ART mengatakan bahwa dirinya memang pernah diminta untuk datang ke Yayasan Pusaka Indonesia untuk menunjukkan perkembangan diri serta
menceritakan apa saja yang menjadi kendalanya setelah lewati proses reintegrasi. ART juga mengatakan bahwa dirinya sangat tertarik untuk menabung atau
meminjam uang di CU atau simpan pinjam, tetap ART sangat bingung harus membuat usaha apa, sehingga akhirnya ART menolak untuk bergabung atau
menabung di CU. Dalam beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia,
divisi anak dan perempuan akan mengajak atau selalu siap jika ada mantan korban atau klien yang pernah ditangani untuk mengajak kerja sama. ART belum pernah
diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bentuknya seminar, workshop atau acara lainnya. Berikut penuturan ART :
“Sama sekali aku belum pernah diajak sama Pusaka Indonesia untuk melakukan kegiatan atau ikut dalam kegiatan yang di lakukan oleh Pusaka,
lagi pula aku sudah mau fokus sama kerjaanku. Ini pun aku udah mulai sibuk dan banyak waktu aku diluar dari pada di rumah. Semua ini demi anak, kalau
Pusaka Indonesia punya acara yang berkaitan dengan kerjaanku dan diajak untuk kerjasama, aku mau”.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh NSR yang mengatakan bahwa NSR tidak pernah diajak untuk ikut atau membuat kerjasama dalam satu kegiatan, mungkin saja
kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia, tidak sesuai dengan jenis pekerjaan ART. NSR juga mengatakan bahwa dirinya sangat ingin melihat kerja
keras anaknya tidak sia-sia. Peneliti juga melihat bahwa ART sudah bisa mandiri,
dimana ART sudah kembali bekerja secara serius dan tidak lagi mau ambil pusing terhadap masalahnya.
5.5 Informan III
Nama : HS
Universitas Sumatera Utara
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 49 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS Pegawai Negeri Sipil
Jumlah Anak : 3 orang
Pelaku KDRT : ASH Suami
Bentuk KDRT yang dialami : Kekerasan Ekonomi Penelantaran
1. Upaya Investigasi
Hampir sama dengan ART yang mengalami kekerasan ekonomi penelantaran, tetapi HS mengalami kekerasan ekonomi pelantaran yang cukup
lama yaitu selama 2 tahun. Berikut hasil analisis advokasi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dialami HS.
HS adalah ibu dari 3 orang anak, ia mengalami kekerasan ekonomi penelantaran, dimana pelakunya adalah suaminya sendiri yang berumur 50 tahun.
Mereka sudah menikah hampir 24 tahun, ibu HS yang sehari-hari bekerja sebagai PNS golongan 3C. Mereka sudah mempunyai rumah sendiri dengan penghasilan
bersama. Dimana suami dari HS bekerja sebagai kepala gudang percetakan disalah satu perusahan di Medan, beliau sudah menjabat selama 15 tahun yang sebelumnya
ASH menjabat sebagai pegawai diperusahaan percetakan tersebut. Semua barang-barang rumah tangga mereka berasal dari kerja keras bersama.
Selama 22 tahun menikah, suami HS selalu memberikan nafkah secara rutin. HS dan suami selalu sibuk sehingga membuat mereka jarang berkomunikasi dan sering ribut,
tetapi 2 tahun terakhir sebelum masuk 22 tahun usia pernikahan mereka. Suami HS
Universitas Sumatera Utara
sering tiba-tiba memarahi istrinya. Ia juga jarang pulang dan jarang memberikan nafkah kepada istri dan anak.
HS selalu mempercayai suaminya, ia tidak pernah merasa curiga dengan perilaku suaminya, HS juga menganggap kalau suaminya terlalu capek dan lelah
dengan pekerjaanya. Berikut penuturan HS tentang peristiwa yang dialaminya : “Suami ibu sebenarnya orang yang baik dan penyayang. Kenapa ibu bisa
bilang seperti itu, lihat saja usia pernikahan kami sudah 24 tahun, Kejadiannya pada pertengahan 2010, Dia hampir 2 tahun tidak pulang ke
rumah, sampai ibu yang harus menjadi kepala rumah tangga. Ibu harus berjuang sendirian, tidak ada kabar dan dia hilang begitu saja, walaupun ibu
dan anak ibu yang pertama sudah mencari dia kemana-mana, tetapi kami belum juga menemukan dia. Sebelumnya dia tidak pernah seperti ini”
Pada saat kejadian itu HS tidak mau langsung curiga, walaupun ada rasa curiga, bingung dan bahkan menangis, HS merasa kaget dan terkejut, karena
suaminya tidak memberikan kabar dan keadaanya. Dari bentuk kekerasan ekonomi penelantaran yang HS mengalami tekanan psikis dan ekonomi, dimana HS harus
menjadi kepala rumah tangga selama 2 tahun apalagi anak-anaknya masih sekolah dan ada juga yang masih kuliah. Pada saat itu juga HS bercerita kepada keluarganya
dan keluarganya menyuruh HS untuk terus mencari tahu kabar tentang suaminya. Bukan hanya kekerasan ekonomi yang HS alami tetapi juga kekerasan psikis,
dimana HS sangat tertekan dengan kondisi finansial yang harus dihadapinya. Ditambah lagi biaya sekolah anak-anaknya yang harus mengeluarkan banyak biaya.
