e. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan Tingkat Pendidikan.
Tabel 16. Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung Tingkat Pendidikan
N Mean
Resiliensi Mean
Social Support
Std. Deviation
Resiliensi Std.
Deviation Social
Suppot SD
SMP SMA
S1 21
20 16
3 66,52
69,55 61,44
60,33 74,67
74,70 71,94
76,00 10,221
11,985 17,907
1,528 6,740
7,519 9,719
4,359 Dari pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean
resiliensi Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut; SD sebesar 66,52, SMP sebesar 69,55,
SMA sebesar 61,44 dan S1 sebesar 60,33. Dari pengolahan data, diperoleh hasil penelitian bahwa nilai mean social support Perempuan Karo
penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut; SD sebesar 74,67, SMP sebesar 74,70, SMA sebesar
71,94 dan S1 sebesar 76,00.
D. Pembahasan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi pada Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung memiliki hubungan
dengan social support. Adapun nilai korelasi R nya adalah sebesar 0,314; dengan p = 0,014. Nilai R yang positif menandakan bahwa arah hubungan
Universitas Sumatera Utara
social support dan resiliensi bernilai positif, yang berarti semakin tinggi tingkat social support yang diterima dan diberikan Perempuan Karo
penyintas erupsi Gunung Sinabung maka akan semakin tinggi juga tingkat resiliensi yang dimilikinya, demikian juga sebaliknya.
Untuk dapat menjadi individu yang resilien dalam situasi bencana seperti saat ini, Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung
membutuhkan dukungan dari sekitarnya. Dukungan ini dapat berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan yang menyenangkan,
ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga Grotberg, 1999. Dipengungsian, kaum Perempuan Karo dapat memperoleh dukungan
dalam bentuk emotional support jenis dukungan ini melibatkan rasa empati dan peduli terhadap seseorang yang akan memberikan perasan
nyaman dan dapat membuat individu merasa lebih baik. Perempuan Karo dipengungsian saling menyemangati, saling membantu dan saling
mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian dan dapat melewati bencana ini bersama-sama. Mereka percaya, ada keluarga yang masih akan
berjuang bersama mereka dan ada Tuhan yang akan meringankan segala beban. Instrumental support meliputi bantuan yang diberikan secara
langsung atau nyata seperti memberikan barang bantuan kepada pengungsi,mereka beberapa kali mendapatkan bantuan dari pemerintah
dan relawan. Prinsip adat yang dipegang erat oleh masyarakat Karo yang menyatakan bahwa orang Karo bersaudara karena marga dan prinsip
kekerabatan yang ditanamkan sejak kecil menjadikan mereka tidak sulit
Universitas Sumatera Utara
untuk berbagi kebutuhan dan barang-barang bantuan yang ada dipengungsian. Ada kalanya mereka akan mendapatkan bantuan secara
personal, tetapi ketika bantuan itu tidak untuk semua orang, maka mereka tidak akan segan untuk berbagi dengan sesama pengungsi yang
membutuhkan. Informational support merupakan bentuk dukungan berupa
pemberian nasehat, petunjuk ataupun informasi baru. Di pengungsian, kegiatan sharing dan kegiatan kegamaan menunjukkan adanya dukungan
sosial yang terjadi antar sesama perempuan pengungsi. Bentuk social support yang selanjutnya adalah Companionship support adalah jenis
dukungan yang diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang merasa menjadi bagian dari suatu kelompok.
Kehidupan masyarakat Karo berpusat di Kuta desa, disanalah sebagian besar mereka tinggal Prints, 1996. Pada umumnya masyarakat
desa yang mengungsi akibat erupsi gunung Sinabung merupakan penduduk dari Kuta yang sama. Kuta masyarakat Karo mempunyai tata
susunan yang berdasarkan adat. Setelah terjadi erupsi Gunung Sinabung dan mengharuskan mereka untuk tinggal dipengungsian, mereka tetap
menjalankan kehidupan sesuai dengan peraturan adat seperti rakut sitelu dan beberapa peraturan adat tentang desa, hal inilah yang menjadikan
mereka tetap merasakan dukungan dari kelompoknya. Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat resiliensi seseorang. Perempuan Karo pada umumnya
Universitas Sumatera Utara
dibesarkan dengan budaya yang mengajarkan mereka untuk menjadi sosok yang tangguh. Perempuan Karo sejak kecil sudah terbiasa dengan
pekerjaan yang berat seperti membantu orang tua mengurus rumah tangga dan mencari nafkah tetapi tidak dijadikan sebagai kaum yang dominan di
dalam adat, bahkan cenderung tidak diperhitungkan keberadaannya. Dalam budaya Karo, perempuan secara tradisional kedudukannya
adalah sebagai pelengkap yang dalam istilah Karo disebut Sirukatnakan penyendok nasi. Sirukatnakan berarti, perempuan harus membantu
suami, dalam hal seperti mencari nafkah dan mengurus rumah tangga, tetapi perempuan tidak memiliki hak waris dan hak berbicara dalam adat.
