Latar Belakang Masuknya Perkara Ekonomi Syariah Dalam Kewenangan

70

C. Latar Belakang Masuknya Perkara Ekonomi Syariah Dalam Kewenangan

Peradilan Agama Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tumbuh pesat di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal dengan instrumennya obligasi dan reksadana syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dll. 17 Secara yuridis formal, pengakuan terhadap prinsip ekonomi syariah telah diakomodir dalam pelbagai peraturan perundang-undangan nasional. Mulai dari diundangkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kemudian diperkuat melalui UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI, hingga diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kiranya sudah sangat jelas menunjukkan bahwa otoritas hukum Islam dalam operasional konsep dan sistem ekonomi syariah, terutama di dalam sistem perbankan di Indonesia, telah memiliki legitimasi dan kepastian hukum secara yuridis formal. 18 Perspektif yuridis ini mengandung makna bahwa pelembagaan prinsip syariah merupakan satu bentuk konkretisasi proses transformasi sub-sistem hukum Islam menjadi bagian utuh sistem hukum positif nasional dan menjadi seperangkat 17 Jaih Mubarak, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”. Artikel ini diakses pada tanggal 15 Oktober 2008 di httpwww.badilag.net. 18 Jaih Mubarak, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”. Artikel ini diakses pada tanggal 15 Oktober 2008 di httpwww.badilag.net. 71 aturan yang secara eksklusif mengatur sistem operasional kegiatan usaha perbankan, yang pada gilirannya akan makin memperkuat otoritas hukum Islam dalam operasional konsep dan sistem ekonomi syariah. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi syariah. Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini kasusnya selama ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan Pengadilan Agama. Pasal 49, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu bidang: Perkawinan, Kewarisan yang meliputi juga wasiat dan hibah dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU No. 7 Tahun 1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No. 3 Tahun 2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu lakukan amandemen. Pada pasal 49 point i UU No. 3 Tahun 2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. 19 19 Jaih Mubarak , “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”. Artikel ini diakses pada tanggal 15 Oktober 2008 di httpwww.badilag.net. 72 Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari ‟ah. Pengadilan Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan konvensional. Pasalnya, bagaimana pun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara. 20 Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No. 7 Tahun 1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek BW, kitab Undang-undang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat. 21 Di samping melalui Peradilan Agama, penyelesaian sengketa ekonomi syariah dimungkinkan melalui arbritase syariah yang sudah melembaga sebagai badan arbirtase syariah nasional BASYARNAS. Badan arbitrase syariah sebagaimana dimaksud dalam Rv. reglement rechrvoordering karena sengaja 20 Abdul Manan, Sengketa ekonomi syariah sebagai kewenangan baru, artikel ini diakses pada tanggal 18 November, 2010, 13:14 http:pa-wates.net . 21 Abdul Manan, Sengketa ekonomi syariah sebagai kewenangan baru, artikel ini diakses pada tanggal 18 November, 2010, 13:14 http:pa-wates.net . 73 dibentuk untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan merupakan arbitrase institusional. 22 Arbitrase syariah 23 merupakan salah satu lembaga penyelesaian perkara antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah diluar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Ini berarti lembaga Basyarnas merupakan lembaga resmi yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di luar Litigasi Peradilan Agama. Dengan merujuk pada UU nomor 30 tahun 1999, arbirtase adalah kesepakataan berupa klausula dalam perjanjian sebagai media untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, sepanjang tidak menjadi klausula perjanjian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah tetap harus melalui lembaga peradilan. Kewenangan Peradilan Agama sudah bertambah dengan masuknya ekonomi syariah dalam wilayah yurisdiksi Peradilan Agama. Namun, perangkat hukum yang mendukung terhadap Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 itu belum ada, seperti yang diungkapkan oleh Mukti Arto maka perlu terobosan hukum guna memenuhi kebutuhan masyarakat. 24 Terobosan tersebut adalah, pertama dengan melakukan penafsiran argumen peranalogian analogi, yakni dengan memperluas berlakunya peraturan perundang- 22 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. tt. 23 Said Aqil Husin, Al- Munawir, “Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam,” dalam Arbitrase di Indonesia, Jakarta: BAMUI BMI, 1994, h.48-49. 24 Mukti arto, Penyelesaian sengketa ekonomi syariah makalah pada diskusi panel permasalahan-permasalahan yang timbul dalam praktik perbankan syariah dan penyelesaian perkara- perkara, Jakarta: DPC ikadin bekerja sama dengan LKBH FH, UII, 2007, h. 6. 74 undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan ekonomi syariah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya. Kedua, dengan menerapkan asas lex spesiaterior derogat legi apriori, yakni bahwa hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian maka ketentuan- ketentuan hukum lama yang dahulu tidak berlaku pada Peradilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-kesamaan antara keduanya dan aturan-aturan yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Peradilan Agama maka sekarang menjadi kewenangan peradilan agama dengan adanya undang- undang No. 3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan dengan ekonomi syariah. Sebagian pihak berpendapat bahwa Pengadilan Agama berhak dan mempunyai kewenangan dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan pertimbangan sebagai berikut: 25 Pertama, Pengadilan Agama mempunyai sumber daya manusia yang memiliki pemahaman syariah. Kedua, mengingat sejarah Peradilan Agama bahwa wewenangnya sangat luas, tidak hanya mengenai masalah perkawinan, kewarisan, wakaf, dan hibah saja, maka meletakkan ekonomi syariah dalam kewenangan Peradilan Agama merupakan momentum pengembangan Peradilan Agama dan kedudukan yang lebih kuat. Ketiga, dukungan mayoritas penduduk Indonesia yang mempunyai semangat tinggi dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut. Hal ini yang mendasari para ulama, pengamat, dan praktisi perekonomian syariah mendesak pentingnya amandemen UU No 7 25 Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, h. 238. 75 Tahun 1989. Tujuannya, agar sengketa perekonomian syariah bisa ditangani oleh Peradilan Agama. 26

D. Problematika Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah

Dokumen yang terkait

Peran Hakim Mediator Dalam Menyelesaikan Perkara Perdata Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008

0 69 114

Penyelesaian Sengketa Pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

3 73 116

Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim Di Pengadilan Negeri Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

0 8 103

Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

1 51 0

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA (STUDI PELAKSANAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGADILAN AGAMA OLEH PENGADILAN AGAMA PURBALINGGA)

0 24 125

LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006

0 4 65

DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.

0 1 14

PENDAHULUAN DAMPAK PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG UUPA TERHADAP KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH.

0 2 16

PERANAN BADAN ARBITRASE NASIONAL (BASYARNAS) SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH.

0 0 8

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) LISTYO BUDI SANTOSO

0 0 160