MH yang merupakan adik kandung HS dan berumur 45 tahun, dimana kedua orangtua HS telah meninggal dan HS adalah anak pertama dari 5 bersaudara. MH
juga menuturkan bahwa kakaknya sangat berjuang untuk hidup bersama ASH, karena dulu mantan suaminya ini adalah seorang yang bekerja sebagai pegawai
swasta, mereka memulai semuanya dari bawah. Bahkan HS dan ASH harus tinggal bersama orangtua ASH selama 7 tahun lebih. Karena sudah menjadi pilihan HS,
kami tidak bisa berbuat apa-apa, tetapi bagaimana pun juga dia adalah kakak kami.
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga melihat bahwa MH masih sangat kecewa dengan mantan abang iparnya. akhirnya HS mencari tahu tentang ASH melalui tempat kerjanya dan datang
kerumah orangtua ASH, awalnya tempat kerja tersebut tidak mau berja sama dengan HS tetapi tiba-tiba saja perusahaan yang bergerak dibidang percetakan tersebut mau
bekerja sama dengan HS. Perusahaan mengatakan bahwa ASH sudah tidak bekerja lagi selama 2 bulan. Setelah itu HS langsung menghubungi teman dan orang-orang
yang dia kenal untuk mencari ASH, setelah 2 tahun mencari, akhirnya berhasil menemukan ASH disalah satu kompleks perumahan di Medan bersama perempuan
lain, keluarga dari HS sangat terkejut bahwa ASH telah menikah lagi selama 2 tahun tersebut dengan memalsukan status dokumen pernikahan dan mengaku sebagai
lajang. Berikut penuturan HS : “Ibu merasa tidak percaya, kalau suamiku selingkuh dan menikah lagi dengan
memalsukan status dokumen pernikahan dan mengaku sebagai lajang serta mereka juga sudah punya anak 1 umurnya 10 bulan. Ibu sempat drop karena
kejadian tersebut, pada saat itu sampai 1 minggu ibu terus saja nangis sampai- sampai ibu jatuh sakit dan berobat ke klinik, ternyata dokternya bilang kalau
ibu terlalu banyak berpikir dan capek, kejadian ini membuat ibu jadi stres sekali. Ibu tidak habis pikir, kenapa dia tega sekali menghianati kami.
Padahal dulu ibu berjuang sekali untuk menikah dengannya. Ibu juga heran masa perempuan itu, kenapa mau menikah sama laki-laki yang sudah tua,
sudah begitu dia percaya kalau ASH masih lajang. Dia memang tidak pernah memukul aku, bahkan saat ketahuan dia cuma diam saja, setelah kejadian itu
aku langsung ke rumah orangtuaku”.
Pada saat penulis mewawancarai HS, beliau terlihat sudah mulai tegar dan kuat, apalagi sekarang HS sudah bisa bekerja tanpa beban semua itu HS lakukan
untuk membiayai kebutuhan anak-anaknya. Sekarang HS memutuskan untuk tetap tinggal di rumah yang dimiliki oleh HS dan ASH. ASH sama sekali tidak menuntut
rumah tersebut, karena ia sadar bahwa rumah tersebut akan menjadi hak anak mereka. MH juga menjelaskan bahwa :
“Kakak saya terlalu percaya sama mantan suaminya, sampai-sampai dia jatuh sakit, saya sedih sekali waktu lihat keadaan kakak saya, kalau orangtua kami
masih hidup pasti dia marah sekali sama ASH. Mungkin ini jalan yang
Universitas Sumatera Utara
terbaik buat kakak saya, ini adalah takdir yang terbaik dari Allah untuk kakak saya”.
HS merasa sangat terbantu dengan upaya yang diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia. Yayasan Pusaka Indonesia banyak memberikan bantuan kepada
HS mulai dari proses di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. HS tahu tentang Yayasan Pusaka Indonesia dari tetangganya yang pernah menjadi klien juga. Berikut
penuturan HS : “Ibu banyak sekali dibantu sama Pusaka Indonesia, kalau tidak dibantu
mungkin ibu akan dibuat seperti bola yang diputar kesana- sini. Ibu tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, makannya waktu itu ibu agak
bingung. Untung aja ada tetangga ibu yang menyuruh atau menyarani datang ke Pusaka Indonesia. Setelah di Pusaka Indonesia, ibu disambut dengan
hangat oleh mereka. aku terus didampingi selama proses hukum”.
MH juga menambahkan bahwa dengan dibantu Yayasan Pusaka Indonesia, kakaknya merasa tidak bingung lagi. Apalagi selama proses hukum berjalan,
keluarga ASH terus saja mendatangi kakak saya untuk berdamai atau meminta maaf, tetapi HS sudah terlanjur sakit hati sama kelakuan ASH. ASH dulu datang melamar
HS dengan baik-baik tetapi sekarang dia melakukan tindakan yang MH rasa bahwa hal tersebut adalah hal menyakitkan.
Bahkan sampai hari ini HS masih trauma untuk berumah tangga kembali, padahal kejadian tersebut 1 tahun yang lalu. HS juga mengatakan:
“Apa karena orangtuaku yang sangat percaya sama dia, sehingga ibu diperlakukan seperti ini. Apa tidak ada orang yang bisa mencintaiku dengan
tulus, jangan hanya memanfaatkan kebaikan orangtuaku”.
