUHAN DENGAN PEREMPUAN YANG DIKETAHUI PEREMPUAN TERSEBUT TIDAK BERDAYA YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DEDE BIN TANUdengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan;

4. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah)


(20)

1. Dakwaan

Dakwaan merupakan dasar penting dalam hukum acara pidana, karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batasan-batasan nya dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batasan-batasan itu, dalam hal ini ada beberapa pengertian surat dakwaan menurut para ahli sebagai berikut:

a. Harun M Husein

Surat dakwaan adalah surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan dengan unsure-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat yang menjadi dasar dan batas ruang pemeriksaan disamping pengadilan.

b. M. Yahya Harahap

Surat dakwaan adalah surat atau akta yng memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik kesimpulan dari hasil penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Surat dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, karena itu surat dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Ditinjau dari berbagai kepentingan


(21)

yang bekaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi surat dakwaan dapat dikategorikan:

1. Bagi pengadilan/hakim, surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligs membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;

2. Bagi penuntut umum, surat dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;

3. Bagi terdakwa/ penasihat hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

Berdasarkan putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB, dakwaan yang di gunakan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah dakwaan Alternatif. Dakwaan alternatif adalah dakwaan yang tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Dalam dakwaan ini, terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja. Biasanya dalam penulisannya menggunakan kata ‘atau’. Dasar pertimbangan penggunaan dakwaan alternatif adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi atau pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut , maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari dakwaan, dipergunakan bentuk dakwaan alternative. Biasanya dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan yang lain menunjukkan cirri yang sama atau hamper


(22)

bersamaan, misalnya pencurian atau penadahan, penipuan dengan penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan, atau pemerkosaan atau pencabulan.

Dakwaan alternatif yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum primairnya adalah Pasal 286 tentang pemerkosaan terhadap orang yang tidak berdayadan alternatifnya adalah pasal 290 tentang pencabulan terhadap orang yang tidak berdaya. Jika di analisis berdasarkan hasil penyidikan dan fakta persidangan terkemukakanlah bahwasanya pelaku bukan hanya melakukan pencabulan tapi juga memperkosa korban, maka menurut analisis penulis sudah tepatlah dakwaan yang di sampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun yang menurut penulis kurang tepat adalah tuntutan jaksa yang hanya mendakwakan 6 tahun penjara kepada pelaku, banyak pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya menjadi faktor pemberat sipelaku, seperti keadaan korban yang trauma berat, ditambah lagi korban yang hamil akibat perbuatan sipelaku, dan juga perbuatan pelaku yang melakukan perbuatan tersebut secara berkelanjutan. Jadi menurut penulis, tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum kurang tepat.

Selain itu juga berdasarakan fakta-fakta dipersidangan dan fakta hukum serta hasil penyidikan tuntutan yang di sampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum sangat ringan dari yang seharusnya, jika kita melihat pasal 286 saja paling lama dihukum Sembilan tahun, hukuman bisa kurang dari Sembilan tahun jika ada hal-hal yang meringankan sipelaku, namun melihat dari fakta-fakta yang ada, yang menjadi hal yang meringankan hanyalah sipelaku bersikap baik selama proses persidangan, dan pelaku belum pernah dihukum sebelumnya, sedangkan yang memberatkannya jauh lebih banyak, ditambah lagi si pelaku melakukan perbuatan tersebut secara berkelanjutan atau sesuai dakwaan Jaksa di juncto kan ke pasal 64


(23)

ayat (1) KUHP, seharusnya jaksa mendakwakan si pelaku dengan hukuman tidak kurang dari 9 tahun.

