26 Dalam teori linguistik Chomsky, dibutuhkan adanya pasangan penutur dan
pendengar yang ideal dalam sebuah masyarakat tutur atau proses pembelajaran bahasa, sehingga keduanya dapat menerima dan mengerti dengan penggunaan
bahasa yang diucapkan dalam jumlah yang tidak terbatas dan sebelumnya belum pernah didengar.
Chomsky membedakan adanya kompetensi dan performance dalam proses pembentukan bahasa. Kemampuan adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai
bahasa mengenai bahasanya, sedangkan performance atau perbuatan berbahasa merupakan pelaksanaan berbahasa dalam bentuk menerbitkan kata-kata dalam
keadaan yang nyata. Kedua tahapan tersebut akan membentuk tata bahasa yang baik, sehingga dapat diterima dan dipahami baik bagi penutur atau pendengar
dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa, tetapi pada penderita gagap kompetensi dan performance tidak berjalan selaras karena otak yang menderita
gagap tidak dapat mengontrol apa yang diucapkan performance.
2.2.3 Fonologi
Secara garis besar fonologi adalah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang “bunyi bahasa”. Lebih lanjut lagi,
fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik, hal tersebut berbeda dengan fonetik yang berupa
kajian yang lebih netral terhadap bunyi-bunyi itu.Fonologi adalah “linguistik” dalam pengertian bahwa sintaksis, morfologi, dan sampai tingkat tertentu,
Universitas Sumatera Utara
27 semantik juga linguistik, sedangkan fonetik berangsur-angsur berubah dalam
berbagai hal menuju ke arah neurologi, psikologi perseptual, akustik. Muslich 2008: 11 mengatakan, fonologi adalah subdisiplin ilmu
linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum, baik bunyi bahasa yang membahas arti fonem maupun tidak fonetik. Setiap penutur memunyai
kesadaran fonologis terhadap bunyi-bunyi bahasanya.
2.2.4 Fonetik Artikulatoris
Fonetik artikulatoris membahas tentang bunyi-bunyi bahasa menurut cara dihasilkannya dengan alat-alat bicara. Bunyi bahasa dibedakan sebagai yang
“segmental” dan “suprasegmental.” Adapun contoh segmental dalam bahasa Indonesia adalah dan, terdiri dari bunyi [d], [a], dan [n] dalam urutan tersebut.
Jadi bunyi sebagai segmen-segmen adalah bunyi menurut pola urutannya dari yang pertama hingga yang terakhir atau sering yang dirumuskan dalam linguistik
yakni “dari kiri ke kanan”. Struktur dari kiri ke kanan itu berupa segmental artinya ada bagian-bagian yang terkecil menurut urutannya. Bunyi suprasegmental adalah
bunyi yang dapat dibayangkan sebagai bunyi yang di atas segmental itu.Misalnya perbedaan antara tuturan Dia telah datang dan Dia telah datang? Tidak terdiri
atas perbedaan secara segmental melainkan atas perbedaan intonasi lagu yang berbeda dalam kedua tuturan tersebut.
Muslich 2008: 34, menjelaskan vokal umumnya diklasifikasikan menurut tiga dimensi artikulatoris: tingkat terbukanya mulut; posisi bagian lidah
yang tertinggi; dan posisi bibir. Jadi, bunyi tertentu mungkin dideskripsikan
Universitas Sumatera Utara
28 sebagai vokal rapat, depan, dan bundar dan bunyi lain sebagai rapat, depan, dan
tak bundar. Contoh vokal depan tak bundar i : [lidah]. Selanjutnya, Chaer 2009: 113 membagi vokal berdasarkan posisi lidah
dan bentuk mulut.Posisi lidah dapat bersifat vertikal dan dapat bersifat horizontal, sedangkan bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tidak bundar.
Seperti terlihat dalam tabel berikut:
Depan Tengah Belakang
TB B TB B TB B
Tinggi i
u
Tengah e ∂
o ε
ɔ
Rendah A
Gambar: Peta vokal bahasa Indonesia
Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi i dan u, vokal tengah e,
ε, ∂ dan o, ɔ, vokal rendah a. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan i dan e,
ε, a vokal tengah ∂, vokal belakang u, o, ɔ dan a. Kemudian pada diagram terdapat vokal bundar yaitu u, o,
ɔ dan vokal ɔ. Vokal tidak bundar yaitu i, e,
ε, ∂. Chaer, 2003: 33, mengategorikan konsonan dalam bahasa Indonesia
berdasarkan tiga faktor, 1 keadaan pita suara, 2 daerah artikulasi, dan 3 cara artikulasinya. Berdasarkan pita suara, konsonan dapat bersuara atau tak bersuara.
Universitas Sumatera Utara
29 Berdasarkan daerah artikulasinya, konsonan dapat bersifat bilabial, labiodental,
alveolar, palatal, velar, atau glotal. Berdasarkan cara artikulasinya, konsonan dapat berupa hambat, frikatif, nasal, dan lateral. Disamping itu, ada lagi yang
berwujud semi vokal konsonan dalam bahasa Indonesia dapat disajikan dalam bagan berikut:
Daerah Artikulasi
Cara Artikulasi
Bilabial Labiodental
DentalAlve o
lar
Palatal Velar
Laringal Glota
l
Hambat Tak bersuara
bersuara p
b T
d k
g ?
Afrikatif Tak bersuara
Bersuara c
Paduan Frikatif
geseran Tak bersuara
Bersuara f
s S
j X h
Gescran Nasal
Sengau Bersuara
Bersuara m
v z n
ɳ ŋ
Getar Trill
Bersuara r
R
Lateral Bersuara
l Semi
Vokal Bersuara w
y
Gambar : Peta Konsonan dalam Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
30 Pada bagan di atas tampak bahwa dalam bahasa Indonesia ada dua puluh
tiga konsonan fonem, sedangkan fonem R dan ? ditemui dalam tuturan umum bahasa Indonesia. Cara memberi konsonan adalah dengan menyebut cara
artikulasinya dulu, kemudian artikulasinya, dan akhirnya keadaan pita suara. Konsonan p, misalnya adalah konsonan hambat bilabial tak bersuara, sedangkan
j adalah konsonan afrikatif palatal bersuara. Pasangan hambat p-b, t-d dan k-g, selain memiliki perbedaan
dalam daerah artikulasinya, juga memunyai kesamaan dalam pembentukannya, yakni p, t, dan k dibentuk dengan pita suara tak bergetar, sedangkan b, d,
dan g dengan pita suara bergetar. Karena itu, tiga konsonan yang pertama itu dinamakan konsonan tak bersuara, sedangkan ketiga yang lain disebut konsonan
bersuara.
2.2.5 Pola persukuan