47
E. Kode Etik DPR RI Tahun 2004 dan 2011
Sebagai positive ethics yang berperan penting sebagai pendamping positive law dalam arti sebagai perangkat norma aturan yang diberlakukan secara resmi
dalam satu ruang dan waktu tertentu. Jika etika positif dapat ditegakkan, maka etika publik pada umumnya dapat diharapkan tumbuh sebagai living ethics atau
sebagai etika yang hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk itulah dibuat kode etik. Kode etik adalah ide-ide besar negara hukum yang dilandasi
basis etika dan hidup secara berdampingan dengan perilaku sehari-hari. Kode etik yang berjalan dengan baik berarti mencerminkan nilai moral
Anggota DPR-RI pada saat ini dan masa depan. Norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku
maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota. Usai UU Susduk disahkan tahun 2003, tak lama
kemudian pada tahun 2004, kode etik DPR-RI disahkan sebagai keputusan DPR- RI. Kode etik merupakan amanat Pasal 105 UU Susduk. Terbitnya naskah kode
etik menandakan era baru politik reformasi dengan menggunakan moral sebagai cara berpikir dan berperilaku.
Batasan-batasan kode etik di Indonesia diatur secara objektif dalam UU Susduk dan Tatib DPR-RI. Pelaksanaannya bersumber pada subjektivitas
kesadaran etis tiap Anggota. Badan Kehormatan menilai perilaku Anggota berdasarkan batasan objektif dalam kode etik. Kode etik telah “menunjuk”
perilaku mana yang etis atau tidak. UU Susduk telah “mengatur” perilaku mana yang benar atau salah.
48
Kode etik bersifat mengikat dan wajib dipatuhi Anggota DPR-RI selama di dalam maupun di luar gedung, demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan
kredibilitas DPR-RI. Saat ini, kode etik DPR-RI masih berbentuk Keputusan DPR-RI, yang menjaga martabat DPR-RI bukanlah lembaga semacam Badan
Kehormatan, tapi kode etik itu sendiri. Ini berarti kode etik adalah produk yang amat penting dan bahkan kode etik menjadi perisai pelindung DPR-RI.
Kode etik bertujuan membantu Anggota DPR-RI dalam melaksanakan setiap wewenang, tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya kepada negara,
masyarakat dan konstituen. Kode etik membantu kinerja Anggota DPR-RI yang berada dalam Badan Kehormatan guna memantau perilaku politik yang etis,
melalui wewenang tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya
.
Materi Kode etik berisikan kepribadian dan tanggung jawab anggota, penyampaian pernyataan, ketentuan dalam rapat dan perjalanan dinas. Lalu,
materi tentang kekayaan, imbalan dan pemberian hadiah. Konflik kepentingan dan perangkapan jabatan. Materi tentang kerahasiaan negara, hubungan dengan mitra
kerja serta sanksi dan rehabilitasi. Pasca reformasi Kode Etik DPR telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu
pada tahun 1999, 2004 dan yang terbaru 2011. Bahkan untuk kode etik yang terbaru, anggota BK melakukan studi banding ke Yunani. ICW dan PSHK dalam
Pertemuan dengar pendapat dengan BK DPR mengatakan bahwa kode etik terbaru ini tidak ada perubahan yang signifikan serta tidak visioner. perubahan yang
muncul kurang signifikan, bahkan cenderung menonjolkan aturan tentang
49
larangan ketempat perjudian dan pelacuran sebagai terobosan. Berikut materi dan isi yang terkandung dalam kode etik serta perubahannya.
Tabel 3.5 Perubahan kode etik DPR RI
No. Materi perubahan
Kode Etik DPR Tahun 2004
Kode Etik DPR Tahun 2011
1. Sub-bab Materi
Terdiri dari 11 bab dan 20 pasal.
Terdiri dari 6 bab dan 11 pasal.
2. Konflik kepentingan
Terdapat dalam bab tersendiri Bab VII, Pasal 12 13 dan 14.
Relatif detail, dan siapapun yang membacanya dapat
memperkirakan bagaimana implementasinya, dalam
artian anggota DPR lebih terbantu
menempatkan diri lepas dan tidak terperangkap dalam
konflik kepentingan. Tidak dalam bab tersendiri,
dalam pasal 12. Mengalami Kemunduran
pd kode etik sebelumnya.
3. Absensi
Anggota Dewan
Dalam Bab 4 ketentuan dalam rapat pasal 6.
“Ketidakhadiran Anggota secara fisik sebanyak 3 tiga
kali berturut-turut dalam rapat sejenis, tanpa ijin dari
Pimpinan Fraksi, merupakan suatu pelanggaran kode etik”.
Dalam bagian ketujuh pasal 9 ayat 3.
“Anggota DPR RI yang tidak menghadiri secara fisik
Rapat Paripurna danatau rapat alat kelengkapan DPR
RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6
enam kali berturut-turut tanpa alasan yang sah dan
jelas, dianggap melanggar prinsip kejujuran dan
kedisiplinan”.
4. Pengawasan
perilaku anggota dewan
Tidak terdapat peraturan anggota dewan dalam
berprilaku diluar parlemen. Terdapat dalam bagian
integritas pasal 3 ayat 6 “Anggota DPR RI dilarang
memasuki tempat-tempat yang dipandang tidak pantas
secara etika, moral, dan norma yang berlaku umum
di masyarakat, seperti tempat pelacuran dan
perjudian, kecuali untuk kepentingan tugasnya
sebagai Anggota DPR RI”.
50
5. Hubungan Mitra kerja
Dalam bab Hubungan dengan mitra kerja dan embaga diluar
parlemen. Tidak menjelaskan mengenai
peraturan tentang gratfikasi dari pihak luar parlemen
Dalam bagaian Objektifitas, pasal 4 ayat 4.
“Anggota DPR RI tidak diperkenankan melakukan
hubungan dengan Mitra Kerjanya dengan maksud
meminta atau menerima gratifikasi, atau hadiah
untuk kepentingan atau keuntungan pribadi,
Keluarga, danatau golongan”.
6. Usulan perubahan Kode
etik Dalam Bab Ketentuan
penutup pasal 20. “Usul perubahan Kode Etik
DPR RI dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 13 tiga
belas orang Anggota atau Badan Legislasi
”. Dalam bab III perubahan
kode etik. Usul perubahan Kode Etik
dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 9
sembilan orang Anggota DPR RI atau alat
kelengkapan DPR RI.
Sumber: Kode etik tahun 2004 dan 2011.
Banyak perbedaan dan perubahan dari kode etik, dari segi sub materi kode etik tahun 2004 lebih banyak mencantumkan bab dan jelas dalam ketentuan bab-
nya berbeda dengan kode etik tahun 2011. Materi konflik kepentingan patut menjadi perhatian dan prioritas BK karena jika kita menyoroti prakteknya yang
belakangan makin menjadi-jadi. Terbukti, meskipun sudah ada kode etik anggota DPR khususnya yang
ditujukan untuk menghindari konflik kepentingan, namun masih sering didapatkan berbagai pelanggaran. Pernah terjadi tindakan seorang anggota DPR
yang berstatus sebagai tersangka kasus korupsi, memperbincangkan kasus yang dialaminya pada saat forum rapat kerja dengan salah satu mitra, yang kebetulan
berasal dari Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Bahkan tanpa rasa malu sedikitpun, anggota DPR tersebut menyampaikan berkas
perkaranya kepada Jaksa Agung pada saat rapat kerja Komisi di saat yang
51
bersangkutan sebagai salah satu anggota Komisi 3 tersebut. Pernyataan anggota lainnya masih dari Komisi yang sama mempersoalkan tindakan KPK yang
menetapkan si anggota DPR tersebut sebagai tersangka. Padahal, kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota DPR duduk di Komisi yang bermitra dengan
Kejaksaan Agung dan KPK tidak boleh digunakan untuk mempengaruhi proses peradilan
8
.
8
Mengutip dari Laporan dan Masukan ICW dan PSHK terhadap Rancangan Kode Etik DPR Disampaikan pada Pertemuan dengan Pimpinan dan Sekretariat BK DPR
.
52
BAB IV DILEMA BADAN KEHORMATAN DPR DALAM PENANGANAN KASUS
VIDEO PORNOGRAFI KAROLINA MARGARET NATASA DAN KASUS UPAYA PEMERASAN BUMN
Pembentukkan Badan Kehormatan DPR sebagai alat kelengkapan tetap berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 mengenai Susunan dan Kedudukan yang
kemudian direvisi kembali pada UU No. 27 Tahun 2009 merupakan jawaban atas pertanggungjawaban moral anggota DPR. Tugasnya dalam menegakkan kode etik
DPR membuat masyarakat menilai positif akan kemajuan dari lembaga perwakilan tersebut dalam segi moral dan etika. Pada periode 1999-2004 Badan
Kehormatan masih bersifat sementara ad hoc dan bernama Dewan Kehormatan
DK. Dalam sejarah politik parlemen, Dewan Kehormatan tidak pernah terbentuk secara resmi guna penanganan dugaan pelanggaran Kode Etik. Tidak ada satu pun
kasus yang diperkarakan oleh Dewan Kehormatan. Sepanjang berdirinya BK, telah banyak pengaduan yang masuk mengenai
hal pelanggaran kode etik, mulai dari percaloan anggaran, kasus asusila dan pemerasan. Telah banyak kasus yang BK usut hingga selesai. Namun, banyak
pula kasus yang “mengambang” kejelasan akhirnya. BK mengalami dilema dalam menyidangkan kasus pelanggaran etik. Kehadiran BK seperti buah simalakama,
saat yang sama BK bertugas menegakkan dan menghukum anggota dewan yang terbukti telah melanggar kode etik DPR. Namun, disisi lain kehadiran BK adalah
untuk menjaga kredibilitas DPR dalam bidang moral dan etik. Sifat rapat BK yang