84
kemudian tersebut ditetapkan hukumnya dengan menghubungkannya dengan hukum yang telah ditemukan mujtahid terdahulu.
37
E. Analisis
Perluasan kewenangan Peradilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari‟ah, merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh
jajaran aparat pegawai dan hakim Peradilan Agama. Di satu sisi, seluruh hakim Peradilan Agama memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, yang selama ini
tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari‟ah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syari‟ah sangat terbatas. Di sisi lain, Peradilan Agama harus
memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari‟ah. Para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi
kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau
kurang jelas.
38
Para hakim harus selalu memperkaya pengetahuan hukum, juga sebagai pertanggungjawaban moral atas klaim bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus
dianggap benar res judikata pro veriate habetur. Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal perekonomian
37
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, h. 266.
38
Syaifuddin, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, dalam Suara ULDILAG No. 13, Mahkamah Agung, 2008.
85
syariah. Para hakim ini dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit, karena dalam hal ini hakim
dianggap tahu akan hukumnya walaupun perkara tersebut adalah perkara yang baru yang menjadi kewenangannya.
Pada dasarnya para hakim Pengadilan Agama telah memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam. Namun karena selama ini, Pengadilan Agama tidak
menangani sengketa yang terkait dengan perekonomian syariah, maka wawasan yang dimilikinya pun tentu masih terbatas. Wawasannya akan jauh dibanding masalah
sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah yang selama ini ditanganinya.
Paling tidak, ada beberapa hal penting yang menjadi tantangan para hakim Pengadilan Agama terkait perluasan kewenangannya dalam menangani sengketa
perekonomian syariah. Pertama, para hakim Pengadilan Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syariah dalam bingkai regulasi
Indonesia dan aktualisai fiqh Islam.
39
Kedua, para hakim Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional
dari perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, reksa dana syariah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah. Mereka juga harus
memahami pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syariah. Ketiga, para hakim agama juga perlu meningkatkan
39
Muhaemin, ”Kesiapan Pengadilan Agama Tangani Sengketa Ekonomi Syari’ah”; dalam
Republika On Line, diakses tanggal 17 Maret 2010.
86
wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syariah. Keempat, para hakim harus meningkatkan wawasan dasar-dasar
hukum dan peraturan perundang-undangan serta konsepsi dalam fiqh Islam tentang ekonomi syari‟ah.
40
Dalam konteks sengketa ekonomi syariah, Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 8 tahun 2008, yang menegaskan bahwa eksekusi putusan arbitrase
syariah dilakukan atas perintah ketua Pengadilan Agama.
41
Dengan demikian putusan arbitrase syariah harus didafatar di kepaniteraan Pengadilan Agama dan karenanya
eksekusinya pun harus dimohonkan ke Pengadilan Agama. Berdasarkan arahan Mahkamah Agung dalam SEMA tersebut, tidak ada lagi pilihan lembaga arbirtase
antara BANI dan Basyarnas untuk menyelesaiakan sengketa ekonomi syariah di luar Peradilan Agama. Hal ini sesuai dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
tentang eksekusi putusan BASYARNAS. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui lembaga arbirtase pada akhirnya memerlukan peran lembaga peradilan.
Sebab apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara suka rela, eksekusinya tetap menggunakan lembaga peradilan UU No. 30 tahun
1999 jo. Perma No. 8 tahun 2008.
42
Dengan demikian penyelesaian sengketa ekonomi syariah yang final adalah melalui proses litigasi di lembaga peradilan.
40
Muhaemin, ”Kesiapan Pengadilan Agama Tangani Sengketa Ekonomi Syari’ah”; dalam
Republika On Line, diakses tanggal 17 Maret 2010.
41
Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2008.
42
Lihat Undang-Undang No. 30 tahun 1999 jo. Perma No. 8 tahun 2008.
87
Harus juga dijelaskan, bahwa tidak semua sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan melalui arbitrase syariah. Sebab ternyata ekonomi syariah tidak hanya
berkaitan dengan operasional bank syariah dan lembaga keuangan syariah untuk menghimpun dana komersial masyarakat, tetapi juga menampung dana umat non
komersial, seperti wakaf tunai, uang ZIS dan lainnya. Dana umat non komersial tersebut bukan milik bank, karena wakaf tunai milik Badan Wakaf, dan dana ZIS
milik Lembaga Amil Zakat, sementara banak syariah hanya sebagai penerima titipan wadliah. Ketentuan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999, sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa komersial dan mengenai harta benda yang dimiliki oleh pihak yang bersengketa.
Dalam kalimat lain, sengketa ekonomi syariah yang dapat diselesaikan melalui arbirtase syariah, selain harus tercantum sebagai klausula akad, dana yang
menjadi obyek sengketa harus berasal dari dana komersial bukan dana kebajikan yang non komersial.
