1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan yang berkualitas adalah kehidupan yang diinginkan oleh setiap manusia karena kehidupan tersebut mewakili kehidupan yang
bahagia, sejahtera baik fisik maupun psikis. Kehidupan yang berkualitas dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai kesejahteraan dalam
kehidupan sehari-hari serta kesuksesan menjalani proses perkembangan setiap fase kehidupan.
Keberhasilan dalam menguasai tugas-tugas perkembangan akan menentukan kebahagiaan mereka saat itu maupun selama tahun-tahun
selanjutnya dalam kehidupan. Meskipun demikian, untuk mencapai keberhasilan tersebut tidak mudah dan selalu akan ada rintangan yang
menghambat perkembangan seseorang. Salah satu rintangan yang
menghambat penguasaan tugas-tugas perkembangan individu adalah hambatan fisik. Hambatan fisik menghalangi seseorang mengerjakan apa
yang dilakukan oleh orang lain pada usia yang sama sehingga dapat menggagalkan penguasaan tugas-tugas perkembangan untuk sebagian atau
secara total Hurlock, 1980: 269. Salah satu hambatan fisik yang dialami oleh seseorang dapat
berupa kecacatan. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat yang diklasifikasikan dalam tiga jenis kecacatan yaitu
cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental yang dikenal dengan
2 cacat ganda. Badan kesehatan dunia World Health Organization WHO
merilis data bahwa setidaknya ada 40 juta penyandang kebutaan cacat netra atau gangguan penglihatan. Pertahunnya tidak kurang dari 7 juta
orang mengalami kebutaan atau permenitnya terdapat satu penduduk bumi menjadi
buta. Dan
jika kondisi
ini dibiarkan
maka WHO
memperhitungkan pada tahun 2020 mendatang, kelak jumlah penduduk dunia yang buta akan mencapai 2 kali lipat, kira-kira 80-90 juta orang
http:kemsos.go.id, diakses tanggal 28 Oktober 2014. Pada tahun 2014, WHO mencatat terdapat 285 juta orang
mengalami tunanetra di seluruh dunia. 39 juta mengalami kebutaan dan 246 juta mengalami lemah penglihatan low vision. Sebanyak 90
kebutaan terjadi di negara berkembang http:www.who.intmediacentre, diakses tanggal 20 November 2014.
Menurut Gsianturi Didi, 2011, berdasarkan hasil survei nasional tahun 1993-1996 angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5.
Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat pertama di Asia dan nomor dua di dunia setelah negara-negara di Afrika
Tengah sekitar Gurun Sahara untuk masalah kebutaan. Sebagai perbandingan, di Bangladesh angka kebutaan mencapai 1, di
India 0,7, di Thailand 0,3, Jepang dan Amerika Serikat berkisar 0,1 sampai 0,3. Jika ada 12 penduduk dunia yang
buta dalam setiap 1 jam, empat di antaranya berasal dari Asia Tenggara dan dipastikan 1 orang dari Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, dapat kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara dengan penyandang tunanetra terbanyak dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia.
3 Tunanetra adalah suatu kondisi dria penglihat yang tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut disebabkan oleh kerusakan pada mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah
stimulus visual Frans dalam Sari Rudiyati, 2002: 23. Berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatan, tunanetra terbagi atas dua macam yaitu
buta dan low vision. Dikatakan buta jika individu sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar. Sementara individu yang mengalami
low vision masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar tetapi dengan ketajaman yang kurang Munawir Yusuf, 1996: 24.
Secara ilmiah ketunanetraan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Hal-hal yang termasuk
dalam faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan dan
kemungkinan kerena faktor gen sifat pembawa keturunan, sedangkan faktor eksternal dapat berupa kecelakaan, penyakit
yang diderita bayi sesudah dilahirkan, kurangan vitamin A, keracunan obat dan peradangan mata akibat virus maupun bakteri
Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw, 1996: 22
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat kita maknai bahwa kondisi ketunanetraan pada seseorang dapat terjadi ketika seseorang masih berada
dalam kandungan maupun ketika sudah lahir ke dunia. Ketunanetraa sejak dalam kandungan bisa terjadi karena gen dari orang tua yang membawa
sifat buta sehingga anak ikut mengalami kebutaan. Kebutaan juga dapat terjadi kapan saja pada seseorang meskipun tidak memiliki gen pembawa
keturunan buta, namun dapat disebabkan oleh faktor dari luar seperti kecelakaan, bakteri ataupun virus yang menyerang mata.