2. Putusan Hakim

Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara. Putusan dijatuhkan kepada pelaku yang terbukti bersalah, putusan yang dijatuhkan berupa pemidanaan sebagai mana yang diatur dalam pasal 10 KUHP, yaitu:

1. Pidana Pokok a. Hukuman Mati b. Pidana Penjara c. Pidana Kurungan d. Pidana Denda 2. Pidana Tambahan

a. Pencabutan Hak tertentu b. Perampasan hak tertentu c. Pengumuman putusan hakim

Adapun mengenai kualifikasi urutan-urutan dari jenis pidana tersebut didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu (pasal 69 KUHP)

Dalam putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB, terdakwa DEDE BIN TANU dijatuhi hukuman pidana penjara selama 8 (delapan) tahun.Andi Hamzah menegaskan bahwasanya penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan.Pada umumnya hukuman penjara dijalani dalam suatu


(24)

ruangan tertentu.Pada masa lalu, pidana penjara dipesoalkan di dunia barat, apakah si terhukum ditempatkan secara terpisah, yakni terasing dari sipelaku lainnya, ataukah tidak karena penjara tersebut terbuat dari beton yang kokoh dan kuat, sehingga para pelaku terasing dari pergaulan masyarakat luas.90

Adapun tujuan dijatuhkannya pidana terhadap seseorang adalah dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana, mencegah orang lain melkukan perrbuatan pidana yang sama seperti yang dilakukan sipelaku, menyediakan saluran-saluran untuk mewujudkan motif balas91

Roger hood berpendapat bahwa sasaran pidana disamping untuk mencegah si terpidana atau pembuat potensial melakukan tindak pidana juga untuk, pertama memperkuat kembali nilai-nilai sosial, kedua menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan.92

Jika kita lihat lagi dalam putusan tersebut diatas, bahwa terdakwa di vonis hakim selama 8 tahun penjara menurut analisis penulis belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan dalam proses pemidanaan, hukuman selama delapan tahun menurut penulis terlalu ringan untuk dijatuhkan kepada pelaku pemerkosaan yang korbannya adalah penderita gangguan mental, dimana berdasarkan hasil pemeriksaan, bahwa saksi korban memiliki IQ sebesar 40, yang berarti sesuai dengan penjelasan yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, saksi korban mengalami Gangguan Mental Sedang, yang memiliki tingkat intelegensi setara denak anak kelas II Sekolah Dasar, hal ini jugalah yang membuat pelaku dengan mudah merayu dan menipu saksi korban untuk masuk ke rumah pelaku tanpa ada rintangan dan hambatan yang membuat saksi korban menolak ajakan pelaku, ini

90

Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama), 2011, hal. 87

91Ibid, hal. 23 92


(25)

juga dapat menjadi pertimbangan yang memberatkan pelaku,selain itu juga saksi korban diperkosa hingga hamil serta dilakukan berkelanjutan. Dengan fakta-fakta hukum yang diperoleh selama proses persidangan, tentu hakim seharusnya lebih peka terhadap keadaan yang terjadi, kondisi yang meringankan dan memberatkan bukan hanya berasal dari pelaku, tapi juga dari korban itu sendiri, penulis berpikir bahwa hukuman yang dijatukan hakim belum tentu akan menimbulkan efek jera, dan tujuan tujuan lain yang diinginkan oleh dilaksanakannya proses pemidanaan.

Jika kita bandingkan antara dakwaan jaksa dan putusan hakim ada sedikit perbedaan diantara keduanya, yaitu dakwaan jaksa berbeda dengan putusan hakim, dan putusan hakim tersebut 2 tahun lebih banyak dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dimana Jaksa mendakwa pelaku selama tahun, sedangkan Hakim memutus delapan tahun. hal ini pun penulis berpikir masih kurang tepat, dimana pertimbangan hakim yang petama bahwa pelaku melakukan pemerkosaan terhadap seseorang yang diketahui dan patut diduga adalah orang yang tidak berdaya berarti melanggar pasal 286 KUHP, yang kedua pelaku melakukan perbuatan tersebut secara berkelanjutan, yang berarti pasal 286 tersebut di Juncto kan ke pasal 64 KUHP, namun hakim tidak melihat pertimbangan dari sisi korban, dimana korban mengalami trauma berat, ditambah kondisinya yang cacat mental, ditambah lagi korban sekarang dalam keadaan hamil, seharusnya hal ini dapat menjadi pemberatan dan penambahan hukuman bagi pelaku, karena perbuatan korban dianggap dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan, bahkan setelah sipelaku di penjara, maka seharusnya hakim perlu mempertimbangkan dari sisi korban itu sendiri diluar daripada kesalahan yang ditimbulkan oleh pelaku, demi


(26)

terciptanya keaadilan dan keamanan serta memberikan efek jera yang nyata kepada masyarakat.


