Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008

(1)

PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN

PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1

TAHUN 2008

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : Selly Herwina

Nim : 070200019

Departemen : Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN

PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1

TAHUN 2008

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Perdata

(Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum) NIP : 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) ( Maria Kaban, SH, M.Hum) NIP : 196204211988031004 NIP : 196012251987032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmat- Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga dihari-hari kedepan kita tetap akan mendapat rahmat, hidayah, dan petunjuknya- Nya didalam menjalani kehidupan ini.

Bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diwajibkan untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi dengan judul “PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008”.

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari teman-teman baik secara moril maupun materil, untuk itu penulis menyadari tanpa bantuan mareka mungkin skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

I. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

II. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku ketua departemen hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

III.Bapak Prof. DR. Tan Kamello, SH, MS, selaku dosen pembimbing satu yang telah memberikan masukan-masukan dan pengarahan kepada penulis yang sangat menunjang terselesainya skripsi ini.

IV.Ibu Maria Kaban, SH.M.Hum selaku dosen pembimbing dua yang sangat sabar dan telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyempurnakan apa-apa yang penulis uraikan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.

V. Seluruh dosen-dosen dan staf yang ada di Fakultas Hukum ini yang telah banyak membimbing dan membantu penulis didalam perkuliahan pada waktu terdahulu.

VI.Kepada keluarga yang tercinta, Alm Hermansyah SH, M.Hum, selaku ayahanda sekaligus dosen penulis di Fakultas Hukum USU. Terima kasih untuk semua ilmu-ilmu yang bermanfaat yang papa berikan dan juga untuk semua kasih sayang papa kepada penulis. Untuk ibunda penulis Dewi Sundari, terima kasih untuk semua semangat, dukungan dan kasih sayang mama. Kakak-kakak yang tersayang Putri Herwina, SH, dan Yoan Herwina S.ked. Adik yang tersayang Annisa Herwina. Terima kasih atas semua dukungan dan bantuan nya selama ini.

VII.Untuk yang tersayang dan terspesial T. Hamlin Iskandar, terima kasih telah memberikan semangat, dukungan dan bantuannya kepada penulis sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(5)

VIII. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis Sara Yosephina, Intan Bulandari Nst, Siti Uthari, dan Dewi. Terima kasih untuk semua dukungan dan bantuannya. Semoga persahabatan kita abadi selamanya. Serta teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu semoga kita tetap kompak selalu.

Medan, Februari 2011 Hormat Penulis

SELLY HERWINA NIM : 070200019


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 9

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D.Keaslian Penulisan ... 12

E.Tinjauan Kepustakaan ... 12

F.Metode Penelitian ... 17

G.Sistematika Penulisan ... 18

BAB II. MEDIASI PADA UMUMNYA ... 20

A.Pengertian Mediasi ... 20

B.Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Para Pihak ... 29

C.Kritik Mendunia Terhadap Peradilan ... 34

D.Mediasi di Berbagai Negara ... 38

BAB III .KEDUDUKAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 ... 59

A.Peran dan Fungsi Mediator dalam Mediasi ... 59

B.Ragam Jenis Hakim Mediator ... 64


(7)

1.Proses Mediasi menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 .. 69

2.Negosiasi dalam Proses Mediasi ... 74

3.Intervensi Strategis Mediator ... 79

4.Mediator’s Skills ... 82

BAB IV .PELAKSANAAN PUTUSAN AKTA PERDAMAIAN DALAM PROSES MEDIASI ... 89

A.Putusan Perdamaian yang Bertentangan Dengan Undang-undang ... 89

B.Kekuatan Hukum yang Melekat Pada Putusan Akta Perdamaian ... 93

C.Syarat-Syarat Akta Perdamaian Menurut PERMA No 1 Tahun 2008 ... 96

D.Jumlah Perkara Yang Berhasil di Mediasi Setelah Keluarnya PERMA No 1 Tahun 2008 ... 99

BAB V.PENUTUP ... 101

A.Kesimpulan ... 101

B.Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... vii


(8)

ABSTRAKSI Selly Herwina

Prof. Dr. Tan Kamello,SH,MS Maria Kaban,SH,M.Hum

Sebagai makhluk sosial manusia diciptakan untuk dapat selalu bekerjasama dan berhubungan satu sama lain. Namun dalam membina hubungan itu sering terjadi perbedaan kepentingan yang berujung kepada timbulnya permasalahan satu dengan yang lain. Permasalahan itulah yang nanti nya akan dibawa kepengadilan. Sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak membatasi perkara apa saja untuk diajukan kepengadilan. Akibatnya terjadi penumpukan perkara dipengadilan. Untuk menghindari terjadinya penumpukan perkara tersebut serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pangadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus maka semua perkara perdata wajib melakukan mediasi sesuai dengan Pasal 130 HIR/150 Rbg. Dalam mengefektifkan pasal-pasal tersebut maka dikeluarkanlah suatu peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi dipengadilan. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Untuk dapat menghasilkan suatu penyelesaian yang baik melalui mediasi diperlukanlah hakim mediator yang mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas dalam melihat perkara yang terjadi. Skripsi yang berjudul “PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008”, mencoba melihat bagaimana mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008 dan dipengadilan. Skripsi ini juga mengurangikan bagaimana peranan hakim mediator dalam menyelesaikan suatu perkara dan juga proses berjalannya mediasi tersebut dari proses tahap pra mediasi sampai ke proses mediasi. Pada bagian akhir, penulis juga menjelaskan tentang pelaksanaan putusan perdamaian dalam proses mediasi.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat normatif. Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Agar lebih menunjang kebenaran dari skripsi ini, penulis juga melakukan riset data ke Pengadilan Negeri Medan untuk memperoleh jumlah data hasil perkara yang berhasil dimediasikan setelah keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yaitu dari tahun 2008 sampai 2010.

Dari hasil penelitian dan riset data ini, penulis berharap agar para hakim mediator dalam melakukan proses mediasi lebih memiliki ketrampilan sebagai mitra pengadilan. Penulis juga mengharapkan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang mediasi.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk individu, seorang manusia selalu ingin berhubungan satu sama lain untuk membentuk kerukunan, kedamaian satu sama lain saling membutuhkan dan mempunyai kebutuhan masing-masing (zoon politicon) kesemuaannya ini membentuk suatu hukum, dimana ada masyarakat disitu ada hukum ( Ibi Ius Ibi Societas ), lambat laun hukum itu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan membentuk perubahan sesuai dengan kebutuhan sosialnya dapat terpenuhi secara maksimal.

Hukum adalah seperangkat peraturan tertulis dan tidak tertulis apabila dilanggar akan mendapat sanksi. Oleh sebab itu dengan adanya hukum akan melindungi hak dan kewajiban setiap subjek hukum secara damai, sedangkan kedamaian itu sendiri adalah merupakan keserasian antar ketertiban ( order ) dengan ketentraman.1

Tidak selalu membawa perkara perdata dan bisnis ke Pengadilan bernilai negatif sebagaimana yang diissukan akhir-akhir ini, bahkan sebaliknya

Namun tidak jarang pula dalam kehidupan manusia terjadi kesalah fahaman sehingga dapat menimbulkan terganggu hak nya dan menimbulkan konflik. Konflik-konflik tersebut kadang dapat diselesaikan lewat Pengadilan (Litigation ) maupun diluar Pengadilan ( Non Litigation ).

1

Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta : Rajawali Press, 1987), hal. 65


(10)

mengajukan perkara kedepan pengadilan akan membentuk substansi dan pelaksanaan negosiasi penyelesaian.2

Gary Goodpaster menyatakan

Sebab dengan mengajukan gugatan kepengadilan, salah satu fungsi tugas dari hakim yang berperan sebagai mediator akan memperoleh informasi yang nyata dan tatap muka langsung dengan para pihak.

Proses perkara perdata dipengadilan merupakan proses pencarian fakta dan informasi dari kedua belah pihak, sebagai hakim yang berperan sebagai mediator atau pihak ketiga yang netral, akan menuntun memperhatikan dan menilai secara wajar terhadap pendapat-pendapat dari kedua belah pihak dan apabila terjadi kesepakatan akan dituangkan dalam satu putusan yang isinya menegaskan secara hukum tentang hak dan kewajiban para pihak.

3

Oleh sebab itu pengajuan perkara perdata dan bisnis kepengadilan tidak harus diakibatkan karena buntunya atau gagalnya mencari solusi problem yang dinegosiasikan, malah terkadang dengan prediksi yang akurat pihak penggugat , Proses litigasi memberi cara-cara spesifik membuktikan dan menemukan fakta-fakta. Banyak diantara persiapan sidang pengadilan, terutama temuan-temuan bertujuan untuk pembuktian fakta-fakta. Dalam banyak kasus, dekat menjelang sidang pengadilan, penyelesaian temuan akan mengklarifikasi fakta-fakta yang dapat dijadikan bukti didepan sidang. Proses temuan dapat mengatur para pihak untuk memilih antara melakukan negosiasi atau berperkara menyangkut kasus itu.

