optimis akan lebih sehat dan lebih sedikit depresi. Optimisme tentunya berarti bahwa kita melihat masa depan secara relatif cerah. Implikasi dari optimisme
adalah kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi di masa depan Reivich dan Shatte, 2002.
d. Causal Analysis Merupakan kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasi penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat
akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama Reivich dan Shatte, 2002. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognitif.
Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berfikir explonatory. Mereka tidak
mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat sehingga
membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka fokus pada diri mereka dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah. Mereka mengarahkan hidup
mereka dengan baik dan perlahan bangkit untuk meraih kesuksesan Reivich dan Shatte, 2002.
e. Empati Empathy
Empati dapat di definisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain Greef, 2005. Empati sangat erat
kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain Reivich dan Shatte, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakmampuan berempati
berpotensi menimbulkan
kesulitan dalam
berhubungan sosial Reivich dan Shatte, 2002. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang resilien,
yaitu cenderung menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain Reivich
dan Shatte, 2002. f. Efikasi Diri Self-Efficacy
Efikasi Diri merupakan hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi Diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu
memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan Reivich dan
Shatte, 2002. g. Pencapaian Reaching Out
Resiliensi telah dijelaskan lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari
keterpurukan, namun lebih dari itu, faktor yang juga ikut berpengaruh terhadap resiliensi adalah kemampuan individu untuk meraih aspek positif atau mengambil
hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa atau yang lazim
disebut sebagai pencapaian reaching out. Banyak individu yang tidak mampu
melakukan reaching out karena mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi memalukan. Individu seperti ini
biasanya lebih memilih kehidupan standart dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup. Pencapaian
penggambaran kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya mencakup pula keberanian seseorang untuk
Universitas Sumatera Utara
menghadapi dan mengatasi segala ketakutan yang mengancam dalam hidupnya
Reivich dan Shatte, 2002. 3. Faktor-faktor Pengaruh Resiliensi
Beberapa faktor yang mempengaruhi Resiliensi Grotberg, 2004, yaitu : a. Tempramen
Menurut Grotberg, tempramen mempunyai pengaruh terhadap cara individu bereaksi terhadap stimulus atau rangsangan. Tempramen dasar seseorang
akan berpengaruh terhadap kepribadian individu yang akan membentuk dirinya menjadi orang yang lebih berhati-hati atau menjadi orang yang mudah mengambil
resiko. Masyarakat Karo merupakan kelompok masyarakat yang tangguh. Orang Karo dikenal dengan tempramen mereka yang tidak mudah menyerah dalam
keadaan apapun serta berani mengambil resiko Bangun, 1986. b. Intelegensi
Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa, rata-rata inteligensi penting untuk menjadikan seseorang pribadi yang resilien. Grotberg 1999
menemukan bahwa, kemampuan resilien bukan hanya dipengaruhi oleh satu faktor faktor tunggal, melainkan ada beberapa faktor pendukung lain yang harus
terpenuhi. c. Budaya
Perbedaan budaya menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat resiliensi seseorang. Perempuan Karo pada umumnya dibesarkan dengan
budaya yang mengajarkan mereka untuk menjadi sosok yang tangguh. Perempuan Karo sejak kecil sudah terbiasa dengan pekerjaan yang berat seperti membantu
Universitas Sumatera Utara
orang tua mengurus rumah tangga dan mencari nafkah tetapi tidak dijadikan sebagai kaum yang dominan di dalam adat, bahkan cenderung tidak
diperhitungkan keberadaannya. Berbeda dengan laki-laki dalam masyarakat Karo yang menjadi sosok dominan dan pemimpin dalam kegiatan-kegiatan adat dan
dalam keseharian. Dibesarkan dengan tuntutan adat sebagai pelengkap, menjadikan perempuan Karo berbeda dengan perempuan dari suku lainnya seperti
suku minang misalnya. Perempuan Karo menjadi pribadi yang lebih tangguh dan tidak mudah menyerah, giat dalam mencari nafkah. Perempuan Minangkabau
merupakan kaum yang diutamakan sejalan dengan sistem materilinear pada masyarakat Minang. Jika perempuan Karo disebut Sirukatnaken penyendok nasi
perempuan suku minang disebut Bundo Kanduang yang berarti perempuan yang melindungi rumah dan tempat kembali.
d. Usia Usia mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang. Individu dengan
usia dewasa muda 20-40 tahun keatas dan individu dengan usia dewasa madya 40 tahun keatas-60 tahun merupakan golongan individu yang mempunyai
pengalaman hidup berbeda dan lebih kaya daripada kelompok usia anak dan dewasa. Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, kemampuan individu akan
semakin bertambah untuk menjadi seseorang yang resilien. e. Gender
Perbedaan gender, mempengaruhi perkembangan resiliensi. Perempuan pada dasarnya lebih memiliki sifat saling berbagi perasaan dan lebih sensitif
terhadap orang lain. Sementara itu, laki-laki lebih pragmatik, berfokus pada
Universitas Sumatera Utara
masalah dan hasil dari tindakan yang telah dilakukan.
Menurut Einsenberg dkk 2003, laki-laki mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi untuk
mengubah keadaan dan fleksibel dalam memecahkan masalah, sedangkan perempuan memiliki fleksibilitas adaptif yang kecil, tidak mampu untuk bereaksi terhadap
perubahan keadaan, cenderung keras hati atau menjadi kacau ketika menghadapi perubahan atau te-kanan, serta mengalami kesukaran untuk menyesuaikan kembali
setelah meng-alami pengalaman traumatik.
4. Faktor-faktor Protektif Resiliensi