75
Tahun 1989. Tujuannya, agar sengketa perekonomian syariah bisa ditangani oleh Peradilan Agama.
26
D. Problematika Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
Pasca lahirnya UU No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kompetensi Peradilan Agama tentu tidak
mudah untuk direalisasikan, karena selain berbenturan dengan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Fatwa Dewan
Syariah Nasional serta asumsi minor yang menyatakan bahwa prinsip hukum Islam yang berlaku dalam bidang ekonomi syariah bukan hukum positif sehingga tidak
dapat dilaksanakan untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah di Indonesia. Dalam hal ini UU No. 3 Tahun 2006 merupakan produk legislasi yang
pertama kali memberikan kompetensi kepada Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Pemberlakuan undang-undang tersebut, secara sosio
yuridis mempresentasikan kehendak baik dari pemerintah dalam memproses perkembangan hukum nasional dan mengakomodir kebutuhan masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat muslim, sekaligus mencerminkan arah kebijakan politik hukum pemerintah dalam memperluas kompetensi Peradilan Agama dalam perkara
ekonomi syariah.
26
Abdul Ghafur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, Yogyakarta: UII Press, 2007, h. 58-59.
76
Semenjak berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Peradilan Agama di Indonesia mulai menyelesaikan sengketa ekonomis syari‟ah. Pada tahun 2007
dapat diketahui bahwa Pengadilan Agama di Indonesia telah menerima sejumlah 12 kasus yan
g berkaitan dengan sengketa ekonomi syari‟ah. Dari data pada Tabel 1 menunjukan bahwa perkara atau persoalan yang paling banyak diajukan ke
Pengadilan Agama di Indonesia adalah persoalan gugat cerai. Persoalan ekonomi syari‟ah lainnya yang banyak diajukan ke Pengadilan Agama ialah perkara
ShodaqaZakatInfaq dengan jumlah perkara sebanyak 25 kasus kes, dan perkara lainnya ialah wakaf yaitu sebanyak 19 buah 9 kasus. Dari fenomena pada Tabel 1
menunjukkan bahwa perkara yang dimintakan kepada Pengadilan Agama untuk diselesaikan adalah beragam, tidak hanya berkaitan dengan perceraian.
27
Tabel 1 : Jenis dan Jumlah Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia
No. Jenis Perkara
Jumlah Perkara
Prosentase
1.
Cerai Gugat 124.079
57,157
2. Cerai Talak
72.759 33,517
3. Isbat Nikah
10.890 5,016
4. Kewarisan
1.373
0,632
5. Dispensasi Kawin
1.240
0,571
6. Ijin Poligami
1.093
0,503
7. P3HPPenetapan Ahli Waris
1.010
0,465
8. Wali Adhol
924 0,426
9. Harta Bersama
665 0,306
27
Hermayulis, perkembangan ekonomi syari’ah dan penyelesaian Sengketa ekonomi syari’ah
di indonesia, artikel ini diakses pada tanggal 16 oktober 2010.
77
10. Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali
665 0,306
11. Lain-lain
641 0,295
12. Perwalian
399 0,184
13. Asal Usul Anak
271 0,125
14. Penguasaan Anak
269 0,124
15. Pembatalan Perkawinan
213 0,098
16. Pengesahan Anak
174 0,080
17. Izin Kawin
106 0,049
18. Hibah
46 0,021
19. Penolakan Kawin Campuran
38 0,018
20. Pencegahan Perkawinan
36 0,017
21. Wasiat
25 0,012
22. Pencabutan Kekuasaan Wali
25 0,012
23. ShodaqaZakatInfaq
25 0,012
24. Nafkah Anak Oleh Ibu
24 0,011
25. Wakaf
19 0,009
26. Pencbt.Kekuasaan Orang Tua
17 0.008
27. Hak-hak Bekas Istri
16 0,007
28. Penolakan Perkw.Oleh PPN
14 0,006
29. Kelalaian Atas Kewajiban SuamiIstri
13 0,006
30. Ekonomi Syariah
12 0,006
31 Ganti Rugi Terhadap Wali
3 0,001
JUMLAH 217.084
100.000 Sumber: Mahkamah Agung RI
Dari 12 perkara yang murni ekonomi syari‟ah yang diajukan ke Pengadilan Agama di Indonesia pada tahun 2007, hanya 2 perkara yang dapat diselesaikan. Hal
ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama memang berkompeten dalam menangani perkara ekonomi syariah, walaupun kewenangan tersebut merupakan kompetensi
baru Pengadilan Agama.
78
Tabel 2 : Jenis dan Jumlah Perkara yang diselesaikan Pengadilan Agama di Indonesia sampai tahun 2007
No. Jenis Perkara
Jumlah Perkara
Prosentase
1.
Cerai Gugat
111.145
55,352
2. Cerai Talak
63.943
31,845
3. Isbat Kawin
9.809
4,885
4. Gugur
3.758
1,872
5. Ditolak
1.994 0,993
6. Lain-lain
1.973 0,983
7.
Dispensasi Kwin
1.121 0,558
8.
Kewarisan
946 0,471
9.
