1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di masa sekarang ini hukum sedang berkembang, dan terus menerus dibangun, sementara pembangunan hukum tidak bisa meninggalkan rasa hukum
masyarakatnya, tentu saja hukum Islam menjadi begitu penting peranannya dalam pembinaan Hukum Nasional Indonesia, mengingat mayoritas penduduk Indonesia
adalah beragama Islam. Indonesia yang termasuk negara yang sedang berkembang, mengawali kehidupannya dengan hasrat yang kuat untuk melaksanakan
pembangunan untuk melakukan perubahan terhadap situasi kehidupan yang lebih baik, membina agar lebih maju teratur.
Pembangunan, sebagaimana dikonsepsikan di atas, mengisyaratkan adanya perubahan terhadap dasar-dasar kemasyarakatan, baik bersifat struktural maupun
kultural. Dasar-dasar kemasyarakatan tersebut, menurut Soerjono Seokanto,
1
paling sedikit mencakup: 1 agama, 2 filsafat, 3 ideologi, 4 ilmu pengetahuan, dan 5
teknologi. Dengan demikian, pembangunan Hukum Islam di Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Penjabaran Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Indonesia.
2. Penciptaan serta menyusun kembali lembaga-lembaga hukum baru.
1
Soerjono soekanto, Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum, Analisis Pendidikan. No.02, Tahun ke-IV 1983, h. 37.
3. Mengupayakan tentang bagaimana hukum tadi dapat dijalankan dengan
efektif.
2
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka upaya pembangunan Hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan dengan
matang dan cermat, biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”, yaitu: 1 komponen perangkat hukum, 2 komponen penegak hukum, dan 3 komponen
kesadaran hukum .
3
Perangkat hukum, secara intrinsik, merupakan refleksi pembuatnya, yaitu mereka yang mempunyai peluang untuk melaksanakan serta
mengawasi kekuasaan, “rulling-class”.
4
Di satu sisi, Hakim Pengadilan Agama harus memegang teguh perangkat hukum yang berlaku dan diberlakukan. Sedangkan di sisi
lain, harus memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap perangkat hukum tersebut.
Keterlibatan hakim Pengadilan Agama terhadap salah satu ekstrema yang dilaksanakan secara berlebihan dapat mengakibatkan penyimpangan terhadap tujuan
hukum itu sendiri, “keadilan”.Dengan demikian, langsung atau tidak langsung, permasalahan sosial tersebut berhubungan dengan peran yang dimainkan oleh hakim
Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama memberi dan menentukan prosedur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh
2
Deden Effendi, Kompleksitas Hakim Pengadilan Agama, Jakarta : Departemen Agama R.I., 1985, h. 2.
3
Daniel S. Lev, Peradilan Agama di Indonesia: Studi tentang Landasan Politik Lembaga- Lembaga Hukum, alih bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: PT Intermasa, 1980, h. 16.
4
Soerjono Soekanto, Ilmu-ilmu Hukum dan Pembangunan hukum, Analisis Pendidikan, h. 40.
karena itu, peranan hakim pengadilan Agama adalah untuk memelihara keselarasan fungsional dari komponen-komponen hukum lainnya. Istilah Peranandalam hal ini,
hakim Pengadilan Agama adalah termasuk pelaku dan mempunyai tingkat kebebasan tertentu dalam menyatakan hasrat untuk diakui serta diperhitungkan pengaruhnya
sebagai sesuatu hal yang penting dalam masyarakat.
5
Tugas adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan atau sesuatu yang wajib dikerjakan. Tugas seorang hakim
agama adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara, dan fungsinya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan. Sedangkan peran hakim adalah menjalankan
semua tugas, fungsi dan tanggung jawab yang diembannya. Sebagaimana halnya profesi advokat, profesi hakim secara konseptual adalah
suatu pekerjaan hukum berdasarkan keahlian untuk melayani masyarakat secara independen dengan berdasarkan kode etik dari komunitasnya.
6
Profesi hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan
nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan pengadilan yang
adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara.