(27)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan masalah dalam penulisan hukum ini yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum tentang tindak pidana pemerkosaandiatur dalam KUHP pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP, sedangkan diluar KUHP ada di UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tepatnya di Pasal 81, serta pasal 81, 81A, 82, dan 82A PERPPU No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002. selain itu juga diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, tepatnya di pasal 46 sampai dengan pasal 48.

2. Pelaku tindak pidana pemerkosaan merupakan salah satu orang yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana apabila ia telah memenuhi unsur-unsur kesalahan yaitu memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengan kekerasan atau ancaman kekerasaan yang menjadi syarat seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, yaitu ada unsur kesalahan sipelaku, si pelaku melakukannya dalam keadaan sadar dan tidak ada alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat menghapuskan kesalahan sipelaku. Sedangkan dalam hal penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim, harus didasari oleh alasan yang kuat dengan melihat pertimbangan-pertimbangan, dakwaan Jaksa Penuntut Umum, pembelaan kuasa hukum, fakta-fakta dipersidangan, kondisi korban psikologis dan akibat yang ditimbulkan pada korban, kondisi


(28)

terdakwa, sikap terdakwa di persidangan, dan hal-hal lain yang dapat memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Seperti dalam kasus yang telah di analisis, berdasarkan Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB dimana terdakwa DEDE BIN TANU dengan menggunakan rayuan dan tipu muslihat serta memanfaatkan keadaan saksi korban yang bernama LISA MARDIAH yang mengalami gangguan mental dengan IQ sebesar 40. Lalu mengajak saksi korban ke dalam rumah pelaku yang kebetulan sedang kosong dan menyuruh saksi korban tidur di kamar korban, lalu pelaku melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap seseorang yang mengalami gangguan mental, dilakukan secara berkelanjutan selama 4 (empat bulan) dengan cara menghasut dan tipu muslihat, maka sesuai dengan pertimbangan hakim, pelaku dikenakan Pasal 286 Jo Pasal 64 KUHP dengan ancaman 8 (delapan) tahun penjara.

B. Saran

Adapun saran yang penulis dapat berikan sehubung dengan penulisan skripsi ini adalah

1. Perlu dilakukan revisi terhadap KUHP, mengingat secara historis KUHP merupakan produk kolonial yang sifatnya sudah tertinggal dari perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia, khususnya pada Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan diharapkan akan memberi perubahan bukan hanya dalam hal penegakan hukum, tapi juga sebagai langkah dalam proses kemandirian hukum nasional, dimana hukum yang diterapkan dalam menyelesaikan perkara dipengadilan adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai bangsa Indonesia karena berasal dari nilai-nilai


(29)

sosial masyarakat yang diangkat kedalam bentuk suatu peraturan atau kodifikasi hukum.

2. Setelah dibuktikan kesalahan Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan dan dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang ada, diterapkannya penjatuhan Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun masih dirasa kurang untuk memberikan efek jera kepada sipelaku, seperti dalam kasus yang telah dianalisis, bahwa terdakwa melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap korban yang mengalami gangguan mental dan akibat perbuatan pelaku, korban hamil dan mengalami trauma psikis. Mengingat korbannya adalah orang yang tidak berdaya karena mengalami gangguan mental, dan korban diperkosa secara berlanjut hingga korban hamil, seharusnya dakwaan jaksa dan putusan hakim dapat memberikan hukuman yang lebih bagi pelaku, agar menimbulkan efek jera dan memberikan keadilan bagi seluruh pihak, maka hukuman 8 (delapan) tahun penjara yang dijatuhkan oleh hakim dirasa masih belum memenuhi rasa keadilan, karna kurangnya pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim yang tidak melihat pertimbangan-pertimbangan lain dari sisi korban.