Bahkan sekarang dipikiran HS hanya untuk membesarkan anak-anaknya dan menyekolahkan mereka setinggi-tingginya. Bagi HS yang terpenting adalah anak-
anaknya tetap fokus sama sekolah mereka. HS juga mengatakan bahwa anak-anak mereka begitu sangat kecewa sama bapaknya. Tetapi HS selalu memberitahu
anaknya agar tidak membenci bapak mereka. Penulis juga melihat HS sudah mulai bangkit secara ekonomi, apalagi HS kuat juga karena anak-anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam memberikan tempat yang layak agar HS merasa aman, tetapi selama proses hukum HS berjalan, HS selalu di telepon dan didatangi oleh keluarga dari
mantan suaminya, mereka selalu meminta berdamai atau meminta maaf dengan HS. Berikut penuturan HS :
2. Layanan Penempatan KorbanPenjemputan Korban
“Keluarganya ASH selalu menelpon dan minta ketemuan dengan ibu. Sampai akhirnya ibu mau ketemuan dan mengobrol sama mereka, karena bagaimana
pun juga mereka masih keluarga ibu, ibu sangat dekat dengan keluarganya. Merekapun sangat tidak menyangka atas hal ini, tetapi mereka bilang semua
terserah pada ibu maunya bagaimana. Padahal pada saat itu ASH harus mengadapi masalah hukum, aku juga gak berharap untuk balikan sama dia.
Biarkan saja dia menderita dengan perbuatan yang dia lakukan sendiri”.
HS merasa sudah sangat sakit hati dengan mantan suaminya. Selama proses hukum berjalan, HS tinggal di rumahnya bersama dengan anak-anaknya. HS merasa
tidak perlu ditempatkan di rumah aman sementara shelter, karena HS merasa tidak terancam dan terintimidasi. Walaupun ibu dan keluarga dari ASH selalu meminta
bertemu, ataupun meminta maaf kepada HS, tetapi keluargan ASH sama sekali tidak mengancam HS, bahkan mereka menyerahkan semua keputusan kepada HS. maka
dari itu HS merasa tidak terancam. HS memilih tinggal bersama anak-anaknya, karena HS merasa lebih aman
jika tinggal dirumah yang sudah ditempatinya cukup lama bersama dengan anak- anaknya. Bersama dengan adiknya, HS jauh lebih leluasa untuk bercerita dan
mengobrol selama HS pernah menikah dengan mantan suaminya. Apalagi selama ini mereka begitu sangat dekat hanya MH yang paling tahu bagaimana kondisi dan
kehidupan kakaknya selama bersama dengan ASH. Anak-anak HS pun tidak keberatan jika tinggal dirumah tanpa seorang bapak. HS yang tinggal bersama ke-3
anaknya yaitu IH berusia 23 tahun, YH yang berusia 21 tahun dan RAH yang berusia 19 tahun. Anak-anak HS juga mengerti, kalau ibu mereka sedang bekerja. Berikut
penuturan MH :
Universitas Sumatera Utara
“Kakakku jauh lebih aman jika tinggal bersama anak-anaknya, apalagi kami selalu menelpon dan memperhatikan mereka. Jika mereka merasa tidak aman
tinggal di rumahnya, maka kami siap untuk membantu mereka, bisa saja tinggal dirumah saya ataupun tinggal dirumah kerabat kami yang lain”.
Sebagai seorang adik, MH begitu sangat ingin kakaknya berada ditempat
yang aman karena menurut beliau, jika MH berada didekatnya maka HS dengan mudah mengetahui kondisi kakaknya. MH juga tidak ingin HS terlalu banyak
berpikir dan terus mengingat kejadian tersebut yang bisa menyebabkan HS menjadi setres.
Buk Elisabeth selaku staf di divisi anak dan perempuan yang mendampingi HS juga menyarankan agar HS lebih baik tinggal di rumah orang yang paling dekat
dengannya atau dengan keluarganya karena hanya kelaurganya yang bisa mengerti perasaan HS. Berikut penuturan HS :
“Pada saat itu Buk Eli mengatakan bahwa kondisi ibu tidak begitu buruk, aku juga lebih memilih tinggal dirumahku sendiri bersama anakku karena
menurutku lebih merasa nyaman tinggal dirumah sendiri bersama anakku, apalagi ada anak laki- laki yang udah besar”.
Dari keluarganya pula HS bisa secara perlahan menghilangkan rasa traumanya. Buk Elisabeth juga mengatakan bahwa HS juga harus kembali ke
masyarakat, jika HS ditempatkan di Shelter mungkin saja bisa, tetapi alangkah lebih baiknya jika HS tinggal di rumahnya sendiri yang menurut korban adalah tempat
yang aman. Pada saat itu juga HS terlihat tidak perlu ditempatkan di Shelter.
3. Layanan Pemeriksaan Kondisi Kesehatan
Setiap korban yang mengalami kekerasan pasti akan meninggalkan luka, bisa dari fisik, psikis, ekonomi dan hal lainnya yang membuat korban tidak berdaya,
tetapi disini kondisi kesehatan yang dimaksud adalah pemeriksaan di Rumah Sakit yaitu dengan visum. Kekerasan yang dialami oleh HS adalah kekerasan ekonomi
penelantaran, dimana HS begitu sangat tertekan.
Universitas Sumatera Utara
Pada saat HS dibawa ke kantor polisi untuk dilakukan pemeriksaan, maka pada saat itu pihak penyidik dari kepolisian menyarankan HS untuk divisum, karena
dilihat dari bentuk laporan yang dia ajukan di kantor polisi bersama dengan bapak Mitra selaku koordinator divisi anak dan perempuan. Berikut penuturan HS :
“Pada saat itu adalah keempat kalinya ibu mendatangi kantor polisi bersama bapak Mitra, pada saat itu pihak penyidik meminta ibu untuk dilakukan
visum di rumah sakit yang sudah ditunjuk oleh pihak kepolisian, ibu langsung dibawa ke rumah sakit Pirngadi untuk divisum dan bapak Mitra juga
mengatakan, tidak apa-apa kalau divisum, biar polisi bisa tahu kondisi kesehatan ibu”.