Penetapan Ahli Waris
921 0,459
10.
Izin Poligami
896 0,446
11.
Wali Adhol
678 0,338
12.
Tidak Diterima
602 0,300
13.
Dicoret Dari Register
545 0,271
14.
Harta Bersama
501 0,250
15.
Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali
499 0,249
16.
Perwalian
349 0,174
17.
Asal Usul Anak
232 0,116
18.
Pembatalan Perkawinan
185 0,092
19.
Penguasaan Anak
184 0,092
20.
Pengesahan Anak
141 0,070
21.
Pencegahan Perkawinan
113 0,056
22.
Penolakan Kawin Campuran
46 0,023
23.
Pencabutan Kekuasaan Wali
42 0,021
24.
Izin Kawin
39 0,019
25.
Hibah
29 0,014
26.
Kelalaian Atas Kewajiban SuamiIstri
19 0,009
27.
Nafkah Anak Oleh Ibu
15 0,007
28.
Penolakan Perkw.Oleh PPN
14 0,007
29.
Wakaf
14 0,007
30.
Wasiat
12 0,006
31.
Hak-hak Bekas Istri
10 0,005
32 Pencbt.Kekuasaan Orang Tua
8 0,004
33. ShodaqaZakatInfaq
7 0,003
34. Ganti Rugi Terhadap Wali
3 0,001
35. Ekonomi Syariah
2 0,001
JUMLAH 200.795
100,000 Sumber: Mahkamah Agung RI
79
Tabel diatas menunjukkan bahwa perkara ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Artinya akan ada suatu sistem hukum baru yang perlu
dibangun, diperkenalkan, dan diterapkan. Untuk mencapai sistem hukum baru dalam hukum formil tersebut, maka tantangan dan hambatan yang dihadapi Pengadilan
Agama adalah: 1 Sumber Daya Manusia
Hakim-hakim agama dan jajaran Peradilan Agama harus mempersiapkan diri dengan materi peraturan Perundang-undangan yang sangat banyak berkaitan
dengan bisnis syari‟ah tersebut. Mengingat masih banyaknya praktik bisnis syari‟ah yang belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan, maka hakim
dituntut untuk dapat menghasilkan putusan yang berkualitas, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa yang serupa.
2 Kelembagaan Kelembagaan Peradilan Agama yang ada saat ini akan memerlukan
perombakan yang cukup mendasar, baik dari strukturnya, karir hakim dan lain- lainnya yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan.
3 Budaya Masyarakat Pencari Keadilan Pola yang sudah tertanam dalam diri para pencar
i keadilan adalah ”ke Pengadilan untuk menang bukan untuk mendapatkan keadilan”. Pola ini tidak
dengan mudah diubah.
28
28
Syaifuddin, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, dalam Suara ULDILAG No. 13, Mahkamah Agung, 2008.
80
Hambatan yang dirasakan hakim Pengadilan Agama dalam pelaksanaan tugas-tugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan setiap perkara dalam bidang
ekonomi syariah dapat dikategorikan ke dalam dua macam hambatan, yakni hambatan yang sifatnya substantif dan hambatan yang bersifat metodologis.
Hambatan atau kendala yang bersifat substantif dapat dilihat sebagai berikut: Pendidikan dan pelatihan tentang ekonomi syariah maupun perbankan syariah tidak
mudah untuk bisa diikuti oleh para hakim Pengadilan Agama. Hal itu disebabkan mereka harus berbagi penugasan dengan pelaksanaan
tugas-tugas judisialnya di Pengadilan Agama dalam rangka memeriksa dan memutus setiap sengketa yang masuk. Padahal, untuk meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan para hakim pengadilan agama tentang prinsip-prinsip bisnis berbasis syariah, para hakim Pengadilan Agama diikutsertakan secara periodik dan berjenjang
dalam setiap kesempatan pendidikan danatau pelatihan mengenai ekonomi syariah.
29
Sedangkan hambatan yang dapat dikategorikan sebagai hambatan metodologis antara lain, masih dirasakan kurang optimalnya keterampilan serta
pemahaman para hakim Pengadilan Agama tentang beracara maupun kemampuan menerapkan hukum menemukan hukum secara tepat untuk memuaskan pencari
keadilan. Hal ini dapat dilihat terutama para hakim yang berlatar belakang pendidikan bukan sarjana hukum.
30
Kendala-kendala ini dapat diatasi dengan motivasi para
29
Eman Suparman, perluasan kompetensi absolut peradilan agama dalam memeriksa dan memutus sengketa bisnis menurut prinsip syariah, Artikel ini diakses pada tanggal 16 oktober 2010.
30
Eman Suparman, perluasan kompetensi absolut peradilan agama dalam memeriksa dan memutus sengketa bisnis menurut prinsip syariah, Artikel ini diakses pada tanggal 16 oktober 2010.
81
hakim untuk belajar dengan baik, serta memanfaatkan dukungan masyarakat dan upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung secara optimal.