2

. Gary Goodpaster, 1999, “Panduan Negosiasi Dan Mediasi”, Edisi Pertama, (Jakarta : Proyek ELIPS), hal. 218.

3


(11)

menempuh jalan melalui gugatan kepengadilan. Keadaan semacam ini banyak dilakukan pihak penggugat kapada tergugat dan hasilnya ternyata juga baik, karena isi gugatan tersebut untuk membangkitkan shock therapy kepada diri tergugat untuk bernegosiasi.4

Salah satu fungsi hakim sebagai mediator wajib memanggil kedua belah pihak, baik secara pribadi (in person) atau melalui kuasanya duduk mendengar bersama kompromi menyelesaikan masalah dengan baik dan menuangkan pendapat masing-masing dalam kesepakatan.5 Walaupun ada anggapan dari masyarakat perkotaan berperkara kepengadilan membuat orang kecewa, karena hakim selalu jauh dari masyarakat miskin dalam menerapkan keadilan dan hukum selalu dekat pada orang-orang kuat dan berduit.6

Kritikan tersebut diatas sudah mendunia dimana hal ini muncul karena sistem peradilan tidak sitematik, tidak efisien, tidak efektif, dan tidak dirancang

Lontaran dan kritikan kepada lembaga peradilan cukup banyak antara lain beracara di pengadilan sangat formalistik, lambat, biaya mahal, peradilan pada umumnya tidak responsif, putusan pengadilan tidak menyelesaian masalah dan kemampuan para hakim bersifat umum, ditambah lagi litigasi sangat melelahkan bahkan belum tentu orang mendapat keadilan.

4. Runtung, 2002, “Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Study Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe Dan Brastagi”, Disertasi, USU

Medan, hal. 16.

5

. M. Yahya Harahap, 1977, “Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan

Penyelesaian Sengketa”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal. 243.

6

. H.P.Pangabean, 2001, “Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari – Hari”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 2.


(12)

untuk menyelesaikan sengketa bahkan terasa hanya memberikan putusan abstrak yang biasanya menjurus tidak adil.

Dalam peradilan terdapat dua sudut pandang yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah apakah hakim akan melakukan hukum acara secara penuh sampai memutus dengan putusan akhir (eind vonis), dan yang kedua adalah hakim menjadi juru damai sebagai mediator melalui acara penyelesaian sengketa alternatif (PSA).

Dengan kata lain apakah hakim akan memeriksa dan mengadili perkara perdata berdasarkan persidangan menurut hukum acara perdata (civil law

process), atau sebaliknya hakim akan menempatkan jalan sebagai juru damai yang

berarti melaksanakan non formal, menempuh penyelesaian sengketa alternatif di pengadilan (court- connected ADR).

Ada proses penyelesaian perkara yang lain melalui jalur perdamaian yang diatur dalam hukum acara perdata (vide Pasal 154 Rbg), peraturannya hukum acara perdata untuk pengadilan luar Jawa dan Madura berlaku Rbg

(rechtsreglement buitengewesten).7

7

. Henry Lee a Weng, 1987, Peraturan Peradilan didaerah luar jawa dan Madura

(Rechtsreglement Buitengewesten), Fakultas Hukum USU Medan, hal. 54.

Putusan perdamaian nilainya paling tinggi tidak ada upaya hukum lagi. Penyelesaian sengketa melalui lembaga damai ini tidak berjalan dipengadilan negeri dan pengadilan tinggi (yudex factie). Seharusnya majelis hakim dan Advokat sebagai praktisi harus mendukunga lembaga damai ini.


(13)

Banyak peran advokat kurang mendukung lembaga perdamaian ini, bahkan menginginkan sekali perkara berjalan sesuai dengan proses hukum secara semaksimal mungkin sampai kepada peninjauan kembali.

Advokat sebagai pihak eksternal seharusnya dapat memahami penyelesaian sengketa alternatif, walaupun dengan lembaga perdamaian ini kemungkinan akan berkurang penghasilannya, namun secara profesionalisme telah menunjukkan wibawanya, karena dapat mendamaikan para pihak yang bersengketa dan disisi lain hakimpun bekerja tidak begitu berat.8

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengatakan ”Lambatnya proses sengketa di pengadilan oleh karena kurangnya mendapat perhatian dari hakim dan advokat terhadap lembaga perdamaian dan lebih lanjut dikatakan bahwa advokat juga ternyata enggan untuk menjalankan lembaga perdamaian karena apabila dilaksanakan akan mengganggu pendapatannya”.9

Hakim yang telah menggunakan penyelesaian sengketa alternatif melalui lembaga perdamaian secara langsung sudah melakukan pembinaan penyelesaian sengketa alternatif melalui pengadilan (Court-Connected ADR) dan manfaatnya sangat besar bagi kedua belah pihak untuk rukun damai dan harmonis. Selanjutnya adalah bagaimana realisasi pelaksanaan isi dari perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut (In kracht).10

8

. Victor M. Situmorang, 1993, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara

Perdata, Yakarta: PT Rineke Cipta, hal. 25.

9

. Bagir Manan, Pidato dihadapan peserta MUNAS Ikatan Pengacara Hukum Indonesia

(IPHI), tanggal 20-23Agustus, Hotel Danau Toba Medan.

10

. Retnowulan Sutantio, 2003, Mediasi dan Dading, dalam Proceedings Arbitrase dan Mediasi


(14)

Dengan berakhirnya sengketa lewat penyelesaian sengketa alternatif dan perdamaian (dading) adalah suatu cara penyelesaian yang jauh lebih baik dan lebih bijaksana, karena tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang (win-win) dari pada vonis hakim dengan putusan kalah dan menang (win-lose), karena dipandang dari segi hubungan kekeluargaan sudah tidak baik lagi, demikian juga dari segi waktu dan biaya.11

Arah politik hukum pemerintah Indonesia untuk mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu strategi penyelesaian sengketa sudah jelas. Beberapa Undang-Undang dan Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung RI, telah memberikan tempat penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di Indonesia.12

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengaturannya bersifat parsial untuk penyelesaian

Untuk penerapan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, kemudian Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 tanggal 30 januari 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai, dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2003 Tentang Proses Mediasi Menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan (Court-Connented ADR) yang telah direvisi oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

11

. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta: Pustaka Kartini, hal. 49.

12


(15)

sengketa alternatif, hanya terlihat dalam Pasal 1 dan Pasal 6, untuk Pasal selebihnya mengatur tentang arbitrase, sehingga menimbulkan beda pendapat dikalangan akademis dan praktisi terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 ini.

Penyelesaian sengketa alternatif ini sudah lama berkembang dibeberapa negara. Hanya saja di Indonesia berjalan sangat lambat namun bukan merupakan suatu hal yang baru dalam perkara perdata dan bisnis, dan penggunaannya juga sangat efektif dibandingakan dengan litigasi kepengadilan yang dianggap terlalu formalistik dan berbiaya mahal.

Penyelesaian sengketa alternatif disajikan untuk mencoba mengemukakan cara penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif, paling tidak untuk mengembangkan suasana harmonis menjaga untuk masa yang akan datang dan sesuai dengan keinginan para pihak dalam kesepakatan.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008, tertanggal 31 Juli 2008, yang salah satu pasal nya menyatakan: ”Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini”.

Berbagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang berkembang di tiap negara dapat saja berbeda karena sistem hukum dan budaya masyarakat negara itu sendiri turut menentukan.


(16)

Seperti disebutkan diatas mekanisme penyelesaian sengketa alternatif dilakukan dengan negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbritase mungkin sampai ke litigasi.13

dan berlandaskan kepada ”Iktikad baik”.

Mediasi sendiri merupakan perundingan antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak untuk mencapai sepakat

14

Perbandingan secara empiris perbedaan antara mediasi dan konsiliasi sangat tipis, bahkan dalam praktek disebut interchangeable. Dengan pengertian dalam mediasi, mediator tidak terlalu aktif, dia hanya mengiring para pihak untuk sampai pada keputusan yang diambil dalam hal ini para pihak itu sendiri, sedangkan dalam konsiliasi, konsiliasi lebih proaktif, dia bisa menyodorkan atau menawarkan solusi-solusi tertentu kepada pihak-pihak. Sehingga dalam praktek antara mediasi dan konsiliasi itu disebut dengan jalan senafas.

Hasil mediasi tersebut, berupa kesepakatan dalam arti perjanjian perdata mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang, seperti yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: ”Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dan sebaiknya persetujuan tersebut dibuat dengan akta otentik untuk menjaga gugatan dari pihak yang tidak beriktikad baik.

15

13

. M. Husseyn Umar, 2003, “Beberapa Catatan Tentang Latar Belakang Dan Prinsip Dasar Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999”, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, hal. 8-9.