Urusan rumah tangga seperti memasak, menganyam tikar sampai mencari kayu bakar dan membantu suami mencari nafkahlah yang menjadi bagian
dari tanggung jawab perempuan Karo. Hal ini membuat mereka dapat menghadapi masa-masa sulit selama di pengungsian dan menjadikan
mereka orang yang resilien .
Mereka beradaptasi dalam menjalani
kehidupannya dan proses untuk kembali beradaptasi seperti semula. Resiliensi adalah kapasitas untuk melambung dari kesukaran hidup. Walsh
2006 mengungkapkan ini adalah proses aktif dari ketahanan, perbaikan diri dan pertumbuhan dalam merespon tantangan. Hal ini menolong kaum
perempuan di pengungsian untuk tetap kuat dan bertahan meskipun ada banyak kesulitan yang mereka rasakan sebagai penyintas erupsi Gunung
Sinabung.
Universitas Sumatera Utara
Perempuan-perempuan Karo merupakan kaum yang resilien, mereka tidak hanya akan bertahan dan berdiam diri meratapi nasib di
pengungsian tetapi mereka juga berjuang untuk mendapatkan hasil yang positif dengan berbagai cara seperti tetap menghadapi tantangan dan tetap
berfikiran positif. Mereka juga kembali menyelaraskan diri dan beradaptasi di pengungsian. Sesuai dengan pernyataan Walsh 2006
bahwa individu yang resilien percaya bahwa akan membuang waktu jika hanya menyesak dan mengobati luka, akan lebih baik jika melihat kembali
apa yang sudah terjadi dan mencoba mengambil pelajaran. Sejalan dengan teori, perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung tidak
membuang-buang waktu mereka dengan meratapi musibah yang terjadi, mereka menyadari mereka tidak sendirian. Berdasarkan pertalian adat dan
persaudaraan yang kuat, mereka menghadapi kehidupan dipengungsian dengan saling mendukung dan mencoba mengambil pelajaran bahwa
musibah bukanlah hal yang harus diratapi tetapi harus di jadikan pelajaran kehidupan yang berharga.
Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya. Dalam hal ini kaum Perempuan Karo di
pengungsian mulai bergerak dan bangkit dengan menunjukkan dukungan terhadap satu sama lain, mereka saling menyemangati, saling membantu
dan saling mengingatkan bahwa mereka tidak sendirian dan dapat menghadapi bencana ini bersama-sama. Reiveich Shatte 2002
menyatakan kurangnya dukungan orang lain lain akan menghambat
Universitas Sumatera Utara
penyembuhan. Dukungan sosial juga dikaitkan dengan kemampuan yang membantu seseorang ketahanan menghadapi stress. Lazarus dan Folkman
mendefinisikannya dukungan sosial sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan coping. Untuk bertahan
di pengungsian akibat bencana dan ketika berhadapan dengan kondisi- kondisi yang menekan diperlukan 3 aspek yang disebut sebagai protective
factor. Istilah protective factor merupakan faktor-faktor yang membantu dan mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang dihadapi.
Tiga aspek yang termasuk dalam dalam protective factors Everall, dkk yaitu : individu, keluarga dan faktor eksternal atau komunitas.
Sejalan dengan teori diatas, keberadaan keluarga dan faktor dukungan lingkungan menjadi hal yang mempengaruhi kekuatan
perempuan Karo untuk bangkit dan bertahan menghadapi tekanan akibat bencana erupsi Gunung Sinabung. Posko pengungsian yang dibagi
berdasarkan desa tempat mereka tinggal menjadikan dukungan antara sesama pengungsi terjadi secara alami. Perasaan persaudaraan yang kuat
dan keadaan yang mengharuskan mereka untuk berbagi, berinteraksi dan menjalani keseharian bersama memberikan ketenagan pada perempuan
Karo bahwa walaupun harta dan ladang mereka terkena abu erupsi, bencana ini akan segera terlewati dan mereka tidak mengalaminya
sendirian. Penerimaan yang diberikan lingkungan pengungsian juga menjadi salah satu faktor yang memberikan kekuatan.
Universitas Sumatera Utara
Bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah, kegiatan sharing, menghabiskan waktu bersama dan kegiatan keagamaan menunjukkan
adanya dukungan sosial yang terjadi antar sesama perempuan pengungsi. peran significant others juga dapat memotivasi untuk melakukan hal yang
terbaik. Melalui afiliasi dan identifikasi dengan lingkungan sosial, individu dapat meningkatkan kualitas ketahanannya terhadap guncangan dan stress
sehingga menjadi lebih resilien Warner, dalam Everall, dkk, 2006. Social support yang tinggi yang dimiliki perempuan Karo berperan
penting dalam membantu mereka untuk bangkit memulai kembali dari titik nol kehidupan mereka sebagai penyintas erupsi Gunung Sinabung.