(30)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN (VERKRACHTING)

A. Pengaturan Tindak Pidana Pemerkosaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)38

1. Pasal 285 KUHP Pasal ini berbunyi:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”

Unsur-unsur delik:

a. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Laki-laki) b. Bagian inti delik (delictsbestanddelen):

1) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; 2) Memaksa;

3) Seorang perempuan bersetubuh dengan dia; 4) Di luar perkawinan.

Yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Pembuat Undang-Undang menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa laki-laki bersetubuh, bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak

38


(31)

mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Bukankah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak karena perbuatan itu.39

2. Pasal 286 KUHP Pasal ini berbunyi:

”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahui perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun” Unsur-unsur delik:

e. Subjek (Normadressaat)

f. Bagian Inti (Delictsbestanddelen):

1) Bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan

2) Diketahui bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Delik dalam pasal 286 KUHP mensyaratkan kesengajaan, karena mengetahui bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya.Akan tetapi (Hoge Raad, 19 Januari 1993, NJ. 1993, 491), menerima kesengajaan bersyarat (sengaja kemungkinan; dolus eventualis) dalam hal ini.40

Tidak berdaya, menurut Clairen yaitu keadaan fisik tidak dapat melawan yang korban tidak sadar untuk melawan itu (Hoge Raad, 28 Februari 1989, NJ 1989, No. 658).Jadi tidak berdaya tidak berarti tidak berdaya secara psikis.41

Menurut R. Soesilo dalam penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membedakan defenisi tidak berdaya dan defenisi pingsan. Menurutnya, tidak berdaya adalah tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali, misal mengikat tangan dan kaki

39

R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia) 1994

40


(32)

seseorang dengan tali, mengurung dalam kamar, atau member suntikan yang menyebabkan seseorang menjadi lumpuh. Orang yang tidak berdaya masih dalam keadaan sadar dan masih mengetahui apa yang sedang terjadi. Sedangkan pengertian pingsan menurut R. Soesilo adalah tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya dan tidak sadar akan apa yang sedang terjadi, misalnya korban diberi minuman racun yang membuatnya tidak mengetahui apa yang sedang terjadi.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan seseorang dapatdikenakan pasal ini jika pingsan atau tidak berdayanya perempuan dikarenakan bukan karena perbuatan si pelaku, jika pingsan atau tidak berdaya nya korban dikarenakan perbuatan si pelaku, maka ia dikenakan Pasal 285 KUHP42

3. Pasal 287 KUHP Pasal ini berbunyi:

(1) ”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang perempuan diluar perkawinan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawini, diancam pidana penjara paling lama Sembilan tahun”

(2) “Penuntutan hanya berdasarkan pengaduan, kecuali jika perempuannya belum sasmpai dua belas tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294”

Ini berarti menjadi delik biasa, bukan delik aduan jika anak itu belum berumur dua belas tahun. Juga mengakibatkan luka berat (Pasal 291) atau dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau orang yang belum dewasa yang mempeliharanya, pendidikannya, dan penjagaannya diserahkan kepadanya atau dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa (Pasal 294 ayat (1)). Termasuk juga pegawai negeri kepada bawahannya atau orang penjagaannya dipercayakan kepada atau diserahkan

42


(33)

kepadanya; begitu pula pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sosial, rumah sakit, atau rumah sakit jiwa (Pasal 249 ayat (2)).

Unsur-unsurnya:

a. Subjek (Normadressat) : Barangsiapa (Laki-laki)

b. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk dikawini.

4. Pasal 288 KUHP Pasal ini berbunyi:

“(1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang perempuan yang diketahui nya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawini, apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

(2) ”Jika perbuatannya mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.”