14

. Prayatna Abdurrasyid, 2002, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Sebuah

Pengantar”, Jakarta: PT Fikahati Aneska, hal. 34

15


(17)

Oleh karena atas dasar pemikiran – pemikiran tersebut di atas, judul skripsi ini menyangkut tentang hal-hal yang berkaitan dengan peranan hakim mediator dan bagaimana cara pelaksanaan mediasi di pengadilan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Adapun judul skripsi ini adalah “PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut pada latar belakang maka rumusan permasalahan yang akan dibahas serta dianalisis dengan bertitik tolak pada peraturan-peraturan yang berlaku, teori, pendapat para sarjana, serta asas-asas hukum guna melengkapi pembahasan secara lengkap dan menyeluruh.

Perumusan masalah ini diangkat karena hal-hal ini merupakan kendala-kendala yang biasanya sering dihadapi oleh hakim mediator dalam pelaksanaan mediasi dipengadilan.

Adapun permasalahan yang akan angkat didalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana mediasi pada umumnya baik didalam pengadilan maupun dalam PERMA No. 1 tahun 2008?

2. Bagaimana kedudukan hakim mediator dalam menyelesaikan perkara menurut PERMA No. 1 Tahun 2008


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Didalam penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan pokok yang akan dicapai didalam pembahasan skripsi ini. Pembahasan tersebut didukung dengan adanya pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara diwajibkan untuk mengambil mata kuliah penulisan skripsi dan berakhir pada pelaksanaan ujian skripsi. Hal ini dimaksudkan untuk menerapkan atau mempraktekkan ilmu yang diperoleh mahasiswa selama perkuliahan berlangsung di fakultas.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang mediasi baik di dalam pengadilan maupun dalam PERMA No. 1 tahun 2008.

2. Untuk mengetahui tentang kedudukan hakim mediator dalam menyelesaikan perkara perdata menurut PERMA No. 1 Tahun 2008.

3. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan putusan perdamaian dalam proses mediasi.

Selanjutnya penulisan skripsi ini, diharapkan bermanfaat untuk : 1. Manfaat secara teori.

Penulisan skripsi ini kiranya dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan peran


(19)

hakim mediator dalam menyelesaikan perkara perdata menurut PERMA No. 1 tahun 2008.

Skripsi ini juga mendorong mahasiswa untuk mencoba mengembangkan teori yang pernah diperoleh dimasa perkuliahan dengan fakta-fakta yang ada didalam praktek peradilan perdata.

2. Manfaat secara praktis.

Secara praktis penulisan skripsi ini dapat memberi pengetahuan tentang peranan hakim mediator didalam pengadilan agar permasalahan – permasalahan yang ada diantara para pihak dapat diselesaikan dengan jalan damai dan kekeluargaan tanpa adanya pihak yang dirugikan dan tidak mengenal siapa pihak yang kalah ataupun menang. Oleh karena itu disini hakim mediator dituntut untuk lebih teliti dan jeli dalam melihat posisi kasus secara keseluruhan.

Selain itu dapat memberikan pengetahuan tentang pelaksaaan mediasi dipengadilan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, disamping juga menjelaskan tentang arti putusan perdamaian dalam pengadilan.

Terakhir, menjelaskan prosedur mediasi di pengadilan, yang kemudian kelak akan berguna bagi pembaca terutama bagi mereka yang berminat dan tertarik pada peranan hakim mediator.

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini dengan judul : ”PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008” adalah merupakan wacana yang sebenarnya telah lama


(20)

didengungkan. Peranan hakim mediator ini mengingat banyaknya perkara-perkara yang diajukan dipengadilan dengan putusan yang akan menguntungkan pihak yang menang. Dengan adanya hakim mediator ini diharapkan permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan jalan damai dan menguntungkan masing-masing pihak.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan doktrin – doktrin yang ada dalam melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum USU. Dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka akan dipertanggung jawabkan sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan kepustakaan didalam skripsi ini adalah menguraikan beberapa istilah–istilah atau kata –kata yang berkaitan erat dengan judul skripsi ini. Istilah – istilah yang akan diuraikan ini sangat erat hubungannya dengan pembahasan dan isi skripsi ini sendiri.

Dengan cara mengumpulkan data dari sumber-sumber yang ada kemudian mempelajarinya dengan cara menganalisa pengertian dari istilah-istilah atau kata-kata kunci ini akan dijabarkan secara umum. Ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pengulangan dari pengertian tentang istilah-istilah atau kata-kata kunci ini.


(21)

Istilah pertama akan penulis uraikan adalah mengenai istilah ”mediator”. Mediator menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 adalah ”mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”. Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung melalui lembaga mediasi), mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.16

Didalam Pasal 6 ayat 4 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat kita katakan bahwa Undang-undang membedakan mediator kedalam: pertama, mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999). Kedua, mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat 4 Undang-undang No. 30 Tahun 1999).

17

16

. Gunawan Widjaja, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hal. 91

17

. Ibid.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak yang berperkara untuk menyelesaikan permasalahan untuk memperoleh kesepakatan guna mengakhiri sengketa.


(22)

Istilah yang berhubungan dengan skripsi ini adalah ”peran mediator”. Raiffa melihat peran mediator sebagai sebuah garis rentang dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan peran sebagai berikut: penyelenggaraan pertemuan, pemimpin diskusi netral, pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab, pengendalian emosi para pihak, dan pendorong pihak atau perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya. Sedangkan sisi yang kuat mediator adalah bila dalam perundingan mediator mengerjakan atau melakukan hal-hal sebagai berikut: mempersiapkan dan membuat notulen perundingan, merumuskan titik temu atau kesepakatan para pihak, membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan diselesaikan, menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah, dan membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.18

Peran dan tugas hakim dalam menyelesaikan sengketa adalah memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan harmonis, menyelesaikan pokok sengketa secara adil dan damai sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah dan menang tetapi sama-sama menang, memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak. 19

18

. Suyud Margono, 2000, ADR & Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 59-60.

19

. A. Mukti Arto, 2000, Mencari Keadilan Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan


(23)

Pada posisi tersebut diatas, kedudukan hukum dan moral telah berjalan dengan seimbang dan peran hakim sebagai mediator telah membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa alternatif melalui pengadilan.

Kesemuanya ini tanpa peran aktif dari pada pihak sebagai subyek yang potensial dan yang bertanggung jawab dalam penyelesaian sengketa tidaklah mungkin sengketa ini dapat diselesaikan secara tuntas dan final.20

Fuller dalam Riskin dan Westbrook menyebutkan tujuh fungsi mediator, yakni pertama sebagai ”katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi. Kedua sebagai ”pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak. Ketiga sebagai ”penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul. Keempat sebagai ”nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Kelima sebagai ”penyandang berita jelek”, berati seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan. Keenam sebagai ”agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu

20


(24)

pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan. Ketujuh sebagai ”kambing hitam”, berati seseorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

Istilah lain yang berhubungan dengan judul skripsi ini adalah ”Perma Nomor 1 Tahun 2008”. Perma Nomor 1 Tahun 2008 ini tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma ini lahir atas dasar Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg yang menyebutkan: ”apabila pada hari sidang yang ditentukan, kedua belah pihak hadir maka Pengadilan Negeri dengan perantara ketua berusaha mengadakan suatu perdamaian antara mereka”. Hal inilah yang mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. Perma ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2008. Perma ini terdiri dari dari delapan bab dan 27 Pasal. Bab II mengatur tentang tahap pra mediasi. Bab III mengatur tentang tahap-tahap proses mediasi. Bab IV mengatur tentang tempat penyelenggaraan mediasi. Bab V mengatur tentang perdamaian ditingkat banding, kasasi, dan peninjaun kembali. Bab VI mengatur tentang kesepakatan diluar pengadilan. Bab VII mengatur tentang pedoman perilaku mediator dan intensif. Bab VIII mengatur tentang Penutup.

F. Metode Penelitian 1. Sifat / Bentuk Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, langkah pertama yang dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan


(25)

hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan – peraturan yang berkaitan dengan pemakaian instrumen hukum tata cara pelaksanaan hakim mediator dalam proses mediasi dipengadilan menurut PERMA No. 1 tahun 2008.

Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian ini bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini didalam perspektif hukum perdata khususnya berkaitan dengan penggunaan instrumen peranan hakim mediator menurut PERMA No. 1 tahun 2008.

2. Data

Bahan atau data yang diteliti berupa data sekunder yang terdiri dari :

a. bahan / sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas kerja.

b. Bahan / sumber sekunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini.

c. Teknik pengumpulan data.

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka akan menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis buku-buku, majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.


(26)

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah di dalam pembahasan skripsi mengenai Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, maka dalam hal ini akan dibagikan dalam beberapa bab. Sistematika penulisan tersebut dibagi dalam 5 bab, yaitu sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Mediasi Pada Umumnya yang terdiri atas pengertian mediasi, mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa para pihak, kritikan mendunia terhadap peradilan, dan mediasi diberbagai negara.

Bab III : Kedudukan Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 yang terdiri atas peran dan fungsi mediator dalam mediasi, ragam jenis hakim mediator, proses mediasi yaitu prosedur mediasi menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008, negosiasi dalam proses mediasi, intervensi strategis mediator, dan mediator’s skills.

