64
B. Kompetensi Peradilan Agama dalam Perkara Ekonomi Syariah dalam
Perspektif Yuridis
Pengadilan merupakan tempat mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul, di samping ada alternatif penyelesaian secara non-
litigasi yang ada di Indonesia. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama, yaitu memberikan perlakuan yang adil dan
manusiawi kepada pencari keadilan, memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan, serta memberikan penyelesaian perkara secara
efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada para pihak dan masyarakat.
3
Kompetensi absolut
4
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama menyangkut ekonomi syariah seiring kehadiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi absolut yang urgen penulis kemukakan adalah ketentuan Pasal 49 dan
Pasal 50. Dari kecenderungan pola penyelesaian sengketa yang ada, satu hal yang
menarik perhatian untuk dilakukan kajian lebih lanjut mengenai “jurisdiksi
pengadilan agama” pasca amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
3
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 12-13.
4
Kompetensi absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan
peradilan yang sama maupun dalam dalam lingkungan peradilan yang lain. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002, hlm. 78.
65
Peradilan Agama menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berlakunya Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang nomor 7
tahun 1989, telah membawa implikasi yuridis yang cukup fundamental terhadap tugas dan kewenangan Peradilan Agama.
5
Dalam UU No. 3 Tahun 2006 menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama. Amandemen
terhadap Undang-Undang tentang Peradilan Agama ini telah membawa perubahan besar terhadap kelembagaan Pengadilan Agama khususnya. Salah satu materi penting
yang diamandemen adalah tentang kompetensi absolut pengadilan agama.
6
Hal ini juga diperteguh dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kedua
peraturan tersebut mengatur bagaimana solusi bagi penyelesaian perkara ekonomi syariah.
Frasa “Prinsip Syariah” sebagaimana disebut dalam penjelasan pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 disebut pula dalam Pasal 55 ayat 3 UU No. 21 Tahun
2008, yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah baik melalui Pengadilan Agama maupun melalui suatu perjanjian dilakukan melalui prinsip
syariah. Pasal 55 ayat 3 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berbunyi, “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna ekonomi syariah adalah usaha atau kegiatan usaha yang dilakukan oleh
5
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, h. 13.
6
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, h. 13.
66
seseorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan
tidak komersial menurut prinsip syariah.
7
Dalam UU No. 3 Tahun 2006, konsep asas personalitas keIslaman ini telah mengalami pergeseran dan perluasan. Terkait dengan hal ini, Pasal 49 UU No. 3
Tahun 2006 menyebutkan sebagai berikut, Yang dimaksud dengan “antara orang-
orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela dengan hukum Islam mengenai hal-hal
yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini, meskipun orang ataupun badan hukum tersebut bukan muslim
.”
8
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 beserta penjelasaannya, maka dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam sengketa ekonomi syariah adalah: Orang-
orang yang beragama Islam, Orang-orang yang beragama bukan Islam namun menundukkan diri terhadap hukum Islam, dan Badan hukum
9
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam. Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk
menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu apabila suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, danatau suatu sengketa yang timbul dari
7
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, Jakarta: Gramata Publishing, 2010, h. 130.
8
Sulasikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kerjasama antara badan penerbit fakultas hukum UI dan Prenada Media Grup, 2006, h. 106.
9
Pengertian badan hukum sebagai subjek hukum itu mencakup hal-hal berikut, yaitu: perkumpulan orang organisasi, dapat melakukan perbuatan hukum rechtshandeling dalam
hubungan- hubungan hukum recgsbetrekking, mempunyai harta kekayaan tersendiri.
67
suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dilakukan atau terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim.
10
Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 menegaskan bahwa ketika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah menimbulkan
sengketa, maka muara penyelesaian perkara secara litigasi menjadi kompetensi Peradilan Agama. Sedangkan penyelesaian melalui jalur non litigasi dapat dilakukan
melalui lembaga arbitrase, dalam hal ini Basyarnas, dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.
11
Namun kemudian muncul persoalan tatkala UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah. Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 menyebutkan: 1 Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; 2 Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; 3 Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak boleh bertentangan
dengan Prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 55 ayat 2 UU No. 21 Tahun 2008 ini
10
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 6.
11
Jaih, Mubarak, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia”. Artikel ini diakses
pada tanggal 15 Oktober 2008 di httpwww.badilag.net.
68
menyeb utkan, “Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai
dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas atau lembaga
arbitrase lain; dan atau d. Melalu i pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”
12
Adanya opsi kompetensi peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam bidang perbankan syariah ini menunjukkan adanya reduksi
dan penyempitan serta mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah
terkait dengan isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum dan choice of Jurisdiction.
13
Terdapat kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang termasuk di dalamnya mengenai pilihan lembaga dalam menyelesaikan sengketa. Ada
dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan
acta compromis. Factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih tatkala terjadi
sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam kontrak atau akad yang merupakan klausula antisipatif.
14
Sedangkan acta compromis adalah suatu perjanjian tersendiri
12
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, h.137-138
13
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, h.139.
14
Klausula Antisipatif adalah klausula yang berisi tentang hal-hal yang menyangkut kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama masih berlakunya suatu kontrak.
69
yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian sengketa di sini lebih mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan
dalam satu lingkungan peradilan, bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.
15
Seharusnya Undang-undang memberikan suatu pilihan yang pasti untuk menentukan penyelesaian suatu sengketa.
Dengan demikian, adanya choice of Litigation dalam penyelesaian perkara perbankan syariah berdasarkan Pasal 55 ayat 2 UU Perbankan Syariah
menunjukkan inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 secara jelas memberikan kompetensi kepada
Peradilan Agama untuk mengadili perkara ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah sebagai suatu kompetensi absolut. Pelaksanaan kompetensi dalam perbankan
syariah akan sangat bergantung pada isi akad atau kontrak. Jika para pihak yang mengadakan akad atau kontark menetapkan penyelesaian perkara pada peradilan
dilingkungan Peradilan Umum, maka kompetensi yang dimiliki Peradilan Agama hanya sebatas kompetensi secara tekstual sebagaimana telah ditetapkan oleh Undang-
Undang, tetapi dalam praktiknya tidak secara optimal berfungsi karena harus berbagi dengan Pengadilan Negeri, khususnya jika dalam akad telah disebutkan akan
diselesaikan di Pengadilan Negeri.
16
15
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, h. 105.
16
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, h.140.
70
C. Latar Belakang Masuknya Perkara Ekonomi Syariah Dalam Kewenangan