15
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini, secara garis besar akan dibahas mengenai sebuah landasan teoritis dalam ruang lingkup normatif dengan asumsi-asumsi penelitian mengenai
hal-hal yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. Dengan memberikan landasan teoritis, diharapkan penelitian ini memberikan jawaban awal dalam
pembentukkan masalah yang ditimbulkan oleh penulis mengenai Badan Kehormatan DPR.
Secara khusus, teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena dan dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep. Jadi
teori adalah konsep-konsep yang saling berhubungan menurut aturan logika menjadi suatu bentuk pernyataan tertentu sehingga dapat menjelaskan fenomena
tersebut secara ilmiah
1
. Teori juga memiliki peran dalam melakukan korelasi antara permasalahan dan aktualisasi penelitian.
Penulisan ini menggambarkan fenomena-fenomena politik di Indonesia yang berkaitan dengan kasus-kasus
pelanggaran kode etik oleh anggota dewan. Penulis mengunakan teori kelembagaan baru neo institutionalism theory dan teori etika politik legislatif
A. Teori Kelembagaan Baru Neo Institutionalism Theory
Menurut Scott W. Rights seorang ahli kelembagaan, teori kelembagaan baru neo institutional theory adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan
1
Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. 43.
16
kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi
2
. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi.
Ada tigaelemen analisis yang membangun kelembagaan walau kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka bekerja dalam kombinasi. Ketiganya datang dari
perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut adalah aspek regulatif, aspek
normatif, dan aspek kultural-kognitif. Ketiga elemen tersebut akan dipakai untuk meneliti mengenai Badan Kehormatan DPR sebagai lembaga penegak etika.
A.1 Pengertian Lembaga dan Perspektif Kelembagaan Baru
Istilah lembaga, dalam Ensiklopedia Sosiologi diistilahkan dengan institusi sebagaimana didefinisikan oleh Macmillan lembaga adalah merupakan
seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan
yang penting dan berulang
3
. Doglas North
4
seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola
interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Begitupula dengan Scott yang merumuskan kelembagaan sebagai:
“institution are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive
2
Scott, W. R. Institutions and Organizations. Thousand Oaks, CA: Sage. US. 2008
.
38.
3
Saharuddin. Nilai Kultur Inti dan Institusi Lokal Dalam Konteks Masyarakat Multi- Etnis. 2001. Bahan Diskusi Tidak Diterbitkan. Depok: Program Pascasarjana Universitas
Indonesia. Dalam www.rida’sblogspot.com
diakses pada 30 April 2013.
4
North, D. C.. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. 1990. Dalam Aceng Hidayat. Modul Ekonemi Kelembagaan. Institut Pertanian Bogor.
17
elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life.” Institusi terbagi menjadi elemen-elemen regulatif,
normatif dan kultural-kognitif. Bersama-sama bergabung dan menjadi sumber daya yang menyediakan stabilitas dan arti sebuah kehidupan sosial.
5
Lebih jauh, Scott menjelaskan tentang adanya 3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru
6
. Pertama, pilar regulatif regulative pillar, yang bekerja pada konteks aturan rule setting, monitoring, dan sanksi. Hal ini berkaitan dengan
kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal folkways dan formal polisi
dan pengeadilan. Meskipun ia bekerja melalui represi dan pembatasan constraint, namun disadari bahwa kelembagaan dapat memberikan batasan
sekaligus kesempatan empower terhadap aktor. Aktor yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah
kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif regualtive institution dan kelembagaan pilihan rasional rational choice instituion. Dalam
persfekif ini kita akan melihat bagaimana BK memberikan punishment kepada anggota dewan yang melanggar kode etik dan sebaiknya BK juga memberikan
hadiah reward untuk anggota dewan yang melakukan kerjanya dan dalam mengikuti kode etik.
Kedua, pilar normatif normative pillar. Dalam pandangan ini, norma menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab
dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai value dan norma. Norma
5
Scott, W. R. Institutions and Organizations. 46 .
6
ibid. 48.
18
berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya goal dan objectives, serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut
dengan kelembagaan normatif normatif institution dan kelembagaan historis historical instituionalism. Inilah pula yang sering disebut sebagai teori
”kelembagaan yang asli”. Pada persfektif ini BK dihadapkan sebagai lembaga formal dalam memberikan tujuannya yaitu menegakkan kode etik DPR.
Ketiga, pilar kultural-kognitif cultural-cognitive pillar. Inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai
meaning dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor individu dan organisasi
mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif.
Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial
social institution. Perspektif kultural inilah yang menurut penulis anggap sebagai basis
penilaian dalam dilema BK DPR. Apakah BK DPR berani tegas menjatuhkan sanksi kepada pelanggar kode etik tanpa pengaruh intervensi dari lingkungannya
DPR dan Fraksi.
A.2 Perbedaan Lembaga dengan Organisasi
Banyak kalangan yang menyamakan kelembagaaninstitusi dengan organisasi. Penyamaan ini tidak mutlak salah tapi juga tidak selalu benar
tergantung pada konteksnya. Namun, untuk keperluan analisis keduanya harus
19
dibedakan secara jelas. Menyamakan kelembagaan dengan organisasi dalam konteks sosiologi kelembagaan adalah menyesatkan. Hal ini telah banyak
ditemukan dalam karya ilmiah yang melakukan analisis kelembagaan namun salah sasaran.