Bab IV : Pelaksanaan Putusan Akta Perdamaian Dalam Proses Mediasi yang terdiri atas putusan perdamaian yang bertentangan dengan undang-undang, kekuatan hukum


(27)

yang melekat pada putusan akta perdamaian, syarat-syarat akta perdamaian menurut PERMA No 1 Tahun 2008, dan jumlah perkara yang berhasil dimediasi setelah keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008.

Bab V : Penutup yang terdiri atas kesimpulan berdasarkan pembahasan permasalahan dalam skripsi ini, saran – saran yang menjadi harapan penulis di dalam peran hakim mediator menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008.


(28)

BAB II

MEDIASI PADA UMUMNYA

A. Pengertian Mediasi

Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris ”mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah.21

Mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. Tidak seperti halnya dengan para hakim dan arbiter, mediator mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, malahan para pihak memberi kuasa pada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan problem diantara mereka.

22

Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediasi merupakan tata cara berdasarkan “itikad baik” dimana para pihak yang bersengketa menyampaikan saran-saran melalui

21.Rachmadi Usman,SH, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Citra Aditya

Bakti, Bandung,2003, hal 79.

22


(29)

jalur yang bagaimana sengketa akan diselesaikan oleh mediator, karena mereka sendiri tidak mampu melakukannya. Melalui kebebasan ini dimungkinkan kepada mediator memberikan penyelesaian yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang bersengketa memperoleh manfaat yang saling menguntungkan.23

Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement). Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencari kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan persengketaan. Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan kepada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak

Berikut akan dikemukakan makna mediasi secara etimologi dan terminology yang diberikan oleh beberapa ahli. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berati ada ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antar pihak. Berada ditengah juga bermakna mediator harus berada dalam posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan

(trust) dari para pihak yang bersengketa.

23


(30)

bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya, dimana hal ini sangat penting untuk membedakan dengan bentuk-bentuk lainnya seperti arbitrase, negosiasi, adjudikasi dan lain-lain. Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh.

Kemudian dalam pengertian mediasi secara terminology yang banyak diungkapkan para ahli resolusi konflik. Dimana para ahli resolusi konflik juga beragam dalam memberikan definisi mediasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Yang antara lain:

1. Laurence Bolle menyatakan ”mediation is a decision making process in the

which the parties are assisted by a meediator; the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reachan outcome to which of them can assent.

2. J. Folberg dan A. Taylor memaknai mediasi dengan ”The process by which the

participant, together with the the assistance of a neutral person, systematically isolate dispute in order to develop option, consider alternatif, and reach consensual settlement that will accommodate their need”.

Pengertian yang diberikan dua ahli di atas lebih menggambarkan esensi kegiatan mediasi dan peran mediator sebagai pihak ketiga. Bolle menekankan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan para pihak dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Pernyataan Bolle menunjukkan bahwa kewenangan pengambilan keputusan sepenuhnya berada ditangan para pihak, dan mediator hanyalah membantu para pihak dalam proses pengambilan keputusan


(31)

tersebut. Kehadiran mediator menjadi amat penting karena ia dapat membantu dan mengupayakan proses pengambilan keputusan menjadi lebih baik, sehingga menghasilkan outcome yang dapat diterima oleh mereka yang tertikai.

J. Folberg dan A. Taylor lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan mediasi. Kedua ahli ini menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa dan dibantu oleh para pihak yang netral. Mediator dapat mengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa, dan para pihak dapat pula mempertimbangkan tawaran mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa.

Ada beberapa batasan pengertian mediasi yang dikemukakan oleh para ahli. Gary Goodpaster mengemukakan mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif, dan dengan demikian


(32)

membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.24

Hal yang senada juga dikemukakan Christopher W. Moore, mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.25

”Mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah; sama seperti konsiliasi. Mediator, penengah adalah seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya”.

Jacqueline M. Nolan Haley, juga mengemukakan batasan mediasi yaitu:

”mediation is generally understood to be a short-term structured, task-oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement. Unlike the adjudication process, where a third party intervenor imposes a decision, no such compulsion exists in mediation. The mediator aids the parties in reaching a consensus. It is the parties themselves who shape their agreement”.

Dalam Black’s Law Dictionary, dikatakan bahwa :

”mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps, disputing parties to reach an agreement”.

”the mediator has no power to impose a decission on the parties”.

Selanjutnya, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, mengatakan bahwa:

24

. Rachmadi Usman, loc. cit.

25


(33)

Kamus Besar Bahasa Indonesia, memberikan batasan bahwa ”mediasi adalah proses pengikutsertakan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediator adalah perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa itu”. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting, pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.

Dalam kaitan dengan mediasi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan:

”Dalam hal sengketa atau beda pendapat setelah diadakan pertemuan langsung oleh para pihak (negosiasi) dalam 14 (empat belas) hari juga tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator”26

PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan juga memberikan definisi tentang mediasi yakni dalam pasal 1 ayat 7, yang berbunyi ”mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Kemudian Masyarakat

.

26

. Pasal 6 ayat (2) jo (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan


(34)

Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menyatakan bahwa terdapat banyak pengertian mediasi, tapi secara umum mediasi merupakan bentuk dari Alternatife Dispute Resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa. Penyebutan alternatif penyelesaian sengketa ini dikarenakan mediasi merupakan satu alternatif penyelesaian sengketa disamping pengadilan yang bersifat tidak memutus cepat dan murah dan memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan. Dalam proses mediasi ini membutuhkan pihak ketiga (mediator) yang dipilih oleh beberapa pihak.

Dari beberapa rumusan batasan mediasi diatas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan, melalui perundingan yang melibatkan pihak keriga yang bersikap netral (non-intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa, serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa, serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Pihak ketiga tersebut disebut ”mediator” atau ”penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator disini hanya bertindak sebagai fasilisator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.


(35)

Sedangkan pemutusan perkara, baik melalui pengadilan maupun arbitrase, bersifat formal, memaksa, melihat kebelakang, berciri pertentangan dan berdasar hak-hak. Artinya, bila para pihak me-litigasi suatu sengketa, proses pemutusan perkara diatur ketentuan-ketentuan yang ketat dan suatu konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian yang lampau dan hak serta kewajiban legal masing-masing pihak akan menentukan hasilnya.

Kebalikannya, mediasi sifatnya tidak formal sukarela, melihat kedepan, koperatif dan berdasarkan kepentingan. Seseorang mediator membantu pihak-pihak yang bersedia merangkai suatu kesepakatan yang memandang kedepan, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memenuhi standar kejujuran mereka sendiri. Seperti halnya para hakim dan arbiter, mediator harus tidak berpihak dan netral, serta mereka tidak mencampuri untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran subtantif, para pihak sendiri memutuskan apakah mereka akan setuju atau tidak.27

Dalam mediasi, para pihak ditempatkan sebagai partisipan yang aktif dalam proses pembuatan keputusan dan membiarkan mereka untuk berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan sengketa mereka demi kepentingan mereka

Mediasi menyediakan suatu metode bagi para pihak yang bersengketa untuk mengimplementasikan pilihan mereka sendiri yang disertai dengan kepedulian dan usaha untuk memperbaiki kembali pemikiran mereka demi menghasilkan suatu keputusan yang baik bagi kedua belah pihak dengan mengontrol hidup mereka dalam memecahkan sengketa yang mereka hadapi.

27


(36)

di masa yang akan datang. Dalam mediasi yang bersifat informal, para pihak diberi kesempatan untuk mengekspresikan emosi-emosi mereka dengan berusaha mencari identitas dari kepentingan fundamental mereka, untuk kemudian menyederhanakan kebingungan emosi mereka tersebut. Sebagai alternatif untuk menemukan suatu keputusan akhir bagi para pihak yang bersengketa, mediasi menyediakan suatu mekanisme, dimana para pihak yang bersengketa diarahkan untuk mampu membuat keputusan mereka sendiri.

Sebuah kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa menjadi tujuan utama dilakukannya proses mediasi. Tujuan tersebut tidak lain adalah agar para pihak mampu menghentikan ke-chaos-an emosi yang ditimbulkan oleh suatu sengketa yang mungkin dapat berlanjut menjadi satu hal yang berdampak negatif bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, seperti halnya jika mereka menyerahkan penyelesaian penyelesaian sengketa mereka pada jalur litigasi.

Mediasi adalah proses terkontrol, dimana pihak yang netral dan objektif dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, membantu para pihak tersebut untuk menemukan kesepakatan yang dapat diterima oleh keduanya untuk mengakhiri sengketa diantara mereka. Dengan catatan para pihak tetap memiliki kebebasan dalam menentukan kehendak mereka untuk menemukan penyelesaian sengketanya. Mediasi pada dasarnya adalah bagian dari proses negosiasi, yang tidak mempermasalahkan keberadaan pihak ketiga untuk membantu mereka membuat keputusan.