Hubungan kekeluargaan, bantuan dari pemerintah, kehadiran relawan menambah semangat mereka dan membantu mereka untuk tetap optimis
berharap keadaan Gunung Sinabung akan semakin membaik dan mereka akan segera mendapatkan bantuan berupa ladang ataupun sumber
penghasilan yamg lain. Reivich dan Shatte 2002 dalam bukunya The Resilience Factor:
Seven Essential Skills For Overcoming Lifes Obstacles menjelaskan ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu emotion regulation
regulasi emosi, impuls control pengendalian impuls, optimism optimisme, empathy empati, causal analysis analisis penyebab
masalah, Self-Efficacy efikasi diri dan reaching out. Berkaitan dengan pendapat diatas, rata-rata perempuan Karo Penyintas erupsi Gunung
Sinabung adalah kaum yang resilien. Sebahagian besar dari mereka
Universitas Sumatera Utara
mampu untuk berfikir positif ketika menghadapi bencana erupsi Gunung Sinabung. Dalam menghadapi setiap bencana alam seperti erupsi Gunung
Sinabung dan konflik yang terjadi pasca mengungsi, perempuan Karo akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi masalah,
tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Berdasarkan pengataman peneliti di lokasi pengungsian adalah
perempuan Karo gemar bertukar pikiran dan bercerita ketika ada hal yang mengganjal di hatinya. Mereka tidak menyimpannya sebagai beban,
mereka melihatnya sebagai sebuah jalan lain menuju pengembangan yang lebih baik lagi dalam kehidupan.
Bencana erupsi Gunung Sinabung merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stress yang tinggi sehingga diperlukan
resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi dan mengendalikan diri. Dampak yang dirasakan begitu ekstrim, menguras emosional dan
membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik
yaitu 1 mereka menunjukkan task oriented coping style mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan, yang
pada perempuan Karo ditunjukkan dengan kegiatan menonton tv bersama, bercerita antar sesama pengungsi dan memasak bersama. 2 mereka
mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka. Pada perempuan Karo, hal ini dapat dilihat dari
kegiatan perempuan Karo yang melakukan ‘ngemo’mengerjakan ladang
Universitas Sumatera Utara
orang lain dari pagi hari bersama kelompok aron tani mereka, kemudian pada malam harinya barulah mereka kembali kepengungsian. 3 individu
yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma dan mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk
mengatasi pengalaman yang mereka rasakan. Pasca erupsi Gunung Sinabung perempuan Karo yang telah tinggal dipengungsian selama lebih
kurang selama 3 tahun, secara bertahap mampu untuk kembali menjalani kehidupan mereka secara normal. Mereka berkegiatan bersama pengungsi
lainnya seperti memasak bersama, mengurus anak, berladang, berdiskusi hingga menonton tv. Hal ini termasuk kedalam interaksi sosial yang
berhubungan dengan social support yang bermanfaat untuk mengatasi kesedihan trauma atas pengalaman bencana erupsi dan kerugian berupa
moril dan material yang mereka alami. Berdasarkan klasifikasi usia yang diperoleh dari data penelitian,
ditemukan bahwa Perempuan Karo yang berada pada kategori dewasa madya memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dari Perempuan Karo
yang berada pada kategori dewasa muda. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mean sebesar 67,85 untuk kategori perempuan Karo dalam usia dewasa
madya sementara untuk perempuan Karo dalam kategori dewasa dini, diperoleh nilai mean sebesar 63,27. Sesuai dengan faktor-faktor resiliensi
yang dikemukakan oleh Grotberg 2004 Usia mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Individu dengan usia dewasa muda 20-40 tahun
keatas dan individu dengan usia dewasa madya 40 tahun keatas-60
Universitas Sumatera Utara
tahun merupakan golongan individu yang mempunyai pengalaman hidup berbeda dan lebih kaya daripada kelompok usia anak dan dewasa. Seiring
bertambahnya usia dan pengalaman, kemampuan individu akan semakin bertambah untuk menjadi seseorang yang resilien.
Informasi tambahan yang dilihat peneliti dilapangan, penyintas dari beberapa desa telah mendapatkan rumah relokasi di daerah Siosar dan
sepetak tanah untuk mengganti ladang mereka yang terkena erupsi Gunung Sinabung . Pemerintah menghimbau mereka untuk menanam
kentang karena sebagian besar masyarakat Karo mencari nafkah sebagai petani.
Universitas Sumatera Utara
85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN