76
C. Dilema Badan Kehormatan DPR
Penulis mengambil dua kasus tersebut dikarenakan dua kasus tersebut adalah kasus yang ramai dibicarakan masyarakat dan juga dua kasus yang
berlainan. Kasus tanpa pengaduan dan melalui pengaduan. Kasus video pornografi KMN adalah sebuah kasus tanpa pengaduan dari seseorang atau
sekelompok orang. Kasus video pornografi ini sudah menyebar luas dikalangan masyarakat melalui pemberitaan media. BK secara pro aktif memanggil tersangka
pemeran video “panas” tersebut untuk dimintai keterangan. Berbeda dengan kasus upaya pemerasan BUMN, kasus ini adalah kasus dari pengaduan secara tidak
langsung ke pihak BK. Dahlan Iskan selaku menteri Badan Usaha Milik Negara BUMN, mengeluh melalui media tentang begitu banyaknya anggota dewan yang
meminta “jatah” kepada BUMN. Sesuai dengan tugasnya, BK sebagai alat kelengkapan yang menegakkan kode etik bertugas memanggil teradu dan pengadu
untuk dimintai keterangan. Pada kasus video pornografi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, mengapa BK tidak memanggil Aria Bima yang juga diduga pemeran pria dalam video asusila tersebut? Apa BK sengaja tidak memanggil pemeran pria
dalam video tersebut dikarenakan Aria Bima adalah teman satu Fraksi dari ketua BK? Kedua, dari dua tenaga ahli yang dimintai bantuan oleh BK, Abimanyu
Wachjoewidajat mengatakan bahwa wajah pemeran perempuan dalam video tersebut adalah asli tanpa rekayasa. Seharusnya dengan rujukan dari tenaga ahli
BK sudah bisa mengambil tindakan tegas untuk terduga KMN.
77
Namun, pendapat berbeda datang dari M. Nurdin selaku anggota BK yang satu Fraksi dengan terduga, dalam wawancaranya dengan penulis mengatakan
38
: “Siterduga tidak mengakui bahwa dirinya adalah pemeran video
tersebut dan dikarenakan tidak kuatnya bukti dan dengan asas praduga tidak bersalah siterduga masih bekerja di DPR. Kita masih
akan memangil tenaga ahli lain. Seperti dalam berita kita akan memanggil tenaga ahli yang independen dari tiga universitas
ternama di Indonesia”.
Ketiga, BK terkesan lambat dalam menangani kasus video ini, kasus ini muncul pada pertengahan April 2012, namun hingga menjelang akhir masa kerja
DPR periode 2009-2014 BK belum menyelesaikan kasus ini. Dengan alasan bukti yang tidak cukup kuat BK seakan “memetieskan” kasus video asusila ini. Berbeda
dengan kasus-kasus asusila lainnya.
Penulis merasa heran dengan kasus ini, mengapa sampai saat ini, baik pihak BK, Kepolisian dan Kemenkominfo tidak bisa untuk menjelaskan lebih jauh
mengenai keaslian video tersebut bahkan tidak bisa menangkap pelakunya. Berbeda dengan kasus video pornografi yang terjadi pada salah satu artis ibukota, Ariel
“peterpan” dengan Luna Maya dan Cut Tari. Pihak Kepolisian dan Kemenkominfo secara cepat bisa mengungkap keaslian video tersebut bahkan bisa menjebloskan
Ariel kedalam bui selama 3,5 tahun
Seharusnya sudah bisa dipastikan tindak pidana yang bisa dipidanakan kepada KMN, namun dengan asas praduga tak bersalah dan bukti yang tidak kuat
sampai saat ini sang tersangka masih bebas bekerja di Senayan. Sementara itu,
38
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
78
kasus video porno yang melibatkan anggota DPR Yahya Zaini dan pedangdut Maria Eva pada 2006, tidak tersentuh hukum. Kala itu Yahya hanya mundur dari
dunia politik, sebaliknya Maria Eva malah banjir order menyanyi. Begitu pula dengan kasus Max Moein yang melakukan foto dengan sekretaris pribadinya
dengan fose yang tak senonoh terabaikan. BK mengulang kesalahan yang sama dalam hal penegakkan kode etik, yaitu
mengulur-ulur waktu. Jika memang benar bukan Karolina yang pemeran dalam video tersebut, seharusnya namanya direhabilitasi dan diberitakan keseluruh
anggota dewan serta media. Namun, jika benar video ini asli dan Karolina adalah wanita yang ada dalam video tersebut seharusnya BK bisa tegas memberikan
sanksi berupa pemecatan. Semoga BK sebagai lembaga penegak etik bisa menyelesaikan kasus ini sebelum masa kerja legislator periode 2009-2014
berakhir, agar citra dan martabat lembaga Dewan Perwakilan Rakyat menjadi baik.