(37)

Tujuan dari pada seorang mediator tidak hanya sekedar membantu para pihak untuk menyelesaian sengketa mereka, tetapi lebih dari itu, dengan mengidentifikasi kepentingan-kepentingan para pihak, dengan berorientasi pada masa yang akan datang, seorang mediator dapat saling bertukar pikiran yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang pada akhirnya membuat mereka merasa bahwa mereka telah menemukan standard keadilan personal.28

B. Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Para Pihak

Setiap masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya atau dengan kata lain konflik merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.

Sebagai gejala sosial konflik adalah suatu proses sosial dimana setiap orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekuasaan.29

28

. Mediation: “A process to Regain Control Of Your Life”.

Artikel.http://www.mediate.com/. P.1.available on 4 oktober 2006.

29

. Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hal 95. Sebuah konflik akan berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bila mana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain. Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik.


(38)

Berkenaan dengan itu, berikut ini beberapa tipologi penanganan konflik yang dalam ADR dikelompokkan menjadi beberapa tahapan:30

- Penghindaran Konflik (Conflict avoidance)

- Pencegahan Konflik (Conflict prevention) - Pengelolaan Konflik (Conflict management) - Resolusi Konflik (Conflict resolution) - Penyelesaian Konflik (Conflict settlement)

Demikianpun ”kata konflik” dalam ADR bisa dilihat sebagai:31 1. Konflik sebagai persepsi

Konflik diyakini dan dipahami ada disebabkan kebutuhan, kepentingan, keinginan, atau nilai-nilai dari seseorang berbeda / tidak sama dengan orang lain.

2. Konflik sebagai perasaan

Konflik sebagai reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan adanya ketidaksesuaian atau ketidakcocokan. Reaksi emosional ini diwujudkan dengan rasa takut, sedih, pahit, marah, dan keputusan atau campuran perasaan-perasaan di atas.

3. Konflik sebagai tindakan

Konflik sebagai tindakan merupakan ekspresi perasaan dan pengartikulasian dari persepsi ke dalam suatu tindakan, untuk mendapatkan suatu kebutuhan

30

. Mas Achmad Sentosa & wiwik Awiati, Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung RI, 2004, hal. 29

31


(39)

(kebutuhan dasar, kepentingan dan kebutuhan akan identitas) yang memasuki wilayah orang lain.

Dengan ilustrasi beberapa konflik tersebut, kemudian bagaimana cara pencegahan dan penyelesaian sengketanya, hendaknya kita cermati, bahwa cara terbaik agar sengketa tidak terjadi adalah menjamin bahwa masing-masing pihak mengetahui apa yang diinginkan pihak lain dan menangkap dengan jelas, misalnya perjanjian tertulis diantara para pihak. Di samping itu meningkatkan pengetahuan masing-masing pihak tentang kepentingan orang lain akan dapat menurunkan peluang terjadinya suatu sengketa. Perlu diingatkan bahwa sengketa dapat dengan mudah terjadi, apabila masing-masing pihak tidak salingmengenal antara satu sama lain dan bila mereka memaksakan format bisnisnya yang baru atau bila mereka berasal dari budaya yang berbeda.

Sedangkan cara penyelesaian sengketa menurut Richard Hill ada empat, yaitu : pertama, satu pihak atau lebih sepakat untuk menerima suatu situasi, dimana kepentingan mereka tidak terpenuhi seluruhnya. Kedua, pihak-pihak mengajukan situasi atau persyaratan secara lengkap kepada orang atau panel, yang akan memutuskan kepentingan mana yang harus dipenuhi dan kepentingan mana yang tidak dipenuhi. Pada umumnya, orang atau panel yang tidak memihak tersebut akan merujuk kepada aturan-aturan atau pedoman yang telah ada dan yang telah disepakati oleh semua pihak atau sedikitnya sudah diketahui oleh semua pihak. Ketiga, persepsi satu pihak atau pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan. Keempat, kepentingan suatu pihak atau kepentingan pihak lain berubah, sehingga tidak ada perbedaan kepentingan.


(40)

Cara menyelesaikan sengketa (konflik) yang telah diekspresikan dan dimanifestasikan kedalam bentuk tuntutan, sanggahan atau pembelaan tidak lagi konflik terbatas pada persepsi dan perasaan, tetapi sebagai suatu aksi atau tindakan dengan mendasarkan pada norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan konsensual (melalui consensus), ajudikatif (Pengadilan atau arbitrase), atau kombinasi antara konsensual dan ajudikatif (hibrida).

Dalam proses penyelesaian sengketanya menggunakan opsi atau kombinasi bentuk-bentuk ADR sebagai proses penyelesaian sengketa, tergantung pada tahap atau bentuk-bentuk mana akhirnya keputusan tercapai.

Dari segi pembagian Alternatife Dispute Resolution, dibagi dalam dua bentuk yaitu Alternatif to Litigation terdiri atas negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan alternatife to adjudication terdiri atas negosiasi dan mediasi.

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa mediasi merupakan sarana penyelesaian sengketa dan suatu strategi dalam proses penyelesaian sengketa.

Sebagai suatu strategi mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan dengan bantuan mediator bertujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.

Dengan menggunakan mediasi sebagai sarana dan strategi penyelesaian sengketa maka akan didapatkan keuntungan seperti yang disebutkan oleh Christopher W. Moore, yaitu keputusan yang hemat, penyelesaian secara cepat,


(41)

hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak, kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan ”Customized”, Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif, tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga, pemberdayaan individu (Personal Empowermen). Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah, keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan, kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang kalah, keputusan berlaku tanpa mengenal waktu.32

1. Biasa memakan waktu yang lama.

Di samping kelebihan-kelebihan penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa, Munir Fuady menyebutkan juga kelemahan-kelemahan penggunaan mediasi dalam penyelesaian sengketa, yaitu :

2. Mekanisme eksekusi yang sulit, karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak.

3. Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai.

4. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya.

5. Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias.33

32

. Rahmadi Usman, Op.cit, hal 83-85

33


(42)

C. Kritik Mendunia Terhadap Peradilan

Yang dimaksud dengan kritik ”mendunia” adalah kritik yang merata di seluruh penjuru dunia. Memang benar, terutama sejak tahun 1960, muncul berbagai kritik yang ditujukan terhadap kedudukan dan keberadaan peradilan. Seluruh pelosok dunia melancarkan kritik atas peran peradilan. Oleh karena itu perlu diperingatkan, kritik yang muncul terhadap peradilan bukan gejala yang tumbuh di Indonesia saja. Tetapi menyeluruh dan merata di seluruh dunia. Apalagi setelah tahun 1980. Kritik yang dilontarkan semakin deras bertubi-tubi. Tidak hanya di negara-negara berkembang. Di Negara-negara industri maju, jauh lebih gencar kritik yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Bahkan terutama dari kelompok ekonomi. Kalangan masyarakat Amerika menuding, hancurnya perekonomian nasional, disebabkan mahalnya biaya peradilan. Seperti yang ditulis Tony MC Adams ”Law has become a very big American business”. Pada tahun 1985, total pendapatan pengacara di Amerika, berjumlah $ 64,5 miliar.34

1. Lambatnya penyelesaian sengketa.

Kenyataan atas kritik yang menganggap bahwa mahalnya biaya berperkara ikut mempengaruhi kehidupan perekonomian bukan hanya terjadi di Amerika, melainkan terjadi di semua negara. Kritik tergantung dari berbagai negara terangkum dalam uraian sebagai berikut:

Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umumnya adalah lambat (waste of

time). Proses pemeriksaan bersifat sangat formal (formalistic) dan teknis

34


(43)

(technically). Selain dari pada itu, arus perkara semakin deras, sehingga peradilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak (overloaded).

Kenyataan tentang lambatnya penyelesaian perkara telah dikemukakan oleh J. David Reitzel ”the is a long wait for litigants to get trial”. Jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Untuk memulai pemeriksaan saja, harus antri dan menunggu. Kenyataan itupun telah dikemukakan oleh Heteger Muller ”the advent of litigious society and the

increasing case loads and delays that this generate are already matterr of public concern”.

2. Mahalnya biaya perkara.

Para pihak menganggap bahwa biaya perkara sangat mahal, apalagi dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa. Semakin lama penyelesaian suatu perkara akan semakin besar biaya yang akan dikeluarkan. Orang berperkara di Pengadilan harus mengerahkan segala sumber daya, waktu dan pikiran (litigation paralize people).

3. Peradilan tidak tanggap.

Pengadilan sering dianggap kurang tanggap dan kurang responsif (unresponsive) dalam menyelesaikan perkara. Hal itu disebabkan karena pengadilan dianggap kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan suatu kebutuhan para pihak yang berperkara dan umum atau masyarakat menganggap pengadilan sering tidak berlaku adil (unfair).


(44)

Sering putusan pengadilan tidak mampu memberi penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak. Putusan pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Yang muncul dari putusan pengadilan:

- Tidak bersifat PROBLEM SOLVING di antara pihak yang bersengketa, - Tetapi menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang saling

berhadapan:

1. Menempatkan salah satu pihak pada posisi PEMEGANG (the winner), 2. Dan menyudutkan pihak yang lain sebagai pihak yang KALAH (the

losser).

