Kode Etik Hakim EKSISTENSI HAKIM

26 hakim yang memutuskan perkara karena kebodohannya juga didalam neraka. HR. Abu Daud dan Ibnu Majah”. 7. Merdeka Bukan budak Para pakar hukum Islam dalam berbagai mazhab sepakat bahwa pengangkatan hakim tidak diperbolehkan dari kalangan budak secara mutlak. Hal ini di sebabkan karena seorang hamba, dianggap tidak mampu untuk memiliki kemampuan dirinya sendiri. Juga karena statusnya sebagai budak, maka ia tidak dapat memberikan kesaksian dalam berbagai kasus, oleh karenanya ia tidak dapat dijadikan sebagai hakim. Jika ia sudah merdeka, maka ia boleh saja diangkat sebagai hakim, meskipun ia tetap menanggung wala’ keterkaitan dengan bekas tuannya. 17 Pendapat ini adalah pendapat dikalangan mazhab syafi‟i dan maliki yang tidak memperbolehkan seorang budak menjadi hakim.

C. Kode Etik Hakim

Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu seorang hakim harus menjaga segala tingkah lakunya sebagai hakim. Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat. Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu : 1. Etika kedinasan pegawai negeri sipil 2. Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum. 17 Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Jakarta : Kencana, 2007, h. 31. 27 3. Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat. 18 Etika pengawasan terhadap hakim 19 di dalam urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi Kode Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini, Kode Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang. 20 Etika profesi hakim Adabul qhadi menurut pandangan Islam adalah tingkah laku yang baik dan terpuji yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim dalam berinteraksi dengan sesama manusia dalam menjalankan tugasnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa adabul qhadi adalah perbuatan yang patut dilaksanakan oleh seorang hakim baik di dalam mahkamah maupun diluar mahkamah. Diluar mahkamah seorang hakim qadhi tidak seharusnya ia bergaul bebas dengan masyarakat sekelililngnya, atau berjalan-jalan dengan mereka melainkan hanya sekedar perlunya saja. Seorang hakim juga tidak dibenarkan 18 Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 32. 19 Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, h.175-177. 20 Kansil, C.S.T., Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman KUKK, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986, h. 18-19. 28 bersenda gurau secara berlebihan, hal ini akan berakibat pada jatuhnya martabat dan wibawanya dari seorang hakim. 21 Dijelaskan oleh Muhammad salam Madzkur, diterangkan bahwa apabila hakim duduk mengadili suatu perkara, maka ia haruslah bersikap tidak memihak, tidak ada perhatiannya kecuali memeriksa perkara itu dengan sungguh-sungguh. Dalam melaksanakan persidangan, hakim harus menyamakan kedudukan para pihak sama dengan lainnya dalam majelis persidangan. Tidak diperkenankan melebihkan salah satu dengan lainnya, baik mengenai sikap, pertanyaan yang diajukan para pihak, tempat duduk para pihak, dan mendengar keterangan para pihak, pelayanan ketika masuk, selama dalam persidangan dan ketika keluar persidangan. Konsep kehakiman dalam peradilan Islam sangat mengutamakan asas equality before the law dan asas audi et alteram partem. Kedudukan para pihak adalah sama dimuka hukum dan memutuskan perkara hakim harus menghadirkan ke dalam majelis pihak-pihak yang berperkara dan hakim dilarang memutus perkara sebelum mendengar semua pihak-pihak yang terkait dengan perkara yang disidangkan itu. 22 Hal ini akan membuat konsep pengadilan dalam memutuskan sebuah perkara akan terkesan lebih adil dengan menghadirkan keduabelah pihak yang sedang berperkara. Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Waaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya 21 Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 33-34. 22 Abdul Manan, Etika Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 35-36. 29 tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.

D. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Dokumen yang terkait

Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008

0 69 114

Penyelesaian Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

3 73 116

Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim Di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

0 8 103

Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

1 51 0

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (STUDI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGADILAN AGAMA OLEH PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA)

0 24 125

LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006

0 4 65

DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.

0 1 14

PENDAHULUAN DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.

0 2 16

PERANAN BADAN ARBITRASE NASIONAL (BASYARNAS) SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH.

0 0 8

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) LISTYO BUDI SANTOSO

0 0 160