Beralih kepada kasus upaya pemerasan BUMN, pada saat itu kasus pemerasan BUMN ini sangat luar biasa pemberitaannya. Hampir semua media
meliputi kasus upaya pemerasan BUMN yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota dewan. Bahkan media sempat membuat “tag line” Dahlan iskan vs DPR.
BK sangat cepat memulai penyelidikkan kasus ini, bahkan pemanggilan teradu dan pengadu dilakukan ketika anggota DPR dalam masa reses. BK seakan
“kebakaran jenggot” dengan kasus tersebut. Penulis mengacungkan jempol untuk kinerja BK dalam kasus pemerasan
BUMN. BK begitu cepat dan responsif dalam menyelesaikan kasus tersebut.
79
Kasus ini merupakan momentum yang tepat untuk BK memulihkan citra dan kredibilitas anggota DPR. Kasus ini juga sebagai momentum untuk melakukan
pembersihan sekaligus upaya pembuktian dewan adalah lembaga yang kredibel. Namun amat disayangkan akhir dari kasus ini sungguh mengecewakan
masyarakat. Para anggota dewan yang terbukti melakukan upaya pemerasan hanya mendapatkan sanksi yang tidak bisa membuat “jera” anggota dewan yang
nakal. Karena seharusnya setiap perbuatan pemerasan pada dasarnya dapat dipidana berdasarkan hukum di Indonesia.
Dalam KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu Pasal 368 ayat 1 KUHP. “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun”
39
. Memang anggota DPR yang melakukan pemerasan terhadap BUMN tidak
melakukan sebuah tindak kekerasan dalam pemerasannya, namun pemerasan tetepalah pemerasan, sebuah tindakan yang merugikan orang lain dan
menguntukan diri sendiri secara melawan hukum. Hukuman yang jelas untuk seorang pemeras adalah sembilan tahun penjara. Namun, BK dengan
keputusannya hanya memberikan sanksi berupa teguran lisan dan tertulis.
39
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 368 ayat 1.
80
Hal ini dibantah M. Nurdin selaku anggota BK yang menyidangkan kasus upaya pemerasan BUMN. M. Nurdin mengatakan dalam wawancaranya dengan
penulis: “Untuk kasus pemerasan BUMN, menurut pribadi saya itu
hanyalah salah pengertian. Ada anggota dewan yang bergurau kepada direktur BUMN, “mau lebaran nih, gimana nih?” namun,
hal yang berbeda dirasakan direktur BUMN, saksi merasa ini adalah menganggap bentuk pemerasan. Memang ada yang saksi
menyebut kan adanya iuran, namun iuran tersebut adalah untuk menyelenggarakan rapat dengan anggota dewan. Namun kepada
BK saksi merasa itu adalah iuran untuk anggota DPR. Anggota dewan yang bergurau itu sudah kita beri sanksi, walaupun hanya
bergurau namun itu tidak etis dan tidak pada tempatnya.”
40
Dua kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang ditangani BK selama delapan tahun berdirinya sebagai alat kelengkapan tetap DPR.
Maraknya kasus indikasi pelanggaran kode etik yang kongruen dan berjalan paralel dengan skandal kasus publik seperti korupsi juga membuat alat
kelengkapan ini tugasnya semakin berat. BK DPR mengalami dilema, ada persoalan kewajiban BK dalam
melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat Undang-undang, Tata tertib dan Kode Etik di satu sisi. Di sisi yang lain, BK juga harus berada di
dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra kelembagaan DPR RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPR. Beratnya
tugas dan tanggungjawab BK memerlukan penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan citra DPR. Pengaturan terkait BK
40
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
81
DPR harus juga mampu memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan.
Mengenai dilematis BK dalam penanganan kasus penulis menanyakan kepada M. Nurdin selaku anggota BK dari Fraksi PDIP, apakah BK dalam
menyidangkan dan memberikan keputusan sidang pelanggaran kode etik yang dilakukan teman-teman satu Fraksi mengalami dilema? M. Nurdin dengan tegas
mengatakan: “Dilema seperti itu ada, namun kita juga bersikap profersional.