- Selanjutnya, dalam posisi ada pihak yang menang dan kalah, bukan kedamaian dan ketentraman yang timbul, tetapi pada diri pihak yang kalah, timbul dendam dan kebencian.

Di samping itu ada pula putusan Pengadilan yang membingungkan dan tidak memberi kepastian hukum (uncertanty) serta sulit untuk diprediksikan (unpredictable).

5. Kemampuan hakim yang bersifat generalis.

Para Hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, hanya pengetahuan dibidang hukum saja, sehingga sangat mustahil akan bisa menyelesaikan sengketa atau perkara yang mengandung kompleksitas diberbagai bidang.

Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dikemukakan akan tetapi dari deskripsi yang telah diuraikan di atas dapat memberikan gambaran betapa


(45)

kompleknya permasalahan yang ada di lembaga peradilan tersebut. Meskipun kedudukannya dan kebenarannya sebagai pressure valve and the last ressort dalam mencari kebenaran dan keadilan, kritikan-kritikan tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan.

Sifat formal dan teknis pada lembaga peradilan sering mengakibatkan penyelesaian sengketa yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu yang lama. Apalagi dalam sengketa bisnis, dituntut suatu penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya murah serta bersifat informal procedure.

Jika kecaman yang diarahkan ke Pengadilan dihubungkan dengan ungkapan – ungkapan yang melekat pada Pengadilan, masih pastaskah mempertahankan Pengadilan sebagai the first resort and the last ressort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang? Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk penyelesaian baru sebagai alternatif seperti Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang berada di luar Pengadilan, dimana prinsip dari ADR salah satunya adalah cepat dan biaya murah.

Kritikan yang dilancarkan kepada lembaga Pengadilan memang tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Negara-negara industri maju. Tetapi perkembangan masyarakat yang menuntut kecepatan, kerahasiaan, efisien dan efektif serta menjaga kelangsungan hubungan yang telah ada, tidak dapat memberikan win – win solution dan menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan seperti dalam konsep penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan yang positif, terutama di dunia bisnis.


(46)

D. Mediasi di Berbagai Negara

1. Proses Mediasi di Amerika Serikat

Penerapan ADR di Amerika Serikat yang pada umumnya merujuk kepada alternatif-alternatif adjudikasi pengadilan atas konflik seperti negosiasi, mediasi, arbitrasi, mini-trial dan summary jury trial, dilatar belakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis, mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi.35 Thomas J. Harron berkata bahwa masyarakat Amerika Serikat sudah jemu mencari penyelesaian sengketa melalui litigasi (badan peradilan). Mereka tidak puas atas sistem peradilan (dissattisfied with the judicial system). Karena cara penyelesaian sengketa yang melekat pada sistem peradilan sangat bertele-tele (the delay

inherent in a system / dengan cara-cara yang sangat merugikan).36 Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif terhadap ajudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan telah menjadi cara hidup bagi orang Amerika yang mengupayakan sistem judicial baik secara suka rela (voluntarily) maupun tidak suka rela (involuntarily)37

35

. Bismar Nasution, “Menuju Penyelersaian Sengketa Alternatif”, Makalah, disampaikan pada seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan, tanggal 18Juni 2003, Medan, hal. 5

36

. Rachmadi Usman, Op.cit, hal. 35

37

. Bismar Nasution, Op.cit, hal. 4


(47)

pilihan. Litigasi ditempatkan sebagai the least resort (upaya akhir). Alternatif Dispute Resolution (ADR) ditempatkan sebagai the first resort (upaya utama).

Selama presentasi Pound Converence pada tahun 1976 tentang ketidakpuasan publik terhadap sistem pengadilan, Profesor Harvard Frank E.A. Sander menawarkan pendekatan inovatif, yang dapat mempermudah permintaan yang meningkat kepada pengadilan-pengadilan di seluruh wilayah negara. Dengan memberi nama konsepnya multy-door court-house, Profesor Sander menginginkan satu Pengadilan yang besar yang menyediakan program Penyelesaian Sengketa dengan banyak pintu (multy doors) atau program dimana perkara-perkara dapat di diagnosa dan dirujuk melalui pintu yang tepat untuk penyelesaian perkara-perkara tersebut. Program-program ini dapat dilakukan di dalam atau di luar gedung Pengadilan, dan dapat meliputi litigasi, konsiliasi, mediasi, arbitrase dan pelayanan-pelayanan sosial dan pemerintahan.38

Program percobaan di Mahkamah Agung DC dibentuk pada tahun 1985. Empat tahun kemudian, dibulan Februari 1989. Mantan Ketua Hakim (Pengadilan) B. Ugast menyatakan percobaan berhasil dan memilih program tersebut sebagai operasi penuh Divisi dari Pengadilan. Pada saat itu, Ketua Hakim (Pengadilan) Eugane Hamilton telah membuat juga prioritas pelayanan penyelesaian perselisihan.

39

Dalam tahun 1985, Pusat Intake dan Referral adalah program pertama

multy door yang dibentuk di dalam Pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi. Staf

38

. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis, mengenai:

Court Dispute Resolution, 2003, hal.20

39


(48)

dan suka relawan yang terlatih disediakan untuk membantu penduduk daerah. Metropolitan Columbia untuk mempertimbangkan pilihan (opsi) bentuk penyelesaian perkara. Jika Intake Specialist tidak mampu mengkonsiliasikan perkara, penduduk yang berperkara tersebut direfer ke Pelayanan Masyarakat dan Hukum yang tepat.40

Dalam tahun yang sama, program Mediasi terhadap perkara-perkara kecil menjadi yang pertama dari multiple doors. Sehari-hari para pekerja mereka tersebut di Pengadilan Perkara Kecil untuk membantu para pihak mencapai penyelesaian yang memuaskan dan bermutu. Sebagai tambahan, dalam tahun 1991 para Mediator Perkara Kecil memulai untuk me Mediasikan tumpukan perkara dengan gugatan yang besarnya tidak lebih dari $ 25.000. hampir 47 % dari perkara kecil yang memasuki mediasi telah diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga yang netral.

41

Program Mediasi Keluarga mulai beroperasi pada akhir tahun 1985. Pada mulanya perkara masuk ke Mediasi Keluarga atas dasar kesukarelaan dan melibatkan permasalahan penghidupan anak, penjagaan, kunjungan resmi, penghidupan pasangan suami-istri dan bagian harta kekayaan. Mediasi dapat dilakukan sebelum pendaftaran perkara diajukan secara formal di Pengadilan, atau setiap saat setelah perkara didaftarkan di Pengadilan, bahkan pada saat perkara tersebut telah diperiksa. Persoalan pajak dan rumah penginapan juga di Mediasikan oleh para Mediator Keluarga yang dilatih khusus. Kasus-kasus yang

40

. Ibid

41


(49)

tidak dapat untuk di Mediasikan adalah kasus yang menyangkut penggunaan senjata-senjata, luka parah / kecelakaan oleh satu pihak kepada pihak yang lain, kekerasan yang berulang, penyiksaan terhadap anak, atau kurang keseimbangan kekuatan para pihak dalam suatu perjanjian.42

Dalam upaya yang berkesinambungan untuk mendidik masyarakat hukum mengenai teknik ADR dan untuk mengurangi jumlah perkara perdata yang sudah lama di Pengadilan. Untuk satu minggu setiap tahun dari 1987 sampai 1989, semua pemeriksaan perdata Pengadilan Perdata ditunda untuk satu minggu dan Mediator suka rela menyelesaikan antara 700-900 kasus selama periode lima hari. Minggu ini yang disebut minggu penyelesaian perkara (settlement week).

43

Keberhasilan dari minggu penyelesaian (settlement week) menyemangati Pengadilan untuk menyediakan Mediasi bahkan untuk perkara yang kompleks sekalipun. Atas permintaan dari salah satu pihak saja, Pengadilan memerintahkan seluruh pihak untuk berpartisipasi paling tidak untuk satu resi Mediasi. Lima puluh tiga persen dari kasus-kasus ini terselesaikan melalui Mediasi.44

Pada akhir tahun 1989, Pengadilan memulai merencanakan Program Pengurangan Penundaan Perdata secara komprehensif. Pengadilan mengantisipasi bahwa program ini mempunyai proses perkara perdata ke Pengadilan Tinggi, sesuai dengan pedoman ABA untuk menyelesaiakan perkara tepat pada waktunya. Program penundaan perdata meliputi penggunaan proses perkara secara otomatis,

42

. Ibid

43

. Ibid, hal 22


(50)

tigas-tugas rutin pengurangan, pengelolaan kasus yang berbeda, dan gabungan penggunaan Lembaga Mediasi, Arbitrase dan Evaluasi kasus secara netral.45

2. Proses Mediasi di Canada.

Untuk membantu konversi Program Pengurangan Penundaan Perkara Perdata, Divisi multi-door me Mediasikan kurang lebih 3.100 kasus-kasus perdata yang telah lama tertunda antara Oktober 1989 dan Januari 1991, dan telah diselesaikan kurang lebih setengahnya.