Pada saat divisum psikis, HS merasa sangat gugup dan bingung, karena HS
berpikir akan dilakukan pemeriksaan yang terlalu beresiko atau mengerikan. Rasa takut itu juga di benarkan oleh MH, yang juga mengatakan kalau kakaknya tidak
pernah mengalami hal seperti ini, HS merasa sangat gugup menjalaninya karena ini adalah hal pertama yang HS alami.
Dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia juga mengatakan kalau untuk visum psikis yang paling berhak untuk melakukan visum adalah rujukan dari penyidik
polisi, karena mereka menganggap hal tersebut perlu, maka akan divisum, jika mereka menganggap tidak perlu maka tidak akan divisum. Selama divisum yang
melakukan adalah pihak kepolisian sesuai dengan rumah sakit yang ditunjuk. Selama divisum, HS terus saja didampingi oleh bapak Mitra, agar HS tidak
merasa takut atau merasa terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan, karena ini adalah pengalaman pertama baginya. Berikut penuturan HS :
“Bapak Mitra terus mendampingi ibu selama ibu melakukan visum. Bahkan saat dibawa ke rumah sakit Pirngadi, Pak Mitra juga terus mendampingi,
tetapi Pak Mitra hanya bisa menunggu diluar ruangan, karena selama visum, hanya ibu dan dokter saja yang didalam ruangan”.
Bahkan HS mengatakan bahwa dirinya terus didampingi oleh bapak Mitra,
apalagi pada saat kebingungan, stres, bapak Mitra dengan candaannya membuat HS
Universitas Sumatera Utara
mulai sedikit tenang. Walaupun tidak menghilangkan sepenuhnya rasa takut HS, tetapi rasa takut itu sedikit berkurang agar HS lebih santai. Bapak Mitra juga
mengatakan kalau dirinya sudah biasa melihat klien yang seperti itu, maka dari itu Yayasan Pusaka Indonesia harus bisa membuatnya sedikit menghilangkan rasa
takutnya dengan candaan yang biasa dilakukan bapak Mitra. Penulis juga melihat pada saat itu HS sudah mulai mengeluarkan candaan
yang membuatnya terus tertawa. Pada saat diwawancarai tentang pengalamannya selama visum, HS sudah bisa lepas untuk bercerita, tidak terlihat wajah takutnya
pada saat divisum. Hingga saat ini visum adalah pengalaman yang sangat berharga bagi HS, apalagi pada saat itu ditemukan bekas luka pada mental dan pikirannya. HS
begitu sangat bersemangat saat menceritakan pengalamannya dalam proses visum. MH selaku adik HS, juga menuturkan bahwa kakaknya merasa lebih nyaman
jika terus didampingi, karena dengan terus didampingi, maka HS akan lebih mengerti apa saja hal yang harus ia lakukan. Sebagai adik, MH sangat mendukung jika
kakaknya terus semangat untuk mendapatkan keadilan dari permasalahan yang HS sedang alami.
Dokter membenarkan kalau ada luka pada psikis ataupun kejiawaan yang jika tidak diobat atau ditangani, maka akan menyebabkan depresi yang akan berakibat
menjadi gila, luka tersebut tidak perlu membuat HS di rawat inap ataupun dirawat jalan. Berikut penuturan HS :
“Pada saat itu ibu tidak perlu mengantri lagi karena sudah ada ruangan khusus untuk ibu melakukan visum psikis dan juga hanya sedikit pada saat itu
yang akan melakukan visum dari kepolisian. Pada saat itu dokter memeriksa psikis ibu, ibu harus menjalani 3 kali tahap visum untuk psikis dan mentalku,
karena bagaimanapun juga kalau kita mau membuktikan rasa trauma seseorang harus dilakukan beberapa kali melakukan pemeriksaan agar bisa di
diagnosa serta dicari cara terbaik untuk mencari solusi dari permasalahan ini. Dokter juga bertanya pada ibu, apakah ibu pernah mengalami atau punya
penyakit tertentu bukan hanya itu ibu juga disuruh menulis diselembar kertas tentang masalah yang ku hadapi”.
Universitas Sumatera Utara
HS juga mengatakan pada saat itu bahwa dirinya sudah merasa puas dengan
hasil visum yang telah dikeluarkan pihak Rumah Sakit, walaupun hasil visumnya tidak langsung keluar pada saat itu juga.
4. Layanan KonselingPemberian Bimbingan Psikologis
Dalam rangka penguatan psikologis korban, perlu adanya tenaga ahli yang bisa mengetahui secara mendalam bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh
korban. HS mengatakan bahwa dirinya pernah diajukan untuk dilakukan tes psikologi oleh pihak Yayasan Pusaka Indonesia terutama divisi anak dan perempuan,
agar HS lebih bisa mengurangi rasa traumanya terhadap kejadian tersebut serta untuk tidak lanjut dari visum psikis yang dilakukan oleh kepolisian. Berikut penuturan HS:
“Ibu memang pernah ditawari oleh bapak Mitra dan ibu Eli untuk melakukan tes psikolgi yang sudah mereka sediakan, katanya mereka kerjasama dengan
fakultas psikologi dari USU, mahasiswa dari sana yang melakukannya. Tapi ibu sudah dapat tes psikis yang dilakukan untuk kepentingan hukum atau
barang bukti”. HS mengaku pernah diminta tes psikologi dan HS mau untuk melakukan tes
psikologi yang dilakukan oleh divisi anak dan perempuan dengan bekerjasama dengan mahasiswa psikologi USU. Dalam tes psikologi tersebut HS selalu
melakukannya sebanyak 2 kali dalam waktu 1 bulan. Berikut penuturan HS : “Selama melakukan konselingpemberian bimbingan psikologis, ibu hanya 2
kali mendapatkan bimbingan psikologis dari divisi anak dan perempuan, hampir sama seperti visum psikis sewaktu dikantor polisi. 2 kali itu pun
dalam jangka waktu 1 bulan, karena pada saat itu juga aku harus fokus sama proses hukum ini dan ibu juga harus memikirkan pekerjaan”.
MH juga membenarkan bahwa kakaknya begitu sibuk dan banyak sekali hal
yang harus HS kerjakan dari bekerja, mengurus anak dan fokus sama masalah hukum. MH juga mengatakan bahwa kakaknya sebenarnya cukup terbantu dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya konselingbimbingan psikologis yang diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia karena dengan hal tersebut, maka HS akan lebih kuat lagi dalam
menghadapi masalah ini. Berikut penuturan MH : “Kakak saya mendapatkan bimbingan psikologis itu sebanyak 2 kali, secara
rutin dan berkala, dan dia begitu sangat mendapatkan manfaat dan mampu menghilangkan rasa traumanya serta dengan adanya ini akan lebih mudah
baginya untuk menjelaskan kepada anaknya tentang permasalahannya dengan mantan suaminya. Bagaimanapun juga anaknya itu harus sudah dijelaskan
dan mengerti apa yang terjadi, agar mereka tidak terus bertanya tentang bapaknya yang tidak jelas, entah dimana dia itu”.
Bahkan Penulis juga melihat bahwa MH begitu sangat ingin kakaknya tidak
mengingat mantan suaminya lagi, dari apa yang penulis lihat bahwa MH mengharapkan dari konselingbimbingan psikologis memberikan jalan keluar bagi
HS untuk menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran yang terbaik baginya. HS merasa setelah mengikuti konselingbimbingan psikologis dan visum
psikis bahwa masalahnya sedikit terbantu, karena HS mendapatkan motivasi dan dorongan untuk sedikit mengurangi rasa traumanya, walaupun tidak seutuhnya rasa
trauma yang HS alami akan hilang, tetapi HS juga menyadari bukan orang lain yang membuatnya kuat tetapi semua berasal dari dirinya sendiri. HS juga mengatakan :
“Sebenarnya ibu cukup terbantu dengan konselingbimbingan psikologis yang diberikan Yayasan Pusaka Indonesia, walaupun tidak sepernuhnya rasa
trauma, tidak percaya diri, ketergantungan ekonomi sama dia tidak mudah lepas dari hidup ibu. Mungkin karena kami tidak setiap hari mengobrolnya,
makannya hasilnya kurang maksimal, walaupun sebenarnya ibu pernah mndapatkan konseling dari visum psikis, tetapi ibu sangat banyak
berterimahkasih sama Pusaka Indonesia”. Konselingbimbingan psikologis yang diberikan Yayasan Pusaka Indonesia,
terutama divisi anak dan perempuan dengan tujuan mengajak kliennya untuk bimbingan psikologis agar lebih kuat dan tegar menghadapi masalahnya. HS juga
mengatakan : “Ibu sudah banyak mendapatkan manfaat dari konselingbimbingan
psikologis tersebut, karena tanpa konseling, ibu tidak akan bisa seperti ini,
Universitas Sumatera Utara
walaupun bukan hanya konseling, tetapi nasehat keluarga dan motivasi yang diberikan ibu Eli sama ibu. Setelah konseling ibu jadi lebih percaya diri untuk
menjalani hidup walaupun trauma itu tidak akan pernah hilang dari hidup ibu”.
Sebagai seorang adik, MH mengaharapkan HS mendapatkan banyak manfaat
dari konselingbimbingan psikologis tersebut, agar HS bisa menjalankan hidupnya dan membesarkan anak-anaknya tanpa beban dan rasa tidak percaya diri. MH juga
mengaharapkan agar HS mengambil manfaat dan hidayah dari apa yang HS alami. Berikut penuturan MH :
“Sebagai seorang adik berumur 45 tahun. saya paling memikirkan kakak saya karena dia satu-satunya kakak saya yang mengalami hal seperti ini, padahal
mereka sudah 24 tahun menikah. Saya berharap agar dia banyak berdoa dari masalah yang dihadapinya dan mengambil banyak manfaat yang baik. HS
mengatakan bahwa dirinya cukup mendapatkan manfaat dari konselingbimbingan psikologis tersebut”.
HS juga menjelaskan dari konselingbimbingan psikologis tersebut, banyak
manfaat yang didapatkannya, mulai dari penguatan secara mental, rasa percaya diri, mengurangi trauma, dan hal-hal lainnya. HS juga mengatakan bahwa dirinya begitu
sangat senang mendapatkan bimbingan psikologis dan juga mendapatkan penguatan spritual dari konseling tersebut.
Dari konselingpemberian bimbingan psikologis tersebut, HS berharap agar dirinya lebih dekat dengan Allah SWT, memberikan banyak motivasi dari
pengalamannya dan konseling memberikan banyak manfaat yang maksimal dan mampu untuk menatap hidup dan menyusun hidup yang lebih baik. Berikut
penuturan HS : “Ibu berharap, agar konsultasi tersebut memberikan banyak motivasi buat
dirinya ibu dan orang lain agar lebih selektif dalam memilih pasangan hidup. Semua masalah ini sudah banyak makan waktu, pikiran dan terutama hati ibu.
ibu berharap dari konseling tersebut, ibu bisa menjadi ibu yang kuat, kuat untuk menjadi single parent dan tidak lagi tergantung sama laki-laki, ibu juga
tidak mau ingat-ingat masalah ini lagi agar ibu bisa untuk menatap masa depan yang lebih baik”.