Dalam parlemen dan Fraksi kita adalah teman. Namun ketika ada pelanggaran yang dilakukan kita selaku anggota BK wajib untuk
menyidangkan dan memberikan keputusan. Kita hanya melakukan tugas sesuai amanat dari Undang-Undang mengenai hukum BK
DPR. Kehadiran BK sangatlah penting. Dikarenakan BK menjaga kode etik agar dipatuhi dan nama baik DPR. Kehadiran BK juga
membuat batasan atas perilaku angota dewan. Perilaku yang disebut pantas dan tidak pantas. Apabila tidak pantas kita akan
memberikan teguran baik lisan maupun tertulis.”
41
BK mengalami dilema dalam menyidangkan kasus absensi anggota dewan. M. Nurdin, selaku anggota BK dari Fraksi PDIP mengatakan mengenai dilematis
BK dalam absensi anggota dewan. ”Dilematisnya adalah dalam kasus ketidakhadiran anggota dewan,
karena anggota dewan adalah anggota Fraksi juga. Ketika kita menyelidiki absensi anggota dewan maka kita meminta ke Fraksi
karena itu kewenangan Fraksi. Dan sesama anggota dewan tidak bisa saling melapor karena hak imunitas. Sehingga BK tidak bisa
berbuat lebih jauh. BK adalah alat kelengkapan, alat kelengkapan juga kepanjangan tangan dari Fraksi.”
42
.
41
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Melalui telepone, Selasa 7 Januari 2013.
42
Wawancara penulis dengan M. Nurdin Selaku anggota BK DPR dari Fraksi PDIP. Bertempat di Gedung Sekretariat BK DPR, Selasa 19 November 2013.
82
Memang benarlah apa yang dikatakan M. Nurdin, sepanjang berdirinya BK dari periode 2004 hingga periode 2014, belum ada satupun anggota dewan yang
terkena sanksi atas pelanggaran etik dalam hal kehadiran rapat paripurna. Padahal dalam Kode etik pasal 8 ayat 6 disebutkan “Anggota DPR RI yang tidak
menghadiri secara fisik Rapat Paripurna danatau rapat alat kelengkapan DPR RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 enam kali berturut-turut
tanpa alasan yang sah dan jelas, dianggap melanggar prinsip kejujuran dan kedisiplinan”.
43
Mengenai dilematis BK juga pernah dikatakan oleh Ibrahim Z. Fahmi Badoh, seorang peneliti dari Indonesian Corruption Warch ICW
44
. Menurutnya BK mengalami dilema dalam kewenanganya yang begitu besar. Identifikasi
dilematis BK itu terlihat sebagai berikut: 1.
Tebang Pilih Pada Kasus minimnya absensi angota Dewan. 2.
Pertimbangan politis lebih besar dari pertimbangan hukum dan keadilan.
3. Inisiatif rendah.
4. Kemampuan penyelidikan rendah minimnya tenaga ahli.
5. Tertutup tidak dijelaskan bagian mana dari sidang tersebut yang
tertutup. 6.
Penerapan sanksi ringan, sedang dan berat tidak ada ketentuan dalam tatib.
43
Peraturan DPR No.1 Tahun 2011 mengenai Kode Etik Bagian ketujuh mengenai kejujuran dan kedisiplinan pasal 8 ayat 6.
44
Ibrahim Z.Fahmi Badoy. Penguatan Fungsi Pengawasan Badan Kehormatan DPR RI. Jakarta. 2005. Diunduh dari
www.parlement.net diakses pada tanggal 4 November 2012.
83
7. Alasan penerapan sanksi tidak transparan.
8. Sanksi Ringan sepanjang BK berdiri belum ada anggota DPR yang
diberhentikan karena kasus asusila, kecuali kasus korupsi. 9.
Lemahnya koordinasi dengan instansi terkait BPK, BPKP, POLRI, KPK, Pemda dan instansi terkait lainnya.
10. Belum memiliki aturan tentang konflik kepentingan dalam
pemrosesan kasus. 11.
Hanya mengatur anggota DPR, tidak dengan para staff ahli di lingkungan parlemen.
Kewenangan yang besar pada BK ternyata belum mampu memberikan sanksi yang optimal bagi pelanggaran kode etik dan Tata Tertib. Hal inilah yang
membuat BK-DPR terlihat tidak cukup optimal dan efektif dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi yang lain, adanya Badan Kehormatan dan kerja-kerja yang
dilakukan selama ini dalam menegakan kode etik belum dapat menimbulkan efek jera bagi anggota DPR yang nakal. Fraksi ikut berperan dalam penyanderaan
kewenangan BK. BK harus terlebih dahulu melaporkan hasil keputusan kasus pelanggaran etika kepada Fraksi.
D. Reformasi Badan Kehormatan DPR