46

Pemerintahan Canada juga memperkenalkan Mediasi yang dikenal dengan nama Court Connected ADR dan diprakarsai oleh Departement General Attorney Court Connected ADR mendayagunakan hukum acara Perdata Mahkamah Agung di antaranya bahwa para pihak yang berperkara wajib memilih mediator paling lama 10 hari setelah perkara dimajukan. Mediator di Negara bagian tersebut ada sebanyak 14.000.

Ontario

Pemerintahan Negara bagian Ontario di Canada meluncurkan suatu program Mediasi yang disponsori oleh Departement General Attorney di Ontario. Proyek sebelumnya dilakukan di Peradilan Propinsi Toronto di Ottawa. Sekarang ini diperluas ke beberapa wilayah propinsi misalnya di Winse.

45. Ibid, hal. 23

46

. Diringkas dari Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah, hal.


(51)

Mediasi di Ontario disebut dengan nama Court Connected ADR yang memperkenalkan Rooster of Mediators (List Mediators) yang artinya bahwa sejumlah nama-nama mediator dibuat dalam satu list tersendiri yang dapat dipilih oleh pihak-pihak yang berperkara.

Ketentuan Court Connected di Ontario ini menyatakan bahwa para pihak yang berperkara harus telah memilih mediator yang terdaftar dalam list mediator, paling lama 30 hari setelah perkara dimajukan ke Pengadilan. Apabila para pihak tidak dapat memilih mediator atau tidak ada kesempatan di antara mereka, maka koordinator Mediasi lokal menunjuk sendiri mediator. Mediator yang terdaftar di

list mediator telah mendapat pendidikan dari profesinya dan bukan berasal dari

Hakim.

Selanjutnya apabila para pihak telah memilih seorang mediator maka menurut ketentuan para pihak tersebut harus telah menyiapkan dalam waktu paling lama 7 hari Statement of Issues. Statement of Issues ini berisi fakta-fakta dan Hukum (Faktual and legal Issues) juga harus dicantumkan posisi dan kepentingan para pihak.

Dalam hal kehadiran para pihak yang berperkara dalam sesi Mediasi menurut ketentuan Court Connected ADR Ontario mewajibkan para pihak yang berperkara disertai Kuasa atau Penasehat Hukumnya kecuali ditentukan lain oeh Hakim dengan alasan-alasan tertentu. Biaya perkara sehubungan dengan Mediasi ini ditanggung oleh para pihak berdasarkan yang dikembangkan oleh Mediasi di Ontario.


(52)

3. Proses Mediasi di Singapura47

Singapura mempunyai Lembaga Mediasi yang berada di luar Pengadilan yang disebut dengan Singapore Mediation Center (SMC) dan Lembaga Mediasi di dalam Pengadilan yang disebut dengan Court Dispute Resolution.

a. Mediasi di Luar Pengadilan

Singapore Mediation Center (SMC)

Pusat Mediasi Singapura SMC (Singapore Mediation Center) adalah organisasi yang tidak mengambil keuntungan yang didirikan pada tahun 1997 untuk memberikan pelayanan Mediasi komersil. SMC adalah suatu organisasi yang mempunyai struktur sebagaimana halnya Perusahaan (Perseroan Terbatas) yang dijamin oleh Akademi Hukum Singapura. Budget SMC diperoleh sebagian dari Pemerintah Singapura melalui Departemen Hukum.

Fungsi-fungsi SMC (Pusat Mediasi Singapura) meliputi :

1). Memberikan pelayanan-pelayanan Mediasi dan alternatif penyelesaian perselisihan lain (ADR);

2). Menyediakan fasilitas untuk negosiasi, Mediasi dan bentuk lainnya dari ADR; 3). Menyediakan pelatihan negosiasi dan keahlian berMediasi;

4). Menjaga akreditasi para mediator;

5). Memberikan pelayanan konsultasi untuk pencegahan perkara, management perkara dan mekanisme ADR; dan

6). Meningkatkan pelayanan Mediasi dan ADR yang lain.

47

. Diringkas dari Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah, hal


(53)

Pusat Mediasi Singapura dalam memberikan pelayanan mediasi di dukung oleh Peradilan Singapura. Pengadilan merujuk perkara-perkara yang tepat untuk di Mediasikan di Pusat Mediasi Singapura. Mahkamah Agung dan Pengadilan-pengadilan bahkan keduanya telah mengeluarkan peraturan pendaftaran perkara untuk tidak mengajukan gugatan atau pembayaran uang kembali biaya sidang untuk para pengguna pelayanan Pusat Mediasi Singapura. Mahkamah Agung menyediakan penterjemah untuk Pusat Mediasi Singapura, untuk membantu SMC dalam memperluas pelayanannya untuk para pihak yang berperkara bagi yang tidak dapat berbahasa Inggris. Untuk memajukan penggunaan teknologi dalam penyelesaian perkara, dan untuk memfasilitasi perkara yang di Mediasikan yang melibatkan pihak asing yang tidak dapat menghadiri proses Mediasi di Singapura Mahkamah Agung telah mengembangkan penggunaan fasilitas-fasilitas Pengadilan Teknologi dan Chamber Technology Mahkamah Agung, untun keperluan Mediasi di bawah naungan Pusat Mediasi Singapura.

Jenis-jenis perkara yang di Mediasikan di SMC termasuk perkara bank, perkara konstruksi, perkara kontrak yang meliputi penjualan properti, perkara kontrak yang berhubungan dengan pensuplaian barang-barang atau jasa, perkara perusahaan, perkara perceraian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perceraian, perkara keluarga, perkara teknoligi informasi, perkara asuransi, gugatan perbuatan melawan hukum, perkara persekutuan (perusahaan), gugatan ganti rugi, perkara perkapalan, perkara sewa menyewa. Kira-kira 75 % perkara yang dimediasikan di SMC diselesaikan dengan damai.


(54)

Biaya Mediasi, masing-masing pihak diminta untuk membayar Pusat Mediasi Singapura dan biaya administrasi 55250 (Rp. 1.164.482.500,-) untuk mendukung pemberian pelayanan dan administrasi.

Sebagai tambahan, para pihak akan juga membayar biaya Mediasi yang dikeluarkan oleh SMC :

1. Biaya Mediator; 2. Penyewaan Gedung;

3. Makanan dan minuman untuk makan siang dan penyegaran kembali untuk mediator dan sampai 3 orang wakil dari masing-masing pihak.

Umumnya, biaya mediator akan dikenakan berdasar ukuran tertentu, demikian pula bila ada permintaan khusus para pihak untuk dua mediator yang ditunjuk.

Clausula Mediasi yang merujuk perkara untuk di Mediasikan di Pusat Mediasi Singapura (SMC) telah terhubung dalam forum perjanjian jual beli berdasarkan Peraturan Pengembangan Perumahan.

Attorney-General’s Chamber juga telah merekomendasikan clausula mediasi supaya dimasukkan dalam kontrak-kontrak pemerintah yang merujuk perkara untuk di Mediasikan di SMC.

Pusat Mediasi Singapura memberi saran kepada perusahaan untuk memasukkan klausula Mediasi di dalam kontrak.

Proses Mediasi di SMC 1. Proses Mediasi

Proses Mediasi di SMC diatur dalam Prosedur Mediasi yang menentukan sebagai berikut:


(55)

1). Para pihak yang bersengketa, yang mempunyai keinginan yang sama dengan Mediasi, mengirim permohonan Mediasi kepada SMC. Permohonan tersebut sebaiknya memuat duduk perkaranya, nama-nama serta alamat-alamat dan nomor-nomor telepon para pihak yang berperkara, para wakil dan para penasehat hukum mereka yang dapat dihubungi. Permohonan untuk Mediasi juga dapat diajukan melalui elektronik ke website SMC.

2). Dalam hal ini tidak semua pihak yang bersengketa mempunyai keinginan untuk Mediasi, SMC akan :

a). Dalam waktu 14 hari dari tanggal permohonan, para pihak yang tetap menginginkan mediasi, diyakinkan untuk berpartisipasi dalam proses Mediasi; dan

b). Dalam waktu 12 hari dari tanggal permohonan, keterangan semua pihak diperoleh apakah Mediasi dapat diproses.

3). Proses Mediasi akan melibatkan para pihak, para wakil mereka dan / atau para penasehat (jika ada) dan Mediator atau Para Mediator. Mediasi akan dilaksanakan berdasarkan kepercayaan, dan seluruh komunikasi berlangsung berasaskan ”tanpa prasangka”.

2. Perjanjian Mediasi

Sebelum dibawa ke Mediasi, para pihak membuat perjanjian (”Perjanjian Mediasi”).