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhi pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Inilah pasal yang diterapkan kepada orang-orang yang kawin dengan anak-anak.Karena orang Indonesia sering ada yang kelahirannya tidak tercatat resmi, maka sering tidak diketahui umur anak perempuan secara pasti, sehingga perlu dipakai rumus diketahui (sengaja) atau patut dapat diduga (culpa) mengenai sudah atau belum waktunya perempuan itu dikawini.Bukan umur yang pasti. Menurut Lemaire, pasal ini diciptakan untuk mencegah perkawinan anak-anak menurut hukum adat Indonesia. Pidana bukan karena telah terjadi persetubuhan, tetapi


(34)

karena menimbulkan luka-luka.Disini ada gabungan antara Pasal 288 dan delik penganiayaan.43

B. Pengaturan tentang pemerkosaan diluar KUHP

1. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002

Undang-undang perlindungan anak ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai pancasila.

Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.44

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin sejak janin dalam kandungan sampai anak berumur delapan belas tahun.Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluuh dan komprihensif, Undang-undang ini meletakkan kewajiban member perlindungan kepada anak.

43

Andi Hamzah mengutip pendapat W.L.G Lemaire, Het Wetboek van Strafrecht, Voor Ned. Indie vergeleken met hed ned. Wetboek van Strafrecht, 1934, hal. 112

44


(35)

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.45

merupakan bentuk kepedulian masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Draf pertama Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak ini tersusun pada tahun 1998 dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta krisis ekonomi yang begitu mengkhawatirkan.

Pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap anak tertuang dalam Undang-undang No.23 tahun 2002. Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan nasional,khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan bernegara. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak ini

46

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

Hal inilah yang menyebabkan draf ini tertunda.Situasi yang tidak kondusif ini mendorong UNICEF untuk memfasilitasi penyusunan Rancangan Undang-Undang ini. Setelah melewati proses yang begitu panjang maka pada tanggal 22 Oktober 2002 RUU tersebut disahkanAsas dan tujuan lahirnya undang-undang ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal3, sementara mengenai hak anak diatur dalam Pasal 4 sampai Pasal 18 dan kewajibannya diatur dalam Pasal 19. Disebutkan dalam Pasal 13 bahwa:

a. Diskriminasi47

45

Pasal (1) angka 2 UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

46

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta : KPAI, Halaman 1.

47


(36)

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual48 c. Penelantaran49

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan50 e. Ketidakadilan51

f. Perlakuan salah lainnya52

2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

(1) Kewajiban orang tua tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 ini juga diatur kewajiban orang tua, antara lain:53

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

d. Memberikan pendidikan Karakter dan Penanaman Nilai Budi Pekerti pada Anak. (Tambahan dari UU No. 35 Tahun 2014 tentang perrubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)

(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan

tanggungjawab, kewajiban dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002)

jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental

48

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan

49

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajibab untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya

50

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa:perlakuan yang kejam, mislanya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, mislanya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial

51

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

dijelaskan bahwa: perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak

52

Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa: perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak

53


(37)

Dalam hal orang tua melakukan perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka orang tua tersebut dinyatakan telah melakukan tindak pidana,yang disebut juga delik. Menurut wujud dan sifatya, tindak pidana ini adalah pebuatan-perbuatan yang melawan hukum.Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dan bertentangan dengan atau mengahambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap adil.54

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak terekspoitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yag menjadi korban penyalahgunaan markotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang No.23 tahun 2002 telah diubah ke UU No 35 Tahun 2014 tentang perbuahan atas UU No 22 Tahun 2002 sehingga perubahannya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pasal 59

(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak yang lari dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan Seksual k. Anak Korban Jarinag Terorisme l. Anak Penyandang disabilitas

54


(38)

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran n. Anak dengan perlakuan sosial yang menyimpang

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait kondisi Orang Tuanya

Pasal 64

i. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

ii. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak

yang berhadapan dengan hukum;

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

iii. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi;

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 66

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.


(39)

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 67

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 68

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya

a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Pasal 71

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Namun, Undang-Undang ini belum dapat berjalan


(40)

secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya Undang- Undang ini adalah:

a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;


(41)

d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam beberapa pasal, misalnya:

Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.

(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berkonflik dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban kejahatan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.

Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23 tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal 69A sebagaimana berikut:

“Perlindungan Khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebgaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:


(42)

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam hal ini incestberhak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.55

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak utuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga tahun dan denda paling banyak Rp. 300.00.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)

Selain itu, pasal 81 UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa:

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.