Universitas Sumatera Utara
Penulis melihat bahwa HS sudah mulai menjadi seorang ibu yang kuat dan HS tidak mau lagi hidup dan mengingat dari masalah yang sudah-sudah dan HS
berusaha mengambil hikmah dari masalah tersebut agar bisa belajar menjadi orang yang lebih baik lagi. HS sudah bisa tertawa dan gembira lagi, walaupun masalah
tersebut sudah satu tahun HS alami.
5. Layanan Pendampingan dalam Proses Hukum Litigasi
Ketika pertama sekali akan didampingi ke proses hukum, maka HS pada saat datang ke Yayasan Pusaka Indonesia dan HS setuju untuk didampingi oleh Pusaka,
maka bapak Mitra langsung membuatkan surat kuasa bahwasanya HS akan menjadi klien dari bapak Mitra dan ibu Elisabeth. Setelah konsultasi dan membuat surat kuasa
untuk kliennya, maka bapak Mitra dan ibu Elisabeth langsung menentukan langkah hukum seperti membuat laporan ke kantor polisi. Berikut penuturan HS :
“Saat ibu datang ke Pusaka Indonesia, ibu langsung konsultasi dengan ibu eli dan bapak Mitra, setelah kami mengobrol tentang permasalahan ibu. Mereka
langsung membuatkan ibu surat kuasa dan resiko yang harus ibu hadapi serta maunya ibu terhadap kasus ini. Langsung hari itu juga surat kuasanya dibuat
dan keesokan harinya langsung dilaporkan ke kantor polisi. Ibu pergi bersama bapak Mitra untuk melaporkan kasus tersebut”.
Dari proses tersebut maka HS langsung diproses di kantor polisi unit satuan
Remaja Anak dan Wanita RENAKTA yang merupakan sub divisi dari unit PPA Pelayanan Perempuan dan Anak. Dari sanalah HS mulai menceritakan kasus yang
dialaminya, dari laporan tersebut polisi langsung memprosesnya dan memasukkan kasus tersebut sebagai kekerasan dalam rumah tangga, walaupun mantan suami HS
tidak langsung di penjara pada saat itu juga. Selama proses hukum di kepolisian atau selama proses penyidikan, HS terus
didampingi oleh bapak Mitra agar HS merasa lebih nyaman dan tidak bingung serta
Universitas Sumatera Utara
pendampingan tersebut juga menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Berikut penuturan HS :
“Dikepolisian ibu terus di dampingi oleh bapak Mitra, kalau tidak didampingi mungkin ibu akan dioper-oper seperti bola. Untung saja bapak Mitra terus
mendampingi, jadinya ibu tidak kebingungan, tidak perlu repot-repot karena ada yang lebih paham, lagi pula bapak Mitra sudah biasa menangani hal-hal
seperti ini”. MH juga mengatakan bahwa dengan didampingi oleh Yayasan Pusaka
Indonesia, HS merasa lebih paham bagaimana prosesnya dan tindakan apa yang harus dilakukan HS. Yayasan Pusaka Indonesia begitu sangat membantu karena hal
ini belum pernah mengahadapi oleh HS. MH juga mengatakan : “Jika tidak didampingi oleh Pusaka Indonesia, mungkin saja kasus kakak
saya ini akan mengambang dan mungkin kami akan dioper-oper seperti bola, tidak jelas arahnya mau kemana”.
Bukan hanya proses hukum di kepolisian, tetapi juga di kejaksaan HS terus
didampingi, bahkan setelah 1 minggu membuat laporan di kepolisian, suami HS langsung ditahan. BAP Berita Acara Pemeriksaan HS langsung dikirim
kekejaksaan setelah 3 bulan dilaporkan. Berikut penuturan HS : “Awalnya ibu agak bingung dan takut, didalam hati ibu selalu bertanya-tanya
kenapa ASH belum juga di penjara. ibu terus berkomunikasi dengan Pak Mitra dan membicarakan hal tersebut, tetapi untung setelah 1 minggu, mantan
suamiku masuk penjara. Walaupun BAP ibu dikirim hampir 3 bulan setelah kasus ini dilapor. Tadinya ibu pikir kenapa tidak adil hukum ini, tetapi setelah
dikirim BAP kekejaksaan, ada rasa lega dan tenang”.
HS begitu sangat tenang melihat suaminya dimasukkan kedalam penjara, berikut juga penuturan MH yang mengatakan bahwa selama ini ada kekhawatiran
dari keluarga HS tentang status ASH. Padahal kalau menurut laporan ASH adalah pelakunya dan harus ditangkap, agar tidak menghilangkan barang bukti. Polisi
menangkapnya setelah bapak Mitra berulang kali meminta kejelasan status hukum ASH.
Universitas Sumatera Utara
Penulis juga dapat melihat dari permasalahan dan cerita dari HS bahwa pihak kepolisian cukup lambat dalam memproses kasus ini. Penulis juga melihat bahwa HS
berharap banyak kepada kepolisian untuk memberi rasa keadilan terhadap HS dan keluarganya.
Bukan hanya di kepolisian, kejaksaan tetapi juga di pengadilan, HS terus didampingi oleh divisi anak dan perempuan. HS begitu sangat terbantu dan tertolong
karena didampingi sampai kasusnya lepas perkara di pengadilan, walaupun proses ini begitu sangat menyita waktu, pikiran dan hati tetapi HS terus bersemangat untuk
menutut keadilannya. Berikut penuturan HS : “Ibu begitu sangat terbantu dengan didampingi oleh Pusaka Indonesia,
apalagi Pusaka Indonesia sudah menjelaskan sejak awal, apa saja yang menjadi resiko ibu. Tetapi Pusaka Indonesia juga memotivasi ibu untuk terus
berjuang mencari keadilan. Selama diproses pengadilan berjalan dan mengalami penundaan beberapa hari, Ibu dan keluarga dari ASH selalu
mendatangi ibu untuk berdamai dan meminta maaf, tetapi hati ibu udah terlalu sakit dengan semua kebohongan ASH”.
