Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada Perempuan Karo penyintas Erupsi Gunung Sinabung.

jauh dari jangkauan.Tidak tersedianya lahan pertanian juga menjadi masalah bagi mereka karena karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani.

F. Hubungan Resiliensi dengan Social Support pada Perempuan Karo penyintas Erupsi Gunung Sinabung.

Suku Karo merupakan salah satu bagian terbesar dalam kekerabatan Batak. Masyarakat Karo menganut sistem kekerabatan yang disebut Rakeut Sitelu, yang pada intinya mengatakan bahwa antara sesama orang Karo terdapat ikatan persaudaraan yang kuat dan harus saling tolong menolong. Masyarakat Karo menganut sistem kekeluargaan patrilinear yang menjadikan laki-laki sebagai kaum yang dominan dalam peraturan adat, kekuasaan, kehidupan rumah tangga. Berbeda dengan laki-laki, perempuan Karo bukanlah kaum yang diutamakan. Perempuan Karo tidak memiliki hak bicara dalam adat. Perempuan Karo berperan sebagai pelengkap atau dalam bahasa Karo disebut dengan istilah Sirukatnaken Penyendok Nasi. Perempuan Karo dalam adat memang tidak memiliki posisi sebagai yang diutamakan, tetapi mereka memiliki dikotomi peran gender yang membutuhkan ketangguhan dan tanggung jawab yaitu dalam mengurus rumah tangga dan mencari nafkah. Dalam menjalani dikotomi peran gendernya, perempuan Karo bertanggung jawab penuh untuk urusan rumah tangga. Sedari pagi, perempuan Karo harus memasak, mengurus suami dan anak serta kebutuhan rumah tangga lainnya. Setelah selesai mengurus rumah tangga, mereka akan melanjutkan kegiatan mencari nafkah. Sebahagian besar perempuan Karo bekerja sebagai petani dan biasanya akan bekerja diladang dari tengah hari hingga petang bersama kelompok Universitas Sumatera Utara tani aron mereka. Setelah bekerja hampir sehari penuh mereka kembali kerumah untuk mempersiapkan kebutuhan rumah tangga seperti memasak untuk suami dan memandikan anak. Dalam budaya Karo, dapur merupakan wilayah yang tabu untuk dimasuki oleh laki-laki. Artinya, setelah menyelesaikan pekerjaan di ladang, perempuan- perempuan Karo akan kembali „bekerja di dapur‟ untuk mempersiapkan kebutuhan keluarganya. Sementara untuk laki-laki dalam suku Karo, mereka akan menghabiskan waktu dengan duduk di kedai kopi untuk berdiskusi tentang strategi bisnis dan bagaimana agar ladang mereka dapat menghasilkan tanaman yang baik dan memberikan keuntungan yang lebih besar. Kegiatan ini berlangsung hampir seharian sampai istrinya pulang dari ladang untuk kembali mengurus rumah tangga. Masyarakat Karo sebahagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Mereka tinggal di desa-desa daerah sekitar kaki Gunung Sinabung yang memiliki lahan subur dan luas sehingga baik untuk bercocok tanam. Pada mulanya, Gunung Sinabung merupakan Gunung Api non-aktif yang berdiri kokoh seakan menaungi kehidupan masyarakat Karo di desa sekitarnya. Karena merupakan Gunung Api yang telah lama non-aktif, Gunung Sinabung tidak dianggap mengancam bahkan memberikan keuntungan yaitu lahan disekitarnya yang dijadikan tempat bertani masyarakat dengan pemandangan yang indah. Namun, semuanya berubah sejak tahun 2010, untuk pertama kalinya setelah tidur panjang, Gunung Sinabung mengeluarkan abu vulkanik dan lahar panas akibat erupsi yang terjadi secara terus menerus hingga saat ini 2016. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang tinggal di desa sekitar Gunung Sinabung turut kehilangan sumber kehidupan mereka dan Universitas Sumatera Utara mengalami kerugian baik secara moril dan material. Mereka kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian sehingga diharuskan untuk tinggal dipengungsian. Awal pindah kepengungsian menjadi masa-masa paling sulit bagi pengungsi terutama kaum Perempuan. Selama tinggal dipengungsian, Kaum Perempuan Karo harus beradaptasi hidup bersama orang-orang asing dan kehilangan ruang privat. Mereka pun mau tak mau harus mencukupi diri dengan bantuan yang ada di pengungsian. Dengan keadaan seperti ini, kaum Perempuan Karo tidak hanya membatu dan berdiam diri, mereka yang dibesarkan dengan ajaran dan kerja adat yang keras menjadikan mereka perempuan-perempuan tangguh. Mereka tetap menjalani peran mereka yaitu mengurus kebutuhan keluarga dan tetap bekerja menjadi buruh tani di perkebunan yang ada disekitar Berastagi Mereka berangkat bersama teman aron kelompok tani mereka pada pagi hari dan kembali ke pengungsian pada malam harinya. Dipengungsian, kebutuhan perempuan tidak serta merta tersedia jika dibutuhkan. Hidup bersama orang lain, tidur bersama dalam ruangan yang disekat perpetak, tidak adanya ruang privat, kehilangan ladang yang menjadi sumber penghasilan dan mengharapkan belas kasihan serta bantuan dari orang lain dapat menjadi pemicu stress bagi perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung. Untuk beradaptasi dengan dinamika dipengungsian, ketangguhan dan kekuatan sangat dibutuhkan oleh perempuan Karo untuk dapat bangkit kembali setelah mengalami banyak kesedihan dan kehilangan akbiat erupsi Gunung Sinabung. Perempuan Karo harus tetap tangguh untuk dapat survive untuk melanjutkan hidupnya dengan lebih baik. Oleh karena itu, kaum Perempuan Karo harus Universitas Sumatera Utara memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari titik nol yang disebut resiliensi. Resiliensi dapat menolong perempuan Karo untuk menjalani kehidupan dipengungsian dan tetap menjalani dikotomi peran gendernya. Pada dasarnya, kaum Perempuan Karo telah dibentuk oleh tuntutan adat untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah dengan keadaan apapun. Menjalani keseharian dengan peran gendernya yang memiliki banyak tuntutan, membentuk ketangguhan perempuan Karo dan ketangguhan ini dapat menjadi modal awal pembentuk resiliensi mereka dalam menghadapi situasi yang lebih sulit seperti tinggal dipengungsian dan memulai kehidupan yang baru pasca erupsi Gunung Sinabung. Untuk menguatkan ketangguhan dirinya, Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya. Dibesarkan dengan falsafah kehidupan Daliken Sitelu yang intinya semua orang Karo adalah saudara dan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai kekerabatan, dukungan sosial yang diterima perempuan Karo dipengungsian dapat menjadi hal penting yang menolong mereka untuk lebih kuat dan mampu bangkit kembali sehingga dapat menghadapi tekanan besar seperti kerugian secara moril dan material pasca erupsi Gunung Sinabung. Dengan dukungan dari lingkungan dan kerabat, perempuan Karo dapat melewati masa kritisnya dan dapat berbagi cerita akan tekanan yang dirasakannya dan tidak merasa bahwa dirinyalah yang paling menderita akibat erupsi Gunung Sinabung. Mereka juga dapat belajar dari sesama penyintas tentang bagaimana menghadapi kesulitan-kesulitan selama dipengungsian dan bertukar informasi mengenai hal-hal yang penting. Universitas Sumatera Utara Untuk bertahan di pengungsian ketika menghadapi kondisi-kondisi yang menekan seperti bencana, diperlukan 3 aspek yang disebut sebagai protective factor. Istilah protective factor merupakan faktor-faktor yang membantu dan mendukung untuk bangkit dan pulih dari kesulitan yang dihadapi. Tiga aspek yang termasuk dalam dalam protective factors Everall, 2006 yaitu : individu, keluarga dan faktor eksternal atau komunitas. Faktor komunitas di pengungsian seperti kebersamaan,bantuan, kegiatan sharing, menghabiskan waktu bersama dan kegiatan keagamaan menunjukkan adanya dukungan sosial yang terjadi antar sesama perempuan pengungsi dan hal ini berkaitan dengan resiliensi. Penelitian terdahulu telah mendukung hubungan resiliensi dengan social support. Akan tetapi, tidak semua dukungan sosial akan berfungsi positif pada stressful event. Berkman Sarafino, 2006 menyatakan dukungan sosial tidak selalu mengurangi stress dan bermanfaat bagi kesehatan jika kita tidak menganggapnya sebagai dukungan. Hal ini bisa terjadi karena pertolongan tidak cukup atau kita tidak menginginkan bantuan atau karena dukungan yang kita butuhkan tidak cocok dengan tekanan yang kita terima. Selanjutnya, jika dikaitkan dengan Perempuan Karo, prinsip kekeluargaan dan adat mendorong mereka untuk memberikan dukungan sosial untuk sesamanya agar menjadi lebih resilien dalam menghadapi stressful event pasca erupsi Gunung Sinabung. Dalam teori Gortberg, 2004 salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah budaya. Sehingga, penelitian hubungan resiliensi dengan social support ini penting untuk bisa diteliti di daerah Karo. Terlebih lagi didukung dengan prinsip hidup orang Karo “Sangkep Ngeluh” atau kelengkapan Universitas Sumatera Utara hidup yang intinya adalah “Daliken Sitelu”. Daliken Sitelu berfungsi sebagai landasan sistem kekerabatan dan semua kegiatan yang bertalian dengan adat istiadat.

G. Hipotesis Penelitian