Dalam perubahannya yaitu UU no. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU no 23 Tahun 2002, diatur dalam Pasal 76E yang berbunyi:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul

Sedangkan sanksi Pidananya diatur dalam pasal 82 yang isinya:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan

55

Penjelasan Pasal 71D ayat (1) UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(43)

paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau Tenaga Kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Dalam UU no 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 hanya diatur tentang tindak pidana pencabulan, berbeda dengan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menggunakan istilah “persetubuhan” yang merujuk kepada tindak pidana pemerkosaan.

Berdasarkan pasal 81 UU no. 23 tahun 2002, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam menerapkan kekerasan seksual terhadap anak adalah:

a. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan b. Adanya tipu muslihat

c. Adanya serangkaian kebohongan d. Adanya bujukan

e. Adanya persetubuhan dengan seorang anak.

Jika dibandingkan dengan rumusan yang dikemukakan dalam pasal 287 KUHP maka cara-cara yang dilarang dalam pasal 81 ini jauh lebih lengkap karena merumuskan beberapa perbuatan selain kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara untuk memaksa seseorang bersetubuh, yaitu dengan mengakui adanya cara-cara lain yang dapat digunakan seperti melalui tipu muslihat, serangkaian kebohongan ataupun bujuk rayu. Bahwa apabila salah satu cara tersebut unsurnya terpenuhi dan anak yang dipaksa untuk bersetubuh masih berumur 18 tahun, maka kepada pelaku dapat dijerat dengan pasal 81 ini.

berdasarkan rumusannya, maka tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dalam UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak merupakan tindak pidana biasa yang diatur dalam pasal 287 KUHP yang membedakan jenis tindak pidana berdasarkan batasan umurnya, dengan ketentuan bahwa jika perempuan


(44)

krban adalah anak yang berumur dibawah 12 tahun sampai dengan 15 tahun atau diketahui belum masanya untuk kawin merupakan tindak pidana (delik) aduan.

Ketentuan-ketentuan tersebut diatas telah mengatur secara spesifik tentang perkosaan terhadap anak dengan sanksi yang jauh lebih berat daripada yang ditetapkan dalam Pasal 287 KUHP. Adalah penting untuk memberikan perlindungan khusus terhadap perempuan yang belum dewasa, sehingga setiap laki-laki yang berniat untuk bersetubuh dengan perempuan tersebut akan mengetahui dan memahami resiko yang lebih besar.

2. PERPPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 1 tahun 2016 merupakan perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, ada beberapa perubahan baik dari UU No. 23 tahun 2002 maupun dari UU No. 35 tahun 2014. Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara maksimal 20 tahun, dan penjara maksimal 10 tahun penjara.

Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni kebiri kimiawi, pengumuan identitas ke public, serta pemasangan alat deteksu elektronik.Perppu ini mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yakni pasal 81 dan 82, serta menambah satu pasal 81A.adapun isi dari Perppu Nomor 1 tahun 2016 adalah:

1. Ketentuan pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut

(1) Setiap orang yang melanggar sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)


(45)

(Catatan: Pasal 76D dalam UU no. 35 tahun 2014 berbunyi “setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain)

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan perserubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang mengenai perlindungan anak, atau dilakukan oeh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D

(5) Dalam hal tindak piidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan cip.

(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.

2. Diantara pasal 81 dan pasal 82 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi

(4) ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


(46)

3. ketentuan pasal 82 diubah sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyakmRp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

(catatan: bunyi pasal 76E UU No. 35 tahun 2014 berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”)

(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

(4)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76Emenimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5)selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

ayat (4), pelau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak

Pasal 82A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok


(47)

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawah pengawasan secara berkala oleh kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan peraturan pemerintah.

3. UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.56

Ruang lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam Undang-undang ini meliputi:57

a. Suami, istri dan anak, termasuk ke dalam pengertian anak adalah anak angkat dan anak tiri.

b. Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf (a) karena adanya hubungan darah, hubungan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban,

56

Pasal 1 angka 1 UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

57


(48)

menindak pelaku dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.58

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang dilakukan adalah sebagai berikut: 59

2. Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit atau luka berat60

3. Kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.61

4. Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut62 atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.63

5. Penelantaran rumah tangga yaitu tindakan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut, atau tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau

58

Pasal 4UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

59

Pasal 5 UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

60

Pasal 6 UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

61

Pasal 7UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

62

Pasal8 huruf a UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

63

Pasal 8huruf b UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga


(49)

melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Berdasarkan analisis tersebut diatas, maka dapat dibedakan antara perumusan yang diatur dalam UU PDKRT khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan ini berbeda ruang lingkupnya dengan KUHP.

Dalam pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP, batasan hukuman yang ditetapkan hanyalah batasan maksimal semata-mata tanpa adanya batasan minimal. Karena itu berat ringannya sanksi yang dijatuhkan sangat tergantung pada pertimbangan hakim.Seringkali kasus tindak pidana perkosaan dihukum dengan sangat ringan.

Berkaitan dengan ketentuan pidana khususnya kekerasan seksual di dalam UU no. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, diatur dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 46:

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau dengan paling banyak Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah)

Unsur-unsur Delik:

a. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Setiap Orang) b. Bagian Inti Delik (Delictsbestanddelen):

1) Dengan kekerasan atau Ancaman Kekerasan 2) Memaksa

3) Seseorang untuk bersetubuh

4) Dilakukan terhadap orang yang menetap di ruang lingkup rumah

Dalam penjelasan pasal 8 UU no 23 tahun 2004 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa


(50)

pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai. Dalam pasal ini tidak dijelaskan bahwa pelaku kekerasan seksual hanya berlaku untuk laki-laki, artinya perempuan atau anak yang melakukan perbuatan tersebut dapat dikenakan dalam pasal ini.UU ini tentu berbeda dengan pasal pemerkosaan dalam KUHP dimana kata ‘barang siapa’ terbatas hanya untuk setiap laki-laki saja. Selain itu juga ruang lingkup pemerkosaan sebagai mana diatur dalam UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ialah setiap orang yang tinggal atau menetap dalam suatu ruang lingkup rumah.

Pasal 47:

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 huruf b, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

Unsur-unsur Delik:

c. Subjek (Normadressaat): Barangsiapa (Setiap Orang) d. Bagian Inti Delik (Delictsbestanddelen):

1) Dengan kekerasan atau Ancaman Kekerasan 2) Memaksa

3) Seseorang untuk bersetubuh

4) Dilakukan terhadap orang yang menetap di ruang lingkup rumah 5) Dilakukan dengan tujuan komersil atau tujuan tertentu

Pasal ini hampir sama dengan pasal sebelumnya dimana pelaku melakukan kekerasan seksual atau pemerkosaan terhadap seseorang yang tinggal dalam satu


(51)

ruang lingkup rumah, tetapi seseorang dapat dikenakan pasal ini jika perbuatan yang dilakukannya adalah untuk suatu tujuan tertentu atau tujuan komersil.

Pasal 48:

Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak member harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Unsur-unsur dalam pasal ini hampir sama dengan dua pasal sebelumnya, hanya saja ada sedikit tambahan, yaitu apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka pada korban, gangguan daya pikir atau kejiwaan, dan akibat-akibat lain yang tergolong luka berat.

4. Perbandingan Tindak Pidana Pemerkosaan Antara KUHP dan UU diluar KUHP

a. Perbandingan KUHP dengan Undang-undang Perlindungan Anak

UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak jelas yang menjadi objek nya adalah anak, dimana menurut UU ini yang dikategorikan sebagai anak adalah yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan64, sementara dalam KUHP R. Soesilo mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘belum dewasa’ adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum 21 tahun, ia tetap dianggap dewasa.65

64


(1)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsiini untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi syarat agar dapat memeroleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang wajib dilalui setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya.