Selama di kepolisian, kejaksaan HS terus didampingi oleh koordinator divisi
anak dan perempuan yaitu bapak Mitra serta di pengadilan HS di dampingi oleh ibu Elisabeth, bapak Mitra. Selama proses pengadilan tersebut HS di dampingi oleh 2
orang yang merupakan pengacara dan satu diantaranya yaitu ibu Elisabeth sudah mendapatkan kartu advokat resmi dari Peradi Persatuan Advokat Indonesia.
MH juga mengatakan bahwa selama proses hukum berjalan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, HS terus didampingi dan mendapatkan perlindungan serta
merasa sangat terbantu dengan adanya arahan, motivasi dan penjelasan yang diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia serta juga kerja keras yang dilakukan
Yayasan Pusaka Indonesia dan HS menjadi tidak sia-sia untuk mendapatkan keadilan. Proses hukum di kepolisian, kejaksaan dan di pengadilan cukup
Universitas Sumatera Utara
memuaskan, HS cukup kecewa ketika proses hukum di kepolisian dan pengadilan. HS juga mengatakan :
“Pada waktu proses hukum di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, ibu terus saja didampingi oleh bapak Mitra dan ibu Eli. Mereka begitu sangat bekerja
keras untuk kasus yang ibu alami”. HS merasa sangat puas dengan kerja keras yang dilakukan oleh Yayasan
Pusaka Indonesia terutama divisi anak dan perempuan. Dari proses tersebut, HS mendapatkan banyak manfaat terutama dalam proses hukum dan apa yang harus
dilakukannya. HS juga merasa puas setelah suaminya divonis bersalah dan dihukum penjara selama 1 tahun 10 bulan. Berikut penuturan HS :
“Kerja keras Pusaka Indonesia begitu sangat memuaskan dan membuahkan hasil yang maksimal. Mantan suami ibu divonis bersalah dan dihukum
kurungan selama 1 tahun 10 bulan. Walaupun agak ringan hukumannya tetapi ibu merasa sudah sangat lega karena dia dipenjara. Sebenarnya ibu mau dia
dihukum secara maksimal yaitu 5 tahun penjara. Akhirnya dia mendapatkan balasannya sendiri atas perbuatannya itu”.
MH tetap merasa sangat terbantu dan puas dengan hasil yang didapatkan.
Dari proses hukum tersebut HS menjadi lebih tenang dan terbantu, apalagi vonis tersebut sudah dijatuhkan kepada ASH, walaupun ASH tidak bisa menerimanya. MH
juga mengatakan bahwa sebenarnya ia mengharapkan hukuman yang maksimal yaitu 5 tahun penjara untuk ASH.
6. Proses Perlindungan yang di dapatkan Korban
Sebelum kembali kekeluarga dan masyarakat, maka harus dilakukan rehabilitasi terhadap HS. Rehabilitasi ini dilakukan setelah kasus hukum yang
dihadapi oleh korban sudah selesai, agar korban tidak mengalami penolakan dalam keluarga, masyarakat dan dari dalam dirinya sendiri atau psikisnya. Berikut
penuturan HS : “Ibu tidak mendapatkan rehabilitasi dari divisi anak dan perempuan, tetapi
mereka memang memberikan penguatan mental dan penguatan motivasi untuk ibu”.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum proses hukum berjalan, HS sudah diberikan bekal untuk kembali
kuat dan mampu untuk keluar dari ketergantungan ekonomi terhadap mantan suaminya. MH juga mengatakan bahwa HS sudah diberikan nasehat dan arahan dari
keluarga serta penguatan mental yang keluarga berikan, walaupun tidak mendapatkan rehabilitasi tetapi HS bisa lebih kuat karena dukungan yang kuat dari
keluarganya. Meskipun tidak mendapatkan atau tidak diberikan rehabilitasi, karena kondisi
HS yang dilihat oleh divisi anak dan perempuan tidak terlalu parah serta divisi anak dan perempuan juga melihat kalau HS begitu sangat mendapat dukungan dari
keluarga, bagaimana pun juga jika ingin kembali kemasyarakat maka HS harus mendapatkan penguatan terlebih dahulu dari keluarganya, karena hanya dari
keluargalah seseorang bisa diterima kembali kemasyarakat dan tidak mengalami penolakan.
Dalam proses reintegrasi, maka HS dengan mudah melakukannya karena sebelumnya HS sudah diterima oleh keluarganya dan mendapatkan dukungan yang
kuat dari keluarga serta mendapatkan bimbingan konseling dari psikolog agar HS dengan mudah untuk bersosialisasi kembali dengan masyarakat sekitarnya serta
mengembalikan rasa percaya diri HS. Berikut penuturan MH : “HS memang tidak pernah di rehabilitasi oleh Pusaka Indonesia tetapi dia
sudah dapat penguatan psikis oleh psikolog serta kami juga mendukungnya untuk membangkitkan rasa percaya dirinya. Makannya saat reintegrasi untuk
HS tidak perlu bersusah payah lagi, walau bagaimanapun dia tetap bagian dari keluarga ini, tidak perlu malu untuk hal ini dan tidak perlu dengar
omongan orang lain tetapi HS harus yakin sama dirinya sendiri, ini semua untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya”.
