16
2.1.3.3. Sifat Efek Toksik
Jenis sifat efek toksik, yaitu:
[27]
a. Terbalikkan reversibel
  Efek toksik cepat kembali ke normal.   Reseptor kembali semula bila kadar racun dalam reseptor habis.
  Ketoksikan tergantung  dosis, kecepatan absorpsi, distribusi dan eleminasi zat
racun. b.
Tidak terbalikkan irreversibel   Kerusakan permanen.
  Akumulasi efek toksik.   Paparan  takaran  kecil  jangka  panjang  sama  dengan  takaran  besar  jangka
pendek.
2.1.3.4. Uji Toksikologi
Serangkaian  uji  harus  dilakukan  sebelum  obat  beredar  dipasaran  sehingga keamanan,  efektivitas  dan  mutu  obat  terjamin.  Uji  tersebut  dimulai  dari  skrining
untuk  mencari  senyawa  aktif,  dilanjutkan  uji  efektivitas  atau  selektivitas  dan mekanisme  kerjanya  pada  hewan  uji  atau  mikroba.  Setelah  diketahui  memiliki
aktivitas  farmakologi,  akan  dilakukan  serangkaian  uji  keamanan  pada  hewan  uji, meliputi:
[27]
a. Uji toksisitas akut: Merupakan efek berbahaya yang terjadi setelah terpapar dosis
tunggal atau berulang dalam  waktu 24 jam untuk menentukan dosis  letal  median LD
50
,  LC
50
dan  dosis  maksimal  yang  masih  dapat  ditoleransi  hewan  uji,  lalu hasilnya akan ditransformasi pada manusia. Tujuan uji toksisitas akut, yaitu:
  Menentukan  interval  dosis  untuk  uji  berikutnya  uji  farmakologi,  toksisitas subakut dan toksisitas jangka panjang.
  Mengklasifikasikan zat uji termasuk kategori toksik atau tidak toksik.   Mengidentifikasi  kemungkinan  target  organ  atau  sistem  fisiologi  yang
dipengaruhi.
17   Mengetahui  hubungan  antara  dosis  dengan  timbulnya  efek  seperti  perubahan
perilaku, koma atau kematian.   Mengetahui gejala toksisitas akut untuk membantu diagnosis kasus keracunan.
  Memenuhi persyaratan regulasi jika zat uji dikembangkan menjadi obat.   Mencari zat yang berpotensi sebagai antikanker.
  Keperluan evaluasi bahaya suatu zat melalui data seperti nilai slope dari grafik
hubungan antara log dosis versus respon.   Mengetahui  pengaruh  usia,  jenis  kelamin,  cara  pemberian  dan  faktor
lingkungan terhadap toksisitas suatu zat.   Mengetahui variasi respon antar spesies dan antar strain hewan, mikroba serta
menginformasikan reaktivitas suatu populasi hewan. b.
Uji toksisitas subakut: Untuk menentukan organ sasaran organ yang rentan atau tempat kerjanya. Umumnya menggunakan tiga dosis, dilakukan selama 4 minggu
hingga 3 bulan dan menggunakan dua spesies berbeda. c.
Uji  toksisitas  kronik:  Untuk  memantau obat  yang  akan  digunakan  dalam  waktu yang  cukup  lama.  Tujuannya  hampir  sama  dengan  uji  toksisitas  subakut.
Menggunakan hewan rodent dan non rodent anjing selama 6 bulan atau lebih. d.
Uji  efek  pada  organ  reproduksi:  Untuk  melihat  perilaku  yang  berkaitan  dengan reproduksi perilaku kawin, perkembangan janin, kelainan janin, proses kelahiran
dan perkembangan setelah dilahirkan. e.
Uji karsinogenik: Untuk mengetahui zat yang dipakai dalam jangka panjang akan menimbulkan  kanker  atau  tidak.  Dilakukan  selama  2  tahun  pada  dua  spesies
hewan. Uji formulasi dilakukan jika zat pada obat dikatakan aman setelah dilakukan
serangkaian  uji  keamanan,  selanjutnya  dilakukan  uji  klinik  pada  manusia, meliputi:
[27]
a. Uji klinik fase I: Dilakukan pada orang yang sehat untuk  mengetahui keamanan
zat aktif pada manusia, rentang dosis yang aman dan profil farmakokinetiknya. b.
Uji klinik  fase II:  Dilakukan pada orang  yang sakit dalam  jumlah sedikit untuk mengetahi efektivitas zat aktif.
18
c. Uji  klinik  fase  III:  Dilakukan  pada  pasien  dalam  jumlah  relatif  besar  secara
random control dan  double blind untuk melihat efektivitasnya dan kemungkinan timbul efek yang tidak diinginkan.
d. Uji klinik fase IV: Post marketing surveillance untuk mengetahui efektivitasnya
dan  melihat  efek  yang  tidak  diinginkan  setelah  digunakan  secara  masal  pasien tidak  ditentukan  kriterianya  yang  tidak  terdeteksi  pada  uji  klinik  fase  II.
Dilakukan setelah obat mendapatkan izin edar sementara.
2.1.4. Simplisia