Judul skripsi yang penuis angkat adalah “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMERKOSAAN TERHADAP PENDERITA GANGGUAN MENTAL (STUDI PUTUSAN N0. 377/PID.B/2011/PN.BB)”. Penulis telah berusaha dan bekerja keras semaksimal mungkin dalam menyusun skripsi ini.Namun penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, baik dari segi materi maupun penulisan.

Penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan, dorongan, nasihat, maupun semangat dari berbagai pihak seama penulis berusaha menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara ;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum


(2)

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Penasihat Akademik Penulis ;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

7. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing, menasihati penulis dengan sabar dan penuh perhatian sehingga skripsi ini dapat selesai ;

8. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Dosen

Pembimbing II yang selalu sabar dan memberikan penjelasan yang baik dalam membimbing dan menasihati penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan ;

9. Ibunda tersayang Poppy Hasibuan dan Adikku Putri Maura Rangkuti yang

telah membantu dengan penuh kasih sayang, ketulusan dan keikhlasan dan selalu memberikan nasihat, doa dan semangat kepada penulis, serta Almarhum Ayahanda, Alm. Erwin Rangkuti yang semasa hidupnya selalu mengajarkan ketegasan dan keberanian kepada penulis ;

10. Teman teman Fakultas Hukum Sumatera Utara baik senior maupun junior, Teman-teman Stambuk 2012 terutama teman-teman Grup C yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, teman-teman Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA), terutama BPH periode


(3)

2015-2016, grace, olin, sabrina, rini, yusni dan seluruh anggota IMADANA angkatan 2012 ;

11. Kakanda-kakanda alumni dan senioren dan adinda-adinda serta kawan-kawan dari Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Komisariat Fakultas Hukum USU yang telah memberikan dukungan dan nasihat. 12. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Medan, September 2016

Penulis


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK…...………. ..i

KATA PENGANTAR ………..ii

DAFTAR ISI ………v

BAB I PENDAHULUAN ………..1

A. Latar Belakang ………...1

B. Perumusan Masalah ……...………...5

C. Tujuan Penulisan……….6

D. Manfaat Penelitian……… ..6

E. Keaslian Penulisan ……….6

F. Tinjauan Kepustakaan ………..…..7

1. Tindak pidana pemerkosaan………..…...7

a. Tindak Pidana………7

b. Pemerkosaan………..9

1. Pengertian ………..9

2. Objek Pemerkosaan………..11

2. Pertanggungjawaban Pidana………...14

3. Gangguan Mental……….. 16

a. Pengertian……….16

b. Jenis-jenis Gangguan Mental………...19

G. Metode Penelitian ……….23


(5)

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA

PEMERKOSAAN (VERKRACHTING)……….……….29

A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerkosaan Didalam

KUHP……….…………..29

B. Pengaturan Tindak Pidana Pemerkosaan diluar KUHP…………33

1. UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 dan UU No 22 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak………....………33 2. PERPU No. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas

UU No 23 Tahun 2002………43

3. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga………...………..46

C. Perbandingan Tindak Pidana Pemerkosaan Antara Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Diluar

KUHP………....50

1. Perbandingan KUHP dengan Undang-undang

Perlindungan Anak………..………50

2. Perbandingan KUHP dengan UU No. 23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga………..52

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU

PEMERKOSAAN TERHADAP PENDERITA GANGGUAN MENTAL………...………53

A. Pertanggungjawaban pidana dalam Hukum Pidana...…………..53

1. Pertanggungjawaban Pidana………..……….53


(6)

3. Kemampuan Bertanggungjawab

(Toerekeningvats-barheid) dalam Hukum Pidana………..……...………..58

4. Kesengajaan (Dolus)………...60

5. Alasan Penghapus Pidana………...61

B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental berdasarkan putusan No. 337/ PID.B/ 2011/ PN.BB………63

1. Posisi Kasus…..………...63

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum……….63

3. Tuntutan………...64

4. Fakta Hukum dan Pertimbangan Hakim……….65

5. Putusan Hakim………69

6. Analisis Putusan………..70

BAB IV PENUTUP ………77

A. Kesimpulan ………..77

B. Saran ………78 DAFTAR PUSTAKA