4 Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan kendala dan
masalah dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Sunardi Munawir Yusuf, 1996: 36, secara garis besar masalah yang muncul pada penyandang
tunanetra dapat dibagi menjadi tiga, yaitu masalah yang disebabkan oleh kecacatannya, masalah yang disebabkan oleh sikap dan penerimaan
masyarakat serta masalah yang disebabkan oleh belum adanya fasilitas di masyarakat yang memungkinkan mereka untuk hidup mandiri.
Masalah yang muncul disebabkan oleh kecacatannya, dalam hal ini mereka yang mengalami hambatan penglihatan akan mengalami
kesulitan utama dalam bidang orientasi dan mobilitas, sebagai contoh seseorang yang menyandang tunanetra akan sulit menghindari tempat-
tempat licin, benda-benda tajam atau benda dengan tegangan tinggi karena tidak melihat keadaan tersebut seperti orang dengan penglihatan normal.
Penyandang tunanetra
dalam mengenal
lingkungan ataupun
berkomunikasi, mereka memerlukan sarana khusus yang tidak diperlukan bagi orang awas seperti tongkat putih, buku-buku dengan huruf Braille,
anjing penuntun, atau kacamata bantu. Pengalaman terkait dengan kesulitan dalam bidang orientasi dan
mobilitas juga pernah dialami oleh subjek saat menjadi mahasiswa baru di FIP, seperti yang disampaikan oleh GJ dalam uraian wawancara berikut:
Ehm.. mungkin lebih ke kesulitan di mobilitas. Soalnya di FIP ini kan masih jarang pendukung atau fasilitas untuk disabilitas,
jadi kalau nabrak, jatuh, kejedot itu sudah jangan ditanya, itu
5 makanan sehari-hari. Mbok sudah apal jalan juga kadang masih
kejadian seperti itu. Wawancara, GJ 21 November 2014
Masalah lain muncul disebabkan oleh sikap dan penerimaan masyarakat. Munawir Yusuf 1996: 38 menyatakan bahwa sikap yang
selama ini ada di masyarakat yaitu bahwa penyandang tunanetra tidak mungkin hidup mandiri dan harus dilindungi, sikap itu sebenarnya
merupakan sikap meremehkan kemampuan mereka yang dapat mengakibatkan ketergantungan terhadap orang lain dan munculnya sikap
rendah diri dan harga diri yang kurang pada penyandang tunanetra. Dari pendapat tersebut dapat kita tegaskan kembali bahwa selama
ini belum semua anggota masyarakat bersikap positif terhadap penyandang tunanetra. Kehadiran penyandang tunanetra dianggap sebagai individu
yang tidak berdaya, tidak berguna bahkan tidak sedikit orang tua yang merasa malu memiliki anak dengan cacat netra.
Keterbatasan fasilitas
di masyarakat
seperti tempat
penyeberangan khusus bagi tunanetra dan minimnya pendidikan bagi penyandang tunanetra sekolah inklusi menjadi masalah yang penting
yang kerap kali membuat penyandang tunanetra tidak dapat mengembangkan potensinya secara wajar.
