Cara Penentuan Umur Karya Sastra Jawa Kuna

mungkin yang terakhir ini dapat juga diklasifikasikan sebagai kitab Jawa Kuna golongan tua. Adapun karya-karya yang digolongkan karya Jawa Kuna muda adalah bentuk-bentuk kakawin yang mencakup: Brahmandapurana, Kunjarakarna, Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma atau Purusadasanta, Parthayadnya, Nitisastra, Nirathaprakerta, Dharmasunya, dan Harisraya. Zoetmulder 1983: 480-507 juga membicarakan kakawin-kakawin yang disebutnya sebagai kakawin minor, yakni kakawin-kakawin yang muncul belakangan, waktu penulisannya sekitar akhir kerajaan Majapahit hingga abad ke- 19, yang mutunya relatif kurang atau rendah. Kakawin yang dimaksud antara lain Subhadrawiwaha, Abhimanyuwiwaha, Hariwijaya, kisah-kisah tentang Krsna, dan Narakawijaya. Hasil-hasil karya sastra jenis prosa yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan adalah : Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawasrama, dan Serat Pararaton. Sedang yang berbentuk kidung puisi Jawa Pertengahan, adalah: Dewa Ruci, Serat Sudamala, Serat kidung Subrata, Serat Panji Angreni, dan Serat Sri Tanjung. Di samping itu, dalam Kalangwan masih tercatat Kidung Harsawijaya, Ranggalawe, Sorandaka, Kidung Sunda, dan Waseng Sari. Dari segi substansinya, karya-karya berbahasa Jawa Kuna pada umumnya banyak berisi cerita-cerita kepahlawanan yang berasal dari India, terutama yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana. Sedangkan karya-karya berbahasa Jawa Pertengahan, sebagiannya telah berlatar situasi dan kondisi di Jawa, atau bahkan sebagiannya berhubungan dengan realita sejarah di Jawa ketika itu.

C. Cara Penentuan Umur Karya Sastra Jawa Kuna

Dalam karya sastra Jawa Kuna, tidak pada setiap karya, di dalamnya dituliskan siapa pengarangnya dan kapan dituliskannya. Oleh karena itu untuk menentukan umur karya sastra harus dengan cara-cara tertentu. Poerbatjaraka 1964: 38 dalam membicarakan karya-karya yang termasuk karya Jawa Kuna golongan muda, umurnya ditentukan dengan ciri-ciri yang ditetapkan dari : 1 nama raja pelindung dan dalam hubungannya dengan tulisan- tulisan lainnya, seperti tulisan pada batu tertentu, 42 2 masa tertentu atau angka tahun tertentu, 3 ciri kebahasaan tertentu, 4 karya Jawa Kuna yang menjadi babon atau sumbernya, bila ada, 5 menceritakan keadaan di Tanah Jawa. 6 Untuk kriteria nomor 4 dan 5 di atas, tidak ada pada karya sastra yang digolongkan sebagai karya Jawa Kuna tua. Khusus dalam Wirataparwa, Zoetmulder 1983: 110 mengutip bagian akhir dari Wirataparwa, yang berisi hal yang tidak ditemukan dalam kitab parwa yang lain, yakni kejelasan cara menuliskan penanggalan. Penanggalan itu terdapat dalam dialog antara tokoh Waisampayana dengan raja Janamejaya, yang terjemahannya sebagai berikut. “….Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap, dalam bulan Asuji, harinya Tungle, Kaliwon, Rabu pada wuku Pahang, dalam tahun 918 penanggalan Saka. Dan sekarang ialah Mawulu, Wage, Kamis dalam wuku Madangkungan, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan Karttika. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari. Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang oleh urusan lain. Menterjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Jawa Kuna minta waktu cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.”. Menurut catatan Zoetmulder, tanggal tersebut di atas bertepatan dengan tanggal 14 Oktober sampai 12 Nopember tahun 996. Adapun dalam Adiparwa, Bhismaparwa, dan Uttarakanda, pada mukadimahnya dilengkapi dengan menyebut raja pelindung, yakni Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa. Dengan demikian kitab-kitab parwa tersebut mungkin ditulis pada akhir abad ke-10 Zoetmulder, 1983: 111, yakni pada masa hidupnya raja Sri Dharmawangsa Teguh.

D. Metrum Sastra Kakawin dan Kidung