43
Oleh karena dana zakat, infaq dan waqaf yang dihimpun oleh bank syariah bersifat non komersial adalah bukan menjadi milik bank, tetapi milik umat
yang harus dikelola dan didistribusikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, apabila terjadi sengketa harus diselesaikan melalui
jalur litigasi di Peradilan Agama sesuai dengan kaidah umum yang tercantum dalam pasal 49 Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
43
Syaifuddin, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, dalam Suara ULDILAG No. 13, Mahkamah Agung, 2008.
88
Dalam memberikan keadilan Peradilan Agama akan mencari hukum atas perstiwa yang disengketakan melalui berbagai sumber hukum, seperti hukum tertulis,
yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian dan ilmu pengetahuan atau doktrin hukum law in book. Khusus dalam mengadili sengketa ekonomi syariah, sumber hukum bagi
Peradilan Agama memberikan keadilan secara berurutan yakni akad isi perjanjian sesuai dengan Al-
Qur‟an, undang-undang, yurisprudensi, fatwa Dewan Syariah Nasional yang merupakan hasil ijma ulama, dan fiqh yang merupakan doktrin
pengetahuan hukum Islam syariah. Dalam kaitan ini belum banyak undang-undang, yurisprudensi dan perjanjian
internasional yang mengatur ekonomi syariah. Oleh karena itu sumber hukum terpenting dan relative lengkap untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah masih harus merujuk pada ilmu pengetahuan hukum Islam doktrin fiqh. Akan tetapi pada perkembangan terakhir, sumber hukum bagi Peradilan Agama
untuk mengadili dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah menggunakan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah KHES.
Lahirnya KHES tersebut berawal dari terbitnya UU No. 3 Tahun 2006. Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama UUPA.
UU No.3 Tahun 2006 ini memperluas kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan umat Islam Indonesia saat ini. Ketua MA
membentuk Tim Penyusunan KHES berdasarkan surat keputusan Nomor: KMA097SKX2006 tanggal 20 Oktober 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. H.
Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum. Tugas dari Tim tersebut secara umum adalah
89
menghimpun dan mengolah bahan materi yang diperlukan, menyusun draft naskah, menyelenggarakan diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut dengan
lembaga, ulama dan para pakar, menyempurnakan naskah, dan melaporkan hasil penyusunan tersebut kepada Ketua MA RI.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengamandemen Undang-undang Peradilan Agama ini tentu saja dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan kondisi
masyarakat yang semakin berkembang pesat. Oleh karena itu, lembaga penyelesaian sengketa juga mengalami evolusi mengikuti tuntutan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks. Dewasa ini, sifat maupun kualitas sengketa yang terjadi semakin tidak sederhana, dan karakternya pun sangat berbeda-beda dengan
karakter sengketa yang muncul pada masa-masa sebelumnya. Sehingga paradigma penyelesaian sengketa pun mengalami pergeseran. Namun seiring dengan
perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, maka hakim Pengadilan Agama pun juga melakukan berbagai upaya-upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Oleh sebab itu, sudah tepat kiranya apabila masalah ekonomi syariah itu diserahkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kepada Pengadilan Agama dan
ditetapkan menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. Oleh karena itu, dengan perluasan kewenangan dalam Undang-Undang
Peradilan Agama yang baru ini diharapkan praktik-praktik umat Islam yang selama ini sudah berjalan di masyarakat mempunyai kekuatan yuridis. Dengan demikian, jika
terjadi sengketa antara para pihak yang beragama Islam bisa dilakukan pencarian keadilan melalui lembaga Peradilan Agama.
90
Untuk mendiskusikan prospek penyelesaian sengketa bisnis syariah sebagai suatu kewenangan baru dari Peradilan Agama di Indonesia, perlu dikaitkan dengan
sistem hukum dalam penyelesaian sengketa bisnis pada umumnya termasuk bisnis syariah di Indonesia selama ini. Menurut Lawrence M. Friedman sistem hukum
terdiri atas 3 elemen. Elemen-elemen sistem hukum tersebut ialah struktur, substansi dan budaya hukum. Struktur meliputi badan, kerangka kerja, bentuk sistem hukum
yang bertahan lama, dan jurisdiksi. Substansi meliputi norma-norma yang dapat dipakai oleh lembaga-lembaga, fenomena, pola tingkah laku yang dapat diobservasi.
Budaya hukum meliputi ide, sikap, kepercayaan dan pendapat tentang hukum. Perkembangan bisnis syariah dalam kontek ekonomi syariah adalah
merupakan fenomena baru dalam perkembangan hukum yang perlu disikapi. Keperluan ini sudah sangat dirasakan semenjak dekade tahun 70-an dan di Indonesia
baru dapat direalisasikan pada tahun 90-an. Dari segi kesiapan peraturan yang akan digunakan sebagai landasan operasional dan penyelesaian sengketa jika terjadi dalam
praktik bisnis syariah di Indonesia masih perlu terus dibangun. Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut diharapkan dari kualitas hakim di dalam memeriksa dan
memutus perkara-perkara ekonomi syariah yang diselesaikannya.
91
BAB V PENUTUP