Fenomena minimnya pendidikan sekolah inklusi bagi penyandang tunanetra
membatasi peluang penyandang tunanetra untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut, pernah
dialami oleh subjek penelitian AR 22 tahun, seorang mahasiswa FIP
6 UNY yang harus kehilangan penglihatan mata kanannya karena tertancap
besi pedal sepeda saat sedang bermain. AR mengaku sempat mendapat penolakan dari pihak sekolah di tempat tinggalnya dulu karena kondisi
ketunanetraan yang AR alami. Pada saat itu, sekolah inklusi di daerah tempat tinggal AR masih sedikit bahkan belum ada sehingga AR harus
keluar daerah untuk bersekolah. Wawancara, AR, 10 November 2014 Fenomena lain yang terkait dengan masalah pendidikan juga
terjadi dalam lembaga pendidikan tinggi yang memiliki lingkungan pembelajaran inklusi dan menerima penyandang tunanetra sebagai peserta
didiknya. Hal ini ditunjukkan pada riset yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Layanan Difabel PSLD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang
melibatkan 75 mahasiswa difabel pada sebelas universitas di Yogyakarta menunjukkan adanya hambatan yang dijumpai mahasiswa difabel yang
terjadi disebabkan rendahnya kesadaran pimpinan, dosen, staff dan masyarakat kampus tentang kebutuhan mahasiswa difabel Ro fah,
Andayani, Muhrisun, 2010: 4. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Steff, Mudzakir dan
Andayani Pihasniwati, 2014: 7 yang bertajuk Equity and Access To Tertiary Education for Student with Disabillities in Indonesia ditemukan
fakta bahwa masih sulit bagi seorang penyandang tunanetra mendaftar dan diterima di uiversitas, tidak adanya layanan yang mendukung bagi
mahasiswa penyandang tunanetra, minimnya bahan akademik yang sudah
7 diadaptasi, tidak memadainya program pelatihan pribadi, kesenjangan
pendanaan dan akses struktur, dan minimnya kebijakan inklusif untuk memandu universitas. Hal ini berarti mahasiswa penyandang tunanetra
harus berjuang untuk lulus tanpa bantuan khusus, mereka diterima jika dapat menyesuaikan diri dan tidak mengganggu fungsi universitas.
Beberapa temuan menarik juga diungkap oleh Setyawati dalam penelitian Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan
Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa difabel memiliki rasa cemas yang menonjol saat menjelang ujian tengah atau akhir semester
karena takut tidak mendapatkan pendamping pembaca soal. Selain itu, mereka juga merasakan kecemasan saat mencari buku di perpustakaan,
perasan rendah diri dan merasa takut merepotkan saat mereka
membutuhkan bantuan orang lain Pihasniwati, 2014: 8. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dimaknai bahwa pada
dasarnya seseorang yang mengalami ketunanetraan tidak hanya mengalami gangguan penglihatan, tetapi juga mengalami berbagai
kendala. Fenomena-fenomena yang terjadi merupakan bukti sulitnya penyandang tunanetra untuk menjangkau kehidupan sosial dan pendidikan
yang layak ditengah-tengah kondisi masyarakat yang sebagian besar belum sadar terhadap keberadaan mereka.
Permasalahan utama yang dihadapi penyandang tunanetra dewasa awal terkait dengan ketidakmampuan untuk bekerja dan hidup
produktif, memperoleh pasangan hidup, diasingkan dan akan selalu bergantung pada orang lain. Dampak lain dari hilangnya
8 penglihatan pada
individu dewasa awal adalah perasaan kehilangan kemampuan untuk mengikuti aturan sosial yang
berlaku di masyarakat Crews Campbell dalam Mega Tala Harimukti Kartika Sari Dewi, 2014: 65
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditegaskan bahwa penyandang tunanetra dewasa awal akan dihadapkan pada permasalahan-
permasalahan tugas perkembangan yang berkaitan erat dengan harapan atau aturan sosial yang ada di masyarakat.
Mirowsky Ross Sukma A. G. M. Muhana S. U., 2007: 167 menyatakan bahwa pada dasarnya seseorang yang memiliki kesehatan dan
fungsi fisik yang lemah atau memiliki kecacatan cenderung memiliki kesejahteraan psikologis dan kepuasaan hidup yang rendah begitu pula
sebaliknya. Dengan demikian, keterbatasan atau tidak berfungsinya indra penglihatan pada seseorang akan mempengaruhi kesejahteraan psikologis
individu. Mclivane Reinhardt menyatakan bahwa para penyandang
tunanetra menunjukkan penurunan kesejahteraan psikologis yang secara spesifik berkaitan erat dengan fungsi visualnya, misalnya dalam hal relasi
sosial dan penerimaan dukungan sosial Mega Tala Harimukti Kartika Sari Dewi 2014: 65. Selain itu, mereka cenderung mengalami stres lebih
tinggi, tingkat kepuasan perkawinan rendah, kesehatan mental dan kendali akan kesejahteraan psikologis yang menurun Gardner Harmon, 2002:
63
9 Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bila dibandingkan
dengan populasi normal, para penyandang tunanetra cenderung memiliki tingkat stres atau depresi yang lebih tinggi dan kesejahteraan psikologis
yang lebih rendah. Diungkapkan pada studi yang sama, Liveny Joseph Mega Tala
Harimukti Kartika Sari Dewi 2014: 65 menemukan pada populasi tunanetra di Eropa terganggunya fungsi penglihatan membawa dampak
negatif terbesar dalam menurunkan kesejahteraan individu, sedangkan perbandingan antara populasi tunanetra sejak lahir dengan tunanetra tidak
sejak lahir dijelaskan bahwa kesejahteraan psikologis dan resiliensi penyandang tunanetra tidak sejak lahir cenderung lebih rendah Zeeshan
Aslam, 2013: 4 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat ditegaskan kembali bahwa
kehilangan penglihatan akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologis penyandangnya, terutama pada penyandang tunanetra tidak sejak lahir.