7
Hukum merupakan salah satu sarana dalam kehidupan bermasyarakat yang bertujuan untuk menciptakan keadilan, ketertiban dan
5
Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam Di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, h. 15-22.
6
Luhut, M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat, Jakarta: Djambatan, 2005, h. 5.
7
Yustanto, “Pedoman Perilaku Hakim,” artikel diakses 31 Agustus 2007 dari http:pl.plasa.com~admin35index.php?option.com.
ketentraman dalam masyarakat dimana hukum itu berada.
8
Sebagaimana kita ketahui bersama profesi hakim sesungguhnya syarat dengan idealisme karena ia dijuluki
sebagai officium nobile profesi yang mulia yakni yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada kepentingan sendiri.
9
Sehingga kebijakan- kebijakan yang diambil tidak hanya selalu berkutat pada kepentingan profesi
melainkan kepada kepentingan masyarakat.
10
Dan paling ideal menjembatani komunikasi antara profesi advokat dengan masyarakat.
Semenjak tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, perubahan- perubahan mengalami kemajuan yang berarti terutama dibidang ekonomi. Hal
tersebut tidak terlepas dari pengaruh kondisi hukum yang ada pada saat sekarang ini
11
. Ekonomi Islam atau lebih dikenal dengan Ekonomi Syariah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui
alokasi distribusi dan perilaku muslim dengan mengikuti Al- Qur’an, hadis, ijma’, dan
qiyas. Lembaga keuangan yang melakukan aktivitas ekonomi syariah ini diantaranya ialah perbankan syariah.
12
8
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Bandung, Penerbit alumni, 1997, cet. Ke 4, h. 20.
9
Frens Hendra Winata, Advokat Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cet. Ke 1,h. 14.
10
Binzaid Kadafi, dkk., Pembentukan Organisasi Advokat Indonesia, Keharusan dan Tantangan, Jakarta, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004, cet. Ke 1, h. 12.
11
Abdul Gani Abdullah, “Politik Hukum di Bidang Ekonomi Syariah dan Agenda Legislasi,” Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, 2006, h.144.
12
Nadratuzzaman Hosen dan Hasan Ali, Tanya Jawab Ekonomi Syariah, Jakarta : PKES, April 2007, h. 1-2.
Pada tahun 2003, perbankan syariah diperkirakan akan tumbuh pesat seperti tahun-tahun sebelumnya. Terdapat beberapa faktor yang mengindikasikan hal
tersebut. Dari sisi penawaran, adanya rencana penambahan modal dan rencana pembukaan kantor cabang ataupun kantor dibawah kantor cabang dari bank syariah
yang beroperasi, diperkirakan akan meningkatkan ekspansi pembiayaan.
13
Ada keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat Islam bahwa perbankan konvensional
mengandung unsur riba yang dilarang agama, sebagaimana rekomendasi hasil lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan yang ditujukan kepada Majelis
Ulama Indonesia MUI, kepada pemerintah dan kepada seluruh umat Islam.
14
Disamping itu sejak krisis ekonomi mendera Indonesia pada tahun 1997 hingga sekarang, banyak bank syariah dianggap sebagai bagian dari ekonomi syariah
yang tetap sehat. Saat bank-bank konvensional bertumbangan dan tengah dijangkiti virus negative spread
15
sedangkan bank-bank yang menerapkan prinsip bagi hasil melenggang tanpa beban.
Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Lembaran Negara
No.222006 dan TLN No. 4611 dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006,
13
M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2003, h. 19.
14
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta : ekonisia, 2004, h. 32.
15
Virus negative spread adalah penderitaan kerugian akibat bunga simpanan lebih tinggi dari bunga kredit sehingga Bank Indonesia menerapkan tight money policy kebijakan uang ketat dengan
menetapkan bunga simpanan mencapai 70 .
kewenangan kompetensi absolut Peradilan Agama semakin luassesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia pada saat
ini.
16
Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dari pemberlakuan konsep “satu atap
dalam pembinaan lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung RI”, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung RI.
Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, di samping merubah ketentuan pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan financial
pengadilan oleh Mahkamah Agung seperti diatur pada Pasal 5 dalam UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 5 pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung RI
sedangkan pembinaan non teknis organisasi, perlengkapan, kepegawaian dan keuangan dilakukan oleh Departemen Agama, juga yang penting adalah mengatur
mengenai penambahan kewenangan lembaga Pengadilan Agama. Hal ini memberikan implikasi positif terhadap pengembangan lembaga Pengadilan Agama di Indonesia.
Dalam Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 ditegaskan : “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidangPerkawinan, Waris,
Wasiat, Hibah, Wakaf,Zakat, Infaq, Shadaqah, danEkonomi Syari’ah.
17
16
M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, h. 59.
17
Lihat UU No. 3 Tahun 2006 amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam pasal 49 sampai pasal 53 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dijelaskan tentang kewenangan dan kekuasaan mengadili yang menjadi beban tugas Pengadilan Agama.
18
Reformasi hukum tersebut membawa atmosfir baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini dalam praktiknya, sebelum amandemen UU No. 7
Tahun 1989, penegakan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUHPerdata yang merupakan terjemahan dari Burgelijk Wetboek BW. Kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah
jajahan Hindia-Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktik formalitas hukum di masyarakat,
tetapi yang berlaku adalah BW
19
. Dengan adanya tambahan kewenangan memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan pe rkara ekonomi syari’ah bagi lembaga Peradilan Agama, di samping
merupakan peluang, namun juga sekaligus tantangan. Peluangnya adalah “undang- undang telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menangani
perkara ekonomi syari’ah”, yang mendapat dukungan dari para ulama, cendekiawan dan masyarakat Islam pada umumnya yang menghendaki sekaligus menaruh harapan
18
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006, h. 142.
19
Agustianto, “Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam,” Artikel diakses 31 Agustus 2009 dari
http:www.pesantrenvirtual.comindex.php .
besar agar sengketa ekonomi syari’ah dapat ditangani oleh Pengadilan Agama dengan baik. Sedangkan tantangannya adalah mampukah para hakim Pengadilan Agama
menangani perkara ekonomi syari’ah secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta adil sesuai dengan amanat undang-undang.
Dalam kaitan inilah penerapan sengketa hak milik versi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama harus proporsional sesuai dengan asas Lex Postriori Derogat Lex Priori.
20
Adapun bunyi pasal 50 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagai berikut : Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
1 yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan bersama-sama perkara sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 49.
21
Kompetensi lemabaga Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah kemudian diperteguh oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
syariah UUPS yang memberikan kompetensi kepada lembaga Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Pada dasarnya, Undang-Undang
Perbankan Syariah tersebut memiliki orientasi dan tujuan untuk mewadahi kehendak masyarakat beragama, terutama masyarakat Islam di Indonesia agar mau
menggunakan akses perbankan. Sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
20
M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, h. 136.
21
Lihat Pasal 50 ayat 2 U.U. Nomor 3 Tahun 2006.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 diberlakukan, arbitrase syariah merupakan salah satu lembaga penyelesaian perkara antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam
ekonomi syariah diluar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Hal ini mengacu pada ketentuan
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengenal lebih jauh mengenai pelaksanaan secara praktis yang dilakukan oleh profesi hakim di
lingkungan Peradilan Agama. Selain itu juga hal-hal apa saja ingin mempengaruhi praktiknya serta bagaimana gambaran nyata penanganan sengketa ekonomi syariah
yang dilakukan oleh praktisi hakim, terutama peranannya dalam beracara di lingkungan Peradilan Agama demi menegakkan prinsip bahwa setiap orang yang
berkedudukan sama didepan hukum equal before the law. Bermula dari persoalan diatas maka penulis bermaksud menuangkannya dalam skripsi yang berjudul :
PERAN HAKIM
DALAM PENANGANAN
SENGKETA EKONOMI
SYARIAH PASCA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 Studi Pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah