dalam suku karo bukanlah kaum yang diutamakan. Hal ini dikarenakan, apabila seorang perempuan menikah ia akan diambil oleh keluarga laki-laki tersebut dan
meneruskan marga suaminya. Anak perempuan dalam suku Karo, tetap dimasukkan ke dalam marga ayahnya dengan sebutan beru. Dengan demikian
dapat dikatakan posisi perempuan dalam kekerabatan Batak adalah ambigu atau tidak jelas. Baiduri, 2015.
2. Peran Perempuan dalam Suku Karo
Perempuan secara tradisional kedudukannya adalah sebagai pelengkap yang dalam istilah Karo disebut Sirukatnakan penyendok nasi. Hal ini berarti
perempuan harus membantu suami, dalam hal seperti mencari nafkah dan mengurus rumah tangga, tetapi perempuan tidak memiliki hak waris dan hak
berbicara dalam adat. Urusan rumah tangga seperti memasak, menganyam tikar sampai mencari kayu bakar dan membantu suami mencari nafkahlah yang
menjadi bagian dari tanggung jawab perempuan Karo. Dalam kehidupan masyarakat Karo, peran ganda perempuan terlihat jelas
dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan diharapkan dapat berperan membantu keluarga dan suaminya dalam pencarian nafkah, sementara untuk
urusan rumah tangga termasuk dapur merupakan wilayah yang dianggap tabu untuk dimasuki oleh laki-laki Brahmana, 2015.
Lila Pelita Hati 2007 dalam thesisnya mengungkapkan bahwa secara tradisional, kedudukan perempuan Karo dalam adat istiadat umumnya adalah
sebagai pelengkap. Dalam proses kehidupan, perempuan belum diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dalam rapat adat. Namun untuk kegiatan
Universitas Sumatera Utara
reproduksi : mengelola usaha keluarga, seperti berladang dan berjualan ke pasar peran perempuan sangat besar. Keadaan ini sudah berlangsung sejak dulu sampai
sekarang sebagai realita hidup yang diterima kaum perempuan Karo untuk menambah pendapatan keluarga dan menjadikan mereka pekerja yang ulet
dirumah tangga dan dalam mencari nafkah. Dengan tugas yang dimiliki perempuan ini, mengakibatkan mereka tidak
mempunyai kesempatan untuk mengatur dan mengurus dirinya, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk bersaing dengan kaum laki-laki akan sangat
sulit sekali. Hal ini berpengaruh pula terhadap perilaku perempuan itu sendiri yang menimbulkan kesulitan mereka menemukan jati dirinya dalam
bermasyarakat. Kesulitan menemukan jati diri ini disebabkan karena mereka tidak diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk menentukan apa yang menjadi
kehendak ataupun keinginan mereka, rasa takut dan ketidakpastian sering kali menyelimuti hati mereka.
Suku Karo terlahir sebagai masyarakat agraris, sejak dahulu masyarakat Karo sudah handal dalam mengolah lahan pertanian atau perkebunan. Orang Karo
biasanya meninggalkan keluarganya dan pulang sekali dalam setahun untuk menemui keluarganya. Ini menunjukkan sebuah tekad yang tidak tanggung, hanya
untuk mencari penghidupan ekonomi yang lebih layak. Demikian juga Perempuan Karo yang berperan sebagai istri, akan membantu suaminya menopan ekonomi
keluarga. Orang Karo dengan pengaruh Hindu yang kuat, mempunyai legenda-
legenda yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, seperti cerita
Universitas Sumatera Utara
Beru Ginting Pase, Beru Rengga Kuning dan Telu Turi-Turin si Adi. Melalui cerita-cerita ini, Barus dan Singarimbun 1988 menyimpulkan perempuan karo
memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Mempunyai kepribadian yang tangguh
2. Menjadi juru selamat keluarga 3. Tokoh mandiri yang sanggup mengambil keputusan yang menentukan.
4. Pintar dan bijaksana 5. Aktif dalam percintaan
6. Sangat aktif dalam kehidupan ekonomi 7. Tidak pasrah menunggu
8. Pengorbanan yang tinggi terhadap saudara 9. Bukan tampil sebagai makhluk yang lembut, halus dan pemaaf.
Gambaran perempuan karo yang menjadi kenyataan memang sangat aktif dalam kehidupan ekonomi. Tetapi dalam banyak hal, jauh berbeda dengan cerita
rakyat tersebut, seperti yang dikemukakan Ny. Wallia Keliat 1985 “Di daerah perdesaan Karo, perempuan selain bertugas sebagai
istri dan ibu, juga tulang punggung dalam produksi hasil pertanian. Sikap tradisional turun temurun sebagai pengaruh di
adat dan kebudayaan Karo terhadap wanita, mempunyai pengaruh yang besar pada wanita itu sendiri yang cenderung untuk
menerima posisi mereka yang lebih rendah, kurang percaya diri, bergantung pada kaum pria dalam mengambil keputusan, dan
tidak berani mengeluarkan pendapat sendiri. Hal ini diterima oleh wanita itu dengan sangat biasa sekali, bukan sebagai sesuatu yang
sangat merugikan ataupun sesuatu yang perlu dirubah.” Reh Malem Sitepu 1986 mengemukakan, bahwa perempuan Karo secara
tradisional mempunyai peranan yang sangat penting dan peranan yang tidak
Universitas Sumatera Utara
penting. Dalam banyak hal, kaum perempuan adalah penentu kebijaksanaan seperti dalam hal kebersihan rumah tangga, pendidikan, sosialisasi anak, penentu
dalam usaha pertanian, dan lain-lain. Peranan perempuan dalam adat hanyalah pelengkap, tidak bisa lepas atau berdiri sendiri, sebab wanita tunduk pada
peraturan adat rakut sitelu. Dari pemaparan tersebut, dipahami bahwa terdapat sebuah kondisi yang
paradoksal terhadap peran perempuan Karo di bidang adat dengan peran ekonomi keluarga, akan tetapi dalam peran adat, perannya hanya sebagai pelengkap saja.
Dalam adat Karo, perempuan tidak dapat berperan sebagai pengambil keputusan ataupun sebagai juru bicara.
Mengenai penampilan perempuan Karo di desa, Bangun 1986 mengemukakan sebagai berikut :
1. Gadis-gadis masih menunjukkan ciri seperti leluhur mereka. 2. Aktif membantu ibunya bekerja keras di rumah dan di ladang.
3. Tubuhnya kekar 4. Betis atau kaki agak besar.
5. Leher pendek dan raut muka tegang. Penampilan ini berbeda dengan gadis-gadis Karo di kota yang umumnya
tinggi semampai dan ramping, karena tidak mengerjakan pekerjaan kasar atau berat seperti di desa Bangun 1986. Dari bentuk fisik yang diutarakan tersebut,
merupakan bentuk peran perempuan Karo yang memiliki etos kerja tinggi, sehingga membentuk fisiknya yang berotot, sehingga tidak sama dengan
Universitas Sumatera Utara
perempuan Karo yang tinggal di Kota yang umumnya bekerja pada sektor non pertanian yang tidak memerlukan tenaga untuk bekerja.
D. Bencana