Kesejahteraan psikologis menunjukkan indikator keseimbangan antara dampak negatif dan positif dari kondisi ketunanetraan yang dialami
individu. Kesejahteraan psikologis merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu dalam menjalani tugas perkembangannya sebagai manusia. Kesejahteraan psikologis membantu
seseorang untuk mampu bertahan serta memaknai kesulitan yang dialami
10 sebagai pengalaman hidupnya. Menurut Diener, kesejahteraan psikologis
yang tinggi penting dimiliki oleh setiap individu karena akan mendukung kesehatan yang lebih baik, memperpanjang umur, meningkatkan usia
harapan hidup dan fungsi individu Mega Tala Harimukti Kartika Sari Dewi 2014: 65
Mengingat pentingnya kesejahteraan psikologis bagi individu, selayaknya kesejahteraan psikologis pada penyandang tunanetra juga tidak
hanya menjadi perhatian bagi Pendidikan Luar Biasa saja namun juga bagi dunia Bimbingan dan Konseling. Masalah kesejahteraan psikologis selain
dimiliki oleh orang normal juga dimiliki oleh penyandang tunanetra dan ini dipelajari oleh Bimbingan dan Konseling dalam Bimbingan dan
Konseling Anak Berkebutuhan Khusus. Hal tersebut secara jelas tertuang dalam buku Bimbingan dan Konseling Anak Berkebutuhan Khusus BK
ABK yang menyatakan bahwa selain bagi anak normal, BK juga diperlukan bagi ABK untuk mencapai perkembangan yang optimal sesuai
dengan tingkat dan jenis ABK Edi Purwanta, 2012: 8 Merujuk pada pernyataan Edi Purwanta tersebut dapat ditegaskan
kembali bahwa selayaknya kesejahteraan psikologis penyandang tunanetra tidak hanya menjadi perhatian bagi Pendidikan Luar Biasa saja namun
juga bagi dunia Bimbingan dan Konseling karena pemberian layanan dalam Bimbingan dan Konseling tidak hanya pada anak normal namun
juga bagi penyandang tunanetra. Seringkali, ketunanetraan yang dialami
11 seseorang menimbulkan kecemasan dan penarikan diri dari lingkungan.
Kondisi tersebut menyebabkan seorang penyandang tunanetra akan lebih terpuruk karena merasa tidak memiliki siapa-siapa atau tidak ada yang
peduli dengan dirinya. Pemberian layanan pribadi dan sosial dapat membantu
penyandang tunanetra untuk mengatasi perasaan-perasaan negatif seperti cemas, rendah diri, putus asa, tidak berdaya, tidak berguna dan lain
sebagainya yang sering muncul pada penyandang tunanetra, mengatasi masalah kesulitan berinteraksi dengan orang lain dan penyesuaian diri
dengan lingkungan. Selain itu, menurut Munawir Yusuf 1996: 160 pemberian layanan konseling vokasional dan bimbingan karir dapat
membantu penyandang tunanetra untuk mengatasi ketakutannya dalam menghadapi kehidupan masa depan. Ketakutan tersebut muncul karena
minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan bagi penyandang tunanetra sehingga pemberian layanan bimbingan karir sejak awal ketunanetraanya
akan sangat membantu bagi penyandang tunanetra untuk mempersiapkan masa depan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat fakta menarik tentang kesejahteraan psikologis penyandang tunanetra. Berbagai penelitian
terdahulu menunjukkan penurunan kesejahteraan psikologis pada penyandang tunanetra.
Hal tersebut menyebabkan terganggunya pencapaian tugas-tugas perkembangan pada penyandang tunanetra.
12 Berpijak dari hal tersebut maka penelitian tentang kesejahteraan psikologis
psychological well being penyandang tunanetra penting untuk dilakukan.
B. Identifikasi Masalah