HS begitu sangat terbantu dengan adanya penguatan psikologis yang sudah
diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia dan manfaat yang didapatkannya begitu sangat besar, dimana rasa percaya untuk kembali kemasyarakat atau kefungsi
Universitas Sumatera Utara
sosialnya bisa kembali, HS tidak perlu malu atau pun menjadikan ini sebagai aib yang harus ditutup-tutupi tetapi adalah pembelajaran yang harus diambil manfaat dan
hikmatnya. HS juga tidak perlu takut lagi dengan pikiran dan pembicaraan masyarakat tentang dirinya, walaupun HS tahu bahwa masyarakat Indonesia masih
menganggap hal-hal seperti ini adalah suatu aib dalam keluarga tetapi lingkungan tempat HS tinggal sekarang tidak terlalu berpikir seperti itu terhadapnya, hanya 1
atau 2 orang saja yang masih berpikiran seperti itu. HS juga mengatakan : “Ibu sangat mengharapkan jika ibu kembali ke masyarakat, tidak ada yang
membicarakan hal-hal yang tidak buruk tentangku, walaupun hal seperti itu tidak bisa kita hindari. Lagi pula Pusaka Indonesia juga sudah memberikan
dukungan dan keluarga ibu juga memberikan dukungan”. MH tidak begitu berharap banyak tetapi HS ingin masyarakat dapat
menerimanya dengan cara tidak membicarakannya secara berlebihan karena hal tersebut akan membuatnya sulit untuk percaya diri kembali dan juga demi anak-
anaknya yang masih kecil-kecil. Begitu juga dengan MH yang mengatakan bahwa HS harus menjadi ibu yang kuat demi anak-anaknya tidak perlu peduli dengan apa
yang orang lain katakan kepadanya. Penulis juga melihat bahwa HS sudah bisa kembali kemasyarakat dengan
meningkatkan rasa percaya dirinya. HS juga sudah tidak ketergantungan ekonomi lagi terhadap mantan suaminya, karena sebelumnya HS memang sudah bekerja, serta
HS juga tidak mau mengingat atau melihat kebelakang lagi untuk mengingat kejadian yang pernah HS alami. Dalam kehidupan bertetanggapun, HS begitu sangat
akrab terhadap tetangga dan warga yang ada di sekitar rumah ibunya.
7. Monitoring
HS mempunyai penghasilan untuk dirinya dan anak-anaknya serta juga untuk melepaskan dirinya dari ketergantungan terhadap mantan suaminya. Berikut
penuturan HS :
Universitas Sumatera Utara
“Bapak Mitra memang pernah datang ke rumah Ibu. Bapak Mitra datang hanya mengajak ibu mengobrol- ngobrol saja dan menanyakan tetang kondisi
ibu. Bapak Mitra juga bertanya sama ibu, tentang kegiatan yang sudah ibu lakukan setelah persidangan kemarin selesai”.
MH juga menambahkan kalau bapak Mitra dan ibu Elisabeth masih sering
mendatangi kami untuk menanyakan kabar kakak saya, bukan hanya datang kemari secara langsung tetapi juga menelpon kami dan rencananya HS akan meminta
Yayasan Pusaka Indonesia untuk mendampingi HS dalam proses perceraian dimata hukum.
Bapak Mitra selaku koordinator divisi anak dan perempuan, selalu mengajak HS untuk ikut dalam CU Credit Union yang dikelola oleh Yayasan Pusaka
Indonesia dengan tujuan agar HS bisa membuka usaha sendiri dan mampu secara ekonomi karena Yayasan Pusaka Indonesia mengetahui bahwa HS masih
ketergantungan terhadap penghasilan mantan suaminya. Berikut penuturan HS : “Ibu memang pernah diajak bapak Mitra untuk bergabung dan menabung
dengan CU yang dikelola oleh ibu Tina selaku koordinator kewirausahaan, hal tersebut dilakukan oleh bapak Mitra mungkin dengan tujuan agar ibu bisa
mandiri dan mempunyai usaha sendiri. Ibu sangat tertarik sekali dengan ajakan tersebut, tetapi ibu bingung harus buat usaha apa, tapi akhirnya ibu
menolak untuk menabung di CU, ibu lebih memilih pekerjaanku yang sekarang sebagai pegawai negeri sipil”.
HS menganggap bahwa dirinya memang pernah diminta untuk datang ke
Yayasan Pusaka Indonesia untuk menunjukkan perkembangan diri. Serta menceritakan apa saja yang menjadi kendalanya setelah lewati proses reintegrasi. HS
juga mengatakan bahwa dirinya sangat tertarik untuk menabung atau meminjam uang di CU atau simpan pinjam, tetap HS sangat bingung harus membuat usaha apa,
sehingga akhirnya HS menolak untuk bergabung atau menabung di CU. Dalam beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia,
divisi anak dan perempuan akan mengajak atau selalu siap jika ada mantan korban atau klien yang pernah ditangani untuk mengajak kerja sama. HS belum pernah
Universitas Sumatera Utara
diajak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bentuknya seminar, workshop atau acara lainnya. Berikut penuturan HS :
“Ibu belum pernah diajak sama Pusaka Indonesia untuk melakukan kegiatan atau ikut dalam kegiatan yang dilakukan oleh Pusaka Indonesia, lagipula ibu
sudah mau fokus sama kerjaanku. Ini pun ibu sudah mulai sibuk dan banyak waktu ibu diluar dari pada di rumah. Semua ini demi anak, kalau Pusaka
Indonesia punya acara yang berkaitan dengan kerjaanku dan diajak untuk kerjasama, ibu mau”.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh MH yang mengatakan bahwa HS tidak pernah diajak untuk ikut atau membuat kerjasama dalam satu kegiatan, mungkin saja
kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia, tidak sesuai dengan jenis pekerjaan HS. MH juga mengatakan bahwa dirinya sangat ingin melihat kerja keras
kakaknya tidak sia-sia.
5.6 Hasil Analisis Secara Umum