(56)

1). Umumnya, masing-masing pihak sebaiknya menghadiri sendiri (in person) proses mediasi. Dalam suatu perkara perusahaan, para pihak dimungkinkan menunjuk wakil-wakil mereka untuk bertindak dalam proses Mediasi. Para pihak melalui wakil-wakilnya dapat meminta nasehat seorang yang ahli jika diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara. Para pihak akan hadir di SMC untuk Mediasi, dalam waktu yang disebutkan secara terperinci oleh SMC, nama-nama dari para wakil dan para penasehat yang menghadiri Mediasi.

2). Mediator setelah berkonsultasi dengan para pihak, akan menentukan langkah-langkah yang akan diambil selama proses Mediasi. Dengan penandatanganan perjanjian Mediasi, para pihak dianggap telah menerima perjanjian tersebut dan akan mengikat mereka dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan Prosedur Mediasi.

4. Mediator

1). Dengan penandatanganan perjanjian (mengikatkan diri kedalam perjanjian) oleh para pihak, SMC akan menunjuk seseorang untuk bertindak sebagai mediator atau beberapa orang sebagai para mediator.

2). SMC akan memilih seseorang yang terbaik dalam pandangannya sebagai mediator untuk menyelesaikan suatu perkara. Dalam hal salah satu para pihak mempunyai alasan-alasan untuk mengajukan keberatan terhadap mediator tersebut, SMC akan memilih mediator lain.

3). Seseorang yang dipilih sebagai Mediator dapat menarik diri dengan alasan yang patut demi mencegah kesan prasangka. SMC, setelah menerima relas


(57)

pemberitahuan, akan menunjuk orang lain sebagai mediator, kecuali para pihak memutuskan kebijaksanaan lain.

4). Tugas Mediator :

a). Seseorang yang dipilih sebagai Mediator akan memberitahukan kerahasiaan sebelum memulai Mediasi;

b). Menjaga dan mempertahankan jangka waktu tertentu sebagaimana dalam Perjanjian Mediasi dan Peraturan Pelaksanaan sebagaimana dalam Amex B;

c). Membantu para pihak untuk membuat perjanjian perdamaian secara tertulis; dan

d). Pada umumnya para pihak difasilitasi untuk bernegosiasi dengan memberi petunjuk berdiskusi dengan tujuan untuk menemukan solusi yang bermutu yang dapat diterima semua pihak. Kecuali atas permintaan seluruh pihak yang terlibat, Mediator tidak akan memberikan pendapatnya untuk solusi atas perkara tersebut.

5). Mediator sebaiknya tidak bertindak untuk salah satu pihak yang berperkara pada suatu waktu tertentu dalam hubungannya dengan pokok permasalahan yang di Mediasikan. Mediator dan SMC bukan merupakan perwakilan, atau bertindak dalam suatu kapasitas untuk salah satu para pihak. Mediasi bukan perwakilan SMC.

5. SMC

1). SMC akan membuat hal-hal yang diperlukan untuk mediasi, meliputi : a). Memilih Mediator atau Para Mediator;


(58)

b). Mengatur tempat pertemuan dan menentukan tanggal untuk Mediator; c). Mengatur pertukaran dari ringkasan dari kasus-kasus dan

dokumen-dokumen; dan

d). Menyediakan pendukung administrasi umum.

2). SMC akan membantu dalam pembuatan Perjanjian Mediasi. 6. Pertukaran Informasi

1). Para pihak akan melakukan pertukaran melalui SMC, sekurang-kurangnya lima hari sebelum Mediasi dimulai, sebagai berikut:

a). Ringkasan singkat (ringkasan) yang memuat perkara tersebut; dan b). Menyalin semua dokumen yang ditentukan dalam ringkasan tersebut. 2). Masing-masing pihak mungkin juga mengirimkan dokumen ke mediator

melalui SMC, atau membawanya langsung ke bagian dokumen Mediasi dengan memberitahukan bahwa dokumen tersebut bersifat rahasia dan hanya dapat diketahui Mediator, dan menyatakan secara tegas dan tertulis bahwa dokumen-dokumen tersebut supaya disimpan secara rahasia oleh mediator dan SMC.

3). Para pihak sebaiknya mencoba untuk setuju kepada jumlah halaman yang dikandung dalam ringkasan mereka masing-masing dan pada jumlah halaman yang mendukung dokumen yang diserahkan. Para pihak juga sebaiknya mencoba untuk setuju pada pengaturan penggabungan dokumen-dokumen.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mediasi pada umumnya yang ada di dalam pengadilan ada 2 (dua) jenis,

yaitu di pengadilan dan diluar pengadilan. Mediasi diluar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional (PMN). Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008. Di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 ini proses mediasi dilakukan dengan tertutup kecuali para pihak menghendaki lain dan dilaksanakan dengan iktikad baik oleh masing-masing pihak. Dengan adanya mediasi perkara-perkara yang ada dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan serta musyawarah dan mufakat, tidak ada menang dan kalah tetapi hanya penyelesaian yang menguntungkan para pihak.

2. Kedudukan hakim mediator dalam menyelesaikan perkara menurut

PERMA Nomor 1 Tahun 2008, adalah mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati, mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi, dan melakukan kausus yaitu mengadakan pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Salah satu peran mediator adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan yang


(2)

saling berbeda agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan pangkal tolak pemecahan masalah.

3. Pelaksanaan putusan perdamaian dalam proses mediasi berkekuatan hukum

tetap. Keputusan perdamaian para pihak dengan bantuan mediator harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan mediatornya. Kesepakatan perdamaian harus dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian yang memuat klausula pencabutan gugatan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Putusan perdamaian ini juga mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana halnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Putusan akta perdamaian ini juga tidak bisa dibanding karena berdasarkan Pasal 154 Rbg/130 HIR, putusan akta perdamaian merupakan suatu putusan yang tertinggi dan tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya. Pelaksanaan PERMA No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan ini ternyata belum membawa keberhasilan. Hal ini dapat dilihat dari minimnya jumlah perkara yang berhasil dimediasikan dibandingkan dengan banyaknya perkara yang masuk di pengadilan setiap tahunnya.

B. Saran

1. Perlu adanya suatu Undang-Undang Khusus tentang Mediasi yang

mengadopsi asas-asas mediasi yang modern namun tetap memberi tempat bagi pengakuan mediasi tradisional yang ada dalam masyarakat adat Indonesia. Jadi tidak hanya suatu PERMA yang dikeluarkan oleh


(3)

Mahkamah Agung saja yang menjadi acuan dalam proses mediasi tetapi diharapkan adanya suatu Undang-Undang yang khusus membahas tentang proses mediasi dipengadilan.

2. Proses mediasi sesuai dengan PERMA No 1 Tahun 2008 sistematikanya

kurang baik karena jangka waktu proses mediasi sejak hakim mediator dipilih oleh para pihak berlangsung paling lama 40 hari kerja. Sehingga diharapkan prosedur mediasi dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 jangan membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan PERMA No. 2 Tahun 2003 karena akan lebih banyak memakan waktu dan membuang-buang waktu bagi hakim mediator yang mempunyai tugas atau pekerjaan yang lainnya.

3. Dalam upaya untuk melahirkan mediator yang memiliki keterampilan

sebagai mitra pengadilan, diharapkan kepada Mahkamah Agung untuk dapat penyelenggaraan pelatihan mediasi bagi para mediator.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku / Literatur

Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, PT Fikahati Aneska, 2002.

Aweng, Henry Lee, Peraturan Peradilan di Daerah-daerah Luar Jawa dan

Madura, Medan, Fakultas Hukum USU, 1987.

Emirzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Jakarta, PT

Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Fuady, Munir, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Goodpaster, Gary, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Jakarta, Proyek ELIPS, 1999.

Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, 2004

Manan, Bagir, Profisonal Advokad di Indonesia, Pidato Pada MUNAS Ikatan

Pengacara Hukum Indonesia (IPHI), diadakan di Hotel Danau Toba, Medan, Tanggal 21-23 Agustus 2003.

Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek

Hukum), Jakarta, Ghalia Indonesia, 2000.

Mukti, A, Arto, Mencari Keadilan Kritik dan Solusi Terhadap Praktek

Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

2000.

Nasution, Bismar, Penyelesaian Sengketa Alternatif, Makalah : Disampaikan di Medan Pada Seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan, Tanggal 18 Juni 2003. Pangabean, H.P, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-Hari,


(5)

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis

Mengenai Court Dispute Resolution, 2003.

Sitepu, Runtung, Penyelesaian Sengketa Alternatif Dalam Masyarakat Batak Karo di Perkotaan: Suatu Studi di Kota Kabanjahe dan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara, Disertasi, Universitas Sumatera Utara Medan, 2002.

Situmorang, Victor, Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara

Perdata, Jakarta, Rineka Cipta, 1993.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta, Rajawali Press, 1987.

---, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali, 1982.

Subekti, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 1978.

Sutantio, Retnowulan, Mediasi dan Dading Dalam Proses Arbitrase dan

Mediasi, Jakarta, Rajawali, 2003.

Syahrani, Riduan, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta, Pustaka Kartini, 1988.

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2003.

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Yahya, M, Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar

Grafika, 2005.

---, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan


(6)

B. Perundang-Undangan

Undang – Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.