North mendefinisikan organisasi sebagai bangunan atau wadah tempat manusia berinteraksi, seperti organisasi politik, ekonomi, keagamaan, pendidikan,
olah raga dan lain-lain. Yaitu, kumpulan individu yang terikat oleh kesamaan tujuan dan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut sebagai kepentingan
bersama
7
. North mengilustrasikan organisasi dengan tim olah raga sepak bola, bola basket dimana banyak orang terlibat baik sebagai pelatih, pengurus
organisasi, pemain, dan lain-lain dengan tujuan bagaimana memenangkan setiap pertandingan. Sedangkan lembaga adalah serangkaian peraturan yang berlaku
dalam setiap pertandingan yang harus ditaati baik oleh pemain, pelatih maupun stakeholder lainnya. Ketidakjelasan lembaga akan menyebabkan pertandingan
berjalan kacau dan tujuan memenangkan setiap pertandingan yang ditargetkan oleh tim tidak akan tercapai dengan baik.
Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi yang banyak berkecimpung dalam penelitian lembaga lokal, menyatakan sangat sulit sekali mendefinisikan
institusi, karena pengertian institusi sering dipertukarkan dengan organisasi. Institutions are complexes of norms and behaviors that persist over time serving
7
North, D. C. Institutions, Institutional Change and Economics Performance. 1990. Dalam Aceng Hidayat. Modul Ekonomi Kelembagaan. Institut Pertanian Bogor.
20
collectivelly valued purposes
8
. Institusi atau lembaga merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan digunakan selama periode waktu
tertentu yang relatif lama. Kekeliruan pemahaman seperti ini telah menjadi sangat umum sehingga
organisasi dan kelembagaan juga dimengerti secara “salah kaprah” di mana- mana. Hal ini pulalah yang mengakibatkan pengembangan kelembagaan
diterjemahkan secara “salah kaprah” menjadi pembentukan organisasi. Berikut Rekonseptulasisasi sesuai dengan padanan penggunaan konsep
dengan berpedoman kepada sistematika konsep di berbagai literatur terakhir yang lebih kuat
Tabel 2.1 Perbedaan lembaga dengan organisasi
No. Segi Perbedaan.
Lembaga. Organisasi.
1. Bahasa
Institusi dan Institution kelembagaan.
Organitation dan Organitational
keorganisasian. 2.
Fokus Utama Perilaku Sosial.
Struktur Sosial. 3.
Inti Kajian Nilai Value, Aturan Rule,
dan norma Norm. Pada peran Roles.
4. Aspek Kajian
Perilaku, berupa pola-pola kelakuan, fungsi dari tata
kelakuan, kebutuhan dll. Struktur, seperti struktur
kewenangan kekuasaan, hubungan kegiatan dengan
tujuan dan pola kekuasaan. 5.
Waktu Dalam proses perubahan
dibutuhkan waktu yang lama.
Dalam proses perubahan relatif lebih cepat.
8
Uphoff, Norman.T. Local Institutional Development: An Analitycal Sourcebook with Cases.2002 dalam Aceng Hidayat. Modul Kelembagaan Ekonomi. Institut Pertanian Bogor.
21
6. Bentuk Perubahan
Sosial bersifat kultural. Sosial Bersifat struktural.
7. Sifat
Lebih abstrak dan dinamis. Lebih visual dan statis.
Sumber: Syahyuti. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Negara dan Pasar dalam www.shayuti’sblogspot.com
Uphopf mengklasifikasi institusi ke dalam tiga kelompok
9
, pertama institusi yang bukan organisasi. Sistem kepemilikan lahan land tenure system, hukum,
pernikahan, dan daya tawar kelompok collective bargaining power merupakan contoh dari institusi yang bukan organisasi. Kedua institusi yang organisasi, yaitu
keluarga, mahkamah agung, dan bank nasional seperti Bank Indonesia dan ketiga hal sebaliknya yaitu orgainasi juga institusi, dan organisasi yang bukan
institusi. Contohnya yaitu bank daerah, perusahaan dan organisasi penyedia jasa konsultan merupakan contoh organisasi yang bukan institusi.
Badan Kehormatan masuk ke dalam contoh yang ketiga yaitu, organisasi juga sebuah institusi. Sebagai sebuah organisasi BK terlihat dalam inti kajiannya,
dan aspek kajian, yaitu perannya sebagai penegak kode etik DPR dan memiliki struktur. Sebagai sebuah lembaga, dapat dilihat dari waktu, bentuk perubahan dan
sifat. Dari segi waktu pembentukkan BK dibutuhkan satu periode 1999-2004 untuk mengubahnya sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Organisasi dan institusi juga dapat dilihat dari derajat kekuatan dan kelemahannya. Sebuah organisasi dikatakan kuat well organized jika ia tertata
dengan baik, produktif efisien, dan tangguh. Jika sebaliknya, maka ia diakatakan
9
Uphoff, Norman.T. Building Partnership with Rural Institutions in Developing Local Capacity for Agricultural R D. In Capacity Development for Participatory Research.
International Potato Center. Los Banos, Philippines. 2002. 60.
22
organisasi yang lemah lessweak organized. Demikian juga dengan intitusi dikatakan kuat more institutionalized jika dapat berjalan dengan baik, well
enforeced, respected, dan effective. Dan, dikatakan institusi yang lemah, kurang melembaga less institutioalized jika menunjukan keadaan sebaliknya
10
. Berangkat dari teori inilah kita bisa melihat BK sebagai organisasi penegak
etik anggota dewan. Berdasarkan beberapa teori yang dikemukan oleh ahli tersebut, penulis mencoba untuk melakukan sebuah penelitian yang berlandaskan
pada teori dengan berupaya melakukan sinkronisasi hipotesis penulis terhadap teori-teori tersebut, terkhusus mengenai lembaga penegak etika seperti Badan
Kehormatan DPR.
B. Teori Etika Politik