Berdasarkan informasi yang dihimpun sebagai hasil wawancara dengan pimpinan Pengadilan Agama yang dipilih menjadi informan, diperoleh informasi
sebagai berikut. Hakim Yusron ketika diminta tanggapannya atas kesiapan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, beliau mengatakan harus siap karena
bagian dari menjalankan amanat Undang-undang yang harus diemban. Selain itu juga melakukan pembenahan-pembenahan seperti peningkatan sumber daya manusia
yakni hakim di bidang hukum ekonomi syariah serta perangkat-perangkat hukum lainnya yang dapat menunjang kinerja hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi
syariah.
31
Lalu hakim Kholis menyatakan hal yang sama, menurut beliau jika memang ada pengajuan gugatan perkara ekonomi syariah, maka hakim Pengadilan Agama
harus siap. Dalam artian terlebih dahulu hakim harus dibekali dengan pelatihan- pelatihan tentang pengetahuan ekonomi syariah agar para hakim memiliki wawasan
yang luas menyangkut perkara ekonomi syariah, dan dengan melakukan pembentukan majelis khusus. Pembentukan ini ditujukan sebagai wadah penanganan-
penanganan perkara yang sifatnya khusus, seperti sengketa ekonomi syariah. Hal ini merupakan tindakan yang menandakan bahwa Pengadilan Agama siap dalam
menghadapi sengketa ekonomi syariah. Selain itu kemampuan mengelola administrasi peradilan atau manajemen peradilan untuk mewujudkan peradilan yang
31
Wawancara Pribadi dengan Yusran.
82
efisien, efektif, bersih dari asumsi publik masih terus harus dilakukan secara berkesinambungan.
32
Dari beberapa pernyataan hakim tersebut diatas menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Agama saat ini menghadapi persoalan yang dilematis, karena secara
profesionalitas, aspek hukum materiil dan fasilitas dibidang perkara tersebut belum memadai. Beberapa kendala atau rintangan yang masih menyelimuti perangkat
Pengadilan Agama dalam tugas-tugasnya sebagai aparat penegak hukum Pengadilan Agama atas fenomena perluasan kompetensi absolut Peradilan Agama dibidang
ekonomi syariah, yakni sebagai berikut:
33
Pertama, aparat Pengadilan Agama kurang memahami pengetahuan mengenai aktivitas ekonomi dan lembaga keuangan syariah
sebagai pendukung kegiatan usaha sektor mikro. Kedua, masih ada kesan atau citra inferior yang sulit dihapus di kalangan masyarakat, seperti citra bahwa Pengadilan
Agama hanya berkompeten mengenai masalah nikah, talak, rujuk sehingga masyarakat akan enggan mengajukan perkara ekonomi syariah ke jalur litigasi yakni
Pengadilan Agama. Ketiga, masih ada keyakinan dan rasa percaya diri masyarakat luas, bahwa secara kelembagaan keuangan syariah atau operasional dari Bank Syariah
yang tidak berbeda jauh dengan konsep bank pada umumnya yang masih menggunakan riba.
Oleh karena itu perlu beberapa langkah strategis dalam rangka mengefektifkan atau mengoptimalkan Lembaga Peradilan Agama mengenai sengketa
ekonomi syariah, anatara lain: Pertama, mensosialisasikan Undang-undang Peradilan
32
Wawancara Pribadi dengan Kholis.
33
Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktik Ekonomi Syariah, h. 3.
83
Agama ke penggiat bisnis syariah bahwa kini ada lembaga penyelesai secara litigasi dan berkompeten dalam menyelesaikan perselisihan ekonomi syariah. Serta untuk
segera menyusun peraturan hukum materiil secara lengkap dan sistematis dibidang ekonomi syariah.
34
Kedua, diadakan pendidikan dan pelatihan ekonomi syariah bagi hakim Pengadilan Agama secara intensif. Ketiga, dibentuk lembaga penelitian dan
pengembangan ekonomi syariah di internal lembaga Peradilan Agama. Keempat, perbaikan saran dan prasarana Peradilan Agama, seperti melengkapi perpustakaan
dengan berbagai literatur hukum ekonomi syariah. Kelima, hakim Pengadilan Agama secara pribadi maupun kolektif harus ada kemauan dan kemampuan untuk melakukan
penemuan hukum atau ijtihad dalam masalah yang berkaitan dengan ekonomi syariah karena belum terwadahinya hukum materiil ekonomi syariah.
35
Berbicara mengenai penemuan hukum ada dua bentuk penemuan hukum yakni, ijtihad istinbathy, dimana penemuan hukum dengan cara menggali dan
menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Hal ini merupakan bagian dari ijtihad yang paripurna dan secara khusus berlaku dikalangan sekelompok ulama
yang berfungsi mencari hukum furu‟ yang amaliyah dari dalilnya yang terinci.
36
Dan ijtihad tatbiqhy, merupakan suatu kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan
menghasilkan hukum tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepada kejadian yang muncul kemudian. Masalah hukum yang muncul
34
Wawancara pribadi dengan Masrum.
35
Anshori, Peradilan Agama di Indonesia, h. 95.
36
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005, h. 265-266.
84
kemudian tersebut ditetapkan hukumnya dengan menghubungkannya dengan hukum yang telah ditemukan mujtahid terdahulu.
37
E. Analisis